Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Al-Qur'an sebagai Sumber Primer Pendidikan Islam

Al-quran sumber segala ilmu

Identifikasi Terma “al-Qur’an”

Ada banyak terma yang relevan dengan al-Qur’an, akan tetapi penulis hanya membatasi kajian pada terma al-Qur’an. Terma “al-Qur’an” disebutkan sebanyak 55 kali dalam 55 ayat. Ayat yang pertama kali turun memuat terma “al-Qur’an” adalah Surat al-Muzzammil [73]: 4
Dan bacalah al-Qur’an itu dengan tartil (Q.S. al-Muzzammil [73]: 4).

Ayat yang terakhir kali turun memuat terma “al-Qur’an” adalah Surat al-Taubah [9]: 111
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an (Q.S. al-Taubah [9]: 111).


Perpaduan dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa al-Qur’an seharusnya dibaca dan ditelaah secara terus-menerus dan perlahan-lahan (Q.S. al-Muzzammil [73]: 4). Selain memuat janji-janji Allah SWT yang sudah pasti benar, al-Qur’an juga memuat kandungan yang selaras dengan kitab-kitab suci sebelumnya, terutama Kitab Taurat dan Kitab Injil yang masih murni, belum terdistorsi (Q.S. al-Taubah [9]: 111).



Materi Pokok Tafsir Tarbawi: Surat al-Baqarah [2]: 185
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Q.S. al-Baqarah [2]: 185)

Surat al-Baqarah [2]: 185 menegaskan bahwa al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk (al-Huda) dan pembeda antara yang benar dan yang batil (al-Furqan). Secara historis, kedua fungsi tersebut sudah berlaku sejak masa Rasulullah SAW hingga kini, yaitu al-Qur’an dijadikan basis kepercayaan, peribadatan, hukum dan perilaku. Bahkan al-Qur’an ditempatkan sebagai fondasi bagi pendidikan Islam (Untung, 2005: 65). Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama, pada masa awal pertumbuhan Islam menjadikan al-Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam, di samping al-Sunnah (Ramayulis, 2002: 122).

Justifikasi terhadap posisi al-Qur’an sebagai dasar primer pendidikan Islam yang berfungsi sebagai al-Huda dan al-Furqan semakin jelas jika mempertimbangkan sejumlah argumentasi yang dikemukakan Sa‘id Isma‘il ‘Ali berikut ini:

Pertama, al-Qur’an adalah Undang-undang Pembinaan Manusia

Al-Quran merupakan kitab suci terakhir, sehingga memuat ringkasan pengajaran Ilahiyyah (ketuhanan). Al-Qur’an juga memuat Syariat yang berlaku universal bagi seluruh manusia agar meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta menetapkan hukum-hukum dan arahan-arahan final nan abadi yang berlaku lintas ruang dan waktu (’Ali, 1992: 102-103). Dengan kata lain, al-Qur’an berfungsi sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk bagi seluruh aspek kehidupan umat Islam secara khusus dan umat manusia secara umum.

Mengingat Hidayah (Petunjuk) secara umum merupakan tujuan puncak dari Risalah Ilahiyyah (Ajaran Ketuhanan), maka Hidayah dalam al-Qur’an bersifat universal dan komprehensif bagi seluruh umat manusia, baik sebagai individu, kelompok, masyarakat maupun suku bangsa; di manapun dan kapanpun. Penjelasan tentang Hidayah al-Qur’an inilah yang dapat berfungsi sebagai media yang tepat untuk memperbaiki keadaan umat muslim dan membuat mereka mampu bersaing dengan umat-umat lainnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta kemajuan dalam menyingkap realitas-realitas alam semesta (’Ali, 1992: 105).

Kedua, Isi Kandungan al-Qur’an Bersifat Komprehensif

Mengingat al-Qur’an berposisi sebagai undang-undang pembinaan manusia, maka sudah sewajarnya jika al-Qur’an memuat kandungan yang luas dan mencakup berbagai dimensi kehidupan. Secara garis besar, isi kandungan al-Qur’an ada lima. Pertama, Akidah-akidah yang wajib diimani, mulai dari iman kepada Allah SWT, malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhir, dan Qadha-Qadar; yang semuanya merupakan pemisah antara keimanan dan kekafiran. Kedua, Akhlak-akhlak utama yang mendidik jiwa dan memperbaiki keadaan individu dan sosial; serta memperingatkan dari akhlak-akhlak yang buruk. Ketiga, Arahan untuk mengamati dan mentadabburi (merenungkan) alam semesta agar mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT di alam semesta, sehingga memenuhi hati dengan keimanan atas keagungan Allah SWT berdasarkan pengamatan dan istidlal (pengambilan dalil), bukan berdasarkan taqlid (ikut-ikutan). Keempat, Kisah-kisah generasi terdahulu baik secara individual, kelompok maupun umat-umat, sebagai arahan agar mengetahui sunnah-sunnah Allah dalam menghadapi makhluk-Nya yang shalih maupun yang berbuat kerusakan. Kelima, Hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan; ibadah maupun muamalah (’Ali, 1992: 105; ’Ali, 2000: 148-159).

