Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memilih Hunian Islami


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Sekitar Makkah
Tanah Haram sebagai Representasi Hunian Islam yang Ideal 
Prolog

Hunian merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang idealnya dapat menghadirkan suasana religius (baity jannati). Oleh sebab itu, setiap muslim perlu mempertimbangkan banyak aspek sebelum memutuskan memilih suatu hunian yang ditempati. Apalagi jika dimaksudkan sebagai hunian permanen yang ditinggali sepanjang hayat.

Kajian Tafsir Tematik

Berdasarkan tafsir kontekstual, penulis mengajukan Surat al-Baqarah [2]: 58 sebagai tips memilih hunian Islami.

وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ (58)

Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak, yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan berdoalah: “Mohon bebaskanlah kami dari dosa, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Baqarah [2]: 58).

Berdasarkan isyarat ayat di atas, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan seorang muslim sebelum memilih suatu hunian.

Pertama, Prospek Ekonomi

Berdasarkan redaksi ayat (فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا) yang berarti “makanlah dari hasil buminya yang banyak lagi enak, yang kamu sukai”. Kata “makanlah” berhubungan dengan kebutuhan primer manusia, yaitu kebutuhan pangan. Normalnya, kebutuhan pangan dipenuhi manusia melalui prosedur kerja mencari nafkah. Idealnya, manusia mampu memenuhi kebutuhan pangan yang berstatus “raghada”. Menurut al-Ashfahani, raghada bermakna “thayyib lagi luas”. Thayyib berkenaan dengan kualitas intrinsik makanan, seperti lezat dan bermanfaat bagi tubuh; sedangkan “luas” menyangkut kemudahan memperoleh makanan tersebut. Menurut Ibn ‘Asyur, redaksi ayat di atas mengacu pada “banyaknya buah-buahan di sekitar Baitul Maqdis”.

Berdasarkan paparan di atas, penulis memahami bahwa hunian ideal adalah hunian yang mempermudah penghuninya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Itulah mengapa “prospek ekonomi” merupakan salah satu pertimbangan pokok dalam memilih suatu hunian. Hemat penulis, prospek ekonomi suatu hunian setidaknya dapat dilihat dari tiga segi.

a) Jarak tempat kerja. Semakin dekat jarak hunian dengan tempat kerja, semakin besar prospek ekonominya. Hal ini dikarenakan ada efisiensi waktu yang signifikan, karena tidak banyak menyita waktu untuk perjalanan pulang-pergi, apalagi di zaman sekarang yang sering terjadi kemacetan di sana-sini, sehingga “sisa waktu” dapat digunakan untuk istirahat maupun aktivitas lain yang lebih produktif. Ringkasnya, semakin dekat jarak hunian dengan tempat kerja, semakin besar prospek ekonominya.

b) Transportasi. Transportasi merupakan salah satu penunjang utama kegiatan ekonomi. Buktinya dapat dilihat dari wilayah-wilayah yang mudah akses transportasinya, cenderung besar aktivitas perekonomiannya. Apalagi di zaman sekarang yang familiar dengan perniagaan elektronik (e-commerse) yang sering membutuhkan jasa ekspedisi (pengiriman). Prinsipnya, semakin mudah akses transportasi, semakin besar prospek ekonominya.

c) Penjualan Kembali (resell). Kehidupan manusia tidak dapat diprediksi. Misalnya, datangnya musibah tidak dapat diprediksi. Tidak jarang, suatu musibah memaksa seseorang untuk berpindah lokasi atau menjual seluruh aset yang dimiliki. Oleh sebab itu, apabila suatu hunian dapat dijual kembali dengan harga yang tidak terlalu merugikan, apalagi menguntungkan, tentu hunian tersebut sangat prospektif secara ekonomi.  

