Sikap Qur'ani dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Logo Masyarakat Ekonomi ASEAN |
Prolog
Merujuk
pada http://pengertian.website, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memiliki pola
mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas (free
trade) antara negara-negara anggota ASEAN.
MEA
berawal pada KTT ASEAN di Kuala Lumpur tahun 1997 dimana para pemimpin ASEAN
memutuskan untuk melakukan pengubahan ASEAN menjadi suatu kawasan makmur,
stabil dan sangat bersaing dalam perkembangan ekonomi yang berlaku adil dan
dapat mengurangi kesenjangan dan kemiskinan sosial ekonomi (ASEAN Vision 2020).
Pada KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina tahun 2007, para pemimpin ASEAN menegaskan
komitmen untuk melakukan percepatan pembentukan komunitas ASEAN di tahun 2015.
MEA
berikhtiar membentuk ASEAN menjadi pasar dan basis dari produksi tunggal yang
dapat membuat ASEAN terlihat dinamis dan dapat bersaing; mempercepat perpaduan
regional yang ada di sektor-sektor prioritas; memberikan fasilitas terhadap
gerakan bisnis, tenaga kerja memiliki bakat dan terampil; dapat memperkuat
kelembagaan mekanisme di ASEAN. Di saat yang sama, MEA akan dapat mengatasi
kesenjangan pada pembangunan dan melakukan percepatan integrasi kepada negara
Laos, Myanmar, Vietnam dan Kamboja lewat Initiative for ASEAN integration
dan inisiatif dari regional yang lainnya.
Ciri
utama MEA adalah: a) Kawasan ekonomi yang sangat kompetitif; b) Memiliki
wilayah pembangunan ekonomi yang merata; c) Daerah-daerah akan terintegrasi
secara penuh dalam ekonomi global; d) Basis dan pasar produksi tunggal. Oleh
sebab itu, ada tiga keywords yang akan dikupas dalam tulisan ini,
ekonomi, kerjasama dan kompetensi. Ketiganya akan diteropong dari perspektif
tafsir tematik, dengan penekanan khusus pada keyword “ekonomi”.
Dialog
A.
Ekonomi
Dalam
bahasa Arab, ekonomi disebut إقْتِصَادِيَةْ. Berasal
dari akat kata قَصَدَ yang
berarti: “jalan yang istiqamah atau konsisten”. Lalu berubah menjadi إقْتِصَادْ yang
memiliki dua makna: Pertama, sikap moderat antara dua kutub ekstrim.
Misalnya: Dermawan adalah sikap moderat (iqtishad) antara berlebihan (israf)
dengan bakhil. Kedua, cukup atau sedang. Misalnya: Kalangan menengah
berada pada posisi sedang atau cukup, antara kalangan konglomerat dengan
kalangan melarat. Dua makna di atas seharusnya mengiringi aktivitas ekonomi
seorang muslim.
1.
Implementasi
Sikap Moderat dalam Aktivitas Ekonomi
Pertama, Bekerja tidak sampai mengganggu
aktivitas ibadah mahdhah seperti shalat lima waktu, puasa, dan haji
(Q.S. al-Nur: 37, al-Jumu’ah: 9).
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingat Allah (zikir), (dari) mendirikan shalat, dan (dari)
menunaikan zakat. (Q.S. al-Nur [24]: 27)
Kedua, Bekerja tidak hanya untuk
kepentingan diri sendiri (egois), melainkan berdimensi sosial (altruis),
melalui mekanisme zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan sebagainya.
Dengan demikian, akan tercipta stabilitas sosial, karena tidak terjadi kecemburuan
sosial yang umumnya diawali oleh kesenjangan ekonomi yang menganga antara si
kaya dengan si miskin; sedangkan si kaya acuh-tak-acuh terhadap hak-hak si
miskin, sehingga si miskin pun terpaksa harus menuntut hak-haknya dengan
beragam cara. (Q.S. al-Hasyr: 7, al-Dzariyat: 19)
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا
آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
…. supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu. Apa yang diajarkan Rasulullah kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah itu amat keras hukuman-Nya. (Q.S. al-Hasyr [59]:
7)
Ketiga, ketika membelanjakan harta benda
untuk diri sendiri maupun orang lain, sikap moderat harus tetap dikedepankan.