Dalam kesempatan lain, Said Ismail ‘Ali menyatakan bahwa al-Quran telah meletakkan batu fondasi bagi pembangunan pendidikan Islam; yang demikian itu karena Islam bertujuan membentuk sosok manusia baru yang berbeda sama sekali dengan sosok manusia yang dikenal pada masyarakat-masyarakat sebelumnya. Oleh karena itu, al-Quran telah meletakkan petunjuk-petunjuk dasar dan juga benih-benihpertama yang menggambarkan dimensi-dimensi sekaligus membentuk batasan-batasan sosok manusia yang diharapkan; sehingga setiap orang yang terlibat dalam tanggung jawab pendidikan Islam, harus menempatkan dimensi-dimensi dan batasan-batasan tersebut sebagai titik tolak dan asas bagi praktik pendidikan. Petunjuk dasar al-Qur'an yang relevan dengan pendidikan Islam antara lain: Pertama, pandangan yang universal. Kedua, pembaharuan dan pengembangan. Ketiga, bersifat riil. Keempat, pemahaman dan kerelaan sebagai asas belajar. Kelima, investasi ilmu pengetahuan. Keenam, pendidikan akhlak. Ketujuh, tanggung jawab sosial. Kedelapan, kebebasan. Kesembilan, praktik (’Ali, 1987: 163-178).

Ketiga, Gaya Bahasa al-Qur’an Bernuansa Pendidikan

Faktor lain yang mendukung posisi al-Qur’an sebagai sumber primer pendidikan Islam adalah gaya bahasa (uslub) al-Qur’an yang sarat dengan nuansa pendidikan.

Nuansa pendidikan tersebut tampak pada ciri khas uslub (gaya bahasa) al-Qur’an yang diidentifikasi Said Ismail Ali sebagai berikut: 
  • Pertama, al-Qur’an tidak hanya menggunakan satu metode dalam menjelaskan Syariatnya, melainkan kitab suci yang mendidik manusia dengan berbagai uslub sesuai dengan situasi dan kondisi
  • Kedua, Kefasihan bahasa yang dipakai al-Qur'an. 
  • Ketiga, Gaya bahasa yang bersifat negasi untuk menghapus sikap-sikap atau kepercayaan-kepercayaan yang dinilai tidak tepat, semisal: Akidah yang menyimpang
  • Keempat, Gaya bahasa yang keras maupun yang lembut, masing-masing digunakan sesuai dengan konteksnya. 
  • Kelima, Gaya bahasa yang ditujukan pada akal dan hati sekaligus; menghimpun kebenaran sekaligus keindahan
  • Keenam, Gaya bahasa yang memadukan ironi sekaligus sarkastik. Jenis uslub ini ditujukan kepada ‘musuh-musuh Allah SWT’ dengan tujuan menghinakan dan mencemooh mereka, semisal menyamakan mereka dengan binatang ternak. 
  • Ketujuh, al-Qur’an tidak disusun dengan sistematis –dalam artian satu topik tidak dibahas dalam satu tempat saja–. Sistematika al-Qur’an ibarat sebuah taman yang tanaman, buah-buahan maupun bunga-bunganya tersebar di berbagai penjuru, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia di manapun dia membacanya. Jadi, seluruh isi kandungan al-Qur'an, walaupun tempatnya menyebar, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan dalam pelaksanaannya
  • Kedelapan, Gaya bahasa yang dapat menggambarkan realitas. Al-Qur’an sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang sesuai dengan realitas bangsa Arab saat itu, semisal topik-topik seputar perdagangan (‘Ali, 2007: 109-118; ‘Ali, 2000: 159-180).
Keempat, Al-Qur’an adalah Sumber Ilmu Pengetahuan Islam

