Allah sebagai Rabb Semesta Alam
Begitu Indahnya Pemeliharaan Alam Semesta oleh Allah SWT sebagi Rabb |
ALLAH SEBAGAI TUHAN SEMESTA ALAM
Almaghfurlah KH. Ahmad Hasyim Muzadi
Mengubah Rahmat Menjadi Amal
Semua yang ada pada diri kita,
tidak akan dinilai oleh Allah SWT sebelum menjadi amal. Kita diberi ilmu, kesehatan, pangkat, anak,
istri, dan apa saja. Ini semua baru merupakan rahmat, belum ada nilainya. Jika sudah diubah menjadi amal, barulah ada
catatan nilainya.
Misalnya, jika kita dapat duit satu juta, lalu dibuat makan semua sampai habis, maka tidak ada yang menjadi amal. Amal itu banyak jenisnya, asalkan sesuai dengan tuntunan agama. Uang yang disedekahkan adalah amal; uang yang digunakan untuk menyekolahkan anak juga amal.
Misalnya, jika kita dapat duit satu juta, lalu dibuat makan semua sampai habis, maka tidak ada yang menjadi amal. Amal itu banyak jenisnya, asalkan sesuai dengan tuntunan agama. Uang yang disedekahkan adalah amal; uang yang digunakan untuk menyekolahkan anak juga amal.
Ketika
pemberian Allah SWT masih berupa rahmat, berarti masih menjadi beban. Misalnya, ilmu
itu jika dipahami saja, namun tidak pernah diajarkan atau dipraktikkan, maka
ilmu menjadi beban. Jika ilmu sudah diajarkan atau dipraktikkan, maka ilmu
menjadi amal. Amal inilah
yang dinilai dan dibawa
ke akhirat, sehingga tidak berhenti
di dunia saja. Imam al-Ghazali mengatakan, “Kalau kamu ingin hartamu tinggal,
pegang saja terus. Tapi kalau kamu ingin hartamu mengikutimu, lepaskanlah”. Jadi, tatkala dunia
ini kita pegang terus, maka akan tertinggal di dunia; tapi kalau kita lepas
menjadi amal, maka akan mengikuti kita hingga ke akhirat. Oleh sebab itu, mari kita berjuang agar semua
rahmat yang kita terima,
dapat kita ubah
menjadi amal. Sebisa-bisanya, kesehatan, harta, jabatan, tingkah laku dan
perkataan, kita gerakkan menjadi amal yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang
banyak. Amal itulah yang menjadi
“rapor” (catatan amal) kita saat menghadap Allah SWT.
Mengenal Allah SWT sebagai Rabb al-‘Alamin
Allah SWT sebagai Rabb al-‘Alamin (Tuhan semesta alam). Dalam Rabb ini ada
beberapa unsur. Pertama,
Pencipta. Kedua, Pemelihara
dan Pemroses.
أَوَلَمْ يَرَ
الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا
فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا
يُؤْمِنُونَ (30)
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air, Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 30).
Sesungguhnya Allah SWT
menciptakan bumi dan langit itu asalnya satu, kemudian pecah menjadi
kecil-kecil. Ada yang menjadi bumi, bulan, matahari dan planet-planet lainnya.
Selanjutnya bumi
diproses menjadi dingin, akhirnya ada air, lalu ada rumput, sehingga ada kehidupan di bumi. Setelah itu ada binatang, baru kemudian ada manusia. Inilah contoh yang dimaksud Rabb
sebagai Pencipta,
Pemelihara dan Pemroses.
Ketiga,
Penghenti dan Penghancur (Mudammir). Allah SWT berkuasa menghentikan dan
menghancurkan alam semesta.
تُدَمِّرُ كُلَّ
شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ
نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (25)
Yang
menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka
tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa (Q.S. al-Ahqaf [46]:
25).
Suatu ketika, dunia ini akan
dihentikan oleh Allah SWT dan digantikan dengan yang baru. Jika nyamuk, mungkin
hanya berapa bulan, sudah dihentikan (dimatikan) oleh Allah SWT. Jika manusia,
mungkin usia 60 tahun baru dihentikan (diwafatkan). Bumi, bulan dan matahari
juga akan berhenti.
Keempat,
Penguasa. Allah SWT berkuasa membuat aturan yang disebut sunnatullah. Sunnatullah
ini dalam IPA disebut hukum alam. Misalnya, air mengalir ke bawah. Tanaman itu
bermula dari biji, lalu tumbuh akar dan batangnya, kemudian muncul daun dan
berbunga, setelah itu berbuah; dan buahnya dimakan oleh kita. Daun juga
berproses. Daun hijau menjadi kering, lalu gugur dan kembali ke tanah, kemudian
diproses lagi untuk dijadikan pupuk bagi kehidupan pohon lain. Demikian
seterusnya.
