Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membaca versus Menulis

Membaca atau menulis?

Ibarat bernafas, membaca bagaikan menghirup “oksigen” yang bermanfaat bagi diri sendiri, sedangkan menulis bagaikan menghembuskan “karbondioksida” yang bermanfaat bagi alam sekitar. Al-Qur’an sejak dini sudah menegaskan signifikansi membaca dan menulis pada wahyu pertama (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5). Terkait ayat tersebut, dalam Tafsir Salman dijelaskan bahwa membaca terdiri dari input–proses–output. Pancaindra adalah input (masukan), sedangkan baik-buruk output (luaran) tergantung pada pemrosesnya. Pemroses tersebut adalah hati (qalb), sedangkan akal adalah asistennya. Akal bisa membedakan baik (hasanah) atau buruk (sayyi’ah), sedangkan hati dapat memastikan benar (haq) atau salah (bathil). Dalam hal ini, al-Ghazali menuturkan bahwa manusia bergerak dengan tiga pertimbangan. Ada kualitas baik (rasional), kualitas benar (spiritual) dan kualitas nyaman (emosional). Pembaca ideal adalah pembaca yang mendudukkan aspek spiritual sebagai “sang raja” (Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, 2014: 378-381).
    
Ada tujuh hal yang perlu diperbincangkan terkait paragraf di atas. Pertama, membaca tidak sekedar melibatkan alat penglihatan, melainkan seluruh pancaindra. Karena pengertian pokok dari membaca adalah menghimpun informasi secara luas. Oleh sebab itu, mendengarkan ceramah adalah “membaca”; merasakan dinginnya es adalah “membaca”; mencicipi kelezatan masakan adalah “membaca”; mencium bau minyak wangi adalah “membaca”. Bukankah orang tunanetra juga disebut membaca ketika meraba huruf braille, mengenali besaran uang ketika transaksi jual beli, dan sebagainya?

Kedua, objek bacaan ada dua, ayat-ayat Allah SWT yang tertulis (Qur’aniyyah) dan ayat-ayat Allah SWT yang terhampar (Kauniyyah) yang meliputi makrokosmos (alam) dan mikrokosmos (manusia). Dengan kata lain, objek bacaan ada yang berupa tulisan, ada pula yang berupa fenomena alam dan pengalaman insan (Q.S. al-Dzariyat [51]: 20-21). Ini untuk membantah anggapan bahwa orang yang tidak bersekolah akan gagal; atau orang “goblok” dapat memperoleh kesuksesan besar, kendati dirinya tidak pernah bersekolah. Poin pentingnya adalah “membaca” (belajar). Orang yang bersekolah, namun malas membaca tulisan, fenomena alam maupun pengalaman insan, niscaya akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak berkompeten, sehingga berpotensi gagal bersaing. Sebaliknya, orang yang tidak bersekolah, namun rajin membaca tulisan, fenomena alam maupun pengalaman insan, niscaya akan tumbuh menjadi pribadi yang berkompeten, sehingga berpotensi memenangkan persaingan.  

Ketiga, proses membaca melibatkan fungsi akal untuk menentukan baik-buruknya suatu bacaan. Misalnya, tulisan karya seorang pakar berpengalaman, kualitasnya lebih unggul dibandingkan tulisan karya seorang penulis pemula. Ibarat masakan buatan chef andal, lebih lezat dibandingkan masakan buatan orang yang baru belajar masak. Oleh sebab itu, seyogyanya seorang pembaca memilih bahan bacaan yang terbaik, berdasarkan reputasi dan rekam-jejak sang penulis.  

Keempat, proses membaca melibatkan fungsi hati untuk menentukan benar-salahnya suatu bacaan. Kriteria benar atau salah didasarkan pada tingkat keselarasannya dengan nilai-nilai Islam, yaitu halal dan haram atau maslahat dan mudarat. Oleh sebab itu, buku-buku atheis, vulgar, sihir, ramalan bintang, dan sejenisnya, sejak awal sudah dinilai salah dan dihukumi haram, karena dinilai mengandung mudarat bagi para pembaca. Jadi, fungsi hati dalam membaca bagaikan “sensor film” yang menyeleksi bahan bacaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.  

