Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ahlussunnah wal Jama'ah al-Nahdliyyah (Sunni Asy'ariyyah dan Maturidiyyah)


Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com

Sunni
Asy'ariyyah sebagai Ahlussunnah Wal Jama'ah

Secara historis, awal mula kemunculan Sunni dapat dilacak pada saat terjadinya huru-hara politik yang memporak-porandakan persatuan umat Islam. Reaksi umat Islam terhadap kondisi ini melahirkan banyak partai politik (al-hizb, firqah). Masing-masing firqah mengesahkan eksistensinya sendiri-sendiri dengan merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah. Dari sinilah, persoalan politik melebar ke wilayah aqidah (teologi). Akhirnya muncul firqah Khawarij, Syi’ah, Jabbariyah, Qadariyah hingga Murji’ah.

Di tengah-tengah kemelut ‘perang urat saraf’ antara berbagai firqah tersebut, muncullah pemikiran sebagian generasi tabi’in yang membawa pendapat-pendapat sejuk, moderat, tawazun (seimbang) dan i’tidal (lurus). Gerakan yang bersifat kultural ini dipelopori oleh Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H). Komunitas inilah yang kelak disebut dengan paham Ahlussunnah (Sunni). Pemikiran ini dikembangkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H), Abu al-Manshur al-Maturidi (w. 332 H), Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), dan sebagainya. 

Selanjutnya Sunni terbagi menjadi dua sub-aliran utama, yaitu Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Berikut ini penjelasan lebih detailnya:

Asy’ariyyah

Pendirinya adalah Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar al-Asy’ari. Lahir di Bashrah tahun 260 H/875 M, bertepatan dengan tahun wafatnya filosof muslim, al-Kindi. Silsilah keluarganya sampai kepada salah seorang shahabat terkemuka, Abu Musa al-Asy’ari Beliau wafat di Baghdad pada tahun 324 H/939 M.
Al-Asy’ari sejak dini bersua dengan aliran Mu’tazilah dan belajar madzhab Mu’tazilah kepada al-Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah. Al-Asy’ari mempelajari madzhab Mu’tazilah hingga mencapai reputasi cemerlang sebagai da’i dan sering menggantikan al-Jubba’i dalam aneka perdebatan dan diskusi; bahkan al-Asy’ari telah menyusun banyak karya dalam memperjuangkan madzhab Mu’tazilah hingga dia mencapai usia 40 tahun.

Setelah itu dia mengasingkan diri dari masyarakat dan berdiam diri di rumahnya selama 15 hari; lalu dia keluar ke masjid jami’ di Bashrah pada hari jum’at. Kemudian al-Asy’ari menyeru di hadapan masyarakat bahwa dia telah keluar dari Mu’tazilah.

KH. Muhammad Tholhah Hasan menyebut tiga alasan yang melatar-belakangi keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah.

Pertama, Ketidak-puasan al-Asy’ari terhadap pola pikir dan metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar (akal), tanpa dukungan wahyu (nash).

Kedua, Terjadinya tragedi “mihnah” (ujian keyakinan) yang dilakukan para pejabat pemerintahan atas dukungan elite Mu’tazilah, terutama pada masa Khalifah al-Ma’mun (198-218 H), al-Mu’tashim (218-228 H) dan al-Watsiq (228-233 H) yang melakukan pemaksaan paham Mu’tazilah kepada umat Islam, terutama tokoh-tokoh dan ulama berpengaruh. Isu yang menjadi topik “mihnah” ketika itu adalah tentang “al-Qur’an sebagai makhluk, bukan Kalamullah yang qadim”.

Salah seorang korbannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Sikap penguasa ‘Abbasiyah ini dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai “cacat politis, cacat teologis dan cacat moral”, sehingga menurunkan simpati masyarakat dan kepercayaannya kepada pemerintah.

