Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sketsa Islam Indonesia dari Masa ke Masa

Islam Nusantara
Masjid Menara Kudus, Bukti Historis Islam Indonesia atau Nusantara

SKETSA ISLAM INDONESIA DARI MASA KE MASA

Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi
 
Sebagai intelektual atau calon intelektual, kamu (santri Pesma Al-Hikam Malang) harus mengerti aliran-aliran dalam Islam, agar tidak seperti katak dalam tempurung. Oleh karena itu, malam ini saya akan memberikan gambaran secara umum mengenai aliran-aliran Islam yang masuk ke Indonesia.
 
Tentu tidak pantes (pantas) kalau saya sebagai pengasuh Al-Hikam yang dikenal sebagai salah seorang yang berusaha merakit Ukhuwwah Islamiyyah (Persaudaraan antar Umat Muslim)–baik di Indonesia maupun di dunia– sedangkan kamu semua tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Kalau sampai kamu ditanya orang, apa yang dikerjakan oleh Pengasuhmu? Lalu kamu tidak bisa menjawab, tentu tidak pantes. Begitu juga tidak pantes, kalau kamu ditanya: “Apa yang dimaksud Syiah itu?” Lalu kamu menjawab: “Tetangga saya”. Oleh karena itu, saya akan membuat gambaran tentang aliran Islam di Indonesia secara sekilas, karena kalau harus membahas perbedaan-perbedaan aliran dalam Islam secara mendalam, tentu ada mata kuliah tersendiri.
 
Awal Mula Islam Indonesia

Islam masuk di Indonesia pada abad pertengahan. Pada umumnya, golongan yang membawa Islam ke Indonesia bukanlah penguasa, melainkan para pedagang. Mereka datang dari negeri Yaman, terutama dari Yaman Selatan. Di sana ada kota bernama Tarim yang berada di kawasan Hadramaut. Di daerah itu banyak sekali orang alim sekaligus sufi. Sufi berhubungan dengan nurani, dan alim berhubungan dengan ilmu pengetahuan. 
 
Selain orang-orang dari Yaman, para penyebar Islam berasal dari India dan Gujarat. Ciri khas dua negara ini adalah adanya persenyawaan antara agama dan budaya yang sangat kental. Mereka masuk ke Indonesia untuk berdagang sekaligus menyebarkan Islam. Akhirnya pada abad pertengahan itu, mulai timbul gerakan Islamisasi di Indonesia. Pada saat itu, Indonesia sudah didominasi agama Hindu dan Budha. Hindu dengan Majapahit-nya dan Budha dengan Sriwijaya-nya. 

Selanjutnya terjadilah Islamisasi melalui gerakan kultural, bukan melalui sistem pemerintahan maupun peperangan, melainkan melalui persenyawan antara agama dan budaya setempat. Hal ini memungkinkan untuk terjadi, karena yang membawa agama Islam ke Indonesia adalah orang-orang yang agamis sekaligus budayawan. Adapun para pemimpin penyebar Islam ini kemudian disebut Wali Songo. Jadi, Wali Songo adalah sebutan, karena jumlah wali yang menjadi penyebar Islam di Indonesia itu sangat banyak.
 
Ketika Islam masuk di Indonesia, Indonesia sudah penuh dengan budaya, baik budaya lokal Indonesia –misalnya: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Indonesia Timur, dan sebagainya– yang sudah sangat kental sebagai adat istiadat, maupun adat istiadat yang sudah bersenyawa dengan Hindu-Budha. Kemudian Islam baru masuk untuk melakukan proses Islamisasi. Oleh karena itu, pendekatan budaya di dalam proses Islamisasi menjadi sangat mungkin terjadi, mengingat faktor pembawanya dan faktor ajarannya. Yaitu para pembawa Islam saat itu merupakan muballigh (da'i) sekaligus budayawan, sedangkan ajaran Islam yang dibawa ke sini adalah ajaran mazhab Imam Syafi'i RA. Mazhab Imam Syafi’i RA ini terkenal mempunyai toleransi terhadap budaya, sepanjang budaya itu tidak bertabrakan secara diametral dengan pokok-pokok ajaran Nabi Muhammad SAW. 

