Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renungan Akhir Tahun melalui Kisah Qur'ani Pemilik Kebun (Surat al-Qalam [68]: 17-33)


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com 

Kisah Qur'ani
Ilustrasi Percakapan Tiga Bersaudara Pemilik Kebun

Penghujung bulan Desember ini adalah momen yang tepat untuk menengok kembali perjalanan hidup kita sepanjang tahun 2017. Sebagai sarana renungan akhir tahun, menarik untuk menyimak kisah para pemilik kebun yang tercantum dalam Surat al-Qalam [68]: 17-33.

Di antara sekian riwayat tentang siapa sebenarnya para pemilik kebun yang dimaksud oleh ayat tersebut, Ibn ‘Asyur mengutip riwayat ‘Ikrimah yang menginformasikan bahwa mereka berasal dari Habasyah (Ethiopia).

Alkisah, seorang ayah memiliki kebun. Setiap panen, dia senantiasa berbagi kepada kaum fakir miskin, yatim piatu dan janda-janda. Dia memiliki tiga orang anak. Ketika sang ayah wafat, kebun tersebut diwariskan kepada ketiga anaknya, sehingga mereka menjadi kaya raya. Sayangnya, ketiga anak tersebut sangat kikir, sehingga mereka berniat untuk tidak memberikan hak-hak kaum fakir miskin, yatim piatu dan janda-janda, sebagaimana yang pernah diteladankan oleh ayah mereka. Oleh sebab itu, mereka mengusulkan untuk memanen kebun di malam hari sebelum mentari terbit, agar tidak sampai terlihat oleh kaum fakir miskin, yatim piatu dan janda-janda. Berikut kisah lengkapnya dalam Surat al-Qalam [68]: 17-33
  
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17)

Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (kaum musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memanen (hasil)nya di pagi hari.

وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18)

Dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin)

فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19)

Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur

فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20)

Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita (hangus tinggal arangnya yang hitam seperti malam).

فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (21)
Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari

أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (22)

Pergilah diwaktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memanen buahnya.

فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (23)

Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik.

أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (24)

"Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam kebunmu."

وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (25)

Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).

فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (26)

Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: "Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan)

بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (27)
Bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)."

قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28)

Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?"

قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (29)

Mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zhalim.”


فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ (30)

Lalu sebagian mereka menghadap sebagian yang lain seraya saling mencela.

قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (31)

Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.”

عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (32)

Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dati Tuhan kita.

كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (33)

Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.


Tafsir Tematik Ayat

Banyak hikmah yang dapat kita petik dari kisah Qur’ani di atas, baik secara tersurat maupun tersirat. Berikut penulis kutipkan tujuh hikmah sebagai bahan renungan akhir tahun.

Analisis Asbab al-Nuzul Ayat

Pertama, Anak belum tentu sama dengan orangtuanya

Kisah Qur’ani di atas menunjukkan bahwa seorang ayah yang dermawan, justru memiliki anak yang sangat kikir. Sebaliknya, banyak pula kisah seorang anak yang terpuji, namun memiliki orangtua yang tercela, seperti kisah Nabi Ibrahim AS yang memperjuangkan ketauhidan; sedangkan ayahnya, Azar, justru berprofesi sebagai penjual berhala yang anti ketauhidan.

Oleh sebab itu, apabila kita memiliki pengetahuan, sikap maupun perbuatan yang terpuji, maka ajarkanlah, biasakanlah dan didiklah kepada anak-anak kita, agar mereka meneladani kita. Misalnya, apabila kita sudah rajin membaca al-Qur’an setiap hari, maka ajarkanlah, biasakanlah dan didiklah anak-anak kita agar rajin membaca al-Qur’an setiap hari. Sebaliknya, apabila kita memiliki pengetahuan, sikap maupun perbuatan yang tercela, maka didiklah anak-anak kita agar jangan sampai menirunya. Misalnya, apabila kita tidak mampu membaca al-Qur’an, maka berusahalah dengan sekuat tenaga untuk memfasilitasi pendidikan al-Qur’an kepada anak-anak kita, agar mereka mampu membaca al-Qur’an.

Berkenaan dengan renungan akhir tahun, apabila kita meraih suatu kesuksesan pada tahun ini, maka sebarkanlah kunci-kunci kesuksesan tersebut, agar dapat diteladani oleh orang lain. Sebaliknya, apabila kita mengalami suatu kegagalan pada tahun ini, maka sebarkanlah sebab-sebab kegagalan tersebut, agar dapat diwaspadai oleh orang lain.   