Ketiga, Dalam pengasingan selama 15 hari (ada yang mengatakan 40 hari), al-Asy’ari melakukan perenungan dan istikharah, konon ia mendapatkan isyarat, mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW dan beliau memerintahkan agar al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah dan membela al-Sunnah. 

Al-Asy’ari produktif berkarya hingga Ibn Faurak menghitung ada 90 karya. Namun hanya sedikit yang sampai ke tangan kita, di antaranya: 1) Maqalat al-Islamiyyin wa al-Ikhtilaf al-Mushallin; 2) Risalah fi Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm al-Kalam; 3) Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyaghi wa al-Bida’; 4) Qaul Jumlah Ashhab al-Hadits wa Ahl al-Sunnah fi al-I’tiqad; 5) Risalah Ahl al-Tsaghr (Ushul Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah); 6) al-Ibanah ‘ala Ushul al-Diyanah. Dari karya-karya tulis al-Asy’ari inilah dapat dilacak dasar-dasar pemikirannya.

Pada dasarnya, aliran al-Asy’ariyyah memiliki 7 (tujuh) prinsip / tesis pokok:

Pertama, Allah SWT memiliki sifat yang berada di luar Dzat-Nya dan bukan Dzat-Nya itu sendiri. Oleh karena itu, Allah Maha Mengetahui bukan dengan Dzat-Nya, seperti keyakinan Mu’tazilah, melainkan dengan sifat-Nya.

Kedua, al-Qur’an adalah kalam Allah SWT dan bukan makhluk, dalam arti al-Qur’an itu diciptakan oleh Allah SWT. Karena al-Qur’an adalah kalam Allah SWT, maka ia pasti bersifat qadim (dahulu, tanpa batas).

Ketiga, Allah SWT dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala manusia secara langsung, sebab Allah SWT mempunyai wujud.

Keempat, perbuatan manusia telah diciptakan oleh Allah SWT, meskipun dalam diri manusia juga terdapat potensi atau daya (al-kasb) yang bisa digunakan oleh manusia untuk menggerakkan hati dan tubuhnya dalam berbuat atau berusaha. Namun potensi tersebut bersifat terbatas dan tidak efektif.

Kelima, Allah SWT itu mempunyai mata, tangan, muka, dan lain sebagainya, sebagaimana tertera dalam al-Qur’an [misalnya: QS. al-Rahman: 14 dan 27], akan tetapi tidak dapat diketahui seperti apa bentuknya. Manusia hanya diwajibkan meyakini dan tidak diperintahkan untuk mengetahui hakikat yang sebenarnya.

Keenam, dosa besar yang diperbuat orang mukmin tidak akan membuatnya kufur selama ia masih beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Namun dengan perbuatan dosa itu, ia dikategorikan sebagai orang yang durhaka. Keputusannya diserahkan kepada Allah SWT, apakah ia diampuni atau tidak.

Ketujuh, Allah SWT adalah pencipta seluruh alam raya ini. Karena itu, Allah SWT mempunyai kehendak mutlak untuk melakukan apa saja terhadap ciptaan-Nya. Allah SWT tidak mempunyai keterbatasan kuasa apapun, termasuk dalam soal keadilan seperti yang diyakini kaum Mu’tazilah. Dengan kekuasaan-Nya, Allah SWT bisa saja memasukkan semua orang ke dalam neraka maupun surga.

Ketujuh pemilahan di atas hanyalah konsepsi umum, sementara mengenai perinciannya, menurut al-Asy’ari, semua diserahkan kepada Allah SWT. Artinya, apa yang ditawarkan itu hanya sebatas konsep yang dapat dilakukan manusia, tetapi dalam tataran praktis tidak ada yang tahu kecuali Allah SWT. Oleh karena itu, dalam berbagai tulisannya, banyak sekali konsep teologi al-Asy’ari yang selalu diakhiri dengan kata-kata “بِلاَ كَيْفَ” (tidak perlu ditanya bagaimana caranya). Melalui kata-kata tersebut, sebenarnya al-Asy’ari ingin menegaskan bahwa hakikat pengetahuan tentang Allah SWT sangat abstrak dan tidak dapat dijangkau oleh nalar manusiawi. Karena itu, pertanyaan mengenai kejelasan bagaimana Allah SWT dapat dilihat oleh mata di akhirat kelak, misalnya, menurut al-Asy’ari merupakan pertanyaan yang tidak perlu disampai-kan, apalagi dijawab. Sebab persoalan seperti ini bukan wilayah wewenang manusia untuk bertanya maupun menjawab.