Dakwah Kultural (Islam dan Budaya)

Sikap Islam ala ulama Syafi’iyyah mempunyai toleransi terbatas terhadap budaya, karena budaya sendiri terbagi menjadi beberapa kategori:
 
Pertama, Budaya yang netral dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Misalnya: Sopan santun. Budaya sopan santun bersifat netral, karena Islam tidak mengatur hal itu. Budaya sopan santun ini bisa dimasukkan dalam konteks Hadis, “Kalian lebih mengetahui perkara duniawi kalian
 
Maksudnya: Perkara-perkara seperti itu lebih kalian ketahui, karena merupakan urusan duniamu. Contoh: Saya memakai kopyah dengan tinggi 9 cm, sedangkan orang lain ada yang menggunakan kopyah dengan tinggi 14 cm. Hal-hal seperti ini tidak diatur oleh Islam, karena yang diatur oleh Islam adalah ketentuan menutup aurat.
 
Kedua, Budaya yang serasi dengan agama dan dapat dijadikan alat agama. Misalnya: Gotong royong. Pada waktu Islam datang, di Indonesia sudah ada budaya gotong royong. Contoh: Ketika ada orang membangun rumah, maka para tetangga sekitarnya berhenti bekerja sejenak untuk ikut membantu mendirikan rumah tetangganya. Budaya seperti itu kan bagus, karena selaras dengan firman Allah SWT dalam Surat al-Ma’idah [5]: 2, "Dan tolong-menolonglah dalam kebajikan dan ketakwaan" (Q.S. al-Ma’idah [5]: 2).
 
Jika suatu budaya itu selaras dengan agama, maka menurut Imam Syafi'i RA, budaya itu bisa diperkuat oleh agama. Inilah yang melandasi lahirnya kaidah al-‘adah al-muhakkamah yang berarti “adat istiadat dapat dijadikan pegangan hukum”.
 
Contoh lain: Anak menghormati orangtua dengan cara mencium tangan, sudah ada di Indonesia sebelum Islam datang. Kalau seseorang lewat di depan orang yang lebih tua, dia akan menunduk atau mengucapkan permisi.
 
Ketiga, Budaya yang salah, namun masih bisa diperbaiki. Misalnya: Pada zaman dahulu, orang yang keluarganya meninggal dunia, akan melakukan ziarah kubur dan selametan. Akan tetapi, niatnya tidak ditujukan kepada Allah SWT, melainkan kepada Kakek Danyang, Nyi Roro Kidul, Mak Lampir, dan sebagainya. Semua itu dilakukan dalam rangka menghormati para leluhur mereka.
 
Menurut Imam Syafi’i RA, di dalam Islam, menghormati leluhur itu hukumnya sunah, akan tetapi harus disertai tauhid atau meng-esa-kan Allah SWT, tidak boleh musyrik. Oleh karena itu, kemudian diaturlah bagaimana caranya budaya selametan (selamatan) tetap jalan dan leluhur tetap didoakan, akan tetapi doanya ditujukan kepada Allah SWT. 

Dari sinilah timbul kegiatan tahlil, talqin, membaca Yasin, membaca shalawat, dan sebagainya. Budaya-budaya seperti ini tidak ada di luar Asia Tenggara. Orang yang tinggal di Mesir, Saudi, dan sebagainya, kalau mereka meninggal dunia, ya sudah, nggak ada urusan apa-apa lagi. Jadi, kegiatan tahlil, talqin, membaca Yasin, dan sebagainya, merupakan proses sublimasi atau pengalihan semangat ruh tauhid kepada Allah SWT untuk menggantikan ruh syirik, dengan tanpa mengubah bentuk budaya yang sudah ada.
 
Kalau kamu ditanya, apa dalil tahlil?. Dalilnya adalah: Kita diperintahkan untuk membaca kalimat Laa Ilaaha Illa Allah, sedangkan di dalam tahlil juga membaca kalimat tersebut. Adapun mengenai sampai-tidaknya pahala kepada si jenazah, maka jika memang sampai, ya Alhamdulillah; kalau tidak, ya nggak apa-apa, toh sudah membaca Laa Ilaaha Illa Allah yang sudah pasti mendatangkan pahala. Jadi, yang dipersoalkan adalah mengapa pahala tahlil itu kok ditransfer?, sedangkan muatan zikir di dalam tahlil sama sekali tidak dipersoalkan oleh orang-orang di luar mazhab Syafi’i RA.
 
