Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ringkasan Sejarah Kebudayaan Islam


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com 


Sejarah Kebudayaan Islam
Ilustrasi Sejarah Kebudayaan Islam

A.         MASA PRA ISLAM

1.            Agama dan Kepercayaan di Sekitar Jazirah Arab
      
Sejarah masa lampau, khususnya abad ke-5 dan ke-6 Masehi, dunia hidup dalam kegelapan yang menyeramkan. Kendati masyarakatnya merasa butuh kepada agama, namun kepercayaan ketika itu sungguh jauh dari nilai kebenaran. Agama yang seharusnya melahirkan petunjuk, ketenangan dan keharmonisan, justru berbalik; sehingga yang lahir dari agama ketika itu adalah kecemasan, kesesatan dan permusuhan. 1

Pada abad ke-5 dan ke-6 M, agama Yahudi yang dibawa oleh Nabi Musa AS telah menjadi ajaran yang sangat kaku. Ia telah menjadi tradisi tanpa ruh. Kitab “Taurat” telah mengalami aneka perubahan. Di samping kitab Taurat, mereka juga memiliki kitab Talmud yang mereka sucikan melebihi kitab Taurat. Padahal dalam Talmud ini, yang beredar sejak abad ke-6 M, terdapat sekian banyak informasi yang sungguh tidak dapat dicerna akal. Kepercayaan tentang keesaan Tuhan yang diajarkan oleh Nabi Musa AS, luntur akibat pengaruh budaya dan adat kebiasaan masyarakat sekitarnya. Para pemuka agama Yahudi tidak lagi melaksanakan tugas bimbingan ruhani. Kaum Yahudi tenggelam dalam materialisme, sehingga mereka menjadi lintah darat dan menghalalkan suap-menyuap.2

Ajaran Kristen yang dibawa oleh Nabi Isa AS adalah ajaran yang mengakui keesaan Allah SWT, menekankan sisi keruhanian dan akhlak yang luhur. Akan tetapi, ajaran yang demikian luhur itu sedikit demi sedikit menyimpang. Puncak dari kesesatan itu adalah beralihnya keesaan Tuhan yang diajarkan oleh Nabi Isa AS, menjadi kepercayaan tentang Trinitas. Persoalan Trinitas ini baru muncul setelah empat ratus tahun dari kelahiran al-Masih, karena itu kepercayaan Trinitas tidak disinggung dalam keempat Injil yang diakui oleh umat Kristen, karena kitab-kitab tersebut ditulis jauh sebelum munculnya paham Trinitas di kalangan umat Kristen. Kitab Injil itu ditulis antara 70-150 tahun setelah kelahiran al-Masih. 3

Penduduk Persia menganut agama Majusi (Zoroaster) yang menyembah unsur-unsur material di alam raya. Mereka menyambah api dan menyucikan matahari. Mereka percaya bahwa ada dua tuhan. Pertama, tuhan cahaya, yaitu yang menciptakan kebaikan dan selalu bermaksud baik. Mereka menamainya Ahura Mazda (dalam sebutan Iran modern: Ormudz / tuhan yang bijaksana). Kedua, tuhan kejahatan atau keburukan yang mereka namai Angra Mainyu (dalam sebutan Iran modern: Ahriman). Kedua tuhan itu senantiasa bertarung. Sekali ini yang menang, dan sekali yang itu. Penduduk Persia ketika itu membangun rumah-rumah ibadah untuk menyembah api, tetapi di luar tempat ibadah, mereka lepas kendali dan memperturutkan hawa nafsu. Sementara pakar berpendapat bahwa kepercayaan di atas diciptakan oleh Zoroaster (628-551 SM). 4

Di India muncul Brahmanisme, yaitu sebuah agama yang kompleks dan sistem sosial yang tumbuh dari ritus-ritus politestis bangsa Arya kuno yang menaklukkan bagian utara India dan Iran. Agama ini menyebar ke seluruh wilayah anak benua India, dan lestari tanpa berubah secara signifikan sampai dewasa ini. Di India juga muncul  agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanatana Dharma / Kebenaran Abadi dan Vaidika-Dharma / Pengetahuan Kebenaran) yang merupakan lanjutan dari agama Veda (Brahmanisme) yang diperkirakan muncul antara tahun 3102-1300 SM. Agama ini mengajarkan bahwa banyak dewa yang memunyai peranan dalam kehidupan manusia, tetapi dewa yang tertinggi adalah Brahma yang menjadi sumber dari segala yang ada dan yang memanifestasi-kan dirinya kepada manusia dalam bentuk beragam. 5

Di India, Jepang, Nepal, Tibet, Cina dan beberapa wilayah Asia lainnya, Budhisme tersebar luas. Agama Budha diajarkan oleh Sidhartha Gautama yang lahir di Lumbini (Nepal saat ini). Beliau adalah seorang pangeran dari suku Sakya, lahir pada 563 SM dan wafat di Kusinara (saat ini bernama Kushinagar, India) pada usia 80 tahun (483 SM). Budha tidak mengajarkan tentang wujud tuhan, namun kekaguman pengikut-pengikutnya kepada pribadi ini menjadikan mereka membuat patung-patung beliau yang mereka bawa ke manapun mereka pergi. Di samping itu, mereka juga membangun bangunan-bangunan untuk mengultuskannya. Sementara pakar menyatakan bahwa pada mulanya kepercayaan ini menafikan wujud tuhan, tetapi lama-kelamaan mereka mengultuskan Budha (Sidhartha Gautama) dan menempatkannya sebagai manusia yang tidak serupa dengan manusia yang lain, karena pencapaian dan kesempurnaan ruhaninya. Ini yang menjadikan sementara orang menduga bahwa Budha adalah tuhan, dan karena pengultusan itu dan pembuatan patung-patung Budha sehingga penganut-penganutnya serupa dengan penyembah-penyembah berhala. 6

2.          Agama dan Kepercayaan di Jazirah Arab

Perlu digaris-bawahi bahwa al-Qur’an mengisyaratkan adanya nabi-nabi dan rasul-rasul yang diutus ke wilayah ini. Misalnya Nabi Hud AS yang diutus kepada kaum ‘Ad yang bermukim di al-Ahqaf, suatu wilayah di Hadhramaut, Yaman. Nabi Shalih AS diutus kepada kaum Tsamud yang bermukim di Hijir, suatu wilayah antara Hijaz dan Tabuk, Saudi Arabia. Demikian halnya Nabi Syu’aib AS yang diutus ke Madyan, suatu wilayah yang berbatasan dengan Syam. Yang amat populer adalah Nabi Isma’il AS, putra Nabi Ibrahim AS, yang bermukim di Mekah bersama ibunya, Hajar. Nabi Ibrahim AS sendiri datang menyampaikan ajaran tauhid dan disebarkan di tengah masyarakatnya; kemudian dilanjutkan oleh putra-putra beliau, antara lain Nabi Isma’il AS dan Nabi Ishaq AS. 7   

