Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indikator Kesuksesan Puasa

INDIKATOR KESUKSESAN PUASA

Puasa
Semoga Allah SWT Menerima Ibadah Ramadhan Kita. Amin.

 
Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com

Menjelang akhir Ramadhan, pertanyaan krusial yang menyeruak adalah apakah puasa kita sukses atau gagal? Jawabannya dapat ditemukan dengan merenungi indikator kesuksesan puasa berdasarkan tujuan utama syariat Islam (maqashid syariah) yang meliputi pemeliharaan agama (hifzh al-din), jiwa-raga (hifzh al-nafs), akal (hifzh al-‘aql), keluarga (hifzh al-nasl), harta (hifzh al-mal) dan harga diri (hifzh al-‘irdh). 

Pada tingkatan pemeliharaan agama, puasa tergolong sukses apabila sudah menimbulkan rasa mawas diri (muraqabah) pada diri seseorang. Yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah SWT, sehingga menimbulkan rasa malu untuk meninggalkan kewajiban agama maupun melakukan larangan agama. 

Selanjutnya rasa malu menjadi alat kontrol yang efektif bagi perilaku orang tersebut, sebagaimana Hadis riwayat Imam al-Baihaqi yang menyebutkan sabda Nabi SAW terkait hikmah para nabi terdahulu, “Jika engkau tidak malu, maka lakukan apa yang engkau mau”. Artinya, ketika seseorang memiliki rasa malu, maka dia akan berpikir matang sebelum melakukan sesuatu, sehingga tindak-tanduknya tidak berangasan dan sembrono. 

Pada tingkatan pemeliharaan jiwa-raga, puasa tergolong sukses apabila sudah menimbulkan pengendalian diri dengan memenuhi kebutuhan jiwa-raga secara seimbang. Misalnya, perut tidak terlalu kenyang yang memberatkan ibadah, sebagaimana perut tidak sampai terlalu lapar yang mengganggu konsentrasi ibadah, melainkan perut pada posisi seimbang, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW: “sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk pernafasan” (H.R. al-Tirmidzi). 

Seperti halnya jiwa tidak terlampau percaya diri yang mengarah pada sikap sombong maupun terlampau rendah diri yang mengarah pada sikap putus asa, melainkan bersikap tengah-tengah, yaitu rendah hati (tawadhu’). Manfaat rendah hati adalah kesuksesan tidak menimbulkan rasa sombong dan kegagalan tidak menimbulkan rasa putus asa. 

Pada tingkatan pemeliharaan akal, puasa tergolong sukses apabila sudah membuat seseorang mampu memfungsikan akalnya sebagai pengendali kebutuhan nafsu yang cenderung anthroposentris (duniawi) dengan kebutuhan hati yang cenderung teosentris (ukhrawi). Wujudnya adalah gaya hidup teo-anthroposentris yang memadukan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi secara seimbang. Misalnya, memanfaatkan IPTEK untuk kemaslahatan publik yang berpotensi menghasilkan pahala di akhirat. Jadi, IPTEK bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan duniawi, melainkan juga kebutuhan ukhrawi. Hal ini selaras dengan kandungan Surat al-Zalzalah [99] ayat 7, “Maka barangsiapa berbuat kebaikan seberat dzarrah (atom), maka dia akan melihat (pahala)nya”.  

Pada tingkatan pemeliharaan keluarga, puasa tergolong sukses apabila sudah menimbulkan rasa persatuan dan kesatuan, alih-alih perpecahan dan permusuhan. Dalam konteks Indonesia yang multikultural, rasa persatuan dan kesatuan tersebut meliputi skala internal umat muslim (ukhuwwah Islamiyyah), skala nasional antar warga negara Indonesia (ukhuwwah wathaniyyah), bahkan skala internasional antar warga dunia (ukhuwwah basyariyyah). Model persatuan dan kesatuan ini selaras dengan visi agung syariat Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107) dan sabda Nabi SAW: “Sayangilah penduduk bumi, niscaya penduduk langit akan menyayangi kalian” (H.R. Abu Dawud).

Pada tingkatan pemeliharaan harta, puasa dinilai sukses apabila berhasil menumbuhkan solidaritas sosial. Ramadhan telah menyediakan berbagai media bagi aksi-aksi kedermawanan, mulai dari berbagi menu sahur dan buka puasa; santunan yatim-piatu dan fakir-miskin; infak di masjid dan mushalla yang menjadi tempat jamaah shalat tarawih dan witir; kewajiban zakat fitrah dan zakat mal yang menjadi penyempurna ibadah puasa; hingga pembagian THR, bonus dan hadiah menyambut hari raya Idul Fitri. 

Melalui berbagai kegiatan tersebut, harta tidak lagi berkutat pada kelompok masyarakat kaya yang berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial; melainkan dapat dirasakan manfaatnya oleh kelompok masyarakat miskin, sehingga terwujud keadilan sosial. Fungsi sosial harta inilah yang direkomendasikan Surat al-Hasyr [59] ayat 7, “supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” dan jawaban Nabi SAW tentang sedekah yang paling agung pahalanya, “engkau bersedekah ketika sedang sehat lagi ‘syahih’, (yaitu) engkau khawatir miskin dan berharap kaya”. (H.R. Bukhari).

Pada tingkatan pemeliharaan harga diri, puasa dinilai sukses apabila berhasil menumbuhkan perasaan egaliter (sederajat). Ketika berpuasa, semua merasa lapar dan semua berpeluang mendapatkan pahala atas puasa yang dilakukan; baik laki-laki maupun perempuan; dewasa atau anak-anak; kaya atau miskin; pejabat atau rakyat; ulama atau orang awam; WNI atau WNA; dan seterusnya. 

Selanjutnya perasaan egaliter ini berbuah sikap saling hormat-menghormati antar sesama, tanpa memedulikan perbedaan tampilan luar. Sedangkan manifestasinya adalah menghormati nyawa, harta benda dan harga diri orang lain, sebagaimana amanat terakhir Nabi SAW pada saat khutbah Haji Wada’ (H.R. Bukhari).

Walhasil, puasa kita sukses atau gagal dapat diukur dengan menilai seberapa banyak indikator yang sudah terpenuhi, terkait: (1) rasa mawas diri (muraqabah); (2) pengendalian diri terhadap kebutuhan jiwa-raga; (3) keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi; (4) rasa persatuan dan kesatuan; (5) solidaritas sosial; (6) perasaan egaliter dan saling menghormati antar sesama.