Contoh lain: Adat istiadat ketika panen padi. Pada masa dahulu, orang yang panen padi akan membawa tumpeng dan diletakkan di pematang sawah, kemudian tumpeng itu dibiarkan sebagai persembahan kepada Dewi Sri. Budaya seperti itu dicegah oleh Islam, namun masyarakat dahulu tetap diperkenankan untuk membawa tumpeng, hanya saja tumpeng itu diperuntukkan bagi orang yang mencangkul dalam status sebagai shadaqah. Setelah itu, bersama-sama memohon kepada Allah SWT. Demikian ini adalah contoh-contoh budaya yang salah, namun masih bisa diperbaiki. Nah, yang begini-begini inilah yang oleh orang selain mazhab Syafi’i, dianggap sebagai bid’ah, padahal pada awal Islam di Indonesia, hal itu justru dianggap sebagai alat dakwah.
 
Demikian juga dengan tradisi Maulid Nabi Muhamamad SAW. Anehnya, Maulid Nabi SAW dianggap bid’ah dhalalah (inovasi agama yang sesat) di Saudi Arabia, namun kalau memperingati rajanya, justru tidak dianggap bid’ah. Saya pernah diundang untuk menghadiri acara untuk memperingati kekuasaan King Abdul ‘Aziz, padahal acara itu sama saja dengan Maulid Nabi SAW.
 
Keempat, Budaya yang harus dipotong (dihilangkan), karena merupakan budaya yang khurafat (takhayul), munkarat (munkar), atau maksiat, dan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Contoh: Di wilayah Lombok sebelah timur terdapat suku Sasak. Di dalam suku itu ada budaya kalau seorang pemuda akan menikah, maka sebagai tanda bahwa pemuda itu cinta kepada calon istrinya, dia harus menculik dan membawa lari calon istrinya itu. Beberapa hari kemudian, ketika si wanita sudah luset (dipergauli layaknya suami-istri), baru mereka berdua bersama-sama menghadap kepada calon mertua mereka. Adat istiadat seperti ini jelas tidak boleh dan tidak bisa diperbaiki lagi, karena budaya ini sama dengan perzinahan. Oleh karena itu, budaya seperti ini harus dipotong.
 
Proses Islamisasi secara kultural ini akhirnya mengakibatkan dua hal besar, yaitu:  Pertama, Masyarakat Indonesia berbondong-bondong masuk agama Islam dengan kesadaran, tanpa paksaan, dan tanpa perang, namun melalui akulturasi budaya. Jadi, tidak ada perang agama di Indonesia. Kedua, Kalau gerakan dakwah kultural tadi sudah tuntas, berarti orang sudah dipindahkan dari budaya kafir menuju pada budaya Islam; atau dari budaya syirik kepada budaya tauhid. 

Ini kalau dakwah kultural tersebut benar-benar sudah khatam (tuntas). Akan tetapi, ada juga orang-orang yang pembinaannya masih belum khatam, lalu sudah ditinggal wafat oleh generasi Wali Songo. Akhirnya, mereka hanya mendapatkan separuh ilmu. Mereka mengerti Laa Ilaaha Illa Allah, namun tidak mengerti shalat. Misalnya: Orang-orang kebatinan yang belum selesai di-Islam-kan secara tuntas. Kelompok ini kemudian menjadi kelompok abangan. Kelompok abangan ini bukan berarti tidak percaya kepada Allah SWT, hanya saja proses Islamisasi pada mereka masih belum tuntas pembinaannya. 

Dakwah Akulturasi (NU) versus Purifikasi (MD)
 
Pada saat jumlah penduduk Indonesia masih sebanyak 45 juta, sekitar 90% masyarakat di Indonesia masuk Islam melalui proses akulturasi di atas. Selanjutnya datanglah gelombang pembaharuan Islam di Indonesia yang dimotori oleh orang-orang dari Saudi Arabia dan sebagian ulama Mesir. Mereka masuk ke Indonesia ketika masyarakat Islam Indonesia terdiri dari kaum santri dan kaum abangan. 

Gelombang kedua yang membawa bendera pembaharuan Islam ini masuk ke Indonesia, akan tetapi mereka tidak bisa mengerti adanya proses akulturasi Islam dengan budaya setempat. Dalam pikiran mereka: “Islam di sini kok macem-macem (bermacam-macam), ada tahlilan, mauludan, ini, itu, dan sebagainya; sementara di negara saya, tidak ada tradisi seperti ini”. Dari sinilah tumbuh gerakan pemurniaan (purifikasi) Islam yang disponsori oleh Muhammadiyah (MD). Sedangkan kelompok yang mewarisi proses Islamisasi melalui akulturasi tadi mengelompok dalam wadah bernama NU (Nahdlatul Ulama).
 