Al-Qur’an dengan tegas melarang sikap berlebihan, baik secara kuantitatif (israf)
–semisal membeli barang melebihi kebutuhan wajar– maupun secara kualitatif (mubadzir)
–semisal membeli barang yang tidak dibutuhkan–. Dalam konteks berbagi harta,
sikap dermawan harus dikedepankan, mengingat posisinya berada di tengah-tengah
(moderat) antara sikap pelit (bakhil) dan royal (basth). (Q.S. al-Isra’:
29, al-Taghabun: 16)
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا
كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal. (Q.S. al-Isra’ [17]: 29)
2.
Implementasi
Posisi Sedang dalam Aktivitas Ekonomi
Seorang muslim tidak ambisius untuk menjadi orang
superkaya berlabel milyarder atau trilyuner, namun berikhtiar keras agar
terhindar dari status “supermelarat” yang membuatnya bersusah-payah dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Posisi superkaya bisa menyebabkan seseorang
berlaku “lebay” (bagha),
semisal membeli minuman sebotol dengan harga jutaan. Sebaliknya, posisi
supermiskin bisa menyebabkan seseorang terjerumus pada jerat-jerat kekafiran,
sebagaimana sabda baginda Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
(رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ).
Anas ibn Malik RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Hampir-hampir
kefakiran menjadikan kekafiran” (H.R. al-Baihaqi).
Bukankah sering kita mendengar seorang muslim menjadi
murtad gara-gara ingin memperoleh bantuan ekonomi? Oleh sebab itu, posisi yang
ideal adalah memiliki ekonomi yang cukup atau sedang. Lebih tepatnya, sesuai
standar (qadr) kebutuhan sehari-hari. Sungguh menarik untaian firman
Allah SWT dalam Surat al-Syura [42]: 27 berikut:
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي
الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ
بَصِيرٌ
Dan seandainya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah
mereka akan melampaui batas (bagha) di muka bumi, namun Allah menurunkan apa
yang dikehendaki-Nya dengan ukuran (standar, qadr). Sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.
Dalam pidato menjelang Perang Tabuk, Rasulullah SAW
bersabda:
وَمَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كَثُرَ وَأَلْهَى. (رَوَاهُ
الْبَيْهَقِيُّ)
Sedikit namun mencukupi adalah lebih baik daripada melimpah namun
melalaikan. (H.R. al-Baihaqi)
Bahasan ini penulis tutup dengan mengutip kata mutiara
Ibn ‘Athaillah dalam kitab al-Hikam:
مِنْ تَمَامِ النِّعْمَةِ عَلَيْكَ أنْ يَرْزُقَكَ ما يَكْفِيْكَ
وَيَمْنَعَكَ مَا يُطْغِيْكَ. لِيَقِلَّ مَا تَفْرَحُ بِهِ، يَقِلَّ مَا تَحْزَنُ
عَلَيْهِ.
Anugerah Allah
yang paling sempurna adalah memberikan kecukupan kepadamu; dan mencabut
kelebihan yang akan menyebabkanmu berbuat salah. Semakin sedikit hal yang
membuatmu bahagia, semakin sedikit pula hal yang akan membuatmu sedih.
B.
KERJASAMA
Di antara
kosakata yang bermakna kerjasama adalah تَعَاوُنُ. Akar
katanya adalah عَوْنٌ yang
berarti “pertolongan”. Padanan lainnya adalah kata إِعَانَةْ yang
berarti “pertolongan Allah”. Selain itu, ada pula kata مُشَارَكَةْ atau شِرْكَةْ yang
berarti percampuran antara dua hak kepemilikan atau lebih, baik kepemilikan
konkrit –seperti saham perusahaan– maupun abstrak –seperti muslim maupun non muslim
sama-sama makhluk ciptaan Allah SWT–.
1.