Analisis Surat al-Qalam [68]: 17-20

Kedua, Tidak semua harapan menjadi kenyataan

Inilah keindahan hidup di dunia. Dalam kisah Qur’ani di atas, para pemilik kebun berharap panen di pagi hari. Kenyataannya, mereka gagal panen. Lebih dari itu, jangan terlalu mengandalkan amal kita. Apalagi memastikan keberhasilan amal kita. Jika kita terburu memastikan kesuksesan amal kita, dikhawatirkan kita akan kecewa berat ketika mengalami kegagalan, seperti kisah para pemilik kebun yang gagal panen, padahal tanamannya sudah siap panen.

Berkenaan dengan renungan akhir tahun, apabila kita merasa sudah beramal shalih sepanjang tahun 2017, baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah; jangan sampai kita terlalu yakin akan mendapatkan pahala di akhirat kelak. Bisa jadi, amal shalih yang kita lakukan masih dipenuhi oleh niat-niat yang tidak ikhlas, sehingga tidak diterima oleh Allah SWT. Oleh sebab itu, sikap yang terbaik adalah sikap tengah-tengah antara berharap amal kita diterima oleh Allah SWT (raja’); sembari khawatir ditolak oleh Allah SWT (khauf).

Analisis Surat al-Qalam [68]: 21-25

Ketiga, Setiap kenikmatan mengandung hak orang lain

Dalam kalam hikmah dinyatakan, “Li kulli syai’in zakat”, yang berarti “segala sesuatu ada zakatnya”. Contoh sederhana, manusia tidak makan padi, melainkan padi digiling terlebih dahulu sehingga menghasilkan beras. Beras itulah yang dimasak untuk makanan manusia, sedangkan kulit padi adalah “jatah” makanan binatang. Dengan demikian, jika seseorang ingin menguasai suatu kenikmatan untuk dirinya sendiri, tanpa mau berbagi dengan orang lain; maka dia ibarat manusia yang makan padi (beras plus kulitnya). Jika demikian, tinggal tunggu waktu dampak negatif yang akan menimpanya, seperti yang dialami oleh para pemilik kebun yang tanamannya hangus terbakar, tinggal arangnya saja.

Berkenaan dengan renungan akhir tahun, apabila kita berposisi sebagai pejabat, itu pertanda kita diminta untuk berzakat dalam bentuk membuat kebijakan yang adil dan menyejahterahkan rakyat. Jika kita berposisi sebagai orang kaya, itu pertanda kita diminta untuk berzakat dalam bentuk berbagi zakat, infak dan sedekah. Jika kita berposisi sebagai orang berilmu, itu pertanda kita diminta untuk berzakat dalam bentuk mengajar dan mendidik. Demikian seterusnya.     

Keempat, Kemampuan ditindak-lanjuti dengan kemauan

Faktanya, banyak orang yang mampu, namun tidak mau. Misalnya, banyak orang kaya raya, namun tidak mau berbagi derma kepada sesama. Sebaliknya, banyak orang yang mau, namun tidak mampu. Misalnya, banyak orang yang ingin berpuasa, namun tidak mampu karena terkendala kesehatan. Oleh sebab itu, apabila kita memiliki kemampuan, maka bergegaslah untuk menindak-lanjuti dengan kemauan melakukan suatu amal kebaikan. Sebelum terjadi momen ketika kita mau melakukan sesuatu, namun tidak mampu melakukannya. Jangan sampai kita seperti para pemilik kebun dalam kisah Qur’ani di atas, yang mampu memberi sebagian hasil kepada kaum fakir miskin, yatim piatu dan janda-janda, namun mereka tidak mau melakukan. Ketika akhirnya mau berbagi hasil panen kepada kaum fakir miskin, yatim piatu dan janda-janda, justru mereka tidak mampu melakukannya ketika itu, karena gagal panen.  

Berkenaan dengan renungan akhir tahun, perlu kita sadari apa kemampuan yang sudah kita miliki, namun belum kita tindak-lanjuti dengan kemauan untuk memanfaatkan kemampuan tersebut. Atau kita menindak-lanjutinya setengah-setengah, tidak secara total. Misalnya, apabila kita memiliki kemampuan berwirausaha, namun hingga kini belum mau berwirausaha; maka tugas kita di tahun 2018 adalah mewujudkan kemauan berwirausaha. Agar kelak tidak menyesal, ketika sudah mau berwirausaha, namun tidak mampu mewujudkan kemauan tersebut.      