Posisi MD terhadap NU maupun terhadap umat muslim adalah melakukan pemurniaan Islam dan modernisasi Islam, karena masyarakat muslim pada saat itu masih sangat tradisional. Misalnya: Santri-santri banyak yang tidak pernah memakai celana, nggak pakai sabuk (ikat pinggang), nggak pakai celana dalam, Jeding (tempat air) di Pondok Pesantren banyak lumutnya, dan sebagainya. Sedemikian tradisionalnya umat Islam saat itu, akhirnya ada antisipasi berupa modernisasi. Jadi, para pembaharu Islam ini mengusung tema purifikasi (tashfiyyah) dan modernisasi.
 
Bagi MD, kurikulum di pesantren-pesantren hanyalah menghabiskan waktu semata. Misalnya: Kurikulum fifih. Pada tingkat dasar mempelajari kitab Sullam Taufiq; tingkat lanjut mempelajari Fathul Qarib; tingkat menengah mempelajari kitab Fathul Mu’in; dan tingkat atas mempelajari kitab Fathul Wahab. Padahal semua kitab-kitab itu, bab-babnya sama, cuma keterangannya saja yang berbeda. Menurut MD, kurikulum seperti ini dianggap sebagai metodologi pembelajaran yang stagnan (mandek) dan tidak memproses pemikiran ke depan. Oleh karena itu, perlu ada modernisasi. 

Selain mengusung tema purifikasi dan modernisasi, gelombang pembaharu Islam juga mengusung tema persatuan Islam dengan merujuk langsung kepada Rasulullah SAW. Menurut mereka: “Mengapa orang-orang NU memakai pendapat Imam Syafi’i, kok tidak memakai pendapat al-Qur’an?”. Oleh karena itu, slogan yang mereka usung adalah “Kembali kepada al-Qur’an dan Hadis”. Slogan ini sepertinya benar, tapi sebenarnya nggak benar. Memang kita harus kembali kepada al-Qur’an dan Hadis, akan tetapi bagaimana cara kembalinya? 

Al-Qur’an itu ibarat UUD 1945 yang masih bersifat mujmal (global), sehingga al-Qur’an itu harus dirinci lagi melalui metode Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an (Menafsiri ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lain), atau melalui metode Tafsir al-Qur’an bi al-Hadits (Menafsiri al-Qur’an dengan Hadis yang berfungsi sebagai penjelas). Selanjutnya, hasil tafsiran di atas masih harus dirinci lagi oleh pemikiran para ulama (ijtihad) yang dikondisikan oleh ruang dan waktu; dari sinilah kemudian lahir hukum positif Islam. Sama dengan UUD 1945 di Indonesia. 

Kalau ada orang tertangkap karena mencuri sepeda motor, maka dasar hukum untuk menangkapnya bukan mengacu pada UUD 45, melainkan mengacu pada ketentuan KUHP yang merupakan rincian UUD 45 yang jenjangnya sudah nomor kesekian. Ini bagaimana, orang disuruh kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, akan tetapi tidak diberi tahu bagaimana cara kembalinya?.
 
Karena kelompok pembaharu Islam ini menggunakan metode kembali kepada al-Qur’an dan Hadis, maka mereka tidak mau kembali kepada mazhab, karena mazhab dianggap sektarianitas atau melakukan pengkotak-kotakan umat Islam. Secara teoretis, kalau semua kembali kepada al-Qur’an dan Hadis, tentu akan bertemu pada satu titik. Akan tetapi, karena banyak yang tidak mengetahui cara kembalinya, akhirnya sejumlah orang yang mengaku kembali ke al-Qur’an dan Hadis, sejumlah itu pula mazhab yang muncul. Sekarang banyak mubaligh (da’i) di TV-TV yang gayanya seakan-akan kembali kepada al-Qur’an dan Hadis, akan tetapi mereka sebenarnya nggak bisa membaca al-Qur’an dengan baik. Para mubaligh itu hanya bisa bicara tentang budi pekerti, tapi tidak bisa meneladani Hadis-hadis Rasulullah SAW.
 
