Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berakidah dan Beramal dengan Hati Selamat (Qalbun Salim)


Hati yang Selamat
Allah hanya Menerima Manusia yang Memiliki Qalbun Salim

BERAKIDAH DAN BERAMAL DENGAN HATI SELAMAT
Almaghruflah KH. Hasyim Muzadi


Pada hari akhirat nanti, waktu kita menghadap Allah SWT, kita harus menyetorkan seluruh amal kita. Semua itu sudah terdeteksi dengan rapi dan baik, karena sudah ada memory (catatan amal) dan file (buku amal)-nya masing-masing, sehingga tidak akan keliru. Amal saya tidak akan keliru atau tertukar dengan amal sampeyan (Anda). Karena semenjak di dunia, kita sudah diberi identitas. Identitas yang biasa dipakai adalah sidik jari. Ternyata, tidak ada sidik jari manusia yang sama. Berkembang lagi pengetahuan, ternyata rambut manusia tidak ada yang sama. Lalu ditemukan bahwa darah manusia tidak ada yang sama. Golongan darahnya mungkin sama, tetapi DNA-nya tidak sama.
 
Semua tindakan kita secara lahir dan batin ”dengan sendirinya” tercatat. Kalau dalam bahasa agama, dicatat Malaikat Raqib-’Atid. Dulu saya membayangkan betapa besarnya buku amalan kita nanti. Umpama semua kelakuan kita sejak kecil ditulis, tentu bukunya bisa setara dengan satu masjid. Itu adalah bayangan kita ketika masih goblok. Sekarang ini, di HP atau komputer, perangkat yang begitu kecil, bisa menyimpan data yang begitu besar. Allah SWT berfirman bahwa besok kalau kita sudah masuk di alam akhirat, dari tengkuk kita akan keluar buku catatan amal kita (Q.S. al-Isra’ [17]: 13).
 
Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat, sebuah kitab yang dijumpainya terbuka (Q.S. al-Isra’ [17]: 13).
 
Allah SWT berfirman dalam Surat al-Syu’ara’ [26]: 88-89,
 
(Yaitu) pada  hari (di mana) harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 88-89).
 
Pada saat itu, harta sudah tidak berguna; anak juga sudah tidak berguna. Harta itu hanya berguna di dunia saja. Namun, harta itu dapat dibawa ke akhirat, kalau diproses menjadi amal, sehingga menjadi catatan amal. Selama harta masih berupa harta, maka harta itu tidak akan mengikuti kita ke akhirat. Anak-anak juga sudah tidak bisa mendoakan kita lagi. Anak itu berguna maksimal sampai kita di alam kubur; kalau mereka memang mendoakan kita dan shalih hatinya, bukan shalih namanya.
 
Adapun yang bisa diterima oleh Allah SWT adalah qalbin salim (hati yang selamat). Selamat dari syirik, kufur, penentangan kepada Allah SWT, hingga masalah-masalah yang menyangkut akidah lainnya. Kalau menyangkut perkara amaliah, maka ada hisabnya. Kalau menyangkut akidah, sudah pasti ditolak, sebab bukan termasuk qalbin salim.
 
Jadi, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu di akhirat nanti ada posisi keimanan dan kekafiran serta posisi amal baik dan buruk. Oleh karena itu, orang-orang kafir tidak akan diterima amalnya. Orang Islam yang berdosa, dihitung dulu dosanya. Ada perbedaan antara keimanan dan amal. Oleh karenanya, akidah itu harus dijaga betul, agar tidak tertolak oleh Allah SWT. Jadi, yang dimaksud dengan qalbun salim adalah:
 
Selamat dari semua keyakinan yang salah.
 
Sehingga di dalam Hadis Rasulullah SAW disebutkan:
 
Barangsiapa akhir perkataannya adalah ’tiada tuhan selain Allah’, maka dia (pasti) masuk surga (H.R. Abu Dawud).
 
Orang yang pada akhir hayatnya atau akhir ucapannya adalah kalimat Laa Ilaaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah), maka dia akan masuk surga. Masuk surga ini tidak bleng (langsung), karena ada hak masuk surga. Itulah makna Hadis di atas. ”Karcis-nya” itu harus ngantri di loket amalnya. Tapi kalau qalbun (hati)-nya tidak salim (selamat), maka tidak ada loket lagi baginya. Oleh karenanya, hati-hatilah dan jagalah akidah.
 