Kelima, Kepedulian sosial kepada kaum fakir miskin

Jika merujuk pada asbab al-nuzul dari Surat al-Qalam [68]: 17-33, maka kepedulian sosial ditujukan kepada kaum fakir miskin, yatim piatu dan para janda. Jika dikaitkan dengan ayat lain, maka al-Qur’an menyeru umat muslim agar memiliki kepedulian sosial kepada siapapun yang membutuhkan. Misalnya, pengemis, anak jalanan, musafir yang terlantar, dan sejenisnya.

Berkenaan dengan renungan akhir tahun, kita perlu bertanya kepada diri sendiri. Apa yang sudah kita berikan kepada keluarga, masyarakat, umat muslim, bahkan warga negara Indonesia? Bukankah kita sering berdoa agar menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara? Kiranya, inilah resolusi utama yang perlu kita prioritaskan pada tahun 2018. Yaitu memberi manfaat kepada orang lain. Menurut Quraish Shihab, hanya insan yang memberi manfaat kepada orang lain, dapat disebut sebagai “orang yang shalih”. Apalagi dalam sebuah Hadis disebutkan:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (رواه البخاري)

“Orang muslim adalah orang yang menyelamatkan umat muslim dari perkataan dan perbuatannya” (H.R. Bukhari).

“Selamat” dalam Hadis di atas dapat bermakna ganda. Pertama, selamat dari keburukan perkataan dan perbuatan seseorang. Misalnya, seorang muslim tidak menggunjing, apalagi menzhalimi orang lain. Kedua, selamat dikarenakan kebaikan perkataan dan perbuatan seseorang. Misalnya, seorang muslim memberi nasihat maupun pertolongan yang membuat orang lain selamat dari hal-hal buruk.  

Analisis Surat al-Qalam [68]: 26-33

Keenam, Suatu musibah disebabkan kezhaliman kita

Oleh sebab itu, apabila kita tertimpa musibah berupa kegagalan, perlu segera menyadari kesalahan yang kita perbuat; lalu segera dilanjutkan dengan taubat, memohon ampunan Allah SWT terkait kesalahan tersebut. Seperti kisah Qur’ani di atas, ketika para pemilik kebun menyadari bahwa peristiwa gagal panen disebabkan oleh perbuatan zhalim yang mereka lakukan. Yaitu mereka bersikap kikir dan berniat buruk tidak mau berbagi hasil panen kepada kaum fakir miskin, yatim piatu dan janda-janda, sebagaimana yang diteladankan oleh ayah mereka semasa hidup.

Berkenaan dengan renungan akhir tahun, apabila kita melakukan perbuatan maksiat di tahun 2017, maka perlu segera kita mohonkan ampunan (maghfirah) kepada Allah SWT. Dilanjutkan taubat dengan cara menyesali kemaksiatan di masa lalu; berhenti melakukan kemaksiatan di masa kini; dan bertekad tidak bermaksiat di masa datang.

Jika tidak terkait dosa atau kemaksiatan, maka kesalahan yang dilakukan pada masa lalu dapat dijadikan sebagai pelajaran agar tidak diulang lagi pada masa kini, sehingga berpeluang tidak mengalami kegagalan di masa depan. Contoh, apabila seorang mahasiswa gagal mendapatkan beasiswa tahun 2017, maka sekarang dia perlu berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu yang dinilai menyebabkannya gagal, sehingga dia berpeluang meraih kesuksesan mendapat beasiswa di tahun 2018.
  
Ketujuh, Selalu husnuzhan (baik sangka) kepada Allah SWT

Kendati setiap kegagalan selalu menyisakan kekecewaan pada diri manusia, namun jangan sampai hal itu membuat manusia putus asa dalam berupaya meraih kesuksesan. Seperti kisah Qur’ani para pemilik kebun yang mengalami gagal panen, namun optimis bahwa Allah SWT akan menggantinya dengan suatu yang lebih baik.

Berkenaan dengan renungan akhir tahun, janganlah kita bersikap naif dalam menyikapi problema kehidupan, seperti kegagalan. Apalagi sampai keluar kata-kata yang “menyalahkan” Allah SWT, seperti komentar: “Allah SWT tidak adil”. Sekalipun komentar tersebut hanya tersimpan dalam hati. Sikap yang lebih baik adalah mengumandangkan kembali motto umat muslim:

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِالْقُرْأَنِ إِمَامَا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَرَسُوْلاً.

Aku puas bertuhankan Allah SWT; beragama Islam; berpedoman al-Qur’an; dan (memiliki) Nabi dan Rasul, Muhammad SAW.


Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Singosari, 21 Desember 2017