Kedua, Prospek Moral-Spiritual

Prospek moral-spiritual ini didasarkan pada redaksi ayat (وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا) yang artinya, “Dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud”. Menurut Qurasih Shihab, sujud berarti “taat, patuh dan tunduk dengan penuh hormat kepada Allah SWT”. Meletakkan dahi, kedua telapak tangan dan jari-jari kaki adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari sujud.

Apalagi sedari awal Rasulullah SAW mengingatkan bahwa fungsi rumah adalah menghadirkan suasana surgawi (Baity Jannaty). Tentu Hadis ini tidak sekedar menyangkut suasana harmonis suatu keluarga, melainkan juga berkenaan dengan fungsi rumah sebagai salah satu sarana yang dapat mengantarkan pada penghuninya ke surga. Sedangkan prasyarat utama untuk meraih surga adalah kualitas moral-spiritual.

Secara implisit, Nabi SAW pernah mengingatkan umat muslim agar melakukan survei terlebih dahulu terhadap “calon tetangga”, sebelum memutuskan tempat hunian.

الْتَمِسُوا الْجَارَ قَبْلَ الدَّارِ، وَالرَّفِيقَ قَبْلَ الطَّرِيقِ (رواه الطبراني)

Telitilah tetangga sebelum (memilih) rumah; dan (telitilah) rekan sebelum (melakukan) perjalanan (H.R. al-Thabarani).

Logikanya, apabila suatu hunian dikelilingi oleh para tetangga yang religius, maka besar peluang bagi penghuninya untuk meningkatkan kualitas religiusnya. Contoh sederhananya dapat dilihat dari aktivitas di masjid, pesantren, sekolah maupun kampus. Tempat-tempat ini didominasi oleh aktivitas yang positif dan sesuai dengan nilai-nilai agama (religius), dibandingkan tempat-tempat lain seperti pasar, rumah makan, pusat kebugaran, tempat hiburan, apalagi hiburan malam.

Pentingnya peran lingkungan dalam membentuk perilaku moral-sosial dapat dipahami dari Q.S. al-A’raf [7]: 58

وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ (58)

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur (Q.S. al-A’raf [7]: 58).

Makna praktisnya, apabila suatu hunian dikelilingi oleh warga yang bergaya hidup sesuai dengan tuntunan moral-spiritual, tentu akan mempermudah terwujudnya kegiatan-kegiatan yang bernilai moral-spiritual. Sebaliknya, apabila suatu hunian dikelilingi oleh warga yang bergaya hidup bertentangan dengan tuntunan moral spiritual, tentu akan mempermudah terwujudnya kegiatan-kegiatan yang melanggar nilai-nilai moral-spiritual.

Dalam Hadis Shahih Bukhari-Muslim dikisahkan ada seorang pembunuh yang sudah mengalirkan darah 100 orang. Ketika dia ingin bertaubat, seorang ulama memberinya nasihat agar menjauhi huniannya dulu, karena dipenuhi hal-hal negatif.
 ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ

Engkau jangan kembali ke daerahmu, karena sesungguhnya daerahmu itu daerah yang buruk.

Prospek moral-spiritual juga didasarkan pada redaksi (وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ) yang berarti, “Dan berdoalah: ‘Mohon bebaskanlah kami dari dosa’, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu”. Ayat ini membahas tentang tiga perilaku moral-spiritual.

a) Doa. Manusia adalah makhluk yang diciptakan serba kurang, “Dan diciptakan manusia dalam keadaan lemah” (Q.S. al-Nisa’ [4]: 28). Oleh sebab itu, manusia senantiasa membutuhkan Allah SWT, “Hai manusia, kalian semua butuh (fakir) kepada Allah” (Q.S. Fathir [35]: 15).

b) Maghfirah. Setiap manusia tidak luput dari dosa. Oleh sebab itu, manusia dituntut untuk memperbanyak istighfar atau memohon ampunan Allah SWT. Apalagi dalam ayat lain disebutkan banyak manfaat istighfar, misalnya dapat memperluas rezeki seseorang, baik dalam konteks sumber daya alam (natural), harta benda (kapital) maupun sanak-famili (sosial), seperti yang diisyaratkan dalam Surat Nuh [71]: 10-12

