Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tadabur al-Qur'an Melalui Munasabah


Rosidin
http://www.dialogilmu.com

Di antara bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah munasabah, yaitu sebuah keserasian isi al-Qur’an antara satu ayat dengan ayat lain atau antara satu surat dengan surat lain. Lebih dari itu, al-Qur’an sarat dengan hikmah-hikmah yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan satu ayat, bahkan potongan ayat pun mengandung suatu hikmah. Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk membahas ayat-ayat al-Qur’an yang kiranya dapat dijadikan sebagai kata-kata hikmah yang bermanfaat sebagai pedoman hidup. Daripada sibuk mencari kata mutiara dari sana-sini untuk memotivasi hidup, jauh lebih baik jika memanfaatkan ayat-ayat al-Qur’an sebagai kata mutiara pemandu kehidupan.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) (Q.S. al-Tin [95]: 4-5).

Q.S. al-Tin [95]: 4-5 menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang istimewa. Allah SWT membekali fisik, panca indera, akal dan hati. Apabila manusia dapat memanfaatkannya dengan baik, niscaya dia dapat meraih status sebagai hamba Allah yang terbaik (Ahsan Taqwim). Sebaliknya, apabila manusia menyia-nyiakan keempat potensi tersebut, bisa jadi dia terjerumus ke dalam jurang keterpurukan (Asfal al-Safilin).

Lalu apa yang seharusnya dilakukan manusia? kiranya Q.S. al-‘Alaq [96]: 1 dapat dijadikan pedoman:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1).

Ayat ini memerintahkan umat manusia agar membaca. Tentu ironis sekali jika seorang muslim sering mengaku percaya al-Qur’an, namun jarang membaca. Sejarah telah membuktikan bahwa generasi yang rajin membaca diangkat derajatnya oleh Allah SWT, entah berstatus muslim maupun non muslim. Era Kenabian, Khulafaur Rosyidin hingga Dinasti Utsmaniyyah telah mencatat generasi umat muslim yang sukses mendominasi dunia melalui aktivitas membaca. Contoh terkini adalah Finlandia yang mayoritas warga negaranya non muslim, dinobatkan sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Ternyata, di Finlandia ada kebijakan bahwa untuk tiap bayi yang lahir, maka keluarganya diberi tiga buku bacaan yang diperuntukkan bagi ibu, ayah, dan bayi itu sendiri. Alasannya, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah tahap belajar pertama dan paling kritis dalam belajar sepanjang hayat. Sebesar 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia balita dan 85% jalur-jalur otak berkembang sebelum anak masuk SD (7 tahun). Oleh sebab itu, keluarga di Indonesia patut kiranya untuk mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tua di Finlandia tersebut.

Lalu apa bahan bacaan yang paling utama untuk dibaca? Q.S. al-Qadar [97]: 1 seolah memberi jawaban atas pertanyaan ini
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadar (Q.S. al-Qadar [97]: 1).

Jadi, al-Qur’an merupakan bahan bacaan paling utama bagi umat muslim. Dalam Musnad Abi Ya’la diriwayatkan bahwa Sayyida ‘Ali RA meriwayatkan Hadis:
Sesungguhnya tidak ada yang menghalangi Rasulullah SAW untuk membaca al-Qur’an, selain keadaan junub (hadas besar).

Dari sinilah orang muslim patut menggaungkan kembali semangat membaca al-Qur’an di kalangan umat muslim, sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah SAW.

Sudah jelas bahwa membaca al-Qur’an bermakna luas, mulai dari membaca ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan ilmu Tajwid, memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan ilmu tafsir hingga mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kemampuan. Di antara amaliah al-Qur’an yang paling penting untuk dipraktikkan sepanjang hayat adalah:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (Q.S. al-Bayyinah [98]: 5).

Q.S. al-Bayyinah [98]: 5 menomor-satukan ikhlas dalam setiap ibadah. Sedangkan ibadah yang paling utama menurut ayat tersebut adalah shalat dan zakat. Keduanya melambangkan dua jenis ibadah dalam Islam, yaitu shalat sebagai contoh ibadah yang bernuansa hablum-minallah (hubungan manusia dengan Allah SWT) dan zakat sebagai contoh ibadah yang bernuansa hablum-minannas (hubungan manusia dengan manusia).

