Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Epistemologi Peace Education dalam Perspektif al-Qur'an

Artikel Epistemology of Qur’anic Peace Education: Based on Ricoeur’s Hermeneutics and Tafsīr Tarbawī (Educational Exegesis) ini sudah dipublikasikan EUDL (European Union Digital Library) pada Proceedings of the 3rd International Symposium on Religious Life, ISRL 2020. Artikel dalam bentuk full paper, dapat diakses pada link berikut: 

Peace Education
Peace Education



https://eudl.eu/doi/10.4108/eai.2-11-2020.2305068
https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.2-11-2020.2305068

Agar keterbacaan artikel ini lebih luas, maka penting pula untuk mempublikasikannya dalam versi bahasa Indonesia. Semoga menjadi lebih berkah dan manfaat bagi segenap pihak yang berkenan untuk mengakses di website dialogilmu.com.

Epistemology Of Qur’anic Peace Education: Based On Ricoeur’s Hermeneutics And TafsīR Tarbawī (Educational Exegesis)

PENDAHULUAN

Problem Akademik

Marshal Hodgson membagi Islam menjadi tiga kategori. 

  • Pertama, Islam. Yaitu doktrin normatif sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an, Hadis dan teks baku lain. 
  • Kedua, Islamicate. Yaitu Islam yang mengejawantah secara historis-empiris, yang mempengaruhi dan terwujud dalam berbagai bidang kehidupan sosial-budaya muslim. 
  • Ketiga, Islamdom. Yaitu Islam yang terwujud sebagai kekuatan politik dan kekuasaan. Sepanjang sejarah, sejak masa-masa awal sudah terjadi kesenjangan antara Islam dengan Islamicate (Abdullah, 2005: 28). Kesenjangan ini masih dapat dijumpai zaman sekarang, sebagaimana paparan berikut:    

Al-Qur’an menegaskan bahwa umat manusia memiliki watak dasar saling bermusuhan satu sama lain (Q.S. al-Baqarah [2]: 36; al-A’raf [8]: 24; Thaha [20]: 123). Dalam lingkup keluarga, permusuhan melibatkan anak dengan orangtua (Q.S. al-Taghabun [64]: 14). Dalam lingkup internal masyarakat, melibatkan tokoh dengan anggota masyarakat (Q.S. al-An’am [6]: 112). Dalam lingkup lebih luas, terjadi permusuhan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain (Q.S. al-Baqarah [2]: 251). Paparan al-Qur’an ini selaras dengan realita aktual. Misalnya, sepanjang 2018, terjadi 6 kali kasus orangtua membunuh anaknya (regional.kompas.com); dan 7 kali kasus anak membunuh orangtuanya (jateng.tribunnews.com). Kerusuhan 22 Mei 2019 yang melibatkan aparat kepolisian dengan massa perusuh, menewaskan 8 orang yang terkena peluru dan 1 orang terkena pukulan benda tumpul (nasional.kompas.com). Konflik antar masyarakat yang melibatkan kubu 01 dan 02 pada pilpres 2019, terutama di media sosial, bahkan berujung pada kasus pembunuhan yang terjadi di Sampang, Jawa Timur (news.detik.com). 

Di sisi lain, permusuhan diekspresikan melalui berbagai cara. Adakalanya melalui hati, seperti dendam (Q.S. al-Hasyr [59]: 10); melalui ucapan, seperti celaan (Q.S. al-A’raf [7]: 150); dan perbuatan, seperti pembunuhan (Q.S. al-Baqarah [2]: 178). Realita aktual membuktikan kebenaran al-Qur’an. Misalnya, dari 574 kasus pembunuhan pada tahun 2018, 80% bermotif dendam dan sakit hati (nasional.sindonews.com). Menurut Menko Polhukam Wiranto, sepanjang 2018, terjadi 324 kasus ujaran kebencian (hate speech) (news.detik.com). Sedangkan Mabes Polri mencatat bahwa sepanjang tahun 2018, terjadi 625 kasus pembunuhan (news.detik.com).

Pusparagam konflik yang terjadi di Indonesia di atas, menunjukkan bahwa implementasi pendidikan damai (Peace Education) belum berperan signifikan dalam mereduksi aksi-aksi kekerasan. Ketidak-efektifan peran ini mengisyaratkan bahwa pendidikan damai mengidap problem yang butuh pembenahan, entah pada aspek fondasional, struktural maupun operasional (Muhaimin, 2011: 2-3). 