Masyarakat Jahiliyah secara umum percaya pada Allah SWT, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS. Akan tetapi, dari masa ke masa, sedikit demi sedikit ajaran itu bergeser dan luntur atau disalahpahami, sehingga kendati masyarakat Arab mengagungkan Nabi Ibrahim AS sebagai leluhur dan pembawa ajaran, namun inti ajaran beliau tereduksi. Memang, mereka masih tetap mengakui wujud Allah SWT dan bahwa Dia adalah Pencipta alam raya, tetapi berbeda dengan yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam substansinya dan dalam rinciannya. 8

Kondisi politik Arab pra-Islam saat itu dikuasai oleh dua kekaisaran, yaitu Persia dan Romawi. Masing-masing kekaisaran memiliki kebudayaan, perdaban, perundang-undangan dan keyakinan yang mereka imani. 9

Kekaisaran Persia menganut agama Zoroaster (Majusi) yang meyakini adanya dua tuhan, yakni tuhan kebaikan dan tuhan keburukan. Tuhan kebaikan (cahaya) menciptakan hal-hal baik di dunia ini –misalnya binatang yang bermanfaat–, sedangkan tuhan keburukan (kegelapan) menciptakan hal-hal buruk di dunia ini –misalnya binatang buas–. Mereka juga meyakini bahwa manusia akan menjalani dua kehidupan, yaitu kehidupan di dunia dan kehidupan pasca kematian. Selain itu, mereka meyakini bahwa dunia akan mendekati kiamat ketika tuhan kebaikan mampu mengalahkan tuhan keburukan. Oleh sebab itu, kaum Zoroaster menjadikan api sebagai simbol tuhan kebaikan, sehingga mereka menyalakan api di tempat-tempat peribadatan mereka. 10 

Di sisi lain, kekaisaran Romawi memijakkan kebudayaannya di atas filsafat Yunani dan Romawi. Mereka mewarisi pemikiran-pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles. Filsafat Yunani dan Romawi kuno dimanfaatkan oleh para pemeluk Kristen untuk berdebat, terutama terkait Trinitas. 11

Bangsa Arab sendiri mayoritas hidup nomaden di padang pasir. Mereka terikat oleh aturan kesukuan serta memiliki kebiasaan bertaklid kepada nenek moyang. Perekonomian mereka berpijak pada pertanian dan perdagangan. Oleh sebab itu, mereka menyusun undang-undang tentang transaksi harta dan perdagangan. Sedangkan dari sisi kepercayaan, mereka ada pula yang terpengaruh oleh keyakinan yang dianut kekaisaran Persia maupun Romawi. Kepercayaan bangsa Arab pra-Islam semakin kompleks dengan adanya kaum Yahudi yang mendiami wilayah-wilayah seperti Khaibar dan Yatsrib. Demikian juga bangsa Arab pra-Islam masih menyisakan para pemeluk millah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismaʻil AS. 12

Lebih dari itu, seperempat Jazirah Arab saat itu dipenuhi oleh berbagai jenis ritual. Ketika Rasulullah SAW diutus, beliau menghadapi problem banyaknya berhala yang diletakkan di sekitar Kabah oleh bangsa Arab. Mereka menyembah dan bersujud kepada berhala-berhala itu. Dalam konteks inilah Tasyrîʻ  di Makkah ditujukan, yaitu untuk membersihkan Jazirah Arab dari penyembahan berhala. Problem spiritual lain yang menjangkiti kaum musyrikin Makkah adalah penalaran mereka tidak dapat menjangkau ajaran Islam yang meyakini bahwa jasad-jasad yang sudah membusuk (meninggal dunia) dapat dihidupkan kembali pada hari kebangkitan kelak. 13 

Jika ditelaah lebih dalam, kondisi sosio-historis di atas menjadi argumen yang rasional terkait strategi pensyariatan Islam yang dimulai dengan pembersihan ‘noda-noda’ akidah dan akhlak yang melekat kuat pada bangsa Arab pada saat periode Makkah. Setelah akidah dan akhlak mereka relatif jernih, pensyariatan Islam dilanjutkan dengan hukum Islam praktis, terutama pada periode Madinah.

3.          Hijaz Menjelang Islam

Arab Selatan cenderung ‘beradab’, sedangkan Arab Utara cenderung ‘biadab’ (nomad). Periode Jahiliyyah meliputi 1 abad menjelang kelahiran Islam. Jahiliyyah bermakna tidak memiliki otoritas hukum, nabi dan kitab suci. Karena Arab Selatan sudah berbudaya dan mampu baca-tulis.

Budaya sastra-prosa [festival di Ukaz dan Ka’bah]; Ayyamul ‘Arab [genjatan senjata pada Dzulqa’dah, Dzuulhijjah dan Muharram, serta Rajab]; Paganisme [al-Lat, al-’Uzza, al-Manat dan Hubal]. Kota utama Hijaz adalah Thaif, Makkah dan Madinah. Hijaz mendapatkan pengaruh budaya dari Saba’, Abbisinia, Persia dan Gassan.

B.         MASA KENABIAN

Masa kenabian dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu periode Mekah dan Madinah. Karena di Mekah mendapat tantangan dari kaum Quraisy, Nabi SAW dan pengikutnya hijrah ke Madinah. Di Madinah, Nabi SAW membangun ‘negara’ Islam dengan masyarakat yang lebih mencerminkan keutamaan dibandingkan masyarakat Arab waktu itu. Masyarakat Islam yang menekankan nilai kesetaraan, keadilan dan demokrasi ini telah memberi landasan bagi kehidupan sosial-politik Islam pada masa berikutnya. Dari Madinah, Nabi SAW kemudian memperluas dakwahnya hingga ke seluruh Jazirah Arab. 14

Pada Periode Makkah (Tahun 601-622 M), Nabi SAW menerima wahyu al-Qur’an. Mayoritas pengikut Nabi SAW berasal dari kalangan ‘menengah ke bawah’, sehingga menjadi sasaran berbagai tindakan intimidasi. Nabi SAW sendiri terlindungi mengingat status beliau sebagai kemenakan Abu Thalib, ketua suku Quraisy saat itu.