Di samping shalat dan zakat, Islam menganjurkan aneka-ragam amal shalih. Itulah mengapa al-Qur’an sering sekali menggunakan redaksi jamak ketika menyinggung amal shalih. Artinya, amal shalih itu banyak macamnya. Yang paling penting adalah umat muslim rajin beramal shalih setiap hari, walaupun terkesan sepele, seperti isi kandungan Q.S. al-Zalzalah [99]: 7
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7).

Setiap muslim seyogianya mencermati sabda Rasulullah SAW yang melarang umat muslim untuk meremehkan kebaikan, walau sekedar menampilkan mimik muka berseri-seri ketika bertemu rekan, memberikan sebagian air kepada orang yang membutuhkan, memberikan sedikit masakan kepada tetangga, memberi shadaqah walau seutas tali, menyingkirkan batu di jalanan yang membahayakan orang yang lewat hingga membuat binatang-binatang kecil merasa aman dari gangguan kita.

Problemnya adalah manusia memiliki watak bahwa sesuatu itu baru dinilai baik apabila dapat mendatangkan keuntungan materiil atau finansial. Itulah yang disinyalir oleh Q.S. al-‘Adiyat [100]: 8
Dan sesungguhnya dia (manusia itu) sangat bakhil karena cintanya kepada harta (Q.S. al-‘Adiyat [100]: 8).

Begitu cintanya manusia terhadap harta benda, sampai-sampai manusia menilai bahwa harta benda adalah kebaikan (al-khair). Pemahaman ini kemudian berkembang lebih jauh menjadi paham materialis yang mengukur kebaikan dari segi material. Di masyarakat pun masih menjamur pandangan bahwa tolok ukur kesuksesan seseorang adalah jumlah hartanya. Ketika ada seseorang yang rajin shalat, pandai membaca al-Qur’an, memiliki keluarga yang harmonis, namun terkungkung dalam kemiskinan, maka akan dicap gagal oleh masyarakat. Oleh sebab itu, agar seorang muslim tidak terjangkiti pandangan seperti itu, patut kiranya untuk merenungkan Hadis Shahih Bukhari berikut:

Ada seorang laki-laki lewat di depan Rasulullah SAW, lalu beliau bertanya [kepada para Sahabat]: “Apa pendapat kalian tentang orang ini?”. Mereka menjawab: “Jika dia melamar seorang wanita, maka akan diterima lamarannya; jika dia ikut campur tangan dengan urusan orang lain, maka campur tangannya akan diterima; dan jika dia berbicara, maka dia akan didengarkan”. Rasulullah SAW diam, kemudian ada seorang laki-laki dari kalangan umat muslim yang miskin lewat di depan beliau, lalu beliau bertanya [kepada para Sahabat]: “Apa pendapat kalian tentang orang ini?”. Mereka menjawab: “Jika dia melamar seorang wanita, maka tidak akan diterima lamarannya; jika dia ikut campur tangan dengan urusan orang lain, maka campur tangannya tidak akan diterima; dan jika dia berbicara, maka tidak akan didengarkan”. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Orang miskin ini lebih baik daripada bumi ini dipenuhi dengan orang kaya yang sebelumnya”. Dalam kisah ini, tolok ukur yang digunakan para Sahabat adalah standar material (kondisi fisik), sedangkan tolok ukur yang diterapkan oleh Rasulullah SAW adalah standar keimanan (kondisi psikis). Orang kedua, dalam hal keimanan, adalah lebih baik daripada jutaan manusia yang level keimanannya seperti orang pertama. Hadis ini selaras benar dengan Q.S. al-Qari’ah [101]: 6-7
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)-nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (Q.S. al-Qari’ah [101]: 6-7).

Sayyid Thanthawi menafsiri ayat ini sebagai berikut: “Barangsiapa timbangan kebaikannya lebih berat dan amal shalihnya lebih unggul daripada amal buruknya, maka dia berada dalam kehidupan yang diridhai, karena merupakan kehidupan yang mulia. Kendati ayat ini berbicara dalam konteks kehidupan surga di akhirat, namun dapat pula ditakwili bahwa orang yang amal shalihnya lebih berbobot dibandingkan amal buruknya, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sangat harmonis di dunia. Apalagi jika mempertimbangkan isi kandungan Q.S. al-Nahl [16]: 97
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya, kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka, dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (Q.S. al-Nahl [16]: 97).