Prioritas pembenahan ditujukan pada aspek fondasional. Hal ini dikarenakan Peace Education merupakan produk filsafat pendidikan Barat, yang diberi sentuhan “Islamisasi pengetahuan”, lalu menjadi praktik pendidikan Islam.  Bagaikan pizza yang diberi label halal, lalu diperjual-belikan. Oleh sebab itu, hingga saat ini, Peace Education belum memiliki landasan preskriptif yang sungguh-sungguh mengacu pada sumber primer pendidikan Islam: al-Qur’an dan Hadis. Umumnya, al-Qur’an dan Hadis diposisikan sebagai justifikasi teori dan praktik Peace Education, bukan diposisikan sebagai panduan awal (huda). 

Mengingat teori dan praktik Peace Education dalam pendidikan Islam masih didominasi filsafat dan teori pendidikan Barat yang bersifat antroposentris (insani); maka tidak benar-benar kompatibel dengan karakteristik pendidikan Islam yang bersifat teo-antroposentris (Ilahi dan insani). Misalnya, menurut teori pendidikan Barat, pendidik tidak boleh memukul peserta didik. Padahal, menurut teori pendidikan Islam, pendidik boleh memukul peserta didik, berdasarkan perintah Rasulullah SAW agar memukul anak usia 10 tahun yang tidak mau melaksanakan shalat lima waktu (H.R. Abu Dawud). Tentu saja dengan pukulan yang lunak, bukan pukulan yang keras; karena tujuannya untuk mendidik, bukan untuk menghukum. Bahkan hukum memukulnya adalah fardhu kifayah (al-‘Athiyyah, tt.: 224). 

Atas dasar itu, penulis bermaksud mengonstruksi landasan filosofis Peace Education berbasis telaah hermeneutis terhadap ayat-ayat al-Qur’an; dengan tujuan menghasilkan konsep Quranic Peace Education. Sebagai rintisan, penulis menyajikan Qur’anic Peace Education dalam bingkai filsafat ilmu yang terdiri dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. 

Setidaknya ada tiga rasionalisasi yang melatar-belakangi riset ini. Pertama, minimnya buku teks Islamic Peace Education. Menurut riset Huda, saat ini diperkirakan ada 15 buku pedoman, modul atau buku teks Islamic Peace Education yang digunakan 19 negara muslim atau mayoritas muslim; dan masing-masing disusun berdasarkan kebutuhan budaya, agama dan sosiologi dalam konteks lokal (Huda, 2010: 76). Angka tersebut tergolong minim, sehingga riset ini dapat menambah khazanah literatur Islamic Peace Education, bahkan berpotensi menginspirasi riset sejenis, sehingga Islamic Peace Education tidak kekurangan referensi yang relevan dan terpercaya.

Kedua, Pendekatan agama dalam konstruksi Peace Education, mendapat dukungan John Dewey sebagaimana dikutip Machali, bahwa Peace Education harus dilandasi moralitas, nilai-nilai demokrasi dan etika religius (Machali, 2013: 47). Sedangkan al-Qur’an merupakan kitab suci yang dipenuhi nilai-nilai religius yang relevan dengan Peace Education.  

Ketiga, Tidak dapat dipungkiri, agama menjadi kontributor besar dalam perang, pertumpahan darah, kebencian dan intoleransi. Akan tetapi, agama juga mengajarkan nilai-nilai empati, anti-kekerasan dan kasih sayang (Ozcelik & Ogretir, 2015: 238). Oleh sebab itu, riset ini akan menyoroti kata kunci dalam al-Qur’an yang mendukung maupun yang menghambat Peace Education.

Penelitian Terdahulu

Riset Peace Education berbasis survei literatur bukanlah hal baru, karena sudah ada yang melaksanakan. Misalnya, Harvey N. Oueijan menulis Education for Peace in Higher Education, dalam Universal Journal of Educational Research 6 (9): 1916-1920, 2018; yang menawarkan program Peace Education dalam bentuk general education yang dididikkan kepada seluruh mahasiswa, tanpa memandang jurusan atau spesialisasinya. Sedangkan riset ini menawarkan konstruksi epistemologi Islamic Peace Education berbasis al-Qur’an.

