Riba, Bank dan Asuransi dalam Pandangan Islam
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
![]() |
Pelaku Riba Diperangi oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW |
Riba
merupakan elemen yang harus segera dienyahkan dari praktik ekonomi Islam.
Selama praktik ribawi masih berjalan, misalnya bunga pinjaman di bank maupun
rentenir, maka penindasan secara ekonomi akan selalu dirasakan umat manusia.
Praktik
ribawi dapat ditemui dalam dunia perbankan maupun asuransi. Oleh sebab itu,
harus ada upaya perombakan ekonomi Islam agar terbebas dari unsur-unsur riba.
Wujud kongkritnya adalah berdirinya bank syariah dan asuransi syariah. Keduanya
dapat berfungsi sebagai alternatif dari bank konvensional dan asuransi
konvensional berbalut riba yang hingga kini masih mendominasi wajah
perekonomian di Indonesia.
Tulisan
ini akan membahas tentang riba, bank dan asuransi dari perspektif ekonomi
Islam.
PETA
KONSEP
![]() |
Relasi Riba, Bank dan Asuransi |
MATERI
POKOK
A.
RIBA
1.
Pengertian
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah
(tambahan). Dalam pengertian lain, riba berarti tumbuh dan membesar. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara batil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah
yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual beli maupun pinjam-peminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip
muamalah dalam Islam.
2.
Dasar
Hukum
Dalil keharaman riba dapat ditemui dalam al-Qur’an maupun Hadis. Ayat
yang secara tegas mengharamkan riba adalah Surat al-Baqarah: 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dipertegas lagi
dalam Surat al-Baqarah: 278
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Adapun Hadis yang sering
dikutip dalam konteks keharaman riba adalah Hadis riwayat Jabir ibn ‘Abdillah
RA berikut:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ.
وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ).
Rasulullah SAW melaknat orang
yang memakan, yang mewakilkan, yang
mencatat dan dua orang yang menyaksikan riba. Mereka
semua sama. (HR. Bukhari-Muslim, Bukhari).
3.
Jenis-Jenis
Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing
adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok
pertama terbagi lagi menjadi Riba Qardh dan
Riba Jahiliyyah. Adapun kelompok
kedua, riba jual beli, terbagi menjadi Riba
Fadhl dan Riba Nasi’ah. Berikut penjelasannya:
Pertama,
Riba Qardh. Suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
Kedua,
Riba
Jahiliyyah. Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu
membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Ketiga,
Riba Fadhl.
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
Keempat,
Riba
Nasi’ah. Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Riba Nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang
ribawi ini dengan istilah khusus, yakni Riba Yad.
4.
Jenis
Barang Ribawi
Para ahli fikih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi
dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan
disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang
ribawi meliputi:
Pertama, Emas dan perak, baik itu
dalam bentuk uang maupun bentuk lain;
Kedua, Bahan makanan pokok,
seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti
sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan Syariah, implikasi ketentuan
tukar menukar antarbarang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Jual beli antara
barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang
tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya: Rupiah dengan rupiah
hendaklah Rp. 5.000 dengan Rp. 5.000 dan diserahkan ketika tukar-menukar.
Kedua, Jual beli antara
barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar
yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya: Rupiah
dengan Dollar. Rp. 5.000 dengan 1 dollar Amerika.
Ketiga, Jual beli antara
barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan
pada waktu akad, misalnya: Pakaian dengan barang elektronik.
5.
Perbedaan
antara Utang Uang dan Utang Barang
Ada dua jenis utang yang berbeda satu sama lainnya, yakni utang
yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan utang yang terjadi karena pengadaan barang. Utang
yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang
pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris dan studi kelayakan.
Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan
deflasi, tidak diperbolehkan.
Utang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas
dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri
terdiri atas harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga
jual telah disepakati, selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam
kategori riba fadhl. Dalam transaksi perbankan
Syariah, yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk utang pengadaan barang,
bukan utang uang.
6.
Perbedaan
antara Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan
riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam
tabel berikut.
