Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesantren versus Sekolah

Pesantren vs sekolah

Sebagai warisan Walisongo, kesan klasik masih melekat pada pesantren hingga kini, sebagaimana kesan modern masih melekat pada sekolah sejak diperkenalkan oleh penjajah Belanda. Beranjak dari latar-belakang ini, dapat dipahami mengapa keunggulan segi moral kerap disematkan kepada santri pesantren, sedangkan keunggulan segi akademik kerap disematkan kepada siswa sekolah. Mengapa demikian?
          
Keunggulan moral santri tidak lepas dari sistem pembelajaran di pesantren yang menekankan tiga proses secara konsisten (istiqamah). 

Pertama, I’tiraf (pengenalan). Biasanya santri baru diperkenalkan dengan lingkungan dan budaya pesantren terlebih dahulu dengan cara yang arif bijaksana. Di sini, santri senior berposisi bagaikan tuan rumah yang menyambut tamu dengan sebaik mungkin, sehingga santri baru merasa nyaman tinggal di pesantren, karena mendapatkan perlakuan yang hangat dari para seniornya. Pada tahap ini, sudah tampak perbedaan signifikan antara pesantren dengan sekolah. Sejak dini pesantren sudah memperkenalkan lingkungan dan budaya pesantren dengan arif bijaksana, lain halnya dengan sekolah yang hingga kini masih akrab dengan tradisi ‘pelonco’ yang tidak manusiawi, bahkan mengakibatkan banyak korban jiwa. Suatu fenomena yang ‘mustahil’ ditemukan dalam kegiatan orientasi santri di pesantren manapun.
          
Kedua, Imtitsal (peneladanan). Pesantren memiliki figur-figur teladan, terutama pada diri pengasuh (Kyai) yang secara istiqamah hadir di tengah-tengah santri untuk memimpin shalat jamaah, memberikan pengajian kitab kuning, mengajar di kelas dirasah, hingga memonitor aktivitas keseharian santri. Kehadiran figur Kyai ini amat berkesan di kalangan santri sehingga terjalin hubungan rohani yang kokoh antara Kyai dan santri. Lebih dari itu, kehadiran figur Kyai mempermudah para santri untuk melihat secara langsung, perilaku-perilaku terpuji yang ditampilkan oleh sang Kyai. Inilah fungsi keteladanan (uswah al-hasanah) figur Kyai yang intensitasnya melampaui fungsi keteladanan kepala sekolah. Durasi pembelajaran di sekolah yang hanya setengah hari (7-9 jam), di mana para siswa lebih banyak menghabiskan waktu di kelas, sedangkan kepala sekolah tidak mengajar di kelas, semakin mengikis peran keteladanan kepala sekolah. Bisa dikatakan bahwa fungsi keteladanan kepala sekolah secara efektif berlangsung pada momen singkat, sehingga jalinan hubungan rohani antara kepala sekolah dengan siswa tidak sekokoh jalinan hubungan rohani antara Kyai dengan santri.
          
Ketiga, Ittiba’ (pembiasaan). Jika I’tiraf berkaitan dengan dimensi ‘ilmu’, sedangkan Imtitsal terkait dengan dimensi ‘akhlak’, maka Ittiba’ berkaitan dengan dimensi ‘amal’. Artinya, apa yang sudah dipahami oleh santri melalui proses I’tiraf, semakin dipahami setelah melihat contoh konkret melalui keteladanan Kyai dalam proses Imtitsal, sehingga mempermudah santri untuk mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui proses Ittiba’. Begitu melekatnya proses I’tiraf dan Imtitsal, membuat santri melakukan proses Ittiba’ dengan nyaris sempurna. Contoh sederhananya adalah santri menampilkan gaya makan, berpakaian, berjalan, berbicara, bahkan berdeham seperti halnya sang Kyai. Semua itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan kekaguman yang luar bisa terhadap figur Kyai. Hal yang demikian ini, tentu amat jarang terjadi di lingkungan sekolah.
          
Perpaduan harmonis antara I’tiraf, Imtitsal dan Ittiba’ meningkatkan kualitas internalisasi moral pada diri santri, sehingga santri diposisikan sebagai barometer akhlak pelajar di Indonesia. Ketika siswa sekolah berbuat onar, masyarakat akan senyap, karena sudah terbiasa; namun ketika santri pesantren berbuat onar, masyarakat akan ribut, karena di luar kebiasaan. Hal ini dikarenakan pesantren selalu menempatkan akhlak di atas ilmu, sehingga standar keberhasilan pendidikan pesantren bukan diukur dari kedalaman dan keluasan ilmu, melainkan dari keunggulan dan keluhuran akhlak.
          
Di sisi lain, siswa sekolah dikenal unggul dari segi akademik. Keunggulan ini dapat dilacak dari sistem pembelajaran yang berlangsung di sekolah. 

Pertama, evaluasi sekolah berorientasi pada ilmu pengetahuan. Hampir dapat dipastikan bahwa pertanyaan utama yang diajukan kepada lulusan sekolah adalah berapa nilai rapor atau UN-mu? Sebuah pertanyaan yang tidak akan pernah ditujukan kepada santri lulusan pesantren. Oleh sebab itu, sistem sekolah memberikan ruang yang luas bagi interaksi ilmiah. Bukti konkretnya adalah kegiatan sekolah didominasi oleh pembelajaran intrakurikuler yang berorientasi pada ilmu pengetahuan.
          
Kedua, relasi guru dan siswa yang relatif setara –apalagi setelah diperkenalkan konsep guru sebagai fasilitator–, membuat jalinan komunikasi antara guru dan siswa berjalan luwes dan dinamis, tanpa ada kesan canggung. Kendati terkadang berisiko pada kualitas sopan santun, namun model jalinan komunikasi seperti itu telah membuka ruang yang cukup bagi terjadinya diskusi antara guru dan siswa. Manfaat utamanya adalah sikap kritis dan kreatif siswa dapat mengalir dengan lancar, sehingga mempermudah siswa untuk meningkatkan kualitas keilmuannya. Berbeda halnya dengan relasi Kyai dan santri yang sarat dengan sopan santun dan terkesan canggung, sehingga minim peluang bagi sikap kritis dan kreatif santri terhadap Kyai.
          
Ketiga, sumber ilmu yang variatif dan heterogen membuat siswa memiliki akses yang luas dan beragam untuk memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan. Siswa bisa mengakses berbagai media massa, baik cetak, elektronik maupun virtual, termasuk media sosial yang menyajikan beragam informasi. Dengan fasilitas seperti itu, mudah bagi siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Hal yang seperti ini tentu tidak dapat dirasakan oleh santri yang memiliki akses terbatas.
          
Apabila lembaga pendidikan Islam ingin menghasilkan output ideal yang memiliki keunggulan moral dan akademik, maka dibutuhkan kolaborasi antara sistem pesantren yang berorientasi pada keluhuran akhlak melalui proses I’tiraf (pengenalan), Imtitsal (peneladanan) dan Ittiba’ (pembiasaan) dengan sistem sekolah yang berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dengan menerapkan evaluasi ilmu pengetahuan yang terstandar (seperti Ujian Nasional), interaksi edukatif yang memberikan ruang bagi sikap kritis dan kreatif untuk pengembangan keilmuan, serta akses luas dan terkontrol terhadap ilmu pengetahuan melalui berbagai media informasi. Wallahu A’lam bi al-Shawab.