Sunnatullah pada Alam Semesta
Sunnatullah
merupakan hukum alam yang sudah diciptakan oleh Allah SWT terlebih dahulu.
Ketika kita lahir di dunia, sudah berada pada hukum tersebut dan tidak bisa
mengubahnya. Mau ataupun tidak, itu sudah menjadi ketetapan. Sunnatullah
baru bisa berubah, jika Allah SWT sendiri yang mengubah. Misalnya, mukjizat api
yang tidak membakar Nabi Ibrahim AS. Oleh karenanya dalam al-Qur’an disebutkan,
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا (23)
Sebagai
suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan
peubahan bagi sunnatullah itu (Q.S. al-Fath [48]: 23).
Itulah hukum Allah SWT yang
menjadi hukum alam; dan hukum alam ini tidak akan pernah berubah dan tidak akan
ada yang bisa merubah, kecuali Dzat yang menciptakan sunnatullah itu
sendiri, yakni Allah SWT. Mengapa demikian? Karena Allah SWT melakukan apa saja
yang dikehendaki-Nya (Q.S. Hud [11]:
107).
إِنَّ رَبَّكَ
فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ (107)
Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki (Q.S. Hud [11]: 107).
Suatu ketika, sunnatullah memiliki aturan yang reguler (biasa); ada pula aturan yang tidak biasa (non-reguler). Misalnya, pisang biasanya berbuah satu tandan. Kita tidak bisa menanam pisang agar buahnya
lebih dari satu
tandan.
Tapi ada pohon pisang yang
tandannya lebih dari satu. Itu namanya i’jaz. I’jaz adalah
kelainan karena kehendak Allah SWT, bukan karena kehendak kita. Untuk
membuktikan bahwa Allah SWT tidak dibatasi oleh sunnatullah itu sendiri,
sekalipun sunnatullah itu dibuat sendiri oleh Allah SWT.
Selanjutnya
sunnatullah ini
bergerak untuk semesta alam (al-‘alamin), bukan untuk umat muslim saja (al-muslimin). Allah
SWT adalah Rabb al-‘Alamin, bukan hanya Rabb al-Muslimin. Allah
SWT itu Tuhan semua alam,
bukan hanya Tuhan orang Islam.
Semesta
alam dibagi
menjadi dua. Ada alam nyata yang kita ketahui; dan alam ghaib yang tidak
kita ketahui. Bulan saja tidak semuanya kita ketahui.
Bulan memiliki dua sisi, ada sisi terang (the light
side) yang
sering kita lihat dan terlihat
indah; ada sisi gelap (the dark side) yang tidak pernah terlihat dari bumi. Bahkan
orang
yang sampai ke
bulan pun, tidak
mungkin masuk ke sisi gelap
tersebut.
Belum lagi pengetahuan terkait Venus, Saturnus, Matahari. Matahari dan
“anak-cucunya” sudah besar, tapi kalau dibandingkan bintang-bintang di galaksi,
matahari dan “anak-cucunya” ibarat debu saja. Padahal galaksi itu jumlahnya
bermilyar-milyar. Berarti, kita tidak mungkin mengetahui semua hal yang
kelihatan; belum yang tidak kelihatan, seperti bakteri. Semua itu berjalan di
atas sunnatullah. Yang
mengetahui semua itu hanyalah Allah SWT (Q.S. al-An’am [6]: 59).
وَعِنْدَهُ
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي
ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (59)
Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan
tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz) (Q.S. al-An’am [6]: 59).
Ilustrasi
keluasan dan kedalaman ilmu Allah SWT, digambarkan sebuah ayat:
قُلْ لَوْ كَانَ
الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ
كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا (109)
Katakanlah:
Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)
(Q.S. al-Kahfi [18]: 109).
Hal
ini dikarenakan setiap benda mengandung ilmu. Ilmu itu jika masih rendah, maka melebar; jika semakin tinggi, maka semakin menyempit. Misalnya ilmu
pertanian, lebih spesifik pertanian lunak urusan singkong saja, kemudian dibagi
lagi khusus
singkong rambat. Ini baru terkait
tanaman. Belum lagi hewan yang disebut al-Qur’an sebagai umat seperti kita,
وَمَا مِنْ
دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ
أَمْثَالُكُمْ
Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu (Q.S. al-An’am [6]: 38).