Perbedaan
antara Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA
|
BAGI HASIL
|
1. Penentuan bunga dibuat pada waktu
akad dengan asumsi harus selalu untung
|
1)
Penentuan
besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung rugi
|
2. Besarnya persentase berdasarkan
pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
|
2) Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
|
3. Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak
nasabah untung atau rugi.
|
3) Bagi hasil bergantung pada
keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung
bersama oleh kedua belah pihak.
|
4. Jumlah pembayaran bunga tidak
meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.
|
4) Jumlah pembagian laba meningkat
sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
|
5. Eksistensi bunga diragukan (kalau
tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
|
5) Tidak ada yang meragukan keabsahan
bagi hasil.
|
6.
Dampak
Negatif Riba
Pertama, Dampak
Ekonomi. Di antara
dampak ekonomi riba adalah semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan
ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah peminjam sulit
keluar dari jeratan
utang, karena harus membayar dobel, yaitu pokok utang dan bunga. Contoh paling nyata
adalah utang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun
disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya
negara-negara pengutang harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya.
Akibatnya, terjadilah utang yang terus-menerus. Hal
ini menjelaskan proses
terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separoh masyarakat
dunia.
Kedua, Sosial
Kemasyarakatan. Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para
pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha
dan mengembalikan, misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah
yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang
dijalankan oleh orang itu nantinya mendapat keuntungan lebih dari dua puluh
lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama tahu bahwa siapa pun tidak bisa
memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha
memiliki dua kemungkinan: berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang
sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.
B.
BANK
1.
Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) disebutkan bahwa pengertian bank adalah badan usaha di bidang keuangan
yang menarik dan mengeluarkan uang dalam masyakarat, terutama memberikan kredit
dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
Menurut Fuad Mohd Fachruddin, bank
berasal dari kata banko (bahasa Italia), sedangkan menurut Yan
Pramadyapuspa, bank berasal dari bahasa Inggris atau Belanda yang berarti
kantor penyimpanan uang. Bank adalah simbol bahwa para penukar uang meletakkan
uang penukaran di atas sebuah meja, meja ini dinamakan banko yaitu
bangku dalam bahasa Indonesia. Jadi, kata bank dambil dari kata banko
sebagai simbol penukaran uang di Italia. Selanjutnya, Fuad Mohd Fachruddin berpendapat bahwa bank menurut
istilah adalah suatu perusahaan yang memperdagangkan utang-piutang, baik yang
berupa uangnya sendiri maupun uang orang lain.
2.
Sejarah Pendirian Bank
Bank merupakan hasil perkembangan
cara-cara penyimpanan harga benda. Para saudagar merasa khawatir membawa
perhiasan dan lainnya dari suatu
tempat ke tempat lain, karena di
pelabuhan dan tempat-tempat lainnya terdapat
banyak pencuri. Akhirnya bank menjadi alternatif yang tepat untuk menitipkan barang-barang yang berharga,
karena bank dapat dipercaya dan dapat menjaga harta dengan kekuatan tenaga.
Dengan demikian, berdirilah bank-bank dengan cara-caranya sendiri. Bank
pertama berdiri di Venesia dan Genoa, Italia,
kira-kira abad ke-14 M. Kota-kota tersebut dikenal sebagai kota perdagangan.
Dari kedua kota ini berpindahlah sistem bank ke Eropa Barat.
3.
Macam-macam Bank
Berikut ini macam-macam bank
yang beroperasi hingga kini:
Pertama, Bank Desa:
Bank yang mengatur pemberian kredit, lalu lintas transaksi keuangan, pembayaran
dan peredaran uang di desa;
Kedua, Bank
Devisa: Bank yang mengatur peredaran devisa, alat pembayaran luar negeri;
Ketiga, Bank
Garansi: Bank yang mengeluarkan surat jaminan untuk membayar seseorang
berdasarkan undang-undang tertentu yang berfungsi sebagai alat pembayaran;
Keempat, Bank Pasar:
Bank yang terdapat di sebuah pasar, melayani simpan pinjam uang para pedagang
dan umum, serta mengelola peredaran uang di pasar;
Kelima, Bank
Pembangunan: Bank yang dalam pengumpulan dananya menerima simpanan dalam bentuk
deposito dan/atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang,
serta memberikan kredit jangka menengah dan panjang di bidang pembangunan;
Keenam, Bank
Penerbit: Bank yang mengeluarkan uang atas permintaan atau bank yang
mengeluarkan warkat niaga yang diberikan kepada yang berhak dan setiap saat
dapat diuangkan atau diperdagangkan;
Ketujuh, Bank
Plecit: Sebutan bagi lembaga bukan bank atau perseorangan yang meminjamkan
uang, biasanya dengan bunga tinggi dan penagihannya dilakukan setiap hari;
Kedelapan, Bank
Sentral: Bank yang tugas pokoknya membantu pemerintah dalam hal mengatur,
menjaga, dan memelihara kestabilan nilai mata uang negara, serta mendorong
kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja;
Kesembilan, Bank
Syariah: Bank yang didasarkan atas hukum Islam;
Kesepuluh, Bank
Tabungan: Bank yang dalam pengumpulan dananya murni mengutamakan penerimaan
dari simpanan dalam bentuk tabungan, sedangkan usahanya yang utama adalah
membungakan dananya dalam kertas berharga;
Kesebelas, Bank Umum:
Bank yang dalam pengumpulan dananya mengutamakan penerimaan simpanan dalam bentuk giro dan deposito serta dalam usahanya mengutamakan pemberian
kredit jangka pendek.