Pada Periode Madinah (Tahun 622-632 M), Nabi SAW bersama sekitar 70 keluarga berhijrah ke Madinah yang dilakukan secara berangsur-angsur; dan Nabi SAW hijrah terakhir. Adapun Program-program Nabi SAW di Madinah adalah: Mendirikan Masjid; Pasar; Membentuk Ukhuwwah Islamiyyah antara Muhajirin-Anshar; Piagam Madinah; Perang dengan sistem Ghazwu (serangan mendadak dengan korban seminimal mungkin; korban jiwa ‘hanya’ mencapai 1000-an).

Periode ini ditandai oleh beberapa peristiwa penting. Pertama, Turunnya ayat-ayat Madaniyah yang sarat dengan Fikih, di samping Akidah dan Akhlak. Mulai diwajibkan zakat, puasa Ramadhan dan Haji-Umrah. Kedua, Perjanjian Hudaibiyyah (628 M) yang menunjukkan bahwa Nabi SAW sudah dianggap sebagai pemimpin yang patut diperhitungkan oleh kaum kafir Makkah. Ketiga, Fathul Makkah (630 M) yang dilakukan secara damai, tanpa membawa korban jiwa satu pun. Keempat, Nabi SAW wafat (632 M) karena efek racun dari wanita Yahudi masih membekas pada kesehatan Nabi SAW.

C.         MASA KEKHALIFAHAN

Menurut Al-Syahrastani (w. 1153): “Tidak pernah ada persoalan yang lebih berdarah, kecuali tentang kekhalifahan”. Saat itu, ada beberapa kelompok yang berseteru terkait khalifah pengganti Rasulullah SAW. Pertama, Muhajirin, karena satu suku; Anshar, karena menyelematkan Islam dari ‘kemusnahan’. Kedua golongan ini kemudian sepakat untuk membentuk Persekutuan. Kedua, Kaum Legitimis, yang memandang ‘Ali sebagai pihak yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, Kelompok aristokrat Quraisy yang dimotori oleh Bani Umayyah, karena merasa memiliki otoritas dan kekuatan Pra-Islam.

Setelah Nabi SAW wafat, kepemimpinan umat muslim dilanjutkan oleh para sahabat yang menjadi pengganti (khalifah). Empak khalifah pertama dikenal dengan al-Khulafa’ al-Rasyidun (para pengganti yang mendapatkan bimbingan). Mereka adalah Abu Baka al-Shiddiq (memerintah 11-13 H / 632-634 M); Umar ibn al-Khaththab (13-24 H / 634-644 M); Utsman ibn al-‘Affan (24-36 H / 644-656 M); dan Ali ibn Abi Thalib (36-41 H / 656-661 M). Pada masa mereka, banyak terjadi peristiwa seperti ekspansi kaum muslim ke luar Jazirah Arab dan munculnya konflik intern di antara umat muslim. 15

Masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq RA (632-634 M atau 2 tahun pemerintahan). Abu Bakar al-Shiddiq RA fokus pada integrasi umat muslim pada masa transisi, melalui perang terhadap orang-orang yang tidak memiliki loyalitas pada Islam, yaitu: kaum murtad, Nabi palsu hingga orang-orang yang tidak membayar zakat.

Masa Khalifah Umar ibn al-Khaththab RA (634-644 M atau 10 tahun pemerintahan). Umar ibn al-Khaththab RA fokus pada upaya perluasan wilayah Islam hingga seluruh Jazirah Arab, bahkan hingga Mesir. Yarussalem ditaklukkan pada tahun 638 M, dijadikan sebagai kota suci ketiga bagi umat muslim. ‘Umar RA wafat oleh tahanan perang Persia pada tahun 644 M.

Masa Khalifah Utsman ibn ‘Affan (644-656 M atau 12 tahun pemerintahan) . Pada 6 (enam) tahun pertama, ‘Utsman ibn al-’Affan RA berposisi sebagai ‘khalifah sejati’, termasuk menghasilkan ‘masterpiece’, yaitu Mushhaf Utsmani. Pada 6 (enam) tahun terakhir, ‘Utsman RA berposisi sebagai ‘khalifah bayangan’, dengan mendelegasikan wewenang kepada Marwan. Marwan inilah yang memicu masuknya keluarga Umayyah ke dalam pos-pos strategis pemerintahan yang akhirnya membuat banyak umat muslim berontak. Puncaknya adalah pembunuhan ‘Utsman RA oleh sesama muslim. Khalifah pertama yang dibunuh oleh orang muslim.

Masa Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib RA (656-661 M atau 6 tahun pemerintahan).  ‘Ali ibn Abi Thalib RA menghadapi krisis politik yang luar biasa parah. Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah puncak krisis politik tersebut. ‘Ali RA juga memindah ibukota ke Kufah, basis pendukung ‘Ali RA.

D.        MASA KEDINASTIAN

1.            Dinasti Mu’awiyyah Suriah (662-750 M)

Bani Umayyah adalah salah satu keluarga suku Quraisy, keturunan Umayyah ibn Abdul Syams ibn Abdul Manaf, seorang pemimpin Quraisy yang terpandang.

Hasan, putra Ali, yang diangkat oleh sekelompok pengikut Ali yang setia untuk menggantikan Ali, segera mengundurkan diri. Mu’awiyah memang mendesak Hasan untuk mengundurkan diri. Pada tahun 41 H / 661 M, Mu’awiyah bertemu dengan Amr dan Husein (saudara Hasan) di Kufah. Di kota ini, Hasan dan Husein beserta orang banyak membaiat Mu’awiyah menjadi khalifah. Tahun tersebut dinamakan ‘Am al-Jama’ah (Tahun Persatuan), karena umat muslim bersatu kembali dari bahwa pimpinan seorang khalifah. Sejak saat itu, mulai satu fase baru dalam sejarah pemerintahan Islam. Periode Khulafa’ al-Rasyidin berganti dengan Dinasti Umayyah yang berkuasa dari tahun 41-132 H / 661-750 M. Yang menjadi khalifah dalam Dinasti Umayyah berasal dari dua keluarga, yaitu 3 orang dari keluarga Harb dan 11 dari keluarga Abu al-‘Ash. Jadi, khalifah Dinasti Umayyah di Suriah berjumlah 14 orang. 16

Khalifah Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (661 M). Figur yang tidak tergiur dengan politik, sehingga menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyyah. Itulah tahun perdamaian antar dua kubu yang berseteru, sehingga disebut ‘Amul Jama’ah [Tahun Persatuan]

Khalifah Mu’awiyyah (661-680 M). Pertama kalinya penguasa disebut MALIK, sebuah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebut penguasa-penguasa non-Arab. Uniknya, justru Mu’awiyah yang menggaungkan Arabisasi di segala sektor pemerintahan. Mu’awiyah dikenal memiliki sikap al-Hilm, sikap diplomatis yang luar biasa; hanya menggunakan kekerasaan saat benar-benar dibutuhkan. Mu’awiyah juga sukses membina pasukan maritim dengan ‘belajar’ pada Bizantium. Ibu kota dipindah ke Damaskus, karena saat itu Madinah dan Makkah masih dikuasai Ibn al-Zubair.

