Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Etika Bisnis dalam Bingkai al-Qur'an

Etika bisnis Islami

Al-Qur’an diturunkan kepada bangsa Arab yang ketika itu sudah gemar melakukan bisnis. Al-Qur’an pun sering menggunakan redaksi-redaksi yang familiar di dunia bisnis. Misalnya: Perdagangan, Jual-Beli, Hutang-Piutang, Laba-Rugi, dan lain-lain. Atas dasar itu, relevan untuk menelaah bisnis dari perspektif al-Qur’an. Berikut ini adalah tiga etika bisnis dalam bingkai al-Qur’an, yang dapat diterapkan dalam konteks ekonomi kreatif.

Pertama, Etika Spiritual

Takwa dan tawakkal harus dijadikan sebagai pondasi utama dalam berbisnis. Berbekal keduanya, seorang pebisnis mampu menerobos kebuntuan yang dialami; meraih penghasilan yang tidak terprediksi; memenuhi segenap kebutuhan hidup; serta menggapai cita-cita yang ingin diraih. Semua atas izin Allah SWT.

Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka; dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu
(Q.S. al-Thalaq [65]: 2-3)

Wujud konkret nilai spiritual adalah memperhatikan aspek halal (kebaikan ruhani) dan thayyib (kebaikan jasmani), sehingga tidak terjerumus mengikuti langkah-langkah setan yang menyeru pada bisnis yang mengandung unsur kemaksiatan dan kekejian.

Hai manusia, makanlah yang halal lagi thayyib, dari apa yang terdapat di bumi; dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, serta mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui
(Q.S. al-Baqarah [2]: 169).

Bisnis minuman keras, narkotika dan perjudian adalah sekedar contoh bisnis yang mengandung unsur kemaksiatan sekaligus kekejian.

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kekejian yang berasal dari perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian beruntung.
(Q.S. al-Ma’idah [5]: 90)

Kedua, Etika Individual

Seorang pebisnis harus membekali diri dengan tiga etos utama, yaitu: Kerja Keras (Hard Work); Kerja Cerdas (Smart Work) dan Kerja Berkualitas (Quality Work). Terkait kerja keras, al-Qur’an seringkali menggunakan redaksi ibtigha’ yang berasal dari akar kata bagha yang berarti “melampaui batas”; kemudian diikutkan dengan timbangan kata (wazan) ifta’ala yang mengandung makna “sungguh-sungguh” (mubalaghah). Dari sini al-Ashfahani memaknai redaksi ibtigha’ sebagai upaya sungguh-sungguh dalam mencari atau melakukan sesuatu. Oleh sebab itu, redaksi ibtigha’ ini dapat diarahkan pada pengertian etos kerja keras dalam berbisnis.

Maka carilah dengan sungguh-sungguh, rezeki di sisi Allah; dan beribadahlah kepada-Nya; dan bersyukurlah kepada-Nya.
(Q.S. al-‘Ankabut [29]: 17)

Sebagai tokoh teladan, Nabi Musa AS menampilkan indikasi etos kerja keras ketika hendak ditunjuk menjadi pegawai Nabi Syu’aib AS.

Sesungguhnya orang terbaik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
(Q.S. al-Qashash [28]: 26)

Apalagi didukung ayat lain yang menginformasikan seberapa keras etos kerja yang ditampilkan oleh Nabi Musa AS dalam melakukan sesuatu

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun"
(Q.S. al-Kahfi [19]: 60)

Terkait etos kerja cerdas, al-Qur’an menggunakan redaksi yang berakar kata alima yang berarti “berpengetahuan”. Sinonimnya adalah sifat fathanah (cerdas), namun tidak tertera dalam al-Qur’an. Tokoh teladan yang dinyatakan memiliki kualifikasi kerja cerdas adalah Raja Thalut yang berhasil memimpin pasukan yang sedikit untuk mengalahkan pasukan Jalut yang berjumlah jauh lebih besar.

