Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merintis Kritisisme Generasi Milenial

MERINTIS KRITISISME GENERASI MILENIAL

Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com

Generasi Milenial
Media Sosial untuk Kritisisme atau Nyinyirisme?


Kritisisme bermula dari kegemaran membanding-bandingkan antara realitas (das sein) dan idealitas (das sollen). Idealnya dosen aktif hadir di perkuliahan, realitanya dosen jarang hadir di perkuliahan, akibatnya muncul kritik dari mahasiswa. Kritisisme semakin melonjak drastis di era revolusi industri 4.0, karena masyarakat memiliki wawasan global yang menunjukkan hal-hal yang “di sini” (Indonesia) masih tergolong idealitas, namun “di sana” (negara maju) sudah menjadi realitas. Artinya, ada bukti faktual bahwa idealitas “di sini” bukan utopia (khayalan) belaka, karena terbukti menjadi realitas “di sana”. Misalnya, disiplin waktu dan tertib berlalu lintas.

Pusparagam media sosial dalam bentuk tulisan maupun tayangan, mendorong masyarakat beramai-ramai menunjukkan ekspresi kritisisme. Hanya saja, jika ditelisik lebih mendalam, kritisisme yang bertebaran di media sosial lebih didominasi kritik dalam bentuk “nyinyir”, yang identik “qila wa qala” dalam bahasa Hadis. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah membenci tiga hal bagi kalian: cerewet (qila wa qala; nyinyir?), berfoya-foya (idha’ah al-mal) dan banyak mengemis (katsrah al-su’al)” (H.R. Bukhari-Muslim). Agar generasi milenial tidak terjebak dalam pusaran gravitasi “nyinyir”, namun tetap mampu mengekspresikan kritisismenya, maka dibutuhkan kemampuan berpikir kritis (critical thinking).

John Santrock mengidentifikasi lima hal yang menjadi indikator pemikiran kritis (John Santrock, 2011: 304).

Pertama, gemar menanyakan “apa”, “mengapa” dan “bagaimana”. Mahasiswa kritis tidak sekadar mengejar “apa” jawaban yang benar, melainkan juga mengejar penjelasan “mengapa” dan “bagaimana” suatu jawaban itu disebut benar. Misalnya, ketika melihat banjir, mahasiswa kritis tergerak untuk mencari penjelasan mengapa terjadi banjir dan bagaimana proses terjadinya banjir. Intinya, mahasiswa kritis menginginkan jawaban yang selengkap mungkin.

Kedua, lebih mengedepankan pendekatan rasional, alih-alih emosional. Mahasiswa kritis tidak begitu memedulikan ikatan emosional. Misalnya saat argumentasi sahabatnya dalam sebuah diskusi dinilai salah, mahasiswa kritis akan menyatakan salah, tanpa merasa terbebani oleh ikatan emosional dengan sahabatnya tersebut. Lebih dari itu, mahasiswa kritis menyukai jawaban yang didasarkan pada “fakta” atau data, bukan “ilusi” atau mitos. Misalnya, rasionalisasi berdasarkan riset ilmiah tentang peran sikap rajin terhadap tingkat kepandaian seseorang, lebih diterima oleh mahasiswa kritis, dibandingkan sekadar mengutip kata mutiara “rajin pangkal pandai”. 

Ketiga, membandingkan berbagai jawaban atas suatu pertanyaan, lalu memutuskan jawaban mana yang terbaik. Mahasiswa kritis tidak puas hanya berbekal satu jawaban, melainkan membekali diri dengan berbagai jawaban, sembari memutuskan jawaban yang terbaik. Ibaratnya, mahasiswa kritis tidak hanya puas bepergian melalui satu jalan itu-itu saja, melainkan mencari jalan-jalan alternatif, sehingga memiliki banyak pengetahuan terkait alternatif jalan menuju suatu lokasi, yang dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan.

Keempat, tidak begitu saja menganggap benar pernyataan orang lain, sebelum mengevaluasinya terlebih dahulu dan mengajukan pertanyaan yang memungkinkan. Sikap ini selaras dengan konsep tabayun (cek dan ricek) yang dianjurkan oleh al-Qur’an (Q.S. al-Hujurat [49]: 6). Sikap ini sangat penting di era informasi yang banyak disusupi oleh informasi hoax seperti sekarang.

Kelima, mengajukan pertanyaan yang baru dan berspekulasi di luar apa yang sudah diketahui, demi mengkreasi ide-ide baru dan informasi baru. Dengan demikian, berpikir kritis juga diorientasikan untuk mengkreasi pemikiran orisinal. Poin ini menjadi titik temu antara pemikiran kritis dengan kreatif yang sama-sama menekankan pemikiran inovatif.

Salah satu wadah yang relevan untuk menampung kritisisme generasi milenial adalah “karya tulis”. Wujudnya bisa berupa makalah, esai, opini, buku populer, artikel jurnal, puisi, cerpen, novel, dan aneka karya tulis lainnya.

Dalam rangka mewujudkan karya tulis yang kritis, berikut tips alternatif yang dapat ditindak-lanjuti. Pertama, menentukan topik pembahasan melalui analisis AKPK (Aktual, Kekhalayakan, Problematis, Kelayakan).

