Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penyalahgunaan Media Sosial Perspektif Islam

PENYALAHGUNAAN MEDIA SOSIAL

medsos
Menyalahkan Orang Lain Melalui Medsos

Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com

Salah satu bukti kebenaran al-Qur’an adalah kesesuaian isi al-Qur’an dengan fakta kehidupan. Misalnya, “semakin luas rezeki yang diberikan Allah SWT, semakin besar peluang seseorang untuk melakukan penyimpangan” (Q.S. al-Syura [42]: 27). Hal ini dapat dilihat dari fenomena penyalah-gunaan media sosial.
 
Membludaknya media sosial berbasis tulisan, gambar, audio dan video; memicu penggunanya untuk berlomba-lomba mengunggah (upload) tulisan, gambar, audio dan video hasil kreativitas sendiri, maupun sekedar membagi (share) hasil karya orang lain.
 
Problemnya adalah seringkali kreativitas tidak dikendalikan oleh akal sehat, hati nurani dan nilai-nilai agama, sehingga produk kreativitas justru menunjukkan fenomena “mendadak goblok”, semisal mempertuhankan artis tiktok; hilangnya hati nurani, semisal mengedit foto ulama atau habib untuk menimbulkan fitnah; dan pelanggaran nilai-nilai agama, semisal mempertontonkan aurat sevulgar mungkin.  
 
Jika ditelusuri lebih jauh, media sosial seringkali disalahgunakan, sehingga banyak akhlak tercela yang diekspos secara blak-blakan di media sosial. Antara lain:
 

Pertama, Mengeluh


Manusia memang memiliki watak mudah sekali mengeluh saat mengalami musibah (Q.S. al-Ma’arij [70]: 20). Watak ini semakin mudah keluar, karena banyaknya media sosial yang dapat digunakan sebagai “tong sampah” berbagi keluhan. Jika berpikir sehat dan realistis, sebenarnya mengeluhkan masalah pribadi di ruang publik, seperti media sosial, tidak banyak menyelesaikan masalah, justru lebih sering memperkeruh masalah. Bukankah banyak pasangan selebriti yang semula tidak ingin bercerai, namun setelah “dipanas-panasi” infotainment, akhirnya mereka memutuskan bercerai. Demikian halnya mengeluhkan masalah di media sosial, paling banter hanya akan mendapatkan like, emoji sedih atau komentar singkat yang sama sekali tidak memberi solusi nyata.

Oleh sebab itu, lebih baik kembali pada ajaran Islam yang menyeru umat muslim agar mengeluhkan masalah hidupnya hanya kepada Allah SWT, sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Ya’qub AS saat kehilangan dua putra beliau yang tercinta, Nabi Yusuf AS dan Bunyamin, "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku" (Q.S. Yusuf [12]: 86). 

Seandainya pun terpaksa mau mengeluh kepada manusia, al-Qur’an mengajarkan agar keluhan tersebut tidak ditujukan kepada sembarang orang, melainkan kepada orang tertentu yang berpeluang memberikan solusi nyata. Misalnya, saat pasangan suami-istri sedang konflik hebat terkait rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh mereka berdua, maka al-Qur’an menyeru agar masalah itu disampaikan kepada perwakilan suami dan istri yang berpeluang memberikan solusi terbaik melalui jalur musyarawah (Q.S. al-Nisa’ [4]: 35). 

Kedua, Menyalahkan orang lain


Ini adalah sikap orang-orang yang menentang ajaran agama. Mereka menyalahkan nabi dan rasul yang memiliki sifat-sifat sempurna, atas hal-hal buruk yang menimpa mereka (Q.S. Yasin [36]: 18). Nabi Ya’qub AS pun pernah disalahkan putra-putra beliau, karena dinilai tidak adil dan pilih kasih dengan mengistimewakan Nabi Yusuf AS (Q.S. Yusuf [12]: 8). Demikian halnya Bani Isra’il yang menyalahkan Nabi Musa AS, semisal melalui komentar: “Kami telah ditindas (oleh Fir'aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang” (Q.S. al-A’raf [7]: 129).

Dengan demikian, menyalahkan orang lain adalah watak yang sering ditampilkan oleh orang-orang kafir yang menentang ajaran agama; serta orang-orang yang menutupi aib dan kelemahan diri sendiri dengan mengambing-hitamkan orang lain, seperti kasus saudara-saudara tiri Nabi Yusuf AS dan umat Nabi Musa AS. 

Di media sosial, ujaran kebencian (hate speech) merupakan salah satu bentuk ekspresi menyalahkan orang lain. Sumpah serapah, kata-kata kotor, hingga sebutan “hewani” ditujukan kepada orang-orang yang dinilai buruk. Hampir punah, penggunaan bahasa santun dan lemah lembut sebagaimana yang didididikkan al-Qur’an, semisal mau’izhah (wejangan lemah lembut) yang diberikan Luqman Al-Hakim kepada putra beliau (Q.S. Luqman [31]: 13) dan nashihat (wejangan yang tulus) yang diperintahkan Rasulullah SAW, “Agama adalah nasihat yang tulus” (H.R. Bukhari).

Contoh terbaru adalah TGB Zainul Majdi yang menjadi sasaran ujaran kebencian warganet (netizen) yang semula memujanya, namun setelah TGB memberikan dukungan politis pada presiden, beliau langsung disalahkan habis-habisan, bahkan dinilai sesat jalan. Padahal beliau adalah seorang ulama sekaligus pejabat terkemuka yang jauh lebih ahli agama dan politik dibandingkan warganet yang menyalahkan beliau. Ibarat profesor yang disalahkan anak-anak SD yang baru bisa membaca buku. Jika tokoh seperti beliau saja disalahkan, sudah pasti orang-orang yang tingkatannya di bawah TGB, mudah sekali dibully dan disalahkan oleh warganet; sampai-sampai ada istilah yang viral di media sosial, “maha benar netizen dengan segala komentarnya”, sebagai sindirin tajam (sarkas) atas komentar-komentar warganet yang mudah sekali menyalahkan orang lain.

Jika memperhatikan petunjuk al-Qur’an, tokoh-tokoh istimewa dalam al-Qur’an lebih menyalahkan diri sendiri dibandingkan orang lain. Lihatlah Nabi Adam AS yang mengakui kesalahan beliau melalui doa, “Rabbana Zhalamna Anfusana, Tuhan kami, kami menzhalimi diri kami sendiri”, padahal bisa saja beliau menyalahkan setan yang telah menggoda. Demikian halnya sikap yang ditunjukkan Nabi Zakaria AS yang lebih menyalahkan diri sendiri dibandingkan sang istri, saat belum memiliki anak hingga lanjut usia (Q.S. Maryam [19]: 4-5).

Ketiga, Berbahasa tanpa etika (akhlak)


Jika menyimak komunikasi di media sosial, tampaknya Indonesia sedang darurat “berbahasa santun”. Realita ini aneh, mengingat Bahasa Indonesia kaya akan kearifan lokal yang penuh sopan-santun. Sayangnya, warganet lebih suka meniru budaya asing yang menyelipkan kata-kata kotor. Padahal, al-Qur’an melabeli orang yang menggunakan bahasa tanpa etika itu sebagai orang fasik. Makna fasik sepadan dengan kupasan kulit buah, yaitu kulit buah yang dikupas, lalu dibuang karena tidak layak makan. Artinya, tutur kata kotor atau berbahasa tanpa etika (akhlak) merupakan perilaku yang non-Islami, sekalipun pelakunya orang muslim.    

Wallahu A'lam bi al-Shawab.