Implementasi Ta’awun
dalam Aktivitas Ekonomi
Pertama, kerjasama dalam konteks ta’awun
pada dasarnya dimaksudkan untuk mengundang datangnya ma’unah atau i’anah
Allah SWT. Oleh sebab itu, kerjasama tidak boleh bertentangan dengan syariat
Allah SWT. Itulah mengapa, kerjasama hanya terbatas pada hal-hal yang bernuansa
kebaikan dan ketakwaan, bukan kemaksiatan dan pertikaian (Q.S. al-Ma’idah [5]:
2)
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى
الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pertikaian. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah.
Dari sini jelas, bahwa konspirasi dalam memperoleh harta benda seperti
dalam kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) adalah bentuk kerjasama
berbalut kemaksiatan dan jauh dari ma’unah Allah SWT.
Kedua, kerjasama dalam konteks ta’awun biasanya
terdiri dari dua pihak yang berada pada posisi tidak seimbang, yaitu antara
pihak pemberi (“tangan atas”, الْيَدُ الْعُلْيَ) dengan
pihak penerima (“tangan bawah”, الْيَدُ السُّفْلَى). Oleh
sebab itu, wujud kerjasamanya lebih bernuansa pemberian bantuan dari pihak
pemberi kepada pihak penerima. Misalnya: Bantuan pemerintah terhadap lembaga
pendidikan, sertifikasi pendidik maupun beasiswa pelajar. Pemberian bantuan
juga bisa dilakukan melalui mekanisme Kafalah (jaminan orang) dan Dhaman
(jaminan barang) yang umumnya berlaku dalam dunia usaha, terutama perbankan.
Misalnya: Si A memiliki niat untuk meminjam uang sebagai modal usaha kepada
Bank, namun karena dia tidak memiliki harta sebagai barang jaminan kepada pihak
Bank, maka dia membutuhkan bantuan orang lain untuk memberinya jaminan, baik
melalui skema Kafalah maupun Dhaman.
2.
Implementasi Musyarakah
dalam Aktivitas Ekonomi
Pertama, Musyarakah dalam bidang
pertanian dan perkebunan. Kerjasama ini dilakukan melalui skema Muzara’ah,
Mukhabarah dan Musaqah. Melalui skema ini, dapat terjadi
kerjasama antara orang yang memiliki lahan – namun tidak terampil atau tidak
berkenan untuk bertani atau berkebun– dengan orang yang memeliki keterampilan
bertani atau berkebun –namun tidak memiliki lahan–.
Kedua, Musyarakah dalam bidang
perdagangan barang dan jasa. Kerjasama ini banyak bentuknya, mulai dari Musyarakah
‘Inan, Mufawadhah, A’mal, Wujuh hingga Mudharabah.
Melalui skema ini, dapat terjadi kerjasama antara pihak pemodal dengan
pengelola. Pemodal memberikan modal usaha, sedangkan pengelola mengerahkan
keterampilan untuk menjalankan usaha.
Semua jenis Musyarakah di atas, pada dasarnya
berada dalam naungan firman Allah SWT
فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu (Q.S. al-Nisa’ [4]: 12)
Serta Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu
Hurairah RA:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ
يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ
فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا. (رَوَاهُ وَاَبُوْ دَاوُدَ).
Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua
orang yang bersekutu, selama salah seorang di antaranya tidak mengkhianati
temannya. Jika dia mengkhianati temannya, maka Aku keluar dari keduanya”. (H.R. Abu Dawud).
Rasulullah SAW sendiri
pernah menerapkan Musyarakah. Beliau menjadi investor bagi orang lain
untuk menjalankan usaha perdagangan. Demikian juga dengan sahabat Muhajirin
yang bekerjasama dengan sahabat Anshar dalam perniagaan di pasar Madinah.
Dalam dunia
kontemporer, kita mendapati mayoritas perusahaan-perusahaan besar menerapkan
skema Musyarakah. Misalnya saham-saham perusahaan yang diperjual-belikan
kepada publik, sehingga bisa dimiliki oleh siapapun yang berminat menjadi
pemodal.
C.
KOMPETENSI
Bahasan tentang kompetensi ini
langsung difokuskan pada empat kompetensi yang dimiliki oleh Nabi Yusuf AS ketika
dipercaya menjadi “menteri ekonomi” yang harus menyelamatkan bangsa Mesir dari
bahaya kelaparan.