Orang yang tidak shalat itu berdosa, tapi orang yang berani mengatakan shalat itu tidak perlu adalah kafir. Orang yang tidak kawin itu rugi, setelah kawin baru merasa rugi, kenapa kok tidak dulu-dulu. Tapi orang yang menentang lembaga perkawian dengan mengatakan bahwa hidup tidak usah kawin, sikap demikian itu adalah kafir. Jadi, penentangan terhadap ajaran pokok itu kafir, sedangkan kalau belum bisa melakukan ajaran pokok itu berdosa. Saya ingatkan masalah ini, karena anak-anak muda sekarang ini sudah nggak karu-karuan (kacau balau). Karena ingin modern seperti Amerika, mereka berani bilang shalat tidak perlu. Kalau dia aras-arasen (malas) shalat, dia berdosa. Tapi kalau dia bilang shalat tidak perlu, berarti dia telah menghapuskan syariat.
 
Kiai-kiai di Kediri mengeluh kepada saya. Mereka berkata: “Anak-anak saya yang sudah lulus di pesantren salaf, saya masukkan di Perguruan Tinggi, lalu melok (ikut) organisasi –PMII, HMI, dan sebagainya– mereka mulai nggak shalat. Alasannya sebagai sikap moderat. Belakangan mulai ada yang mengatakan bahwa shalat itu tidak perlu,  shalat hanyalah alternatif”.
 
Sekarang ada ”ilmu dajjal” baru yang disebut hermeneutika. Agama dijujuk (disasar) esensi dan tujuannya, tidak pada proses, bentuk, dan lakunya. Misalnya: Shalat dilakukan supaya hati menjadi tenang, sedangkan kalau sudah tenang tidak perlu shalat. Itu termasuk hermeneutika. Zakat disyariatkan karena orang tidak cukup makan, ketika rakyat sudah cukup makan, maka syariat zakat tidak lagi diperlukan. Inilah yang saya katakan: ”Orang yang menjalankan ibadah, tidak boleh mengambil hikmahnya saja; karena belum tentu dia menduga hikmahnya dengan benar; dan belum tentu hikmahnya cuma yang diomongkan itu saja. Shalat untuk ketenangan, tapi apakah shalat hanya untuk ketenangan hati saja? Tentu tidak”.
 
Semua contoh tadi termasuk cakupan hermeneutika yang ujung-ujungnya adalah menuruti selera syahwat dan nafsu. Jadi, mereka mengukur sesuatu berdasarkan selera. Ilmu hermeneutika ini datang dari Yahudi. Sebenanya ”penyakit” di dunia ini, 50% lebih berasal dari Yahudi; tapi kemajuan di dunia ini, 50% kurang sedikit juga berasal dari Yahudi. Hati-hatilah pada ajaran yang seperti itu.
 
Gerakan Yahudi yang merusak akidah, ekonomi, dan lain-lain, pusatnya berada di Wall Street kawasan New York yang menjadi pusat perdagangan kaum Yahudi, bahkan seluruh ekonomi di dunia ini diatur dari sana. Belum lagi gerakan yang bersifat akidah. Orang Yahudi diberi kepandaian oleh Allah SWT, sehingga mampu menemukan berbagai perkembangan teknologi, misalnya: listrik, kapal api, kapal terbang, motor, mobil, dan sebagainya. Umpama tidak ada orang Yahudi, kita juga tidak bisa merasakan listrik, karena pikiran orang Indonesia nggak sampai memikirkan sampai listrik, tapi hanya sampai pada memikirkan lampu templok saja.
 
Jadi, yang perlu kita jaga adalah qalbun salim. Dari qalbun salim inilah, kita harapkan muncul amal shalih; kemudian amal shalih itulah yang kita bawa ke hadapan Allah SWT. Perlunya untuk apa? Perlunya adalah semua yang kita miliki, proseslah menjadi amal, sehingga bisa menjadi modal menghadap Allah SWT. Pintar itu belum menjadi modal, pintar akan menjadi modal kalau sudah dijadikan amal, misalnya: kepintaran digunakan untuk belajar maupun mengajar. Belajar dan mengajar itu amal, tapi volume ilmu itu belum menjadi amal.
 