Langkah-langkahnya, menghimpun isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan di tengah masyarakat (Aktual). Lalu memilih isu-isu yang berhubungan dengan hajat hidup banyak orang (Kekhalayakan), bukan hanya segelintir orang. Kemudian memastikan apakah isu-isu itu tergolong masalah faktual (Problematis), bukan masalah fiktif atau pseudo-masalah. Selanjutnya dinilai apakah isu-isu tersebut layak dibahas atau tidak. Dari sini diperoleh beberapa isu yang lolos analisis AKPK.

Beberapa isu yang lolos analisis AKPK, diseleksi lagi melalui analisis USG (Urgency, Seriousness, Growth) untuk menentukan satu isu utama (core issue). Rinciannya, semakin mendesak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu isu, semakin besar tingkat urgensinya (Urgency). Semakin besar dan luas dampak suatu isu terhadap masyarakat atau organisasi, semakin besar pula tingkat keseriusannya (Seriousness). Semakin cepat penyebaran suatu isu, semakin besar tingkat pertumbuhannya (Growth). Dari analisis USG ini, diperoleh isu utama yang layak untuk dikritik secara ilmiah.

Setelah diperoleh isu yang terpilih, langkah berikutnya adalah mengajukan alternatif solusi pemecahan isu tersebut. Inilah yang membedakan antara “nyinyir” dengan “kritis”. Nyinyir itu hampa solusi, sedangkan kritis sarat solusi. Adapun bentuk solusinya, dapat diklasifikasikan sesuai dengan bentuk pengetahuan (Adreas Demetriou, 2005: 31-32):

Pertama, pengetahuan intuitif yang secara langsung diterima atau dirasakan, termasuk pengetahuan estetis (ilham; wahyu). Bagi akademisi muslim, al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber alternatif solusi bagi problematika kehidupan. Hal ini sesuai dengan peran al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia secara universal (Q.S. al-Baqarah [2]: 185). Misalnya, keluarga korban bencana alam dianjurkan bersabar (Q.S. al-Baqarah [2]: 155) sedangkan masyarakat dianjurkan menunjukkan kepedulian sosial dengan menolong keluarga korban bencana (H.R. Muslim). Pengetahuan intuitif di sini memberi alternatif solusi berdasarkan dalil naqli (wahyu; ilham)

Kedua, pengetahuan teoretis yang diperoleh dari berbagai sumber referensi, insider maupun outsider, lalu dipilih dan dipilah sesuai dengan situasi dan kondisi dari isu yang dibahas. Ibarat seorang apoteker yang memiliki pengetahuan luas tentang jenis-jenis obat flu, lalu memilihkan obat flu berdasarkan situasi dan kondisi yang dialami oleh pelanggan yang terserang flu. Termasuk dalam pengetahuan teoretis adalah hasil studi banding (study visit; field trip) di tempat tertentu yang berpengalaman mengenai isu yang dibahas.  Misalnya, upaya penanganan dan pemulihan pasca bencana alam, dapat didasarkan teori-teori yang termaktub dalam berbagai referensi; maupun didasarkan pengalaman aktual daerah atau negara tertentu yang relevan. Pengetahuan teoretis di sini memberi alternatif solusi berdasarkan dalil ‘aqli tingkat tinggi, karena sudah teruji keberhasilannya. 

Ketiga, pengetahuan metateoretis yang melampaui batas-batas teori konvensional, yang pada titik tertentu, dapat mengakibatkan pergeseran paradigma. Pengetahuan meta-teoretis ini bagaikan “pengobatan alternatif”, sedangkan pengetahuan teoretis bagaikan “pengobatan konvensional”. Ibaratnya, jika pasien kanker tidak berhasil disembuhkan melalui pengobatan konvensional di rumah sakit, maka pasien tersebut dapat memakai pengobatan alternatif. Jadi, pengetahuan metateoretis memberikan alternatif pilihan (second opinion), ketika solusi berdasarkan pengetahuan teoretis tidak berjalan optimal. Misalnya, gerakan pengumpulan koin yang diperuntukkan bagi para korban bencana alam. Pada zaman sebelumnya, gerakan pengumpulan koin tidaklah sepopuler saat ini. 
Keempat, pengetahuan prosedural yang mengacu pada “mengetahui-bagaimana” (knowing-how) melakukan suatu pekerjaan. Agar solusi yang ditawarkan lebih mudah direalisasikan, maka dibutuhkan langkah-langkah praktis yang merupakan bagian dari pengetahuan prosedural. Mirip SOP yang dipajang di tempat-tempat pelayanan publik, seperti SOP tentang langkah-langkah mengurus Passport yang dipajang di kantor imigrasi. Dengan demikian, solusi yang disajikan dalam bentuk pengetahuan prosedural, berfungsi mempermudah implementasi solusi yang ditawarkan.

Walhasil, alternatif solusi yang ditawarkan melalui pemikiran kritis, berangkat dari nilai-nilai Ilahi (al-Qur’an dan Hadits) yang diperkuat teori-teori mainstream sebagai Plan A dan teori-teori anti-mainstream sebagai Plan B; kemudian disajikan dalam bentuk langkah-langkah praktis yang mudah diimplementasikan.

Sumber Gambar:
http://www.guysofficial.com/article.php?articleID=250