Khalifah Abdul Malik (685-705 M). Khalifah yang mampu meredam berbagai pemberontakan yang didalangi oleh Syiah dan Khawarij, serta mampu menumbangkan Ibn al-Zubair, ‘khalifah’ Makkah dan Madinah melalui ‘pedang al-Hajjaj bin Yusuf’, mantan kepala sekolah yang menjadi kepala tentara.

Khalifah al-Walid (705-715 M). Khalifah yang mengembangkan Islam hingga ke Afrika utara bagian barat. Memiliki gubernur di Afrika Utara, Musa bin Nushair yang kemudian memerintahkan Tharif untuk ‘membuka jalan’ ke Eropa, lalu dilanjutkan oleh Thariq bin Ziyad yang menandai ‘penaklukan Eropa’. Inilah cikal-bakal Islam di bumi Eropa yang kelak akan dikembangkan oleh ‘satu-satunya’ keturunan Umayyah yang selamat dari pembantaian Abbasiyah, yaitu Abdurrahman al-Dakhil. Al-Dakhil adalah gelar bagi orang asing yang sudah dinilai sebagai keluarga sendiri.

Khalifah Umar ibn ‘Abd al-’Aziz (717-720 M). Salah satu khalifah yang benar-benar memenuhi kriteria ‘Khulafaur Rosyidin’, yaitu pakar politik sekaligus pakar agama. Sumbangsihnya adalah kodifikasi Hadis dengan menunjuk Syihabuddin al-Zuhri –guru Imam Malik– sebagai ketua panitia. Pada masa ini, Abu Hanifah (732 M) mempelopori studi Fiqih, setelah sebelumnya menjadi murid dari Ali Zainal ‘Abidin; dan Ibn Ishaq [732] menulis Sirah Nabawiyyah

Dinasti Umayyah berhasil merombak dua masalah besar yang menunjukkan kemandirian suatu negara. Pertama, mengubah sistem administrasi pemerintahan menjadi bercorak Arab, sehingga tidak lagi membutuhkan pegawai-pegawai asing yang semula dibutuhkan. Kedua, mencetak mata uang sendiri. Pada masa yang agak panjang, umat muslim dalam muamalah sehari-hari menggunakan mata uang Romawi dan Persia. 17

Dengan berkuasanya Mu’awiyah, kekhalifahan berubah menjadi kerajaan (dinasti). Salah satu perbedaan antara kedua sistem ini adalah: khalifah dipilih dari umat muslim yang dipandang paling tepat dan cakap; sedangkan raja mewariskan kekuasaannya kepada anak keturunan dan kaum kerabat, sekalipun mereka tidak cakap (berkompeten). Contoh lain yang menggambarkan kekhalifahan adalah apa yang pernah dikatakan oleh seorang Arab badui kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab RA: “Kalau kami melihat engkau berbuat serong, engkau akan kami luruskan dengan pedang kami”;  sedangkan contoh yang menggambarkan kerajaan adalah apa yang dikatakan oleh Khalifah Abdul Malik ibn Marwan kepada rakyatnya: “Siapa yang berani berkata begini dan begitu, akan kami jawab dengan pedang kami begini!”. 18

2.          Dinasti ‘Abbasiyyah Baghdad

Setelah Umayyah, muncul Dinasti Abbasiyyah yang bertahan lebih dari 5 (lima) abad (750-1258 M); dan pernah mewujudkan zaman keemasan umat muslim. Para sejarawan membagi masa kekuasaan Abbasiyyah menjadi beberapa periode berdasarkan ciri, pola perubahan pemerintahan dan struktur sosial politik maupun tahap perkembangan peradaban yang dicapai. Secara umum mereka berpandangan bahwa kekuasaan Dinasti Abbasiyah dapat dibagi menjadi empat periode. Periode Awal (750-847); Periode Lanjutan (847-946); Periode Buwaihi (945-1055) dan Periode Seljuk (1055-1258). 19

Abu al-Abbas al-Saffah, Khalifah Abbasiyah Pertama. Membantai seluruh keluarga Umayyah. Menerapkan monarki absolut.

Abu Ja’far al-Manshur. Khalifah Abbasiyah Kedua yang disebut-sebut sebagai ‘pendiri Dinasti Abbasiyah yang sesungguhnya’. Memindahkan ibu kota ke ‘kota baru’ yang dibangunnya, lalu diberi nama Baghdad pada tahun 762. Itulah mengapa Baghdad juga disebut dengan istilah “Madinah al-Manshur”.

Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M). Khalifah yang mengawali langkah sebagai khalifah yang membawa Dinasti Abbasiyah menuju puncak kejayaan. Khususnya di bidang IPTEK. Pada periode ini juga, Rabi’ah al-Adawiyah dan Imam Malik wafat.

Khalifah al-Makmun (813-833 M). Khalifah yang mengalahkan perebutan kekhalifahan dengan saudaranya, al-Amin, yang konon dibunuh agar al-Makmun dapat naik menjadi Khalifah. Al-Makmun yang terpesona dengan paham Mu’tazilah, menjadikan Mu’tazilah sebagai paham resmi negara. Salah satu efek besarnya adalah muncul Mihnah, yaitu al-Qur’an adalah makhluk. Siapapun yang tidak setuju dengan paham al-Qur’an sebagai makhluk, pasti akan dihukum oleh al-Makmun. Sungguh ironi besar, paham yang dinilai sangat ‘mendewakan’ akal, justru mengekang akal!

Pada masa Seljuk (1065-1067 M), berdirilah Madrasah Nizhamiyyah, mengacu pada nama wazirnya, Nizhamul Mulk. Al-Juwaini [Imam Haramain, guru al-Ghazali] adalah ‘rektor pertama Nizhamiyah’, yang kemudian dilanjutkan oleh al-Ghazali.

