Qur'anic Journey (Q.S. al-Baqarah [2]: 1-16)
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Menempuh Perjalanan Qur'ani |
Sebagai
prolog, al-Qur’an “mempromosikan diri” sebagai petunjuk yang meyakinkan bagi
orang yang mengidam-idamkan status mulia di sisi Allah SWT, yaitu sebagai orang
yang bertakwa (Q.S. al-Baqarah [2]: 2).
Untuk merengkuh status prestisius ini, seorang
muslim perlu memperbaiki diri dari segi akidah, syariah dan akhlak. Akidah
dipupuk dengan iman kepada Allah SWT, kitab suci dan kehidupan akhirat. Syariah
disirami dengan shalat, terutama shalat lima waktu secara istiqamah. Akhlak
disemai dengan perilaku dermawan, yaitu berbagi rezeki kepada orang lain (Q.S.
al-Baqarah [2]: 3-4).
Jika seorang muslim berhasil memperbaiki ketiga aspek ini
secara menyeluruh, maka dia digolongkan sebagai orang-orang yang “sukses” atau al-muflihun
(Q.S. al-Baqarah [2]: 5). Golongan pertama ini disebut al-Muttaqin
(orang-orang yang bertakwa).
Namun
faktanya, al-Qur’an tidak menafikan adanya orang-orang yang justru
mengabaikan petunjuk al-Qur’an. Bahkan seluruh saluran ilmu mereka telah tertutup,
baik hati, pendengaran maupun penglihatan (Q.S. al-Baqarah [2]: 6-7). Ibarat
seorang pengemudi yang mengendarai mobil dengan mata tertutup, telinga
disibukkan oleh suara musik melalui earphone dan hati sedang melamun;
bahkan dia tidak peduli lagi terhadap rambu-rambu lalu lintas. Maka akibatnya
“hampir” dapat dipastikan, yaitu dia akan mengalami kecelakaan yang berpotensi
mengakibatkan nyawa melayang. Dalam konteks agama Islam, “kecelakaan” yang
dialami oleh mereka yang mengabaikan petunjuk al-Qur’an adalah siksa yang
teramat pedih, terutama di neraka kelak (Q.S. al-Baqarah [2]: 7). Golongan
kedua ini disebut al-Kafirun (orang-orang kafir).
Jika
kelompok pertama jelas-jelas mengikuti petunjuk al-Qur’an, sedangkan kelompok
kedua sudah jelas mengabaikan petunjuk al-Qur’an; maka kelompok ketiga lebih sulit dideteksi. Di satu sisi, secara lahiriah dia tampaknya mengikuti
petunjuk al-Qur’an; namun di sisi lain, secara batiniah dia benar-benar
mengabaikan petunjuk al-Qur’an. Sikap oportunis yang “lain di mulut, lain pula
di hati” diekspresikan dengan pernyataan secara lisan bahwa dia beriman
kepada Allah SWT dan hari akhir; namun hatinya sama sekali tidak beriman. Dia
merasa mampu “memanipulasi” Allah SWT dan umat muslim; padahal dia sedang “memanipulasi”
dirinya sendiri (Q.S. al-Baqarah [2]: 8-9).
Ibarat seorang pemain sinetron yang
sedang memainkan adegan shalat. Secara lahiriah (de yure), tampaknya dia
sedang mendirikan shalat; namun secara batiniah (de facto), apa yang
dilakukan itu sama sekali bukan shalat yang bernilai spiritual, melainkan hanya
“adegan shalat” yang bernilai komersial. Sikap oportunis tersebut berasal dari
kondisi hati yang sakit (qalbun maridh), dikarenakan sikap dusta
(bermuka-dua) yang sudah mendarah-daging (Q.S. al-Baqarah [2]: 10). Kendati belum
sampai pada kondisi hati yang mati (qalbun mayyit) sebagaimana golongan al-Kafirun,
namun golongan ini juga diancam dengan azab yang pedih. Golongan ketiga ini
disebut al-Munafiqun (orang-orang munafik).
Ada
indikasi kuat bahwa kaum munafik inilah yang sering menjadi perusuh (trouble-maker).