Di samping itu, sudah banyak riset yang membahas Peace Education dari perspektif Islam secara khusus, maupun perspektif agama secara umum. 

Pertama, Sezai Özçelik & Ayşe Dilek Öğretir, 2015, Islamic Peace Paradigm and Islamic Peace Education: The Study of Islamic Nonviolence in Post-September 11 World; yang menelaah pergeseran makna terma kunci terkait Peace Education, seperti: jihad, hijrah, sabar, adil, umat, perdamaian, perbedaan, toleransi; dari pengertian masa lalu menuju pengertian kontemporer.

Kedua, Mohammad Abu Kalam Azad, 2011, Peace Education in Islam: A New Dimension of Educational Approach for the Muslim Countries; yang membahas sejumlah terma al-Qur’an yang selaras dengan Peace Education, antara lain: ‘afw (pemaafan), fasad (pengrusakan) dan syura (musyawarah) yang dipromosikan sebagai solusi konflik anti-kekerasan.  

Ketiga, Imam Machali, 2013, Peace Education dan Deradikalisasi Agama, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, Juni 2013; yang membahas program Peace Education yang dilakukan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Yogyakarta, untuk mewujudkan persaudaraan antar umat beriman, antara lain: diskusi dan dialog bersama; aksi solidaritas sosial; aksi damai dan doa bersama; penerbitan majalah SULUH.   

Distingsi riset ini dibandingan riset terdahulu adalah pendekatan tafsir tarbawi tematik yang penulis gunakan, melalui identifikasi seluruh terma kunci dalam al-Qur’an yang relevan dengan Peace Education, sehingga menghasilkan data riset yang lebih komprehensif. Di sisi lain, penggunaan filsafat ilmu yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi, sebagai perspektif teoretis; membuat kontruksi Qur’anic Peace Education lebih sistematis. 

METODE RISET

Qur’anic Peace Education dikonstruksi berdasarkan interpretasi penulis terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang relevan. Sedangkan interpretasi teks yang terkategorikan sebagai riset pustaka atau studi dokumentasi, merupakan objek kajian hermeneutika. Oleh sebab itu, secara metodologis, riset ini mengacu pada teori hermeneutika Paul Ricoeur yang berintikan dialektika distansiasi dan apropriasi; serta dialektika komprehensi dan eksplanasi.

Menurut Ricoeur, membaca merupakan dialektika peristiwa dan makna, sehingga menghasilkan dialektika korelatif antara pemahaman (understanding) atau perluasan makna (komprehensi; comprehension) [dalam tradisi hermeneutika Jerman disebut verstehen] dengan penjelasan (eksplanasi; explanation) [erklaren]. Meskipun terjadi dikotomi epistemologis dan ontologis antara pemahaman dan eksplanasi, namun polaritas antara keduanya dalam pembacaan tidak perlu diberlakukan dalam terma dualistik, melainkan diberlakukan sebagai dialektika langsung yang kompleks. Dengan demikian, terma interpretasi dapat diterapkan pada keutuhan proses yang mengarahkan eksplanasi dan pemahaman (Ricoeur, 1976: 2-8 & 71-74). 

Dialektika eksplanasi dan pemahaman ini pertama kali digambarkan sebagai suatu gerakan dari pemahaman ke eksplanasi; lalu sebagai suatu gerakan dari eksplanasi kepada komprehensi (perluasan makna). Saat pertama, pemahaman merupakan perenggutan makna yang bersifat naif terhadap teks secara keseluruhan (a naive grasping of the meaning; naïve understanding). Saat kedua, komprehensi akan menjadi model pemahaman canggih (sophisticated mode of understanding; deep understanding) yang didukung prosedur eksplanatoris. Jadi, pada permulaannya, pemahaman bersifat tebakan belaka (a guess). Namun pada akhirnya, ia memenuhi konsep apropriasi (pemahaman diri) (Ricoeur, 1976: 74-75).

Secara praktis, distansiasi melalui identifikasi term-term kunci dalam al-Qur’an yang relevan dengan topik Peace Education, berdasarkan makna linguistik (tafsir lughawi) yang dikandungnya. Contoh: term rahima yang bermakna “kasih sayang” dan term qatala yang bermakna “pembunuhan”, sama-sama relevan sebagai term kunci untuk mengonstruksi Qur’anic Peace Education.