3.          Dinasti Mu’awiyyah Andalusia (Spanyol)

Penaklukan Spanyol

Spanyol diduduki umat muslim pada masa Khalifah al-Walid (705-715 M) dari Dinasti Umayyah. Sebelum penaklukan Spanyol, umat muslim menguasai Afrika Utara sepenuhnya pada masa Khalifah Abdul Malik (685-705 M). Pada masa al-Walid, gubernur Afrika Utara adalah Musa ibn Nushair. Musa memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Maroko. Afrika Utara merupakan batu loncatan bagi umat muslim dalam penaklukan wilayah Spanyol. Dalam proses penaklukan Spanyol, terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad dan Musa ibn Nushair. 20

Pengintaian pertama dilakukan pada bulan Juli 710 M ketika Tharif mendarat di semenanjung kecil –membawa balatentara berkekuatan 100 pasukan kavaleri (berkuda) dan 400 pasukan infanteri (berjalan kaki)–. Saat ini, semenanjung itu disebut Tarifa atau Jazirah Tharif. Terdorong oleh keberhasilan Tharif dan melihat adanya konflik penguasa di kerajaan Spanyol Gothik Barat, Musa mengutus seorang budak Berber yang sudah dibebaskan, Tharib ibn Ziyad, pada tahun 711 M ke Spanyol memimpin 7.000 pasukan. Thariq mendarat di dekat gunung batu besar yang kelak mengabadikan namanya, Jabal Thariq (Gibraltar). Dengan kekuatan tambahan, Thariq mengepalai 12.000 pasukan, pada 19 Juli 711 M, untuk mengalahkan pasukan Gothik Barat yang berjumlah 25.000 orang di bawah pimpinan Raja Roderick. 21 

Pasca kemenangan gemilang terhadap pasukan Raja Roderick, Thariq dan pasukannya terus menaklukkan kota-kota penting seperti Cordova, Granada dan Toledo. Inilah alasan mengapa Thariq lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol, yaitu memperoleh hasil yang lebih nyata. 22

Kemenangan yang dicapai oleh Thariq membuka jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa ibn Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran untuk membantu perjuangan Thariq. Pada tahun 712 M, Musa bersama 10.000 tentara bergerak menuju Spanyol. Akhirnya Musa berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothik, Theodomir di Orihuela. Musa bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai kota penting di Spanyol, termasuk bagian utara, mulai dari Saragossa hingga Navarre. 23

Spanyol kemudian menjadi salah satu provinsi kerajaan Islam. Nama Arab yang disandangnya adalah al-Andalus yang secara etimologiss terkait dengan nama orang-orang Vandal yang telah menduduki dataran ini sebelum umat muslim. Dalam waktu singkat, kurang lebih 7 (tujuh) tahun, penaklukan Spanyol sepenuhnya rampung. 24

Emirat Umayyah di Spanyol

Tahun 750 M, Bani Abbasiyyah meraih tampuk kekuasaan dengan ditandai pembantaian massal terhadap anggota keluarga Umayyah. Meskipun demikian, ada segelintir orang yang luput dari pembantaian, salah satunya adalah Abdurrahman ibn al-Mu’awiyah, cucu Hisyam, khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah Damaskus. Saat itu, Abdurrahman masih berusia 20 tahun dan selama lima tahun menyamar dalam pengembaraan melewati Palestina, Mesir, Afrika Utara hingga akhirnya sampai di Ceuta (Spanyol). Bekerjasama dengan orang-orang Suriah, Abdurrahman berhasil menguasai Andalusia setelah menaklukkan Gubernur Yusuf. 25

Di bawah kekuasaan Abdurrahman I yang cukup puas menyandang gelar amir, meskipun sebenarnya memiliki kekuasaan yang independen, Spanyol menjadi provinsi pertama yang menggoyang otoritas Dinasti Abbasiyah yang diakui oleh sebagian besar dunia Islam. Setelah relatif berhasil menciptakan konsolidasi dan ketentraman di tengah masyarakat, Abdurrahman memusatkan perhatiannya pada pengembangan seni dan peradaban. Dua tahun sebelum kematiannya, Abdurrahman membangun kembali Masjid Kondova. Masjid ini kemudian diubah menjadi sebuah katedral Kristen pada saat penaklukan kembali oleh Ferdinand III pada tahun 1236 M dan bertahan hingga sekarang dengan nama populer “La Mezquita” yang berarti masjid. Abdurrahman juga memperhatikan terciptanya kesejahteraan material bagi rakyatnya; menciptakan kesatuan nasional antara orang Arab, Suriah, Berber, Numidia, Spanyol-Arab dan Gothik; serta memprakarsai gerakan intelektual yang membuat Spanyol-Islam dari abad ke-9 sampai ke-11 menjadi salah satu pusat kebudayaan dunia. 26

Dinasti Umayyah yang didirikan oleh Abdurrahman I, yang dijuluki “al-Dakhil”, bertahan selama 2 ¾ abad (756-1031 M). Dinasti ini mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan amir kedelapan, Abdurrahman III (912-961), yang terkuat dan menjadi orang pertama yang menyandang gelar Khalifah Dinasti Umayyah Spanyol pada 929 M. Faktanya, kekuasaan Khalifah Abdurrahman III menjadi puncak epos Arab di semenanjung ini. Lalu mulai kemunduran setelah kematian pejabat berbakat, al-Hajib al-Manshur (1002) yang mungkin merupakan jenderal dan negarawan terbesar di kawasan Spanyol-Arab. Kekhalifahan Spanyol musnah sepenuhnya pada 1031 M. Kemudian dengan jatuhnya Granada pada 1492 M, sisa-sisa akhir kekuasaan muslim lenyap selamanya dari semenanjung ini. 27

4.          Dinasti Fatimiyah Mesir

Dinasti Fatimiyah didirikan di Tunisia tahun 909 M, sebagai tandingan Bani Abbasiyah di Baghdad. Didirikan oleh Sa’id ibn Husayn. Setelah menaklukkan Dinasti Aghlabiyah yang merupakan kubu terakhir kekuatan Islam-Sunni di wilayah Afrika, Sa’id memproklamirkan diri sebagai penguasa dengan julukan “Imam Ubaydullah al-Mahdi” dan mengklaim sebagai keturunan Fatimah melalui al-Husayn. Dinasti yang didirikan ini sering disebut Dinasti al-Ubaydiyah, khususnya oleh mereka yang tidak mempercayainya sebagai keturunan Fatimah. Selanjutnya Ubaydullah (909-934 M) menegakkan pemerintahannya di istana Aghlabiyah. Setelah menaklukkan hampir seluruh wilayah Afrika, dari Maroko hingga perbatasan-perbatasan Mesir, akhirnya pada tahun 920 M, Ubaydullah memindah pusat pemerintahannya ke ibukota baru, al-Mahdiyyah yang didirikan di pesisir Tunisia dan dinamai dengan namanya sendiri. 28