Kelima, proses membaca melibatkan fungsi emosional untuk menentukan indah-jeleknya suatu bacaan. Dengan kata lain, membaca membutuhkan kenyamanan secara emosional.  Memang ada bahan bacaan yang terasa indah ketika dibaca, sehingga menimbulkan rasa nyaman dalam hati pembaca. Misalnya, ada orang yang nyaman membaca tulisan fiksi seperti novel dan komik; ada pula yang nyaman membaca tulisan non-fiksi seperti artikel ilmiah dan buku pelajaran. Untuk mencapai kenyamanan membaca, ada baiknya dimulai dari bahan bacaan yang tidak terlampau menguras emosi dan otak, seperti membaca novel atau komik. Setelah menemukan kenyamanan membaca, seseorang dapat menaikkan level dengan membaca bahan bacaan yang berpotensi menguras emosi dan otak, seperti membaca artikel ilmiah dan buku pelajaran.

Keenam, proses membaca yang ideal melibatkan fungsi hati dan akal (perpaduan keduanya disebut fu’ad) serta fungsi emosional. Hati akan menyeleksi “benar-salah”-nya objek bacaan menurut standar Islam; akal akan menyeleksi “baik-buruk”-nya objek bacaan menurut standar logika atau ilmu pengetahuan; emosi akan menyeleksi “indah-jelek”-nya objek bacaan menurut standar jiwa seni (estetis). Ibarat makanan, terlebih dulu diseleksi apakah makanan tersebut “halal” menurut Islam; “thayyib” (bergizi) menurut logika atau ilmu pengetahuan; “lezat” menurut cita rasa. Ketujuh, munculnya motivasi membaca dan apresiasi atas bacaan, setelah melewati proses membaca. Pakar membaca, Steve Stahl menyatakan bahwa ada tiga tujuan utama pelajaran membaca: mengenali kata-kata secara otomatis; memahami teks; termotivasi dan mengapresiasi membaca. Ketiganya berhubungan, jika seseorang tidak mengenali kata-kata secara otomatis, maka dia kesulitan memahami teks. Jika kesulitan memahami teks, maka dia sulit termotivasi untuk membaca (John Santrock, 2011: 362-263).

Mengacu pada pandangan Steve Stahl tersebut, menulis merupakan bagian dari apresiasi atas bacaan, sekaligus memicu motivasi untuk membaca. Ada lima hal pokok yang perlu diinsafi terkait menulis. 

Pertama, menulis lebih berat daripada membaca, karena menulis bagaikan “membangun rumah sendiri”, sedangkan membaca bagaikan “melihat rumah orang lain”. Tampaknya, tingkat kesulitan yang lebih tinggi ini berperan-serta dalam “memangkas” jumlah penulis yang jauh lebih minim dibandingkan jumlah pembaca. 

Kedua, menulis adalah mengekspresikan hasil bacaan yang diperoleh melalui pembacaan tulisan, fenomena alam maupun pengalaman insan. Sulit dibayangkan ada seseorang yang ahli menulis, namun tidak ahli membaca. Pada umumnya, orang yang ahli menulis, juga ahli membaca. Rumus 10:1 dapat diterapkan di sini, yaitu setelah membaca 10 halaman, berusaha menulis 1 halaman. 

Ketiga, menulis merupakan suatu keterampilan yang berbasis pengalaman. Artinya, semakin banyak pengalaman seseorang dalam dunia tulis-menulis, semakin terampil dalam menulis. Ibarat atlet angkat besi yang mampu mengangkat barbel seberat 100 kilogram, diawali oleh pengalaman latihan dalam kurun waktu lama, yang bisa jadi dimulai dari beban seberat 20 kilogram terlebih dulu. 

Keempat, menulis menomor-satukan dedikasi dan konsistensi. Tanpa keduanya, aktivitas menulis hanya akan menghasilkan anekdot “terbit sekali seumur hidup” yang kerap menerpa sejumlah produk tulisan, seperti buletin, tabloid hingga majalah yang berhenti terbit setelah volume 1. Dua hal ini pula yang berfungsi sebagai “antibodi” terhadap penyakit “malas” dan “kering ide”. 

Kelima, menulis yang ideal memadukan pendekatan IPTEK yang rasional, etika yang spiritual, estetika yang unggul dan imajinasi yang tak terbatas. Keempat hal ini dapat ditemui dalam Ihya’ ‘Ulumiddin karya Hujjatul-Islam, Imam al-Ghazali. Wallahu A’lam bi al-Shawab.