Artinya,
hewan juga butuh rumah, gotong-royong, kawin, hingga komunitas; tapi tidak diberi akal. Binatang itu sudah diatur oleh Allah SWT. Semisal
lebah, sudah diatur siapa
yang menjadi
ratu dan siapa
yang mencari
makan. Jika ada katak, pasti
ada air di sekitarnya.
Tidak mungkin ada katak di
padang pasir, kalau
bukan katak kesasar. Jadi,
tatkala Allah SWT menciptakan
katak, Allah SWT sudah
mempersiapkan segala sesuatu untuk kehidupan katak tersebut. Inilah yang disebut dalam al-Qur’an,
وَمَا مِنْ
دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا
وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (6)
Dan
tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah
yang memberi rezekinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya
tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)
(Q.S. Hud [11]: 6).
Sunnatullah juga berlaku untuk semua manusia, bukan hanya umat muslim. Siapa yang belajar, dia akan pintar. Itu sunnatullah. Tidak
peduli dia muslim atau
tidak. Dalam sunnatullah itu terdapat
istibaq atau kompetisi. Oleh sebab itu, sunnatullah
bersifat kompetitif, bukan
prerogatif. Misalnya, kalau ingin memperoleh rezeki, ya berdagang. Terkadang
ada kompetisi, namun harus berusaha.
Rezeki
tidak bisa ditunggu.
Apakah
ada orang yang rezekinya dikirim? Ada. Tapi tidak masuk yang reguler (biasa), melainkan irreguler (luar biasa). Misalnya, orang yang semua tenaga, fikiran dan
waktunya digunakan secara
sungguh-sungguh untuk berjuang di jalan Allah, bukan setengah-setengah. Orang seperti ini
dikecualikan. Dia tidak perlu mencari uang, Allah SWT yang akan mengirimkan rezeki uang kepadanya.
Contoh
lain, orang
zhalim pasti akan terkena
hukum Allah SWT. Tidak
peduli dia muslim atau bukan. Misalnya,
Fir’aun itu kafir, berbuat zhalim, lalu dihukum Allah SWT. Louis XIV (Raja Prancis yang terkenal kejam) itu beragama Kristen,
berbuat zhalim, lalu dihukum Allah SWT. Sebaliknya, orang yang membela kebenaran, akan diberi balasan oleh Allah SWT. Namun, balasannya hanya di dunia, bukan di akhirat. Misalnya, Martin Luther
King.
Dia pejuang kemerdekaan dan pejuang perbudakan yang luar biasa. Dia betul-betul dikagumi seluruh dunia. Kenapa demikian? Karena dia sungguh-sungguh berjuang. Jadi, sunnatullah itu berlaku untuk semua manusia, beriman maupun tidak.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ
السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3)
Sesungguhnya
Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang
kafir (Q.S. al-Insan [76]: 3).
Sunnatullah tidak
hanya berlaku pada alam nyata sebagaimana contoh di atas; melainkan juga
berlaku pada alam ghaib. Misalnya,
setan, jin,
malaikat, alam jabarut, malakut, alam barzakh,
dan sebagainya. Semua alam (‘Alamin) berjalan di atas sunnatullah.
Misalnya, setan itu tidak bisa baik, bisanya hanya melakukan keburukan. Setelah lahir, setan tidak pernah mati. Begitu lahir, setan langsung pintar seperti setan
senior. Berbeda dengan manusia
yang setelah lahir, makan saja tidak bisa, harus belajar terlebih
dulu. Jadi, setan itu makhluk
terpandai. Oleh
sebab itu, salah kalau kita melawan setan dengan modal kepintaran; karena setan
itu jauh lebih pandai dari kita. Setan
bisa melihat manusia, sedangkan manusia tidak bisa melihat setan. Jika
berhadapan dengan setan, berlindunglah kepada Allah SWT (Q.S. al-A’raf [7]: 200),
وَإِمَّا
يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ (200)
Dan
jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah
kepada Allah (Q.S. al-A’raf [7]: 200).
dengan
mengucapkan kalimat thayyibah:
اَعُوْذُ بِاللهِ
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada
Allah, dari setan yang terkutuk.
Peran Dinullah terhadap Sunnatullah
Selain
sunnatullah, Allah SWT mengirimkan dinullah (agama Allah). Pekerjaan agama antara lain: Pertama, memberitahu bahwa sunnatullah itu
ada. Kedua,
memberitahu bahwa kita tidak bisa melawan sunnatullah (Q.S. al-Fath [48]: 23). Ketiga, memberitahu bahwa mengikuti sunnatullah itu harus berdasarkan perintah Allah SWT. Misalnya,
belajar demi Allah SWT agar pandai. Keempat, memberitahu sikap-sikap yang dibutuhkan manusia dalam menghadapi sunnatullah. Ini
semua terdapat dalam agama (Islam),
supaya
kita dapat sukses di
dunia, alam barzakh dan akhirat. Di dunia, orang non-muslim bisa lebih unggul dibandingkan orang muslim. Namun di akhirat, hanya
orang muslim yang bisa masuk surga, sedangkan non-muslim tidak
bisa masuk surga.