4.
Perbandingan antara Bank Syariah dan Bank Konvesional
Masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan bank non-Islam (bank konvensional) adalah sebuah lembaga
keungan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan
kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya, guna investasi (penanaman modal)
dalam usaha-usaha produktif dengan sistem bunga.
Pertama, Akad dan
Aspek Legalitas
Dalam Bank Syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi
duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah
dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak
demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggung-jawaban hingga hari
kiamat nanti.
Setiap akad dalam perbankan Syariah, baik dalam hal barang, pelaku
transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti
hal-hal berikut: a) Rukun. Seperti: Penjual, Pembeli, Barang, Harga dan
Akad/Ijab-Qabul;
b) Syarat. Seperti: 1) Barang
dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi
batal demi hukum Syariah; 2) Harga barang dan jasa harus jelas; 3) Tempat
penyerahan harus jelas, karena akan berdampak pada biaya transportasi; 4) Barang
yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan; 5) Tidak boleh menjual
sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short
sale dalam pasar modal.
Kedua, Lembaga
Penyelesai Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan Syariah
terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah
pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya
sesuai tata cara dan hukum materi Syariah.
Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip
Syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia
atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik
Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
Ketiga, Struktur
Organisasi
Bank Syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank
konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat
membedakan antar bank Syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya
Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan
produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis Syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat
Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari
setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya
penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang
Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi
dari Dewan Syariah Nasional.
Keempat, Bisnis dan
Usaha yang Dibiayai
Dalam Bank Syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak
terlepas dari saringan Syariah. Karena itu, Bank Syariah tidak akan mungkin
membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan.
Dalam perbankan Syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui
sebelum dipastikan beberapa hal pokok, di antaranya sebagai berikut:
1) Apakah objek pembiayaan
halal atau haram?; 2) Apakah proyek menimbulkan mudarat pada masyarakat?;
3) Apakah proyek berkaitan
dengan perbuatan asusila?; 4) Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?;
5) Apakah usaha itu berkaitan
dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata
pembunuh massal?; 6) Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung
maupun tidak langsung?
Kelima, Lingkungan Kerja dan Kultur Korporasi
Sebuah Bank Syariah selayaknya memiliki
lingkungan kerja yang sejalan dengan Syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin
integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu, karyawan bank Syariah
harus skillfull dan profesional (fathanah), serta mampu melakukan tugas
secara team-work di mana informasi
merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh).
Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan
yang sesuai dengan Syariah.
Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku
dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga
keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka
dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak
harus senantiasa terjaga.
Ringkasan
perbandingan antara bank
Syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut:
Tabel
Ringkasan Perbandingan antara Bank
Syariah dan Bank Konvensional
BANK ISLAM
|
BANK KONVENSIONAL
|
1)
Melakukan
investasi-investasi yang halal saja
2)
Berdasarkan
prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa
3)
Profit
dan fallah oriented
4)
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
5)
Penghimpunan
dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
|
1)
Investasi
yang halal dan haram
2)
Memakai
perangkat bunga
3)
Profit
oriented
4)
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor
5)
Tidak
terdapat dewan sejenis
|
C.
ASURANSI
1.
Pengertian
Menurut Pasal 246 Kitab
Undang-Undang Perniagaan, asuransi adalah suatu persetujuan di mana pihak yang
menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi
sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena
akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi. Sedangkan premi adalah
jumlah uang yang harus dibayarkan pada waktu tertentu kepada asuransi sosial.