Contoh lain: Mencari harta untuk makan itu amal; tapi kalau kita terima masih berupa barang, berarti belum menjadi amal, kecuali kalau sudah ditasarufkan. Ada seorang sufi berkata: ”Kalau kamu ingin membawa seluruh harta, maka lepaskanlah harta itu. Kalau kamu ingin meninggalkan harta itu, maka peganglah terus-menerus”. Karena kalau kita pegang terus-menerus, harta akan menjadi warisan bagi anak-cucu, karena nggak mungkin dibawa ke kuburan. Tapi kalau harta itu ditasarufkan, maka harta itu akan mengikuti kita hingga ke ahirat kelak.
 
Kita jangan membawa harta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, karena harta itu pemberian Allah SWT; sehingga Dia pasti tidak memerlukan harta. Demikian juga dengan Rasul-Nya. Oleh karena itu, jangan setor harta kepada-Nya, karena yang demikian itu pekerjaan orang musyrik. Contoh: Beberapa hari yang lalu, Gunung Bromo dikabarkan akan meletus, lalu masyarakat  berbondong-bondong membawa kambing, ayam, bebek, dan sebagainya untuk dimasukkan di situ. Saya tanya, kenapa dicemplungno? (mengapa dimasukkan ke Gunung Bromo?). Mereka menjawab: “Kita kirim kepada tuhan”. Untuk apa tuhan kok makan bebek?. Tuhan itu yang menciptaan ayam dan bebek, maka Dia pasti tidak memerlukan ayam dan bebek. Tuhan tidak memerlukan binatang kurban. Yang sampai kepada Allah SWT bukan daging kurban, melainkan manut (taat) untuk disuruh berkurban. Jadi yang dikirim adalah ketaatan kepada-Nya.
 
Demikian juga dengan orang yang mencari ilmu, ada yang pintar, bodoh, atau terlalu bodoh. Tapi sekolahnya orang pintar maupun orang bodoh itu ganjarane podo, senajan pintere ora podo (pahalanya sama, meskipun kepandaiannya berbeda). Karena yang dihitung bukan kadar ilmu yang diperoleh, melainkan ketaatannya untuk mencari ilmu. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Hujurat [49]: 1
 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Hujurat [49]: 1).
 
Perhatikan!, di sini ada akidah, ada amal, dan ada niat. Adapun niat di sini adalah dengan jiwa basmalah. Kalau basmalah itu sampai di hati, maka akan terasa. Oleh karena itu, orang wiridan atau zikir itu tergantung pada qalbun (hati)-nya, apakah salim (selamat) atau tidak. Jika orang seperti kita membaca kalimat Laa Ilaaha illa Allah, hasilnya tidak sama dengan orang yang membaca kalimat itu dengan hati bersih (qalbun salim). Orang yang zikir dengan hati bersih itu ibarat cangkir yang melumah (terbuka), sehingga kalau dituangi air, air itu akan masuk; sedangkan kalau cangkirnya miring, maka air yang masuk hanya sedikit; dan kalau cangkir itu mengkurep (terbalik), maka meski digerojok dengan air sebanyak lumpur sidoarjo pun, tetap nggak ada yang masuk. Oleh karena itu, usahakanlah berzikir dengan qalbun salim (hati yang selamat).
 
Selanjutnya, qalbun salim, amal shalih dan niat akan menghadapi penyakit-penyakit hati. Penyakit hati inilah yang akan mengganggu kita. Adapun kondisi hati (nafsu) kita ada beberapa macam:
 
Pertama, Hati (Nafsu) Muthmainnah
 
Kondisi hati yang paling tinggi disebut hati atau nafsu muthmainnah (tenang), sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat al-Fajr [89]: 27-30,
 
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Lalu masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S. al-Fajr [89]: 27-30).
 
Maksudnya: Hati yang muthmainnah adalah hati yang tenang, yaitu qalbun salim. Berkenaan dengan hati yang kembali kepada Allah SWT, dalam Surat Thaha [20]: 55 disebutkan:
 
Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu; dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu; dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain (Q.S. Thaha [20]: 55).
 