Maturidiyyah 

Nama asli pendiri Maturidiyyah adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud yang lebih dikenal dengan nama Abu Mansur al-Maturidi. Lahir di Maturid, sebuah daerah di Samarkand (sekarang termasuk Uzbekistan). Tahun kelahirannya tidak dapat dipastikan, namun yang jelas dia lahir di sekitar pertengahan abad ke-3 H. Adapun wafatnya disepakati pada tahun 333 H. Al-Maturidi belajar fiqih Hanafi dan ilmu kalam kepada Nashr bin Yahya al-Balkhi (w. 268 H).

Daerah Samarkand saat itu adalah negara pusat diskusi dan debat dalam masalah fiqih dan ushul fiqih, terutama antara fiqh Hanafiyyah dan Syafi’iyyah. Ketika sudah memuncak perseteruan antara Fuqaha’ dan Muhadditsin dengan kaum Mu’tazilah, maka diskusi juga menyangkut ilmu kalam (aqidah). Al-Maturidi hidup di arena perlombaan deduksi-deduksi nalar dan akal. Al-Maturidi bermadzhab Hanafi; memiliki keahlian fiqih, ushul fiqih dan ushuluddin. Di kancah diskusi dan perdebatan intelektual di atas, al-Maturidi membantu Fuqaha’ dan Muhadditsin, dengan metode selain metode al-Asy’ari, meskipun memiliki banyak persamaan dalam deduksi-deduksi yang dihasilkan, namun tidak seluruhnya sama.

Berdasarkan perbandingan keilmuan antara pendapat-pendapat yang berasal dari Abu Hanifah, sang guru Fuqaha’ Irak, dengan pendapat-pendapat yang ditetapi oleh al-Matudiri, ternyata tampak jelas adanya persamaan dalam pokok-pokoknya. Oleh karena itu, para ulama menegaskan bahwa pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam aqidah merupakan pokok (ashal) yang bercabang pendapat-pendapat al-Maturidi.

Dari sini jelaslah bahwa al-Maturidi melandaskan teori-teorinya dalam aqidah pada pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam risalah-risalah yang dia riwayatkan, kemudian dia perinci, serta menetapkan dalil-dalil penalaran logika (al-‘aqliyyah al-manthiqiyyah) terhadap masalah-masalah syari’at.

Di antara karya al-Maturidi adalah: 1) Kitab Ta’wil al-Qur’an; 2) Kitab Ma’khadz al-Syara’i’; 3) Kitab al-Jadal; 4) Kitab al-Ushul fi al-Ushul al-Din; 5) Kitab al-Maqalat fi al-Kalam; 6) Kitab al-Tauhid; serta beberapa karya bantahan terhadap aliran lain, seperti Mu’tazilah, Rafidhah dan Qaramithah. Demikian juga dengan karya berupa syarah al-Fiqh al-Akbar dan al-Fiqh al-Absath karya Imam Hanafi.

Banyak yang berpendapat bahwa perbedaan antara al-Maturidiyah dan al-Asy’ariyah hanya sedikit. Bahkan Muhammad ‘Abduh menegaskan bahwa perbedaan di antara keduanya tidak lebih dari dari 10 (sepuluh) masalah. Akan tetapi melalui analisis yang teliti dan cermat, Muhammad Abu Zahrah menilai bahwa terdapat sejumlah perbedaan signifikan dalam pemikiran maupun konklusi yang diperoleh. Tidak diragukan lagi bahwa al-Maturidi maupun al-Asy’ari sama-sama berusaha untuk menetapkan aqidah-aqidah yang termuat dalam al-Qur’an dengan akal dan dalil-dalil logika (manthiq). Hanya saja, porsi pemberian peran akal yang membedakan kedua tokoh ini.