Pada tahun 969, Jawhar al-Shiqilli (orang Sisilia) berhasil menaklukkan ibukota Fusthath; kemudian segera mendirikan markas baru yang diberi nama al-Qahirah (Keagungan). Kota ini, Kairo modern, menjadi pusat kota Dinasti Fatimiyah sejak 973. Setelah mendirikan ibukota baru, tahun 972, Jawhar mendirikan Masjid Agung al-Azhar (Yang Bercahaya), yang kemudian oleh Khalifah al-‘Aziz dikembangkan menjadi universitas besar. 29

Puncak kejayaan Dinasti Fatimiyah adalah pada masa Abu Manshur Nizar al-‘Aziz (975-996 M). Ia adalah khalifah Fatimiyah kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Di bawah kekuasaannya, Dinasti Fatimiyah telah menenggelamkan Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan berhasil menempatkan Dinasti Fatimiyah sebagai negaa Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. 30

Kemunduran Dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan al-‘Aziz. Keruntuhan itu dimulai dengan munculnya kebijakan mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro. Ketidak-patuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku Berber, menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Dinasti Fatimiyah. Adalah para prajurit dan budak-budak yang berasal dari Sircasse dan Turki yang kemudian merebut kekuasaan puncak dari kelurga Fatimiyah, kemudian mendirikan dinasti-dinasti baru. 31

5.           Dinasti Moghul India

Mogul adalah dinasti Islam yang pernah berkuasa di India dari abad ke-16 hingga abad ke-19. Dinasti ini didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur yang merupakan keturunan Timur Lenk, penguasa Islam asal Mongol. Dinasti Mogul berperan besar bagi pengembangan agama Islam di India, mulai dari bidang sastra hingga arsitektur. 32

Dinasti Moghul bukanlah kerajaan Islam pertama di anak benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa Khalifah al-Walid, dari Dinasti Bani Umayyah. Wilayah ini ditaklukkan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim. Kerajaan Moghul dengan Delhi sebagai ibu kota, didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482-1530 M), salah satu dari cucu Timur Lenk. 33

Pada mulanya, Babur hanya mewarisi daerah Ferghana dari orangtuanya. Lalu dia berhasil menaklukkan Samarkand tahun 1494 M dan menduduki Kabul, ibu kota Afghanistan pada 1504 M. Selanjutnya Babur meneruskan ekspansi ke India. Pada tahun 1525 M, Babur berhasil menguasai Punjab dengan ibu kotanya Lahore; kemudian pada 1526 M, Babur berhasil memasuki kota Delhi sebagai pemenang dan menegakkan pemerintahan di sana. Dengan demikian, berdirilah Dinasti Moghul di India. 34

Babur memerintah selama 30 tahun, lalu dilanjutkan oleh putra sulungnya, Humayun (1530-1539 M). Selama masa kekuasaanya selama sembilan tahun, neara tidak pernah aman. Lalu Humayun digantikan oleh anaknya, Akbar, yang berusia 14 tahun. Pada masa Akbar inilah, Dinasti Moghul mencapai masa keemasannya. Akbar berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar dan Asirgah. Wilayah yang sangat luas ini diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik, yaitu sultan sebagai penguasa diktator. Akbar juga menerapkan politik sulakhul  (toleransi universal). Dengan politik ini, semua rakyat India dipandang sama, tanpa memandang etnis dan agama. 35

Kemantapan stabilitas politik pada masa Akbar membawa kemajuan dalam bidang-bidang lain. Dalam bidang ekonomi, Dinasti Moghul dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan dan perdagangan. Akan tetapi, sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Hasil pertanian Dinasti Moghul yang terpenting adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nilai dan bahan-bahan celupan. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu juga diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia dan Asia Tenggara, bersamaan dengan hasil kerajinan seperti pakaian tenun dan kain tipis yang banyak diproduksi di Gujarat dan Bengal. 36

6.          Dinasti Safawi Persia

Safawi, kerajaan yang didirikan Syah Isma’il (907 H / 1501 M), dinisbatkan kepada Tareka Safawiyah yang didirikan oleh Syekh Safiuddin Ishaq (650-735 H / 1252-1334 M) di Ardabil pada 1300-an. Dalam perkembangan-nya, Tareka Safawiyah cenderung beralih dari lembaga tasawuf menjadi aliran agama yang cenderung kepada geraka politik dan kekuasaan. Setelah berkuasa selama lebih dari 2 (dua) abad, Dinasti Safawi semakin melemah. Wilayah propinsi yang demikian luas menimbulkan proses pelemahan sistem pertahanan militer. Akhirnya pasukan Afghan menguasai Dinasti Syafawi pada 1722 M. 37

Dinasti Safawi menyatakan Syi’ah sebagai mazhab negara. Karena itu, Dinasti Safawi dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini. Sebenarnya, Dinasti Safawi berasal dari sebuah gerakan Tarekat Safawiyah yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Pendirinya adalah Safi al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi ini terus dipertahankan hingga tarekat ini menjadi gerakan politik, bahkan hingga menjadi Dinasti. 38

Safi al-Din adalah keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa al-Kazhim. Safi al-Din mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 H. Setelah berkembang menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia; para murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah. Kencenderungan memasuki dunia politik dapat terwujud pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Kemudian Juneid terbunuh dalam pertempuran untuk merebut Sircassia (1460) melawan tentara Sirwan. Setelah itu gerakan Safawi diserahkan kepada putranya, Haidar. Dari perkawinan Haidar dan putri Uzun Hasan, lahirlah Isma’il yang di kemudian hari menjadi pendiri Dinasti Safawi di Persia. 39

Di bawah pimpinan Isma’il, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash (baret merah) menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Sharur, dekat Nakhchivan. Pasukan itu akhirnya berhasil menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu. Di kota inilah Isma’il (disebut juga Isma’il I) memproklamirkan diri sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Isma’il I selama 23 tahun (1501-1524 M). Pada sepuluh tahun pertama, Isma’il berhasil memperluas kekuasaannya hingga ke Baghdad, Sirwan dan Khurasan. Hanya dalam waktu sepuluh tahun saja, wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent). 40