Tanah itu sakti, karena merupakan benda yang tidak bisa terbakar. Kalau tanah itu bisa terbakar, tentu akan ada kebakaran terus-menerus, karena di dalam perut bumi ada pusat panas.
 
Kedua, Hati (Nafsu) Lawwamah
 
Hati atau nafsu lawwamah adalah hati yang mendapatkan gangguan, tapi masih ketulungan (tertolong). Allah SWT berfirman dalam Surat al-Qiyamah [75]: 2,
 
Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (Q.S. al-Qiyamah [75]: 2)
 
Ayat di atas dapat diartikan: Ojo njagakno (jangan berharap pada) hati yang lawwamah.
 
Hati lawwamah inilah yang kita miliki pada umumnya. Hati lawwamah itu kadang iling (ingat), kadang lupa; kadang sergep (rajin) ngaji, kadang nakal nggak leren-leren (terus-menerus).
 
Mengapa hati disebut qalbun?, karena hati itu tidak pernah jejek (konsisten). Hati itu molak-malik (bolak-balik) dan tidak pernah tetap; antara derita dan bahagia, antara senang dan benci, antara benci dan rindu. Wong iku (manusia itu) kalau sedang rindu, pasti benci kalau tidak kunjung bertemu; tapi kebencian itu juga mengandung kerinduan. Kadang-kadang benci dan rindu menjadi satu, sehingga benci tetapi rindu. Padahal kalau benci mestinya tidak rindu dan kalau rindu mestinya tidak benci; ini kan menurut otak kita, sedangkan hati kita nggak bisa begitu.
 
Hati lawwamah itu diajak apik (baik), gelem (mau) dan diajak elek (jelek), juga gelem (mau). Berbeda dengan hati muthmainnah yang kondisinya sudah mapan dan sulit untuk diajak elek (jelek). Oleh karena itu, orang yang mempunyai hati lawwamah mau diajak ngaji juga mau diajak dangdutan; akhirnya dia menjadi panitia bermacam-macam kegiatan, misalnya: Panitia Nuzul al-Qur’an sekaligus Panitia Jaran Kepang.
 
Ketiga, Hati (Nafsu) Ammarah
 
Kondisi hati atau nafsu yang berat adalah nafsu ammarah. Nafsu ammarah ini nafsu yang tidak ada keinginan untuk berbuat baik. Misalnya: Ketika mempunyai uang, dia tidak eman (keberatan) untuk mengeluarkan banyak uang untuk ngelencer (berwisata; traveling); tapi dia tidak mau memberi uang kepada saudaranya yang sambat (mengeluh) kurang makan. Hati ammarah ini hati yang keras sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat al-Baqarah [2]: 74.
 
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi (Q.S. al-Baqarah [2]: 74).
 
Demikian juga dalam Surat al-Baqarah [2]: 10,
 
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (Q.S. al-Baqarah [2]: 10).
 
Jadi, orang yang mempunyai nasfu ammarah itu di dalam hatinya ada penyakit. Yang dimaksud penyakit hati di sini bukan liver, namun penyakit hati dalam arti spiritual.
 
Menurut Imam al-Ghazali RA, salah satu kekuasaan Allah SWT adalah keajaiban hati. Coba kita pikir!, hati itu mempunyai tiga bagian: bagian kiri, kanan dan tengah. Rasa senang dan rasa sedih ada di situ; namun, umpama dicari oleh dokter, niscaya tidak akan ketemu. Perhatikan hubungan alam zhahir (nyata) dengan alam ghaib (abstrak) dalam hati yang sungguh luar biasa itu. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Mu’minun [23]: 14,
 
Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik (Q.S. al-Mu’minun [23]: 14).
 
Karena di dalam hati itu ada penyakitnya, maka Allah SWT menurunkan obatnya sebagaimana dalam Surat Yunus [10]: 57,
 
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh (obat) bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Yunus [10]: 57).
 
Jadi, Allah SWT itu telah membuat segalanya. Allah SWT membuat hati, penyakit hati dan obatnya sekaligus.
 
Mau’izhah (nasihat), hudan (petunjuk) dan rahmat (kasih sayang) tadi ditujukan untuk orang-orang yang beriman. Kalau nggak beriman, maka tidak akan bisa memperolehnya. Bagaimana mungkin seseorang mau ada penyembuhan di dalam hati, padahal dia tidak beriman kepada Dzat yang mempunyai hati?.
 