Dalam metode al-Maturidi, akal mendapat peranan besar, namun tanpa berlebihan dan melampaui batas; sedangkan al-Asy’ari berpegang teguh pada naql. Agar lebih mudah dipahami, maka al-Kawtsari menyusun relasi dengan ilustrasi grafis berikut ini:

Sunni Aswaja
Posisi Asy'ariyyah dan Maturidiyyah dalam Konteks Penggunaan Wahyu dan Akal
Dari grafik di atas, tampak jelas bahwa al-Maturidi memberi porsi peran yang besar terhadap akal, namun tidak sampai berlebihan seperti Mu’tazilah. Jadi, al-Maturidi bersandar kepada akal berdasarkan petunjuk dari syara’ yang mewajibkan penalaran akal.

Hal ini berbeda dengan pandangan para Fuqaha’ dan Muhadditsin yang mewajibkan bersandar kepada naql (wahyu) dan mencari kebenaran dari naql, karena khawatir akal terjerumus pada penyimpangan dan kesesatan. Bantahan al-Maturidi dalam Kitab al-Tauhid terhadap pandangan ini adalah: “Sesungguhnya hal ini termasuk bagian dari bisikan dan was-was dari setan; seorang yang mengingkari penalaran, pasti hanya memiliki argumentasi (dalil) berupa penalaran juga. Oleh karena itu, dapat dipastikan keniscayaan penalaran.

Bagaimana bisa penalaran diingkari, padahal Allah SWT telah menyeru para hamba-Nya untuk menalar; memerintahkan mereka untuk berpikir dan tadabbur; menetapkan mereka untuk mengambil pelajaran dan ‘ibrah; semua ini adalah dalil bahwa penalaran dan pemikiran adalah sumber di antara sumber-sumber ilmu”.

Dalam masalah aqidah pun, al-Maturidi menilai bahwa sumbernya tidak hanya berasal dari naql, melainkan akal juga dapat dijadikan sumber. Di samping mengakui bahwa akal adalah sumber pengetahuan, al-Maturidi juga mengkhawatirkan terjerumusnya akal pada penyimpangan. Akan tetapi, kekhawatiran tersebut tidak membuat al-Maturidi bersikap sebagaimana Fuqaha’ dan Muhadditsin yang mencegah penalaran, melainkan bersikap hati-hati dalam penalaran dan bersandar pada naql di samping akal. Dengan kata lain, al-Maturidi akan mengambil berdasarkan hukum akal terhadap hal-hal yang tidak menyalahi syara’, akan tetapi jika menyalahi syara’, maka harus tunduk pada hukum syara’.

Melalui model penalaran di atas, maka al-Maturidi menakwili ayat-ayat mutasyabbihat (tidak jelas maknanya) berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh ayat-ayat muhkam (jelas maknanya). Akan tetapi jika seseorang tidak memiliki kemampuan akal untuk menakwili, maka sikap pasrah adalah lebih selamat. Intinya, berusaha menafsiri al-Qur’an semaksimal mungkin. Berikut ini penulis tampilkan beberapa contoh deduksi al-Maturidi:

Pertama, pengetahuan tentang Allah SWT. Sesungguhnya pengetahuan tentang Allah SWT dapat atau mungkin diketahui kewajibannya melalui akal secara mandiri, akan tetapi akal tidak mampu mengetahui hukum-hukum taklifiyyah.