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)

Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai (Q.S. Nuh [71]: 10-12).

c) Dosa. Dalam menyikapi dosa, umat muslim dituntut untuk bertaubat melalui tiga tindakan sekaligus. Terkait dimensi masa lalu, seorang muslim harus menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukan. Terkait dimensi masa kini, seorang muslim harus berhenti melakukan perbuatan dosa. Terkait dimensi masa depan, seorang muslim harus bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. Inilah tiga prasyarat taubat agar dosa seseorang diampuni oleh Allah SWT.

Agar ketiga perilaku moral-spiritual di atas dapat tergapai dalam sekali kayuh, seyogianya seorang muslim memilih hunian yang semarak dengan aktivitas zikir dan doa. Misalnya, warga hunian memiliki agenda rutin majelis zikir dan doa, baik bersifat mingguan maupun bulanan. Melalui majelis zikir dan doa, berarti seseorang secara aktif dalam melakukan doa, istighfar dan taubat dari dosa-dosanya.    

Ketiga, Prospek Prestasi

Prospek prestasi didasarkan pada ayat (وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ) yang berarti “dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat ihsan”. Menurut Quraish Shihab, ihsan adalah melakukan kewajiban di atas standar; dan menuntut hak di bawah standar. Hemat penulis, ihsan adalah kebaikan yang berkualitas. Misalnya, sebuah ibadah baru dinilai ihsan apabila dilakukan seakan-akan melihat Allah SWT (ma’rifat) atau setidaknya merasa diawasi oleh Allah SWT (muraqabah). Dari sini penulis mengarahkan makna ihsan pada pengertian prestasi.

Menurut McClelland, manusia memiliki kebutuhan berprestasi (Need of Achievement). Sedangkan dalam bahasa agama, manusia memiliki nafsu syahwat yang selalu ingin lebih dan lebih, seperti yang diisyarakan dalam Surat al-Hadid [57]: 20

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak (Q.S. al-Hadid [57]: 20)

Tidak jarang manusia menjadikan kegiatan migrasi atau hijrah dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka mengejar prestasi. Misalnya, Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah dalam rangka meraih kesuksesan dakwah Islam. Banyak mahasiswa mengejar prestasi dengan menempuh studi hingga ke luar negeri; sebagaimana para tenaga kerja (TKI dan TKW) yang mengejar penghasilan lebih besar hingga ke mancanegara.

Al-Qur’an sendiri menginformasikan manfaat migrasi atau hijrah dalam Surat al-Nisa' [4]: 100

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak.

Dalam Zahrah al-Tafasir karya Abu Zahrah, ayat di atas menginformasikan bahwa hijrah (migrasi) dapat mengantarkan pada kehidupan yang lebih baik dan memperoleh keluasan dalam hal rezeki, ekonomi maupun spiritual.

Epilog

Bahasan ini mencoba menawarkan pendapat alternatif (second opinion) bagi umat muslim dalam menentukan pilihan hunian yang Islami, berdasarkan telaah tafsir tematik al-Qur’an, tepatnya terhadap Surat al-Baqarah [2]: 58. Ada tiga aspek yang penting untuk diperhatikan dalam memilih hunian. Pertama, Prospek ekonomi yang dikaitkan dengan kedekatan dengan tempat kerja, kemudahan transportasi dan keuntungan penjualan kembali sebuah huian. Kedua, Prospek moral-spiritual yang dikaitkan dengan gaya hidup warga sekitar yang mengedepankan nilai-nilai moral-spiritual, seperti doa, istighfar dan taubat, melalui kegiatan majelis zikir dan pengajian rutin di sekitar lokasi hunian. Ketiga, Prospek prestasi yang dikaitkan dengan potensi hunian dengan perbaikan kualitas hidup seseorang, terutama dalam konteks rezeki perekonomian dan kehidupan spiritual.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.   


Singosari, 6 Desember 2017