Berdasarkan keterangan dalam al-Qur’an, ditemukan bahwa sumber ilmu pengetahuan ada tiga macam. Pertama, Wahyu. Pengertian wahyu di sini tertentu pada pengajaran yang subjeknya adalah Allah SWT dan objeknya adalah para Nabi melalui berbagai metode. Yang termasuk kategori wahyu adalah Ilham dan Ru’yah al-Shadiqah (mimpi yang benar) yang dapat diterima oleh selain Nabi, seperti para wali. Kedua, Alat indra. Kemampuan indra termasuk salah satu alat untuk mempersepsi. Tidak ada satu mazhab pun yang mengingkari fungsi indra dalam memperoleh pengetahuan, misalnya: Indra pendengaran dan penglihatan (Q.S. al-Isra’ [17]: 36); indra peraba (Q.S. al-An‘am [6]: 7); dan indra penciuman (Q.S. Yusuf [12]: 94). Hanya saja, menurut al-Qur’an, indra bukan termasuk sumber pengetahuan yang independen, karena indra harus didukung oleh akal (Q.S. al-Baqarah [2]: 171); Ketiga, Akal (‘Ali, 2000: 275-280).

Posisi al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan juga tampak pada pernyataan Sa’id Isma’il ‘Ali yang menegaskan bahwa al-Qur’an memotivasi manusia agar memberdayakan kemampuan akal melalui beberapa kategori ayat berikut: Pertama, Ayat-ayat yang memotivasi untuk nazhar (pengamatan). Kedua, Ayat-ayat yang mengajak untuk tabashshur (pengamatan rasional), ada 148 ayat. Ketiga, Tadabbur (merenung), ada 4 ayat, semuanya berkaitan dengan tadabbur terhadap al-Qur’an. Keempat, Tafkir (berpikir), ada 16 ayat, berkaitan dengan memikirkan segala wujud yang tampak, baik ayat-ayat kawniyyah (makrokosmos), insaniyyah (mikrokosmos), maupun dalil-dalil atas ketauhidan dan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW.  Kelima, I‘tibar (mengambil pelajaran atau ‘ibrah dari pengalaman masa lalu), ada 7 (tujuh) ayat. Keenam, Tafaqquh (meraih pemahaman mendalam), ada 20 ayat. Ketujuh, Tadzakkur (mengingat Allah SWT), termasuk pemberdayaan akal tingkat tinggi, setidaknya disebutkan 269 kali (‘Ali, 2000: 189-190).

Menjawab kecaman bahwa al-Qur’an sama sekali tidak memiliki pandangan tentang pendidikan, ‘Abdullah menegaskan bahwa al-Qur’an sarat dengan nuansa pendidikan sebagaimana yang tercermin dari tiga argumentasi berikut: Pertama, dalam banyak ayat al-Qur’an, dapat ditemukan adanya ungkapan tarbiyyah (pendidikan). Istilah Rabb sendiri, menurut para ahli leksikografi Arab, diturunkan dari akar kata yang sama dengan akar kata tarbiyyah. Kedua, Nabi Muhammad SAW mengidentifikasikan diri beliau sebagai mu‘allim (pendidik). Ketiga, al-Qur’an mengajarkan kepada kaum Muslim, suatu pandangan tersendiri tentang kehidupan, sehingga prinsip-prinsip al-Qur’an harus menjadi jiwa dan pembimbing pendidikan Islam. Bahkan ‘Abdullah menandaskan bahwa kita tidak bisa berbicara mengenai pendidikan Islam tanpa menjadikan al-Qur’an sebagai titik berangkat (Abdullah, 1991: 42-44).

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara teoretis, isi kandungan al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai pendidikan, sehingga pantas diposisikan sebagai dasar primer pendidikan Islam. Secara praktis dan historis, al-Qur’an sudah diposisikan sebagai dasar primer pendidikan Islam semenjak masa Rasulullah SAW hingga saat ini, dan akan terus berlanjut seperti itu untuk selamanya. Secara akademis, para pakar pendidikan Islam sepakat menempatkan al-Qur’an sebagai dasar primer pendidikan Islam.

Referensi

Abdullah, Abdur Rahman Shalih. 1991. Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut Al-Qur’an (Penyunting Dahlan). Bandung: CV. Diponegoro.
‘Ali, Sa‘id Isma‘il. 1978. Nasy’ah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Kairo: ‘Alam al-Kutub.
_________________. 1992. al-Ushul al-Islamiyyah li al-Tarbiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby.
_________________. 2000. Al-Qur’an al-Karim: Ru’yah Tarbawiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby.
_________________. 2007. Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Salam.
Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Untung, Moh Slamet. 2005. Muhammad Sang Pendidik. Semarang: Pustaka Rizki Putra.