Meskipun hati ingin beramal shalih, namun kerap kali nasfu membelokkannya menjadi amal buruk. Memang dalam bahasa al-Qur’an, amal shalih diilustrasikan dengan pendakian (‘aqabah), sehingga membutuhkan usaha ekstra agar dapat beramal shalih. Sebaliknya, amal buruk diilustrasikan dengan kejatuhan, sehingga melakukannya tidak membutuhkan banyak energi. Ilustrasi ini mirip dengan riwayat al-Thabarani yang menukil perkataan Ibn Mas’ud RA yang disebut-sebut juga sebagai sabda Nabi SAW:
Sesungguhnya surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disenangi (syahwat), dan sesungguhya neraka dikelilingi oleh( hal-hal yang disenangi) syahwat.

Di antara penghalang utama bagi orang muslim untuk beramal shalih adalah kompetisi duniawi yang tiada berakhir hingga ajal menimpa, seperti yang diisyaratkan oleh Q.S. al-Takatsur [102]: 1-2
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur (Q.S. al-Takatsur [102]: 1-2).

Sebelum menjadi janin, jutaan air mani sudah berkompetisi untuk mendapatkan satu sel telur wanita. Lalu janin berkompetisi untuk mendapatkan makanan dengan ibunya sendiri yang mengandung. Bayi berkompetisi dengan orang di sekitarnya untuk mendapatkan perhatian ibu dan ayahnya. Anak yang bersekolah berkompetisi dengan temannya dalam aneka permainan anak-anak. Usia remaja banyak dihabiskan berkompetisi mendapatkan ranking terbaik di kelas. Usia dewasa awal disesaki dengan kompetisi mendapatkan pasangan untuk dijadikan sebagai suami atau istri. Status sebagai suami atau istri meniscayakan kompetisi untuk mencari kerja. Demikian seterusnya dan baru berakhir ketika ajal menjemput.

Solusi yang dapat diterapkan dalam menghadapi dilema kompetisi duniawi ini adalah kandungan Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3).

Ayat di atas memberikan solusi bagaimana agar orang muslim menjalani hidup dengan waktu yang berkualitas. Paling tidak, ada empat amalan yang perlu laksanakan secara istiqamah oleh setiap orang muslim: 1) Iman; 2) Amal saleh; 3) Saling berpesan akan kebenaran; 4) Saling berpesan akan kesabaran.

Untuk itu, sikap sabar sangat dibutuhkan, misalnya ketika menghadapi cercaan orang lain, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Baik cercaan tersebut dilakukan dengan menggunakan perkataan maupun perbuatan. Namun, satu hal yang layak digaris-bawahi adalah orang-orang yang mencerca dan mencemooh orang-orang yang beriman dan beramal shalih adalah mereka yang memiliki kecintaan dunia yang begitu lekat-dalam, seolah-olah cintanya kepada dunia sudah begitu memfosil. Perhatikan Q.S. al-Humazah [104]: 1-3 berikut ini:
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya (Q.S. al-Humazah [104]: 1-3).

Akal dan hatinya sudah “terbakar oleh api cinta dunia”, sehingga orientasi akal dan hatinya adalah harta, harta dan harta. Makna inilah yang tersirat dalam Q.S. al-Humazah [104]: 6-7
 (Yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan. Yang (membakar) sampai ke “fuad-fuad”.

Kata af’idah adalah bentuk jamak dari kata fu’ad. Kata ini tidak menunjuk pada suatu organ seperti otak maupun jantung, melainkan menunjuk pada fungsi organ, terutama fungsi akal dan hati. Apabila fungsi af’idah ini kacau-balau, maka sistem diri manusia ikut rusak. Layaknya komputer, jika prosesornya sudah terkena virus ganas, niscaya sistem komputer tersebut akan rusak. Dalam konteks manusia, apabila fungsi af’idah ini berjalan baik, niscaya sistem manusia juga baik, sehingga mengantarkan dia meraih status hamba Allah yang terbaik (Ahsan Taqwim). Namun apabila fungsi af’idah rusak, niscaya sistem manusia juga rusak, sehingga menjerumuskannya ke jurang kenistaan (Asfal al-Safilin).

Demikianlah contoh tadabur al-Qur’an berdasarkan munasabah al-Qur’an sebatas pemahaman penulis. Pembacaan di atas hanya salah satu lapisan makna al-Qur’an yang sangat kaya, sehingga masih membuka ruang penafsiran yang luas-lagi-dalam bagi para pembaca yang berkenan untuk berlama-lama mentadaburi al-Qur’an. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Singosari, 4 Oktober 2017