2.
Macam-macam Asuransi
Asuransi yang
terdapat pada negara-negara di dunia ini bermacam-macam. Hal ini terjadi karena
keaneka-ragaman sesuatu yang diasuransikan.
Pertama, Asuransi Timbal
Balik. Yaitu beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan
maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka saat mendapat
kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut lagi
iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya. Demikian seterusnya.
Kedua, Asuransi Dagang.
Yaitu beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam mengadakan
pertanggung-jawaban bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang
anggota mereka. Apabila timbul kecelakaan yang merugikan salah seorang anggota
kelompoknya yang telah berjanji itu, seluruh orang yang tergabung dalam
perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma
(iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerjasama untuk meringankan teman
semasyarakat.
Ketiga, Asuransi
Pemerintah. Yaitu menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang
menderita di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa
mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan yang
ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih kecil daripada
harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada penderita di waktu
kerugian itu terjadi. Asuransi pemerintah dilakukan secara obligator atau
paksaan dan dilakukan oleh badan-badan yang telah ditentukan untuk
masing-masing keperluan.
Keempat, Asuransi Jiwa.
Yaitu asuransi atas jiwa orang-orang yang mempertanggung-jawabkan atas jiwa
orang lain. Penanggung (asurador) berjanji akan membayar sejumlah uang kepada
orang yang disebutkan namanya dalam polis apabila orang yang ditanggung itu
meninggal dunia atau sudah melewati masa-masa tertentu.
Kelima, Asuransi atas
Bahaya yang Menimpa Badan. Yaitu asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada
asuransi jiwa atas kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata,
asuransi telinga, asuransi tangan atau asuransi atas penyakit-penyakit
tertentu.
Keenam, Asuransi terhadap
Bahaya-bahaya Pertanggung-jawaban Sipil. Yaitu asuransi yang diadakan terhadap
benda-benda, seperti asuransi rumah, perusahaan, mobil, kapal udara, kapal laut
motor, dan yang lainnya.
3.
Pendapat Ulama tentang Asuransi
Masalah asuransi
dalam pandangan Islam termasuk masalah ijtihadiyah, yaitu hukumnya perlu dikaji
sedalam mungin karena tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah secara
tersurat (eksplisit). Para imam mazhab tidak memberikan fatwa mengenai asuransi karena pada
masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi baru dikenal di dunia Timur
pada abad ke-19 M. Dunia Barat sudah mengenal sistem asuransi sejak abad 15 M,
sedangkan para imam mazhab hidup sekitar abad 2 sampai 9 M.
Di kalangan ulama
terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi:
Pendapat Pertama, Mengharamkan
asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini, termasuk
asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili,
Muhamamad Yusuf al-Qardhawi dan Mukammad Bakhit al-Muth’i. Alasan mereka antara
lain: a) Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi; b) Asuransi mengandung
unsur yang tidak jelas dan tidak pasti; c) Asuransi mengandung unsur riba atau rente;
d) Asuransi mengandung unsur eksploitasi, karena apabila pemegang polis tidak
bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi
yang telah dibayarkan; e) Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang
polis diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut dikreditkan atau
dibungakan); f) Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau
tukar menukar uang tidak tunai dengan uang tunai; g) Hidup dan matinya manusia
dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Mahaesa.
Pendapat Kedua, Membolehkan semua
asuransi dalam praktiknya dewasa ini. Pendapat ini dkemukakan oleh Abdul Wahab
Khalaf, Musthafa Ahmad Zarqa dan Muhammad Yusuf Musa. Alasan mereka antara
lain: a) Tidak ada nash al-Qur’an maupun Hadis yang melarang asuransi;
b) Kedua pihak yang berjanji (asurador yang yang mempertanggung-kan) dengan
penuh kerelaan menerima opreasi ini dilakukan dengan memikul tanggung jawab
masing-masing; c) Asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak,
dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak; d) Asuransi mengandung
unsur kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan
(disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang produktif
dan untuk pembangunan; e) Asuransi termasuk akad mudharabah, maksudnya
asuransi merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik
modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi
hasil; f) Asuransi termasuk syirkah ta’awuniyyah (kerjasama tolong
menolong); g) Asuransi dianalogikan atau diqiyaskan dengan sistem pensiun,
seperti taspen; h) Operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan
kepentingan bersama; i) Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta
benda, kekayaan dan pribadi (jiwa-raga).