Nabi (mereka) berkata: Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa
(Q.S. al-Baqarah [2]: 247)

Demikian halnya dengan Nabi Yusuf AS yang dinyatakan berhasil mengantarkan warga Mesir melalui krisis pangan berkepanjangan selama tujuh tahun.

Berkata Yusuf: Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan
(Q.S. Yusuf [12]: 55)

Contoh kebijakan ekonomi yang mencerminkan kejeniusan Nabi Yusuf AS adalah menyimpan hasil panen sekaligus tangkainya.

Yusuf berkata: Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai, hendaklah kamu biarkan dibulirnya. kecuali sedikit untuk kamu makan
(Q.S. Yusuf [12]: 47).

Terkait etos kerja berkualitas, al-Qur’an menggunakan redaksi hasan atau ihsan. Misalnya, mengembangkan harta anak yatim.

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa
(Q.S. al-Isra’ [17]: 34)

Menurut Tafsir al-Mawardi, salah satu kandungan makna redaksi ahsan pada ayat di atas adalah mengembangkan harta anak yatim, dengan tetap memelihara harta pokoknya, sehingga ketika dewasa, anak yatim memperoleh kesejahteraan.

Di antara tokoh teladan terkait etos kerja berkualitas ini adalah salah satu dari tiga orang yang terjebak dalam gua, kemudian masing-masing orang berdoa kepada Allah SWT dengan menyebutkan jenis amal shalih yang menurutnya paling baik. Lalu orang yang ketiga menyatakan bahwa dia pernah mengelola gaji pegawainya yang semula hanya sedikit, kemudian dikembangbiakkan menjadi banyak, dalam bentuk unta, sapi, domba dan budak. Setelah itu, seluruhnya diserahkan kepada si pegawai, tanpa meminta bagian sedikitpun untuk dirinya sendiri. Kisah ini tertera dalam Hadis Shahih Bukhari. Pada zaman sekarang, perusahaan-perusahaan Jepang dapat dijadikan contoh teladan terkait etos kerja berkualitas. Perusahaan-perusahaan tersebut menerapkan zero tolerance yang berarti menekan kesalahan produksi hingga titik nol. Oleh sebab itu, wajar jika produksi-produksi Made in Japan dipercaya oleh masyarakat di berbagai belahan dunia.  

Ketiga, Etika Sosial

Sejak awal al-Qur’an mengajarkan sikap dermawan kepada sesama. Artinya, penghasilan bisnis tidak hanya dinikmati oleh diri sendiri dan keluarga, melainkan dapat dinikmati oleh orang lain, terutama pihak-pihak yang membutuhkan. Islam pun memiliki beragam syariat yang memfasilitasi fungsi sosial harta benda. Misalnya, zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, hadiah, waris hingga wasiat. Prinsip berbagi kepada sesama ini bagaikan falsafah orang yang menguras sumur. Menguras sumur tidak akan menghabiskan air sumur, justru membuat sumur menjadi semakin jernih dan lancar. Apabila hasil bisnis hanya dinikmati sendiri, maka harta akan lenyap tanpa bekas; sedangkan apabila sebagian hasil bisnis dibagi kepada sesama, maka catatan amal akan abadi di sisi Allah SWT:

Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal
(Q.S. al-Nahl [16]: 96)

Manfaat lain dari sikap dermawan adalah menjauhkan diri dari penyakit fisik maupun penyakit sosial. Rasionalisasinya, ketika orang berbagi kepada sesama, maka dia akan merasa bahagia; sedangkan perasaan bahagia memperkuat ketahanan fisiknya, sehingga membuatnya “kebal” dari aneka penyakit fisik. Demikian halnya, ketika orang gemar berbagi kepada sesama, maka semakin sedikit orang yang cemburu atau iri hati kepadanya; justru semakin banyak orang yang berkenan untuk bergaul dengannya, sehingga dia tidak akan dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Malang, 25 September 2017

Rosidin