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا
كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ (54) قَالَ
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (55)
Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku
memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku". Maka tatkala raja telah
bercakap-cakap dengannya, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini
menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".
Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (Q.S. Yusuf [12]: 54-55)
1.
Implementasi Kompetensi Makin dalam Aktivitas
Ekonomi
Kata مَكِيْنٌ berasal
dari akar kataمَكَانْ makan
yang berarti ‘tempat’. Definisi Makin menurut al-Ashfahani adalah
orang yang memiliki posisi dan wewenang. Hal ini mengindikasikan bahwa
kompetensi utama yang dibutuhkan dalam aktivitas ekonomi adalah posisi dan
wewenang. Itulah mengapa Islam memerintahkan umat muslim agar bekerja, tidak
menjadi pengangguran, karena pengangguran itu tidak memiliki posisi, apalagi
wewenang. Sebaliknya, orang yang bekerja, pasti memiliki posisi dan wewenang,
meskipun pada taraf minimal. Semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar
pula wewenang yang dimiliki. Misalnya: Menteri ekonomi memiliki posisi yang
tinggi dan wewenang yang besar dalam menentukan kebijakan strategis bagi perekonomian
Indonesia.
Paparan di atas
juga mengisyaratkan bahwa berwiraswasta lebih utama dibandingkan menjadi
karyawan. Alasannya, ketika menjadi entrepreneur, seseorang memiliki
posisi yang tinggi –karena dia menjadi pemilik, maka posisinya adalah atasan–,
sehingga dia memiliki wewenang yang besar. Pemahaman ini selaras dengan Hadis
riwayat Rafi’ ibn Khadij RA:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ
الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ. (رَوَاهُ اَحْمَدُ).
Ada yang bertanya, ‘wahai Rasulullah, apa pekerjaan yang
paling bagus?’. Rasulullah SAW
bersabda: “Kerja seseorang dengan tangannya sendiri (wiraswasta) dan jual
beli yang mabrur”. (H.R. Ahmad)
2.
Implementasi Kompetensi Amin
dalam Aktivitas Ekonomi
Kompetensi Amin
berkenaan dengan kemampuan seseorang dalam menjalankan amanat dengan
sebaik-baiknya. Kompetensi ini berkelindan dengan kompetensi Makin.
Artinya, amanat yang diemban seseorang sesuai dengan posisi dan wewenang yang
dimiliki. Dalam bahasa kontemporer, kompetensi Amin ini selaras dengan
kompetensi profesional. Sedangkan kompetensi profesional menuntut seperangkat
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan
dikuasai dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
3.
Implementasi Kompetensi Hafizh
dalam Aktivitas Ekonomi
Kompetensi Hafizh
berhubungan dengan kemampuan untuk ‘menjaga, melestarikan, bahkan
mengembangkan’. Melalui kompetensi ini, seseorang akan bersikap hemat dalam
aktivitas ekonomi; merawat berbagai sumber dan infastruktur ekonomi agar tetap
lestari; serta mampu mengembangkan ekonomi dari segi kualitas maupun
kuantitasnya.
4.
Implementasi Kompetensi ‘Alim dalam Aktivitas Ekonomi
Ternyata,
kompetensi akademik (‘Alim) berada dalam posisi terakhir. Penempatan ini
seolah mengindikasikan bahwa pengetahuan tentang teori-teori ekonomi tidak
begitu penting, meskipun tetap harus dimiliki, demi kesempurnaan praktik
ekonomi yang dilakukan.
Epilog
Respon positif yang seyogianya ditampilkan oleh umat
muslim dalam menyambut MEA adalah bersikap proaktif dalam aktivitas ekonomi
dengan mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam segenap aktivitas ekonomi;
bersikap inklusif dalam menjalin kerjasama ekonomi dengan pihak lain, melalui
berbagai skema kerjasama yang bersifat Syar’i; serta meningkatkan kompetensi
diri, terutama dalam kompetensi Makin, Amin, Hafizh dan ‘Alim.
Wallahu A’lam bi al-Shawab.