Selanjutnya Isma’il I menghadapi musuh yang sangat kuat sekaligus sangat membenci golongan Syi’ah, yaitu Turki Utsmani. Akhirnya terjadi peperangan dengan Turki Utsmani pada 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz. Dalam peperangan ini Isma’il I mengalami kekalahan. Peperangan dengan Turki Utsmani ini berlanjut pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Isma’il II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M). Pada masa tiga raja ini, Dinasti Safawi dalam keadaan lemah. Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah raja kelima, Abbas I, naik tahta. Dia memerintah dari tahun 1588-1628 M. Abbas I mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian itu, Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia dan sebagian wilayah Luristan. Di samping itu, Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar dan Utsman) dalam khutbah-khutbah Jum’at. 41

Setelah berhasil membuat Dinasti Safawi kuat kembali, Abbas I berusaha merebut kembali wilayah kekuasaannya yang hilang. Setelah menaklukkan Herat, Marw dan Balkh, Abbas I mengerahkan serangannya ke wilayah kekuasaan Turki Utsmani. Pada tahun 1602 M, Abbas I berhasil menguasai Tabriz, Sirwan dan Baghdad. Selanjutnya pada tahun 1622 M, Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas. Masa Abbas I merupakan puncak kejayaan Dinasti Safawi. Buktinya adalah Abbas I berhasil menciptakan stabilitas politik dan memacu perkembangan ekonomi. Dengan dikuasainya Bandar Abbas, maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis, sepenuhnya menjadi milik Dinasti Safawi. Selain itu, Dinasti Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian, terutama di daerah Bulan Sabit Subur. 42

7.           Dinasti ‘Utsmani Turki

Utsmani adalah sebuah kesultanan yang berpusat di Istanbul, Turki, salah satu dari tiga dinasti besar Islam pada waktu itu, di samping Safawi dan Mogul. Utsmani menjadi negara adikuasa setelah menaklukkan Bizantium (1453 M), yang penting terutama untuk mengembangkan wilayah Islam. Dinasti Utsmani berkuasa lebih dari 6 (enam) abad. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian Asia, Afrika dan Eropa. Puncak kejayaan Utsmani berlangsung pada masa pemerintahan Sulaiman I (1520-1566). Setelah itu, Utsmani semakin lemah karena pemberontakan internal dan kalah perang melawan bangsa Eropa. Dinasti Utsmani akhirnya diganti dengan Republik Turki. 43

Pendiri Dinasti Utsmani adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu tiga abad, mereka pindah ke Turkistan, kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di dataran tinggi Asia Kecil, di bawah pimpinan Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin memberi hadiah sebidah tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu, mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota. 44

Ertoghrul wafat pada 1289 M. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Utsman. Dialah yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Utsmani. Utsman memerintah antara tahun 1290 dan 1326 M. Utsman banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Utsman pun akhirnya menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang diduduki. Sejak itulah, Dinasti Utsmani dinyatakan berdiri dengan penguasa utamanya Utsman yang dikenal dengan Utsman I. 45

Utsman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Utsman (raja besar keluarga Utsman) tahun 1300 M. Dia pun memperluas wilayahnya dengan menaklukkan kota Broessa pada tahun 1317 M dan dijadikan ibu kota pada tahun 1326 M. Pada masa pemerintahan Orkhan (1326-1359 M), Dinasti Utsmani berhasil menaklukkan Azmir, Thawasyanli, Uskandar, Ankara dan Gallipoli. Daerah ini adalah bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki Dinasti Utsmani. Pengganti Orkhan, Murad I (1359-1389 M), melakukan perluasan ke Benua Eropa. Ia dapat menaklukkan Andrianopel –yang kemudian dijadikan sebagai ibu kota baru–, Macedonia, Sopia, Salonia dan seluruh wilayah bagian utara Yunani. Merasa cemas dengan ekspansi Dinasti Utsmani ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur  dengan dipimpin Sijisman, Raja Hongaria. Namun, Sultan Bayazid I (1389-1403), pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan sekutu Kristen Eropa dengan kemenangan gemilang. Selanjutnya ketika ekspansi diarahkan ke Konstantinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara pada 1402 M. Tentara Utsmani mengalami kekalahan; Bayazid bersama putranya, Musa, tertawan dan wafat dalam tawanan pada 1403 M. Kekalahan di Ankara ini membuat penguasa-penguasa Seljuk di Asia Kecil melepaskan diri dari Dinasti Utsmani. Pada saat itu pula, putra-putra Bayazid saling berebut kekuasaan. 46

Suasana buruk berakhir setelah Sultan Muhammad I (1403-1421 M) dapat mengatasinya. Setelah Timur Lenk meninggal dunia pada 1405 M dan kerajaan Mongol terpecah-belah, maka Dinasti Utsmani memanfaatkannya dengan melepaskan diri dari kekuasaan Mongol. Selanjutnya usaha pertama Sultan Muhammad I adalah mengadakan perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam negeri. Lalu dilanjutkan oleh Murad II (1421-1451 M) hingga Dinasti Utsmani mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Muhammad II atau Muhammad Al-Fatih (1451-1484 M). 47

Muhammad Al-Fatih dapat mengalahkan Bizantium dan menaklukkan Konstantinopel pada 1453 M. Dengan terbukanya Konstantinopel sebagai benteng pertahanan terkuat Bizantium, lebih mudahlah arus ekspansi ke Benua Eropa. Akan tetapi, ketika Sultan Salim I (1512-1520 M) naik tahta, ia mengalihkan perhatian ke timur dengan menaklukkan Persia, Syiria dan Mamalik di Mesir. Lalu dikembangkan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566 M). Sulaiman al-Qanuni berhasil merebut Irak, Belgrado, Pulau Rhodes, Tunis, Budapes dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Dinasti Utsmani pada masa Sultan Sulaiman al-Qanuni mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syiria, Hijaz dan Yaman di Asia; Mesir, Libya, Tunis dan Aljazair di Afrika; Bulgaria, Yunani, Yugoslaviam Albania, Hongaria dan Rumania di Eropa. Setelah Sultan Sulaiman wafat, terjadilah perebutan kekuasaan antar putra-putranya, yang menyebabkan Dinasti Utsmani mundur. Akan tetapi, untuk masa beberapa abad masih dipandang sebagai negara kuat, terutama dalam bidang militer. Dinasti Utsmani masih bertahan lima abad setelah itu. 48

8.          Era Penjajahan

Hubungan antara Islam dan Barat telah menjadi bagian dari proses sejarah Islam. Hubungan itu terkadang berlangsung dalam suasana damai, seperti dalam dunia ilmu pengetahuan, terkadang pula menampilkan banyak konflik. Para sejarawah sering mengemukakan adanya kesinambungan dan perubahan dalam kedatangan Barat ke dunia Islam, baik pada Zaman Pertengahan maupun Zaman Modern. 49