Dengan
alasan-alasan yang demikian, asuransi dianggap membawa manfaat bagi pesertanya
dan perusahaan asuransi secara bersamaan. Praktik atau tindakan yang dapat
mendatangkan kemaslahatan bagi orang banyak dibenarkan oleh ajaran Islam.
Pendapat Ketiga, Membolehkan
asuransi yang bersifat sosial (misalnya asuransi kesehatan dan pendidikan) dan
mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata. Pendapat ini dikemukakan
oleh Muhammad Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan untuk membolehkan
asuransi yang bersifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua di atas,
sedangkan alasan pengharaman asuransi bersifat komersial semata sama dengan
alasan pendapat pertama.
Pendapat Keempat, Menganggap bahwa
asuransi bersifat syubhat (abu-abu, antara halal dan haram), karena tidak ada
dalil-dalil syariah yang secara jelas mengharamkan maupun menghalalkannya.
Apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, konsekuensinya adalah umat
muslim dituntut untuk berhati-hati dalam menghadapi asuransi. Umat muslim baru diperbolehkan
menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan
darurat.
Mengingat asuransi
sudah terdapat dan berjalan di sebagian besar negara mayoritas muslim, maka
negara-negara Islam sedunia berkonferensi dengan keputusan-keputusan sebagai
berikut: a) Asuransi yang di dalamnya terdapat unsur riba dan eksploitasi
adalah haram; b) Asuransi yang bersifat kooperatif hukumnya halal: (1) Asuransi yang khusus untuk suatu usaha dapat
dilakukan oleh manusia (sekumpulan manusia) atas dasar kooperatif; (2) Suatu asuransi yang
tidak terbatas untuk sesuatu usaha dapat dilakukan oleh pemerintah; (3) Konferensi
menganjurkan pemerintah-pemerintah Islam untuk mengadakan asuransi yang
bersifat kooperatif antara negara-negara Islam. Peserta-peserta asuransi ini membayar iuran berupa uang yang tidak
boleh diambil kembali kecuali pada saat ia berhak menerimanya; c) Mengingat
pentingnya perdagangan internasional, maka asuransi dalam lingkup internasional
yang ada sekarang dianggap halal, berdasarkan hukum darurat.
4.
Asuransi dalam Sistem Islam
Dijelaskan oleh
Muhammad Nejatullah Shiddiqi bahwa asuransi merupakan suatu kebutuhan dasar
bagi manusia, karena kecelakaan dan konsekuensi finansialnya memerlukan
santunan. Asuransi merupakan organisasi penyantun masalah-masalah yang
universal, seperti kematian mendadak, cacat, penyakit pengangguran, kebakaran,
banjir, badai dan kecelakaan-kecelakaan yang bersangkutan dengan transportasi
serta kerugian finansial yang disebabkannya. Kecelakaan-kecelakaan seperti di
atas tidak hanya bergantung pada tindakan para sukarelawan, kenyataan ini
menuntut asuransi untuk diperlakukan sebagai kebutuhan dasar manusia pada ruang
lingkup yang sangat luas dari kegiatan-kegiatan dan situasi manusia.
Rancangan asuransi
yang dipandang sejalan dengan nilai-nilai Islam diajukan oleh Muhammad
Nejatullah Shiddiqi sebagai berikut:
Pertama, Semua asuransi yang
menyangkut bahaya pada jiwa manusia, baik mengenai anggota badan maupun
kesehatan harus ditangani secara eksklusif di bawah pengawasan negara. Jika
nyawa anggota badan atau kesehatan manusia tertimpa akibat kecelakaan pada
industri atau ketika sedang melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh
majikannya, beban pertolongan dan ganti rugi dibebankan kepada pemilik pabrik
atau majikannya. Prinsip yang sama dapat diterapkan ketika memutuskan masalah
pengangguran, apakah tindakan yang harus dilakukan oleh majikan atau pemilik
pabrik setelah mengakibatkan menganggurnya orang yang bersangkutan. Bersamaan
dengan ini, haruslah individu diberi kebebasan mengambil asuransi guna
menanggulangi kerugian yang terjadi pada kepentingan dirinya dan keluarganya
oleh berbagai kecelakaan, sehingga ia dapat memelihara produktivitas ekonomi
serta kelanjutan bisnisnya.