Adapun langkah-langkah metodologis yang penulis tempuh agar memenuhi standar distansiasi ala Ricoeur adalah: 

Pertama, mengidentifikasi “Kata Kunci Qur’anic Peace Education”, melalui penelusuran manual pada Mu’jam Tafsir Mufradat Alfazh al-Qur’an al-Karim karya Samih ‘Athif Zain yang menjelaskan makna Kata Kunci Qur’anic Peace Education secara linguistik (lughawi). Hasilnya, dari 1.641 Kata Kunci dalam al-Qur’an, penulis mengidentifikasi 24 Kata Kunci Qur’anic Peace Education yang terbagi dalam kategori afirmasi dan negasi. Kategori afirmasi memuat Kata Kunci yang mendukung Peace Education, antara lain:
اية، حبب، حسب، حسن، حكم، رحم، سلم، صبر، صلح، عرف، هدى، يسر
Sedangkan kategori negasi memuat Kata Kunci yang menghambat Peace Education, antara lain:
جهل، سرف، شهو، طغى، ظلم، فسد، قتل، كذب، كره، لعن، نكر، هوى

Kedua, mengidentifikasi “Ayat-ayat Qur’anic Peace Education” melalui penelusuran digital pada software zekr; lalu memilih ayat yang dinilai paling relevan dengan bahasan Peace Education. Berikut hasilnya dalam bentuk tabel:

Tabel 1: Data Ayat Qur’anic Peace Education

No

Kata Kunci

Frekuensi

Sampel Ayat Qur’anic Peace Education

1

اية

628 Kali; 586 Ayat

al-Baqarah [2]: 164; Ali ‘Imran [3]: 164; al-Nur [24]: 61; al-Rum [30]: 21; Saba’ [34]: 15

2

حبب

95 Kali; 85 Ayat

al-Baqarah [2]: 216; Ali ‘Imran [3]: 92;  al-Taubah [9]: 24; Yusuf [12]: 8; al-Hujurat [49]: 7

3

حسب

109 Kali; 102 Ayat

al-Baqarah [2]: 284; Ali ‘Imran [3]: 142; Yunus [10]: 5; al-Mu’min [40]: 17; al-Insyiqaq [84]: 8

4

حسن

194 Kali; 177 Ayat

al-Nisa’ [4]: 36; al-Qashash [28]: 77; al-Ahzab [33]: 21; Fushshilat [41]: 34; al-Mulk [67]: 2

5

حكم

210 Kali; 189 Ayat

al-Baqarah [2]: 151; al-Baqarah [2]: 269; Hud [11]: 1; al-Nahl [16]: 125; Luqman [31]: 12

6

رحم

563 Kali; 422 Ayat

al-Taubah [9]: 128; al-Anbiya’ [21]: 107; al-Fath [48]: 29; al-Hujurat [49]: 10; al-Balad [90]: 19

7

سلم

140 Kali; 127 Ayat

al-Baqarah [2]: 208; al-Nisa’ [4]: 94; al-Anfal [8]: 61; al-Furqan [25]: 63;  al-Shaffat [37]: 84

8

صبر

103 Kali; 93 Ayat

al-Baqarah [2]: 177; Ali ‘Imran [3]: 200; al-Nahl [16]: 126; al-Kahfi [18]: 68; al-Muzzammil [73]: 10

9

صلح

180 Kali; 170 Ayat

al-Baqarah [2]: 220; al-Nisa’ [4]: 114; al-Anfal [8]: 1; Fathir [35]: 10; al-Hujurat [49]: 9

10

عرف

69 Kali; 63 Ayat

Ali ‘Imran [3]: 110; al-Nisa’ [4]: 19; Luqman [30]: 15;  al-Ahzab [33]: 59; al-Hujurat [49]: 13

11

هدى

316 Kali; 268 Ayat

al-Baqarah [2]: 185; al-An’am [6]: 125; Yunus [10]: 108; al-Qashash [28]: 56; al-‘Ankabut [29]: 69

12

يسر

44 Kali; 40 Ayat

al-Baqarah [2]: 185; al-Baqarah [2]: 280; al-Isra’ [17]: 28; al-Thalaq [65]: 7; al-Insyiqaq [84]: 8