E.         MASA KEBANGKITAN

Gerakan kebangkitan kembali Islam paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran “asing” yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam, padahal ajaran-ajaran tersebut bertentangan sengan semangat ajaran Islam. Menurut mereka, inilah yang membawa Islam menjadi mundur. Kedua, Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka, sehingga mereka berusaha bangkit untuk menciptakan balance of power.50 

Dengan kata lain, usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat. 51

Gerakan pembaruan Islam juga memasuki dunia politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah, lalu disuarakan dengan lantang oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Al-Afghani dinilai sebagai orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh sebab itu, al-Afghani berusaha memperingatkan umat muslim serta membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri Islam, sehingga al-Afghani dikenal sebagai Bapak Nasionalisme dalam Islam. 52

Penguasa baru Turki, Mustafa Kemal, mendukung penuh gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan kepada bangsa dan negara. Kemudian gagasan nasionalisme masuk ke negeri-negeri muslim melalui persentuhan umat muslim dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Barat atau lembaga-lembaga pendidikan “Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan nasionalisme yang semula banyak mendapat tantangan dari para pemuka agama Islam karena dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwwah Islamiyyah, namun akhirnya ia berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup. 53

Gerakan nasionalisme menyebar ke berbagai negara Arab, sehingga muncul gerakan nasionalisme Arab yang terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikian ini terjadi di Mesir, Syiria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrain dan Kuwait. Semangat persatuan Arab ini semakin diperkuat oleh usaha Barat untuk mendirikan negara Yahudi (Israel) di tengah-tengah negara yang dihuni mayoritas Arab. Pada tanggal 12 Maret 1945, mereka berhasil mendirikan Liga Arab. Di India, gagasan Pan-Islamisme didukung oleh Syed Amir Ali (1848-1928); gerakan nasionalisme diwaliki oleh Partai Kongres Nasional India; sedangkan gerakan Islamisme disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres India. Sebenarnya, benih-benih gagasan Islamisme sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri, yang dilontarkan oleh Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), lalu mengkristal pada masa Iqbal (1876-1938) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948). Di Indonesia, partai politik besar yang menentang penjajahan adalah Sarekat Islam (SI) yang didirikan tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. SI merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan H. Samanhudi tahun 1911. Kesimpulannya, gagasan-gagasan nasionalisme dan gerakan-gerakan untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajah Barat telah bangkit di berbagai negara Islam. 54

Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat muslim dalam mewujudkan negara merdeka. Faktanya, partai-partai itulah yang berjuang memerdekakan negara melalui beberapa kegiatan, antara lain: Pertama, gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata. Kedua, pendidikan serta propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat untuk menyambut dan mengisi kemerdekaan. 55

Negara mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamirkan kemerdekaannya adalah Indonesia. Negara kedua adalah Pakistan yang merdeka dari Inggris pada 15 Agustus 1947 dengan presiden pertama, Muhammad Ali Jinnah. Mesir resmi memperoleh kemerdekaan dari Inggris tahun 1922. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Raja Faruk, pengaruh Inggris masih besar, sehingga Mesir merasa benar-benar merdeka setelah menggulingkan Raja Faruk pada 23 Juli 1952. Demikian halnya, secara formal Irak merdeka tahun 1932; namun rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka tahun 1958. Sebelum itu, Syiria, Jordania dan Sudan merdeka tahun 1946. Lybia merdeka tahun 1951; Sudan dan Maroko tahun 1956; Aljazair tahun 1962. Semuanya merdeka dari Perancis. Pada waktu hampir bersamaan, Yaman dan Emirat Arab memperoleh kemerdekaan pula. Malaysia yang waktu itu masih mencakup Singapura, merdeka dari Inggris tahun 1957 dan Brunai Darussalam merdeka tahun 1984. Ada pula beberapa negara yang baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti negara-negara Islam yang dulunya bersatu dalam Uni Soviet, seperti Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan dan Azerbaijan pada tahun 1992; sedangkan Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia tahun 1992. Jadi, satu per satu negara-negara Islam memerdekakan diri dari penjajahan. Meskipun demikian, hingga saat ini masih ada penduduk minoritas muslim yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, seperti Moro di Filipina dan Kasymir di India. 56

CATATAN KAKI

1 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW: Dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 29.

2 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 32-33.

3 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 36-40.

4 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 43-44.

5 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 45-46.

6 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 48.

7 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 82-83.

8 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 83.

9 MannaÊ» al-Qaththan, Tarikh  al-TasyriÊ» al-Islami, h. 27.

10 Keyakinan Zoroaster ini semakin menjadi-jadi ketika muncul pembaharu mereka yang bernama Mazdak. Mazdak meyakini bahwa perang lebih banyak disebabkan oleh faktor harta dan wanita; oleh karena itu, ‘ajaran’ Mazdak menilai bahwa umat manusia harus berbagi harta dan wanita satu sama lain (Ibid., h. 27-28).

11 Ibid., h. 28.

12 Ibid., h. 29-30.

13 ‘Abd ‘al-‘Azhim Syarf al-Din, Tarikh al-TasyriÊ» al-Islami  (Kairo: al-‘Arabi, 1985), 41-48.

14 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah [Jilid 2] (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 7.

15 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah [Jilid 2], h. 35.

16 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah [Jilid 2], h. 63-65.

17 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Penerjemah oleh Abu Laila dan Mohammad Tohir) (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 99.

18 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, h. 99-100.

19 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah [Jilid 2], h. 81.

20 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 87-88.

21 Philip K. Hitti, History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam (Penerjemah oleh Cecep dan Dedi) (Jakarta: Serambi, 2013), h. 627-628.

22 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 89-90.

23 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 145. Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 630-631.

24 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 633.

25 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 642-644.

26 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 646-647.

27 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 647-648.

28 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 787-789.

29 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 790.

30 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 791.

31 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 792.

32 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah [Jilid 2], h. 281.

33 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 145.

34 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 147.

35 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 148-149.

36 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 150.

37 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah [Jilid 2], h. 263.

38 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 138.

39 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 138-140.

40 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 141.

41 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 142-143.

42 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 143-144.

43 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah [Jilid 2], h. 231.

44 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 129-130.

45 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 130.

46 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 131.

47 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 131-132.

48 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 132-133.

49 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah [Jilid 2], h. 303.

50 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 173-174.

51 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 184.

52 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 185.

53 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 185-186.

54 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 186-187.

55 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 187-188.

56 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 188-189.