Asuransi seperti di
atas juga harus menjadi kepentingan negara dengan membawa semua asuransi ke
bawah wewenang dilaksanakan oleh negara. Negara harus mengambil langkah-langkah
untuk melindungi kekayaan dan harta milik orang banyak dari kebakaran, banjir,
kerusakan gempa bumi, badai dan pencurian. Kesempatan haruslah diberikan kepada
setiap individu untuk mengambil asuransi terhadap kerugian finansial yang
terjadi. Uang ganti rugi hendaklah ditetapkan dalam setiap kasus menurut
persetujuan kontrak sebelumnya yang menjadi dasar pembayaran premi oleh pemilik
kekayaan. Dalam hal seseorang jatuh miskin disebabkan oleh suatu
musibah, orang tersebut harus ditolong dari kemiskinannya dengan sistem jaminan
sosial. Jaminan ini mesti dapat diperoleh tanpa pembayaran premi apapun. Akan
cocok kiranya jika perusahaan-perusahaan besar seperti industri pesawat terbang
wajib diasuransikan, rumah tempat tinggal juga dapat dipertimbangkan menurut
jalur-jalur ini, badan swasta yang melakukan usaha asuransi bagi barang-barang
kekayaan juga dapat diizinkan.
Kedua, Hendaklah sebagian
besar bentuk asuransi yang berkaitan dengan jiwa, perdagangan laut, kebakaran
dan kecelakaan dimasukkan dalam sektor negara. Beberapa di antaranya yang
berurusan dengan kecelakaan-kecelakaan tertentu, hak-hak dan kepentingan-kepentingan
serta kontrak-kontrak yang biasa diserahkan kepada sektor swasta.
MATERI PENGAYAAN
TOKOH: Muhammad Syafii Antonio
Muhammad Syafii Antonio |
Muhammad Syafii Antonio dilahirkan di
Sukabumi, Jawa Barat pada Rabu, tanggal 12 Mei 1965.
Muhammad Syafii Antonio dikenal luas
sebagai ikon keuangan dan pakar ekonomi syariah di Indonesia. Ia adalah seorang
muslim keturunan Tiong Hoa yang pada masa kecilnya mengenal dan menganut ajaran
Konghucu. Ia mengenal ajaran Islam melalui teman-temannya di lingkungan rumah
dan sekolah.
Ia dibesarkan dalam keluarga yang sangat
memberikan kebebasan dalam memilih agama. Ketika kecil, ia memilih agama
Kristen Protestan dan memiliki nama Pilot Sagaran Antonio. Keluarga, terutama
ayahnya, tidak begitu menyukai agama Islam. Namun justru hal itu yang membuat
Antonio memiliki keinginan kuat untuk mencoba mengkaji Islam lebih dalam.
Hingga pada akhirnya ia melihat Islam
merupakan agama yang benar-benar mudah dipahami. Ia menilai bahwa ajaran Islam
memiliki sistem nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, yaitu sistem
tatanan akidah, kepercayaan, dan tidak perlu perantara dalam beribadah.
Akhirnya pada tahun 1984, di usia 17 tahun dan ketika masih duduk di bangku
SMA, ia memutuskan untuk memeluk agama Islam setelah melakukan perenungan dan
pemantapan hati.
Keputusannya itu mendapat tantangan dari
keluarga sehingga ia dikucilkan dan diusir oleh keluarga. Setelah masuk Islam,
ia terus belajar tentang Islam, mulai dari membaca buku, diskusi, dan
sebagainya. Kemudian ia belajar bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi,
di bawah pimpinan K.H. Abdullah Muchtar.
Ketika lulus SMA, ia melanjutkan ke ITB
dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Akhirnya ia
melanjutkan sekolah ke University of Yourdan (Yordania). Setelah menyelesaikan
studi S1, ia melanjutkan program S2 di International Islamic University (IIU)
di Malaysia. Di sana ia khusus belajar tentang ekonomi Islam. Kemudian ia
bekerja dan mengajar pada beberapa universitas. Antonio selalu berusaha
mengarahkan segala aktivitasnya pada bidang agama, terutama agama Islam. Ia
juga aktif pada Yayasan Haji Karim Oei untuk membantu saudara-saudara muslim
Tionghoa.