Kedua, kebaikan dan keburukan. Al-Maturidi membagi tiga jenis perkara: a) perkara yang dapat diketahui kebaikannya oleh akal secara mandiri; b) perkara yang dapat diketahui keburukannya oleh akal secara mandiri; c) perkara yang tidak dapat diketahui kebaikan maupun keburukannya, kecuali melalui jalur syari’. Kendati akal dapat mengetahui mana yang baik, namun tidak ada taklif (tuntutan) kecuali oleh syari’ (Allah SWT), karena akal tidak mungkin berdiri sendiri menyangkut taklif-taklif agama, karena yang menentukan taklif-taklif agama hanya Allah SWT. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah karya Muhammad Abu Zahrah pada halaman 182-189.

Karakteristik Aswaja Sunni

Di antara ciri khas aksi-aksi ASWAJA selama ini adalah penerapan pendekatan kultural dalam dakwah Islam. Ciri khas pendekatan kultural (lingkungan budaya) yang dianut Sunni memberikan realitas dan kebutuhan yang berbeda-beda. Itulah mengapa ada Asy’ariyah, Maturidiyah dan Thahawiyah; meski mereka semua diakui sebagai Sunni.

Bahkan di kalangan Asy’ariyah terjadi perbedaan visi, antara guru dan murid, misalnya: Abu al-Hasan al-Asy’ari dengan al-Baqillani; al-Ghazali dan al-Sanusi. Demikian juga dalam madzhab fiqih, terjadi perbedaan fatwa antara guru dengan muridnya, misalnya: Imam al-Syafi’i dengan para murid atau pengikutnya (Syafi’iyyah) seperti al-Nawawi, al-Rafi’i, al-Buthi, al-Qaffal, dan lain-lain. Lingkungan kultural yang berbeda, mendorong terjadinya produk istinbath (penggalian hukum) yang berbeda pula.

Pendekatan kultural di atas dilatar-belakangi oleh pendirian Madzhab Sunni atau ASWAJA bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang dimiliki manusia. Paham keagamaan yang dianut bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik, yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut. Lalu dasar-dasar pendirian keagamaan ini menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan:

Pertama, Sikap tawasuth (moderat) dan i’tidal (lurus). Yaitu sikap moderat (tengah-tengah) yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini, akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem);

Kedua, Sikap tasamuh (toleran). Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ (cabang) atau menjadi masalah khilafiyah (perbedaan pendapat), serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayan.

Ketiga, Sikap tawazun (seimbang). Sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah SWT, khidmat kepada sesama manusia, serta pada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.

Keempat, Sikap amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan, merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Sebenarnya, sikap-sikap di atas adalah bagian dari amaliah pesan-pesan al-Qur’an, misalnya: sikap tawassuth dilandasi oleh Surat al-Baqarah: 143

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang moderat

Sikap i’tidal dilandasi oleh Surat al-Ma’idah: 8
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.

Surat al-Hadid: 25 adalah dalil sikap tawazun
وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.

Sedangkan Surat Ali ‘Imran: 104 melandasi sikap amar ma’ruf nahi munkar:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Selain itu, dasar-dasar keagamaan dan kemasyarakatan tersebut pada akhirnya membentuk perilaku perorangan maupun dalam berorganisasi: 1) Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam; 2) Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi; 3) Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmat serta berjuang; 4) Menjunjung tinggi persaudaraan (ukhuwwah), persatuan (al-ittihad) serta kasih mengasihi; 5) Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran (al-shidqu) dan berfikir, bersikap dan bertindak; 6) Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) pada bangsa dan negara; 7) Menjunjung tinggi nilai amal, kerja, prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT; 8) Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ahli-ahlinya; 9) Selalu siap menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemashlahatan bagi manusia; 10) Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakatnya; 11) Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Referensi: (1) Muhammad Ibrahim al-Fayyumy, Syaikh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 2003), hlm. 113-114. (2) Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1996), hlm. 176-189. (3) Muhammad Tholhah Hasan, Wawasan Umum Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta: 2006, hlm. 5-6. (4) Khittah Nahdlatul Ulama; (5) Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Bandung: 2006, hlm. 79-82. (6) Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005. Akidah Kaum Sarungan: Refleksi Mengais Kebeningan Tauhid (Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, 2005), hlm. 123-128.