Orang
muslim itu bermacam-macam. Ada muslim yang shalih, ada juga muslim yang mbeling (Islam KTP). Orang non-muslim juga bermacam-macam. Ada non-muslim
yang baik, ada pula yang
nakal. Apabila berbuat buruk
(nakal), orang muslim maupun non-muslim sama-sama akan
terkena azab (hukuman) ketika di
dunia. Apabila
berbuat baik, orang non-muslim akan diberi balasan di
dunia saja, sedangkan orang muslim
diberi balasan di dunia dan akhirat. Ini adalah hak istimewa (privilege)
orang muslim.
Saya punya teman beragama Katholik. Namanya Bu Maelani. Bertemu di Jakarta.
Saya tidak tahu jika beliau Katholik. Saya
katakan bahwa saya butuh
tanah di Depok untuk Pondok Pesantren. Beliau
bilang, “Ketepatan saya punya Pak Hasyim; tanah satu setengah hektare; beli saja, untuk apa?”. Saya jawab, “untuk
pesantren”. Bu
Maelani berkata, “Jika
untuk pesantren, saya beri separo harga, Pak”.
Lihat, kok
ada orang Kahtolik
seperti beliau. Umumnya orang Katholik mengambil tanah orang Islam untuk
membangun gereja. Sedangkan Bu
Maelani ini, tanahnya sendiri dijual murah untuk orang Islam. Padahal, yang sesama muslim saja dimintai sumbangan, sulitnya minta ampun. Orang Katholik seperti Bu Maelani inilah yang akan mengenyam
kebaikan di dunia. Tapi tiket ke surga, tetap
tidak diberikan oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, hidup di dunia tidak perlu ekstrem.
Jika ada orang non-muslim baik, akuilah dia baik dan pergaulilah dengan baik. Pelan-pelan, kita
ajak supaya kebaikan dia bisa sampai di akhirat, dengan syarat mau masuk Islam. Jika tidak mau, ya tidak usah dicaci
maki,
وَلَوْ كُنْتَ
فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu
(Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159).
Artinya,
jika
engkau bersikap keras
dan kasar kepada mereka
(non-muslim); maka mereka semakin jauh dari hidayah Allah SWT. Inilah yang membedakan kita (NU) dengan
teman-teman yang keras seperti FPI. Ke mana-mana
membawa pentung (kayu pemukul), seolah-olah mencari orang non-muslim untuk digebuk. Mungkinkah orang non-muslim yang dilabrak seperti itu mau masuk Islam?, Berapa persen kemungkinan orang non-muslim tersebut akan
masuk Islam?
Kalaupun dia takut, dia tidak akan masuk Islam, melainkan
akan lari dari Islam.
Itulah mengapa, perang dalam
Islam hanya boleh dilakukan jika kita diserang. Itu pun harus mandapatkan izin dari Allah
SWT dan setelah memenuhi
persyaratan untuk perang. Baru
kemudian seorang pemimpin boleh mengumumkan darurat perang. Jadi, perang tidak
bisa diumumkan seenaknya sendiri. Yang
berhak mengumumkan perang adalah pemimpin tertinggi (imam al-a’zham). Kalau di
Indonesia, yang berhak adalah Kepala Negara, bukan Kepala RT atau Kepala Suku.
Hal ini dikarenakan perang adalah mengizinkankan sesuatu yang
semestinya tidak diizinkan. Membunuh hukum asalnya dilarang, tetapi jika dalam
perang, membunuh
diperbolehkan. Artinya, perang telah mengubah hukum yang normal menjadi
darurat.
Walhasil, jika kita sudah
mengetahui posisi sunatullah dan dinullah; maka kita akan
mengetahui bahwa dinullah itu tidak akan bertentangan dengan sunnatullah.
Misalnya, laki-laki dan
perempuan saling membutuhkan (ini sunnatullah); sedangkan agama Islam mengatur itu dalam
bentuk akad pernikahan (ini dinullah). Dinullah
tidak akan pernah bertentangan dengan sunnatullah, karena keduanya dibuat oleh Allah SWT.
Editor
Transkrip
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
Posting Komentar untuk "Allah sebagai Rabb Semesta Alam"