Sekarang ada fenomena baru. Ada anak-anak yang nakal disembuhkan dengan ibadah. Misalnya, anak-anak yang terkena narkoba, disembuhkan dengan ibadah. Namun hal itu bukan hanya milik orang Islam, karena orang Katholik juga mempunyai panti-panti penyembuhan seperti itu. Kalau penyembuhan umat Islam itu bersambung sampai pada tauhid, sedangkan mereka berhenti pada proses metabolisme spiritual (terapi kemanusiaan atau insaniyah) yang setingkat dengan mau’izhah (nasihat).
 
Tidak hanya berkenaan dengan penyembuhan, bahkan ilmu kebatinan dan ilmu kebal juga bisa dilakuan orang-orang di luar Islam. Tetapi, ilmu mereka menggantung, karena tidak sampai pada tauhid kepada Allah SWT. Yang demikian itu juga ada di dalam Islam, namun karena menggantung kepada Allah SWT, akhirnya beres. Jadi, ujung-ujungnya pasti kembali kepada Allah SWT, baik kepada mau'izhah (nasihat), syifa' (obat), hudan (petunjuk) maupun rahmat (kasih sayang)-Nya.
 
Akan tetapi, orang yang mampu memahami fenomena di atas adalah ulama. Ulama yang dimaksud di sini adalah ulama sesuai standar al-Qur’an dan Hadis. Yaitu ulama yang mengamalkan ilmunya, konsisten, dan mengerti fenomena zaman. Sedangkan kalau kiai, itu hanyalah panggilan. Misalnya: ada orang yang bisa memimpin tahlil dan Yasin dengan cepat dan tanpa melihat tulisan, sudah dianggap al-mukarram (yang terhormat). Kalau di Jawa Timur disebut Kiai; kalau di Jawa Tengah disebut Mbah; di Jawa Barat disebut Ajengan; di NTB disebut Tuan Guru; di Padang Sumatera Barat disebut Buya; di Kalimantan Selatan disebut Guru; di Aceh disebut Abu atau Tengku. Itu semua adalah panggilan atau sebutan saja, belum tentu orang yang dipanggil dengan gelar-gelar tersebut memenuhi standar al-Qur’an dan Hadis. Setidaknya ada tiga standar ulama menurut al-Qur’an dan Hadis.
 
Pertama, Mengamalkan Ilmunya
 
Standar seseorang disebut ulama adalah kalau sudah mengamalkan ilmunya, sehingga amalannya cocok dengan ilmunya. Untuk mencocokkan ilmu dan amal inilah yang susah dan nggak ada sekolahnya. Apakah lulusan IAIN yang bergelar M.Ag (Master of Alam Ghaib) sudah pasti ulama?. Jawabannya dilihat dulu, kalau ilmu dan amal seseorang sudah cocok, berarti dia adalah ulama. Kalau tidak demikian, berarti dia cuma orang yang pintar (cendekiawan).
 
Ternyata, yang bisa merekatkan antara ilmu dan amal adalah khasyyatullah (takut kepada Allah SWT), bukan ranking gelarnya maupun koleksi kitabnya. Dengan adanya khasyyatullah, ilmu bisa diserap ke dalam hati. Namun sekarang ini, orang tambah pinter, justru tambah nggak wedi (tidak takut) kepada Allah SWT. Kata mereka; ”Sing wedi Pengeran iku kan wong sing goblok-goblok” (yang takut kepada Tuhan kan hanya orang-orang bodoh). Pikiran yang demikian ini termasuk pikiran jahiliyah.
 
Kedua, Istiqamah
 
Standar kedua adalah dia harus mempunyai keistiqamahan (konsistensi). Sikap Istiqamah inilah yang melahirkan fadhilah (keutamaan), ma’unah (pertolongan) dan karamah (keistimewaan).
 
Ketiga, Mengerti Makna Fenomena Zaman
 
Standar ketiga adalah dia harus mengetahui fenomena manusia dan alam sesuai dengan zamannya masing-masing.

Posting Komentar untuk "Berakidah dan Beramal dengan Hati Selamat (Qalbun Salim)"