Kemampuan untuk memutar-balikkan fakta menjadi salah satu “senjata utama” kaum
munafik. Meskipun sudah jelas-jelas terbukti salah dan mendapatkan
peringatan bahwa perilakunya memang salah, dengan cerdik dia mampu memutar-balikkan
fakta, sehingga seolah-olah dialah pihak yang benar, bukan pihak yang salah
(Q.S. al-Baqarah [2]: 11-12). Misalnya, sudah jelas-jelas bahwa pornografi dan
pornoaksi adalah salah (haram) dalam Islam, namun tetap saja pelakunya merasa
sebagai pihak yang berbuat baik, yaitu melestarikan seni (estetika).
Lebih
parahnya lagi, kaum munafik memandang rendah kepada orang-orang yang beriman.
Mereka menilai bahwa kaum mukminin adalah sekumpulan orang-orang yang dungu.
Padahal justru kaum munafik itu sendiri yang dungu, namun mereka tidak jua menyadarinya
(Q.S. al-Baqarah [2]: 13).
Hal ini misalnya dapat diamati pada kalangan elit
atau artis muslim yang terbiasa melakukan “cipika-cipiki” (cium pipi
kanan-kiri) ketika bertemu dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Di sisi lain, mereka memberi label “kolot”
dan “kuno” kepada umat muslim yang tidak bersikap seperti itu. Contoh yang
lebih parah adalah orang yang dengan “bangga” tampil vulgar di berbagai media
sosial maupun elektronik, sembari berkata “saya tidak munafik”!. Padahal apa
yang dia lakukan itu jelas-jelas merupakan contoh nyata kemunafikan. Yaitu di
satu sisi dia menyandang status sebagai muslim; namun di sisi lain, dia tidak
mau tampil di depan publik layaknya seorang muslim yang menutup auratnya.
Bukankah ini semua adalah bukti gamblang sebuah kedunguan?! Namun kedunguan
yang “sebesar gajah di pelupuk mata”, sehingga tidak terlihat sama sekali oleh
pandangan mata orang munafik.
Sikap
oportunis kaum munafik juga terlihat dalam interaksi sosial. Ketika bersama
umat muslim sejati, mereka seolah-olah menunjukkan rasa persahabatan. Namun
ketika bersama dengan orang non-muslim atau muslim yang “setipe” dengannya
(sama-sama munafik), sikap yang ditunjukkan adalah permusuhan kepada umat
muslim sejati. Sikap hidup mereka terombang-ambing layaknya air di atas daun
talas. Sama sekali tidak memiliki pijakan. Hidupnya sesuai dengan arah angin
“keuntungan (profit)” atau kepentingan (interest) egoisme.
Akibatnya, mereka terombang-ambing dalam jurang kesesatan. Di mana ada
“keuntungan egoistis”, di sanalah mereka berada (Q.S. al-Baqarah [2]: 14-16).
Inilah
yang pernah dilakukan oleh kaum munafik pada masa kenabian. Mereka akan berkata
kepada pasukan muslim: “Berperanglah, namun kami tidak ikut”. Begitu pasukan
muslim pulang membawa kemenangan dan harta rampasan perang (ghanimah),
“Berilah kami bagian dari ghanimah, karena kami juga muslim”.
Demikianlah
patron kehidupan kaum munafik yang selalu memandang kehidupan layaknya
perniagaan yang harus mendapatkan keuntungan, kendati harus menjual kebenaran ajaran
Islam (Q.S. al-Baqarah [2]: 16).
Dalam
konteks sekarang, fenomena artis lagi-lagi menarik untuk dijadikan sebagai
contoh. Ada artis yang siap untuk tampil ala “santriwati” yang ke sana-sini
memakai hijab, jilbab, bahkan cadar, terutama di bulan Ramadhan; namun pada kesempatan lain, dia pun siap
untuk tampil “serba-mini”, semata demi alasan ekonomi yang berkedok seni!,
kendati dia akan menyangkal hal itu dengan aneka alibi.
Wallahu A’lam bi
al-Shawab.