Karir akademik Muhammad Syafii Antonio
adalah Sarjana Syariah di University of Jordan, 1990. Master of Economic, International
Islamic University, Malaysia, 1992. Doktor Banking and Micro Finance,
University of Melbourne, 2004.
Sedangkan karir profesionalnya adalah Komite
Ahli Pengembangan Perbankan Syariah pada Bank Indonesia, Dewan Komisaris Bank
Syariah Mega Indonesia, Dewan Syariah BSM, Dewan Syariah Takaful, Dewan Syariah
PNM, Dewan Syariah Nasional, MUI dan Pimpinan STEI Tazkia.
Syafii Antonio meraih banyak penghargaan,
antara lain: Syariah Award” by the
central Bank of Indonesia, Indonesian Council of Ulama (MUI), AND Bank Muamalat
(2003); Anti-corruption and Good Governance Award by Ministry of State
Apparatus (2007); Arab Asia Finance recognition Award by Arab Asia Finance
Forum (2008); Australian Alumni Award (in Business Leadership category) from
the Government of Australia (2009); IBF Award, 2009 for his best selling book
“Muhammad SAW The Super Leader Super Manager dan IDB Prize Nominee from
Indonesia (by the Ministry of Finance).
KISAH BERHIKMAH
Kisah Pilu Ibu Rumah Tangga Terjerat 70
Rentenir
Ayu (nama samaran),
seorang ibu rumah tangga dengan setumpuk masalah ekonomi. Tinggal di sebuah
rumah sederhana di Bantul, ia menjalani hidup penuh ketakutan. Ayu mendapat
teror, ancaman, caci maki, dan perkataan kasar dari para rentenir penagih utang
di rumahnya setiap hari. Tak mampu melunasi, utangnya terus menumpuk hingga Rp 18
juta.
Perempuan berusia 45 tahun ini tidak pernah
lari dari kejaran para rentenir. Ayu selalu membukakkan pintu dan menghadapi
para rentenir saat suaminya berangkat kerja. Dalam kondisi sakit-sakitan, ia
sendirian menghadapi para rentenir. “Saya tak pernah lari. Sepahit apapun saya
hadapi masalah ini,” tuturnya ditemui Tempo di rumahnya di Bantul, Sabtu sore,
5 Januari 2013.
Tak ada barang mewah di rumah Ayu yang
berdinding batu bata dan berlantai ubin. Dapurnya menyatu dengan ruang tamu.
Dua sepeda menjadi barang berharga yang tersisa. Semua barang-barang mewah
ludes terjual untuk membayar cicilan utang ke rentenir.
Ayu menuturkan terjerat rentenir sejak 4
tahun lalu. Seorang rentenir mendatangi rumahnya. Ia tergiur dengan tawaran
rentenir karena saat itu kepepet atau tidak punya uang sama sekali. Uang hasil
pinjaman dari rentenir sebesar Rp100 ribu digunakannya untuk menambal modal
dari jualan es jus di depan rumahnya. “Tidak ada pemasukan sama sekali dari
hasil jualan. Ada tetangga yang kasih tau tawaran pinjaman uang dari rentenir,”
kata dia.
Dari pinjaman sebesar Rp 100 ribu, Ayu
dipotong Rp 15 ribu untuk biaya administrasi. Ia harus mengangsur sebesar Rp 13
ribu setiap minggu untuk jangka waktu pelunasan selama 10 minggu.
Kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin
meningkat membuat Ayu harus mengutang kembali ke rentenir lainnya. Ayu harus
membiayai sekolah dua anaknya. Suaminya, Marto (nama samaran), hanya bekerja
sebagai sales. Transaksi terjadi dengan tujuh hingga sepuluh rentenir rata-rata
per hari. Utangnya kepada 70 rentenir menumpuk hingga Rp 18 juta.
Ayu mengatakan para rentenir memiliki trik
khusus untuk menjerat para pengutang atau nasabah. Ketika pengutang tak mampu
bayar, seorang rentenir biasanya mengajak rentenir lain untuk meminjami uang.
Ayu yang tidak punya uang lantas mengambil solusi itu.
Menurutnya, para rentenir yang menagih
cicilan utang memiliki karakter yang berbeda-beda. Mereka berdatangan saat
suaminya pergi bekerja. “Saya diperlakukan seperti seorang maling. Mereka ada
yang mengancam mau menusuk saya,” kata dia.