Akhirnya apa yang terjadi?, Yang terjadi adalah konflik antara NU dan MD dalam wacana ijtihad, taqlid, bermazhab, dan sebagainya. Semenjak saya kecil, pertengkaran antara NU dan MD ini begitu tajam, namun sekarang ini sudah nggak tajam lagi, karena orang yang mengaku kembali kepada al-Qur’an dan Hadis itu ternyata nggak bisa balik lagi –istilahnya: Iso budal, nggak iso mulih (bisa pergi, tidak bisa pulang)– karena mereka tidak mempunyai modal yang cukup untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.
 
Memang slogan ini ketika berupa wacana, tampak logis sekali; akan tetapi ketika harus difaktakan, banyak yang tidak bisa melakukannya. Coba anak-anak Pesma Al-Hikam ini, misalnya ada seruan: “Wahai anak-anak Pesma, mari kita kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Tentu nggak mungkin bisa, karena membaca al-Qur’an saja masih belum begitu lancar. Karena nggak mungkin melaksanakan slogan tadi, akhirnya banyak yang putus asa dan masing-masing orang mengikuti gurunya sendiri-sendiri. Padahal tindakan mengikuti gurunya sendiri-sendiri itu sama saja dengan bermazhab.
 
Akhirnya pertikaian antara NU dan MD mulai mereda. Mereka tetap bersatu, sekalipun ada perbedaan di antara keduanya, karena sama-sama mengerti; sedangkan belakangan ini bersatu karena sama-sama nggak mengerti. Nah, sekarang ini, konflik antara NU dengan MD menurun jauh dibandingkan dengan kondisi pada waktu saya dulu. Mereka dulu berkelahi dan masing-masing merasa paling berhak masuk surga. Baik warga NU maupun MD suka berbedat, sekalipun tidak ada ilmunya, bahkan di pasar-pasar rombeng sekalipun.
 
Sekarang ini, semuanya sudah lumer (cair), dan yang tersisa di dalam konflik antara NU dan MD adalah fanatisme golongan, bukan lagi tentang wacana keagamaan. Artinya, konflik sudah bergeser dari wacana akidah dan syariah, menjadi wacana interest (kepentingan) dan opportunity (peluang). Apalagi yang memimpin NU (KH. Hasyim Muzadi) dan MD (Din Syamsudin) sekarang ini, ngajinya satu pondok (Gontor). Lumayan saya lebih dulu daripada pemimpin MD sekarang, sehingga dia nggak ngelamak (“kurang ajar”). Pada saat saya kelas 6, dia masih duduk kelas 1. Persaingan antara NU dan MD ini menurun drastis, setelah ada regenerasi, yaitu semenjak tahun 80’-an. Persaingan yang tertinggal sekarang adalah persaingan nama, simbol-simbol, dan sejenisnya.
 
Sekarang ini, NU mulai mengejar ketertinggalan dengan MD dalam hal manajemen, kebersihan, metode, dan lain-lain; sedangkan MD merasa kering karena nggak ada zikir, sehingga mulai mengimpor zikir. Akhirnya, terjadilah crossline (titik temu) dan saling membutuhkan. Ibaratnya: Yang NU tidak bisa jeding-nya lumuten (berlumut) terus; sedangkan yang MD tidak bisa pakai celana terus. Makin lama, golongan MD ini ingin hatinya terisi, karena sebelumnya mereka itu tergolong rasionalistik, bukan sufistik. Sedangkan kalangan NU kebanyakan sufistik, sehingga terkadang tidak bisa dibedakan antara orang sufi dengan dukun. Misalnya, ono wong nggak genah, jare karomah, wali (ada orang yang di luar kewajaran, sudah dianggap karamah dan dinilai wali).
 
Sekarang ini, muncul gelombang baru yang mempersoalkan masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) di atas, malah MD juga menjadi korban, sebagaimana yang dialami oleh NU, yaitu suka kecurian (sering kehilangan) masjid dan mushalla. Padahal dulu yang suka mencuri masjid dan mushalla milik NU adalah MD; namun sekarang, ganti masjid dan mushalla MD yang dicuri oleh HTI, dan sebagainya. Mungkin ini hukum karma.
 
Aliran-Aliran Islam di Indonesia

Adapun aliran yang masuk di Indonesia saat ini antara lain:
 
Pertama, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Arti dari namanya saja sudah terlihat sangat politis, yaitu “Kelompok Pembebasan Indonesia”. Maksudnya, suatu negara akan dibebaskan dari sistem non-khilafah, kemudian dikembalikan kepada sistem khilafah.
 