13

جهل

24 Kali; 24 Ayat

Ali ‘Imran [3]: 154; al-Ma’idah [5]: 50; al-A’raf  [7]: 199; al-Ahzab [33]: 33; al-Fath [48]: 26

14

سرف

23 Kali; 21 Ayat

al-Nisa’ [4]: 6; al-Furqan [25]: 67; al-Syu’ara’ [26]: 151; al-Mu’min [40]: 28; al-Mu’min [40]: 34

15

شهو

13 Kali; 13 Ayat

Ali ‘Imran [3]: 14; al-Nisa’ [4]: 27; al-A’raf [7]: 81; Maryam [19]: 59;  Saba’ [34]: 54

16

طغى

39 Kali; 39 Ayat

Hud [11]: 112; Thaha [20]: 43; Thaha [20]: 81; al-Fajr [89]: 11; al-‘Alaq [96]: 6

17

ظلم

315 Kali; 290 Ayat

al-Baqarah [2]: 279; al-Nisa’ [4]: 10; al-Ma’idah [5]: 45; Fathir [35]: 32; Shad [38]: 24

18

فسد

50 Kali; 47 Ayat

al-Baqarah [2]: 30; al-A’raf [7]: 56; al-Naml [27]: 34; al-Rum [30]: 41; Muhammad [47]: 22

19

قتل

170 Kali; 122 Ayat

al-Baqarah [2]: 191; al-Nisa’ [4]: 93; al-Ma’idah [5]: 30; al-Taubah [9]: 36; al-Isra’ [17]: 33

20

كذب

282 Kali; 257 Ayat

al-An’am [6]: 150; al-A’raf [7]: 146; al-Naml [27]: 84; al-Najm [53]: 11; al-Rahman [55]: 13

21

كره

41 Kali; 35 Ayat

al-Baqarah [2]: 256; Yunus [10]: 99; al-Nur [24]: 33;  al-Ahqaf [46]: 15; al-Hujurat [49]: 7

22

لعن

41 Kali; 36 Ayat

al-Baqarah [2]: 159; al-Nisa’ [4]: 46; al-Nisa’ [4]: 93; al-Ma’idah [5]: 64; al-Ma’idah [5]: 87

23

نكر

37 Kali; 37 Ayat

al-Ma’idah [5]: 79; al-Taubah [9]: 67; al-Kahfi [18]: 74; al-‘Ankabut [29]: 29; Luqman [31]: 19

24

هوى

38 Kali; 37 Ayat

al-Nisa’ [4]: 135; al-Kahfi [18]: 28; al-Rum [30]: 29; Shad [38]: 26; al-Nazi’at [79]: 40



























Selanjutnya, penulis melakukan apropriasi melalui dua langkah. Pertama, memahami “Ayat-Ayat Qur’anic Peace Education” berdasarkan kitab tafsir. Terutama Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan al-Suyuthi; Tafsir al-Nukat wa al-‘Uyun karya Imam al-Mawardi; Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn ‘Asyur; Tafsir Al-Mishbah karya Quraish Shihab; dan Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhaili. Pemahaman ini untuk memenuhi standar komprehensi dalam hermeneutika Ricoeur. Hanya saja, tidak semua referensi itu penulis tampilkan secara eksplisit dalam teks, demi kepentingan efektivitas dan efisiensi penyajian, sekaligus meminimalisasi kesan bahwa riset ini sekadar tafsir ayat al-Qur’an. 

Kedua, melakukan kontekstualisasi “Ayat-Ayat Qur’anic Peace Education” dalam bingkai filsafat ilmu pendidikan Islam, sehingga menghasilkan konstruksi Qur’anic Peace Education yang sistematis dan komprehensif, karena meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Konstruksi Qur’anic Peace Education ini untuk memenuhi standar eksplanasi dalam hermeneutika Ricoeur, yang kualitas kebenarannya dapat diuji melalui validasi intrinsik dan ekstrinsik. Validasi intrinsik mengacu pada hasil riset; sedangkan validasi ekstrinsik mengacu pada komparasi hasil riset dengan teori maupun hasil riset lain yang relevan.   