Ia setiap malam tak bisa tidur tenang
karena memikirkan solusi membayar utang-utangnya. Ia sengaja tidak mengatakan
ke suaminya saat terjerat utang karena tidak mau membebani.
Suatu hari, Ayu pernah pingsan di jalanan
karena mencoba mencari pinjaman kesana kemari untuk melunasi utangnya ke
rentenir. Suaminya, Marto panik dan berusaha mencarinya.
Marto baru mengetahui istrinya terbelit
utang setahun terakhir. Setiap di tempat kerja jadi tidak tenang karena
memikirkan istri di rumah yang ditagih rentenir. “Istri saya tak pernah lari
saat ditagih. Kami pasti bayar,” katanya sembari meneteskan air mata.
Ayu dan Marto hanya ingin hidup tenang
tanpa ancaman. Mereka bertekad melanjutkan hidup dan berusaha membayar
utang-utang dengan cara bekerja keras. “Saya ingin kembali menjahit dan
berusaha melunasi utang. Semua ujian ini pasti ada hikmahnya,” katanya.
KHASANAH
Larangan riba dalam al-Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan
sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap:
Tahap Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang tampak seolah-olah menolong
mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub
kepada Allah SWT.
Tahap Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam
akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa
Jahiliyyah..
Tahap Terakhir, Allah SWT dengan jelas dan
tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini
adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
MUTIARA HADIS
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِىِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اجْتَنِبُوا السَّبْعَ
الْمُوبِقَاتِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ
بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ
بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ
الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ. (رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ).
Abu Hurairah RA
meriwayatkan dari Nabi SAW yang bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang
merusak”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu?”. Nabi SAW
bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh manusia yang diharamkan oleh
Allah, kecuali dengan (alasan yang) benar, mengonsumsi riba, mengonsumsi harta
anak yatim, lari dari medan perang, menuduh zina kepada wanita-wanita mukmin
yang menjaga diri” (H.R. Bukhari dan Muslim).
KAMUS MINI
Riba: Pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Bunga: Imbalan jasa untuk penggunaan uang
atau modal yang dibayar pada waktu tertentu berdasarkan ketentuan atau
kesepakatan, umumnya dinyatakan sebagai persentase dari modal pokok; pendapatan
atas setiap investasi modal.
Bank: Badan usaha di bidang keuangan yang
menarik dan mengeluarkan uang dalam masyakarat, terutama memberikan kredit dan
jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang
Bank Sentral: Bank yang tugas pokoknya
membantu pemerintah dalam hal mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai
mata uang negara.
Bank Syariah: Bank yang didasarkan pada
aturan syariat Islam.
Asuransi: Pertanggungan (perjanjian antara
dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain
berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila
terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan
perjanjian yang dibuat).
Asuransi Syariah: Asuransi yang didasarkan
pada aturan syariat Islam.
Premi: Jumlah uang yang harus dibayarkan pada
waktu tertentu kepada asuransi sosial.
RANGKUMAN
Pertama, Secara
garis besar, riba terbagi menjadi dua, yaitu riba terkait utang piutang (riba qardhin
dan riba jahiliyyah) dan terkait jual-beli atau tukar menukar (riba fadhl
dan riba nasi’ah atau yad).
Kedua, Dalam
dunia perbankan, riba identik dengan bunga. Padahal riba itu bersifat umum,
sedangkan bunga bersifat khusus. Artinya, riba belum tentu identik dengan
bunga, sedangkan bunga sudah pasti identik dengan riba.
Ketiga, Bank adalah badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan
mengeluarkan uang dalam masyakarat. Secara
garis besar, bank terdiri dari bank syariah dan bank konvensional.
Keempat, Bank syariah merupakan perbankan yang sistemnya didasarkan pada syariat
Islam, sedangkan bank konvensional adalah perbankan yang sistemnya tidak
didasarkan pada syariat Islam.
Kelima, Asuransi adalah suatu persetujuan di mana pihak penjamin berjanji mengganti kerugian yang mungkin diderita
oleh pihak terjamin yang telah membayar premi.
Keenam, Ada
empat pendapat ulama terkait hukum asuransi dalam Islam. Pendapat yang terpilih
adalah asuransi yang di dalamnya terdapat unsur riba dan eksploitasi
adalah haram; sedangkan
asuransi yang bersifat kooperatif hukumnya halal.