Kedua, PKS. PKS ini gerakannya melalui MLM (Multi Level Marketing). Yang membuat sistem ini dulunya adalah Sayyid Quthub, dengan ‘event organizer-nya’ bernama Hasan Al-Banna. Dari sini, lahirlah kelompok Ikhawanul Muslimin (IM) di Timur Tengah. IM ini pekerjaannya melakukan kudeta di mana-mana. IM ini membuat gerakan Islam dengan sistem MLM yang bertujuan untuk melakukan kudeta, terutama di negara-negara yang dianggap tidak Islami (sekuler) atau dianggap tidak sejalan dengan mazhab IM.
 
Sebenarnya, PKS dan HTI satu badan, hanya beda sayap. HTI itu sayap IM di bidang manuver kerakyatan, sehingga kerjaannya demo, pokoknya yang penting ramai. Sayap kedua adalah PKS yang menggunakan gerakan-gerakan yang lebih demokratis. Kalau nanti sudah menjadi Presiden, baru mereka akan bersatu. PKS sekarang ini jarang demo, padahal dulu mereka sering demo. Bisa jadi karena Menteri Pertanian saat ini dari golongan mereka, sehingga kalau melakukan demo, akan kenek batuke dewe (kena dahi sendiri).
 
Ketiga, MMI (Majlis Mujahidin Islam) di bawah pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. MMI ini sifatnya tidak internasional, melainkan regional. MMI ini berpusat di Pakistan, namun mempunyai kegiatan edar di Asia Tenggara. Pada zaman Pak Harto, orang-orang MMI ini lari ke Malaysia karena dikejar-kejar oleh TNI; dan setelah reformasi, mereka kembali ke Indonesia, tepatnya ke Ngruki.
 
Keempat, Jaulah. Pengikut kelompok ini biasanya memakai celana yang diwingkis (dilipat ke atas) dan pergi dari satu masjid ke masjid lain. Sepertinya mereka ingin melacak kehidupan Rasulullah SAW seperti aslinya. Akhirnya, mereka memakai bakiak, nggak mau pakai sandal biasa. Tapi  anehnya, mereka kok bawa pena, padahal Nabi SAW tidak pernah membawa pena; dan Nabi SAW juga tidak pernah menanak nasi di atas kompor. Pusat kelompok Jaulah ini ada di Pakistan.
 
Kelima, Al-Qaeda. Kelompok ini tergolong kelompok yang paling keras. Semua orang selain mereka dianggap kafir, sehingga kelompok ini disebut juga dengan Hizbut Takfiri (Kelompok yang suka mengkafir-kafirkan). Semua orang yang tidak berada dalam kelompok ini dianggap kafir dan boleh dibunuh.
 
Keenam, Salafi atau Wahabi. Kelompok ini berasal dari Saudi Arabia. Kelompok ini yang menganggap sembarang (berbagai) hal sebagai bid’ah. Apa saja yang tidak ada di Saudi Arabia, dianggap tidak boleh menurut Islam. Inilah susahnya menghadapi orang Wahabi. Mereka merasa Rasulullah SAW hidup di Saudi Arabia, akhirnya apa yang tidak ada di sana dianggap bid’ah; padahal Islam itu Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi semesta alam), bukan Rahmatan lis Sa’udiiyyin! (rahmat bagi Saudi Arabia saja). Mereka juga paling sulit diajak ngomong pengembangan kebudayaan. Mereka kaya pun sebenarnya karena barakah doa Nabi Ibrahim AS yang selalu berdoa agar negara Hijaz aman dan makmur.
 
Ketujuh, Syiah. Pusatnya di Iran. Mereka ini kelompok yang pro Sayyidina Ali RA, namun kontra dengan para Khulafaur Rasyidin yang lainnya. Mereka juga tidak percaya kepada Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga tidak mau memakai Hadis-hadis beliau berdua. Bagi Syiah, tidak boleh ada orang yang memimpin Islam, kecuali berasal dari keturunan Sayyidina Ali RA. 

