Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Interaksi dengan al-Qur'an

INTERAKSI DENGAN AL-QUR’AN

Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi

Mendekati al-Qur'an
Menyimak dan Diam Saat Ayat al-Qur'an Dibaca

Apabila al-Qur’an dibaca, diamlah, jangan berisik, sebab suara apapun tidak akan mengungguli suara al-Qur’an. Jadi, hentikan semua suara dan dengarkan suara al-Qur’an baik-baik. Sesuai dengan firman Allah SWT:
 
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (204)
 

Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S. al-A’raf [7]: 204).
 
Pendengaran itu ada dua jenis: al-bashar (pendengaran telinga) dan al-bashirah (pendengaran hati). Keduanya dipakai bersama ketika mendengar al-Qur’an, sekalipun secara rasional, kita belum mengerti makna al-Qur’an. Semoga, dengan upaya diam dan mendengarkan, kita mendapatkan rahmat. Baik rahmat zhahiriyah (lahir) maupun bathiniyah (batin). Ini kebiasaan kita dalam rangka mendekati al-Qur’an.
 
Kedua, dengan mengerti makna al-Qur’an, melalui terjemah maupun tafsir. Contoh terjemah adalah al-Qur’an terjemahan Departemen Agama. Contoh tafsir yang pendek adalah Tafsir Jalalain. Harus kita harus ketahui, bahwa terjemahan bahasa apapun tidak pernah seratus persen mewakili makna dari kata yang diterjemahkan. Pasti ada sisa yang tidak diterjemahkan. Apalagi kalau yang diterjemahkan adalah mukjizat, seperti al-Qur’an. Misalnya, terjemahan Bismillah al-Rahman al-Rahim adalah “Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Pasti kata Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu tidak bisa menjelaskan apa sesungguhnya Rahman dan Rahim itu. Jadi, kita tidak mungkin kita memahami al-Qur’an hanya melalui terjemahan.
 
Kemudian timbul ilmu tafsir. Penafsiran itu ada penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an (al-Qur’an bi al-Qur’an), karena ayat-ayat al-Qur’an ini disusun terputus-putus. Al-Qur’an tidak menggunakan bab, melainkan Surat. Kalau berupa bab, satu bab hanya mencakup tentang satu masalah; tapi kalau berupa Surat, semua masalah masuk dalam satu Surat tersebut. Artinya, setiap Surat mempunyai content atau isi segala macam yang dikehendaki oleh Allah SWT. 

Misalnya, perintah takwa dan tawakkal berada dalam seluruh Surat; demikian juga larangan berada dalam seluruh Surat. Oleh karena itu, diperlukan tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, sehingga makna potongan ayat di sini, baru dimengerti jika disambungkan dengan potongan ayat di sana. Misalnya, dalam ayat al-Qur’an disebutkan:
إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
 

Sesungguhnya Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Hajj [22]: 18).
 
Dalam ayat lain, al-Qur’an menjelaskan tentang apa yang dimaksud kehendak Allah SWT. Ada kehendak Allah SWT yang tidak bisa diubah dan ada kehendak-Nya yang bisa diubah oleh Allah SWT sendiri, melalui permintaan (doa) kita.

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Setiap jiwa pasti merasakan kematian (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 185).
 
Kematian adalah contoh kehendak Allah SWT yang tidak bisa diubah lagi, karena ketetapan-Nya memang begitu. Bukan hanya maut yang mengejar manusia, melainkan juga manusia mengejar maut itu sendiri. Oleh karena itu, kita tidak bisa berdoa: “Ya Allah, mudah-mudahan saya tidak mati”, meskipun pada saat yang sama, kita meyakini kebenaran ayat lain, “Sesungguhnya Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya”. Jadi, ada konteks tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an.
 
Contoh lain, ada ayat yang memerintahkan kita untuk berdoa:
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Berdoalah kepada-Nya, niscaya aku ijabahi kalian (Q.S. al-Mu’min [40]: 60).
 
Sudahlah, kamu semua minta saja kepada-Ku, Aku akan memberi. Aku akan ijabahi. Aku akan jawab. Aku akan respon. Kita boleh mohon supaya umur panjang, karena sifatnya bukan “harga mati”, tidak seperti ayat, “setiap jiwa pasti merasakan kematian”. 

Kematian adalah sunnatullah, yaitu hukum alam yang ditetapkan oleh Allah SWT dan tidak akan diubah lagi oleh Allah SWT. Sedangkan perintah Allah SWT agar kita berdoa diberi panjang umur, termasuk hukum Allah SWT yang dapat diubah sesuai kehendak-Nya, karena Allah SWT melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Artinya, Allah SWT bisa memberi manusia usia panjang; dan bisa juga memberi usia pendek. Demikian ini disebut masyi’atullah (kehendak Allah SWT), bukan sunatullah (ketetapan Allah SWT). Di sinilah letak kita berjuang dan berikhtiar. Orang bisa kaya atau miskin; sukses atau gagal; doanya dikabulkan atau tidak. Itu semua dalam konteks masyi’atullah, bukan sunnatullah.
 
Dengan demikian, kalau kita minta kepada Allah SWT, bisa meminta dengan hati melalui doa; dan meminta dengan fisik melalui ikhtiar. Jadi, ikhtiar itu doa lahir; dan doa itu ikhtiar batin. Status keduanya sama. Namun, kalau kita berdoa atau meminta kepada Allah SWT, pasti akan diberi. Tapi, kapan diberi?, diberi apa?, permintaan kita dituruti semua atau sebagian?, diberi persis seperti yang kita minta atau diganti pemberian lain?. Itu semua haknya Allah SWT yang memberi, bukan kita yang meminta. Inilah bedanya doa dengan memalak, semisal: “Ya Allah, mudah-mudahan saya Engkau beri pandai. Awas kalau tidak”.
 
Apapun pemberian Allah SWT, ketika kita sudah ikhtiar dan doa, itu adalah rahmat; sekalipun kita tidak diberi, ditunda, diberi sedikit, atau ditukar. Minta kaya, diberi ilmu; minta harta, diberi anak shalih. Oleh karena itu, dalam konteks doa ada istilah, Insya Allah, yaitu sesuai kehendak Allah SWT. Namun kalau sudah jelas, tidak usah menggunakan Insya Allah. Misalnya, “siapa namamu?”, tidak boleh dijawab, “Insya Allah, Muhammad”. Ini Muhammad Insya Allah atau Insya Allah Muhammad?.
 
Allah SWT Maha Berkuasa dan Berkehendak untuk melakukan apa saja. Tapi Allah SWT telah menetapkan “kodrat-Nya” sendiri, bahwa Dia tidak akan menzhalimi hamba-Nya. Berbeda dengan manusia.  Saat ini, banyak orang yang sudah melakukan kewajiban, namun belum dapat haknya. Misalnya guru madrasah yang gajinya sedikit. Ada juga orang yang sudah mendapat hak, tapi belum melakukan kewajiban. Ini semua adalah contoh kezhaliman. 

Padahal, dalam agama, hak dan kewajiban itu tidak dapat dipisahkan. Contoh, Kalau kita punya kewajiban hutang, maka harus dibayar atau minta diikhlaskan (dibebaskan dari hutang). Kalau tidak kita bayar, di akhirat nanti akan diganti dengan pahala amal kita. Yang repot itu kalau hutang kepada rakyat, seperti korupsi. Nanti mengembalikanya seperti apa?. Oleh sebab itu, paling nikmat kalau di dunia ini kita tidak memiliki hutang, sekalipun tidak memiliki kelebihan.