Kalau mereka mengumandangkan azan, ada tambahan lafal “wa anna ‘Aliyyan waliyullah” (dan sesungguhnya ‘Ali adalah kekasih Allah). Kalau mendirikan shalat, mereka tidak mau sujud di atas karpet, melainkan harus sujud di atas tanah, batu, kayu atau ubin. Oleh karena itu, mereka biasanya membawa batu seperti kereweng (pecahan genting) yang berasal dari Karbala yang digunakan sebagai tempat menempelkan dahi ketika sujud. Oleh karena itu, pada dahi mereka banyak terdapat tanda hitamnya. 

Kalau wudhu, mereka tidak mau mencopot sepatunya, dan mereka shalat sehari semalam sebanyak 3 waktu, yaitu: Zhuhur-Ashar digabung menjadi satu; Maghrib-Isya’ digabung menjadi satu, dan Shubuh; baik ketika bepergian maupun ketika di rumah saja. Yang paling menarik adalah mereka memperbolehkan perkawinan tanpa saksi (nikah mut’ah), asalkan sama-sama suka. Inilah yang paling banyak peminatnya.
 
Semua kelompok yang saya sebutkan di atas, sekarang masuk ke Indonesia secara bersama-sama dan masing-masing mencari kekuatan massa. Karena massa Islam di Indonesia ini berada di NU dan MD, maka yang dikeroyok juga NU atau MD. Oleh karena itu, pada saat ini ada kerawanan keretakan Ukhuwwah Islamiyyah di Indonesia.
 
Di antara aliran-aliran di atas, ada yang berupa aliran agama, misalnya: Syiah dan Wahabi; ada yang beraliran politik, misalnya: PKS dan HTI. MMI termasuk kelompok garis keras. FPI (Front Pembela Islam) juga kelompok garis keras, tapi kelas lokal. Pengikut FPI ini banyak yang berasal dari NU. Mereka itu yang bosan melihat kesabaran NU, akhirnya langsung beli pentungan (pemukul kayu). Tapi yang diajarkan di kelompok FPI juga kitab Riyadhus Shalihin sebagaimana NU. Jadi, FPI itu bukan bagian dari gerakan internasional, mereka hanya kelompok lokal yang senang bersikap keras, dan biasanya dipimpin orang keturunan Arab.
 
Selain aliran-aliran di atas, ada juga yayasan-yayasan yang tidak bergerak langsung, melainkan berfungsi sebagai underbow (organisasi sayap) dari aliran di atas. Misalnya: Yayasan Al-Bayyinat. Yayasan ini sangat membenci Syiah. Sebenarnya merekalah yang melakukan demo di Madura terkait dengan masalah Syiah.
 
Ketetapan saya sudah pernah bertemu “bos-bos” dari aliran-aliran di atas. Mereka nggak mau “ngelamak” (kurang ajar), karena saya sudah kenal “bos-bos” mereka. Letak perbedaan antara saya dengan semacam kelompok PKS adalah: kalau mereka melakukan demo anti Israel, mereka hanya berdemo di Bundaran HI (Hotel Indonesia); sedangkan kalau saya mengurusi Palestina, maka saya langsung pergi ke Palestina. Kalau mengurusi Syiah, saya langsung ke Iran; kalau mengurusi Sunni, saya langsung ke Irak; dan sebagainya.
 
Hampir semua negara Timur Tengah melarang keberadaan IM, kecuali Mesir. Mulai Syiria, Yordan, Libanon, Saudi Arabia, dan sebagainya. Semuanya menolak keberadaan IM, karena mereka membuat gerakan yang ujung-ujungnya adalah kudeta. Karena negara-negarra itu tidak mau dikudeta, akhirnya IM harus dienyahkan. Oleh karena itu, di Indonesia, Hizbut Tahrir dinamakan HTI, hal ini menunjukkan ada HT Malaysia, HT Australia, dan sebagainya. Namun, mereka semua masih berada dalam koordinasi IM. Karena IM ini dibenci oleh masing-masing negara, akhirnya keberadaan mereka tidak jelas, begitu juga dengan markas mereka. Saya menduga, markas IM berada di Kairo.
 
Pembahasan kali ini penting untuk kamu semua. Bukan berarti saya menyuruh kamu untuk mencaci maki, melainkan agar kamu mengetahui bagimana konstelasi (keadaan atau tatanan) umat Islam di Indonesia, sehingga kamu bisa melakukan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi bangsa. Ingat!, Pesma Al-Hikam adalah tempat belajar agama, dan tidak boleh ada politisasi di sini.     


Posting Komentar untuk "Sketsa Islam Indonesia dari Masa ke Masa"