PEMBAHASAN

Ontologi Qur’anic Peace Education

Peace Education memiliki karakteristik multidimensi dan holistik, baik dalam muatan maupun prosesnya. Bagaikan pohon yang memiliki banyak cabang kokoh. Oleh sebab itu, Peace Education mencakup berbagai bentuk pendidikan yang secara langsung maupun tidak langsung, berkontribusi membangun budaya damai. Misalnya, Pendidikan Hak Asasi Manusia; Pendidikan Global; Pendidikan Resolusi Konflik; Pendidikan Multikultural; Pendidikan Antar-agama; Pendidikan Emansipasi Gender; Pendidikan Lingkungan; dan sebagainya (Navarro-Castro & Nario-Galace, 2010: 39). Implikasinya, Peace Education bersifat inklusif terhadap ide-ide baru yang mendukungnya. Tak terkecuali Peace Education yang berlandaskan nilai-nilai agama (Islam). Dalam konteks inilah, penulis menawarkan ide Qur’anic Peace Education. 

Terlebih, pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan non-Islam (Barat). Misalnya, secara ontologis, pendidikan Islam bersifat teo-antroposentris (Ilahi-insani), sedangkan pendidikan Barat bersifat antroposentris atau humanistik. Karakteristik teo-antroposentris terkandung dalam konsep Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin), yang menghubungkan Allah SWT, manusia dan alam semesta dalam satu ikatan “kasih sayang”. Hal ini selaras dengan penafsiran Shihab terhadap Surat al-Anbiya’ [21]: 107 yang memuat redaksi rahmatan lil ‘alamin, bahwa kasih sayang Rasulullah SAW meliputi alam manusia, alam jin, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan; bahkan benda-benda tak bernyawa pun mendapat kasih sayang beliau (Shihab, 2011, Vol. 8: 135).

Atas dasar itu, argumentatif jika visi Qur’anic Peace Education adalah merealisasikan Islam rahmatan lil ‘alamin. Selanjutnya, visi ini dielaborasi menjadi misi Qur’anic Peace Education, berdasarkan makna hermeneutis term rahmah, la’ana dan derivasinya yang terdapat dalam Surat al-Taubah [9]: 128; al-Anbiya’ [21]: 107; al-Fath [48]: 29; al-Hujurat [49]: 10; al-Balad [90]: 19; al-Baqarah [2]: 159; al-Nisa’ [4]: 46; al-Nisa’ [4]: 93; al-Ma’idah [5]: 64; al-Ma’idah [5]: 87, sebagai berikut:

Tabel 2: Visi-Misi Qur’anic Peace Education

Wawasan

Sikap

Keterampilan Hidup

Penyebarluasan pesan kasih sayang (al-Balad [90]: 19).

Internalisasi watak empati dan kasih sayang (al-Taubah [9]: 128)

Mengejawantahkan kasih sayang kepada seluruh makhluk (al-Anbiya’ [21]: 107)

Tidak membatasi akses ilmu pengetahuan (al-Baqarah [2]: 159)

Deradikalisasi watak anarkis dan bengis (al-Nisa’ [4]: 93)

Mengharmoniskan relasi internal umat muslim dan eksternal umat beragama (al-Fath [48]: 19)

Tidak mendistorsi fakta kebenaran (al-Nisa’ [4]: 46)

Reduksi watak ceroboh yang dikendalikan hawa nafsu (al-Ma’idah [5]: 87)

Mengokohkan persatuan dan merekonsiliasi konflik (al-Hujurat [49]: 10)

Tidak menyebarluaskan informasi palsu atau hoax (al-Ma’idah [5]: 64)

 

 

 Jika dicermati, visi-misi Qur’anic Peace Education adalah mengokohkan relasi harmonis antara syariat Allah SWT (theos) dengan kemaslahatan manusia (anthropos) dan alam semesta (cosmos). Relasi ketiganya semakin harmonis jika mengacu pada posisi manusia dan alam semesta yang sama-sama menjadi tanda-tanda kekuasaan Allah SWT (ayatullah). Oleh sebab itu, tujuan Qur’anic Peace Education dapat dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis  term ayat, kadziba dan derivasinya yang terdapat dalam Surat al-Baqarah [2]: 164; Ali ‘Imran [3]: 164; al-Nur [24]: 61; al-Rum [30]: 21; Saba’ [34]: 15; al-An’am [6]: 150; al-A’raf [7]: 146; al-Naml [27]: 84; al-Najm [53]: 11; al-Rahman [55]: 13, sebagai berikut:

Tabel 3: Tujuan Qur’anic Peace Education

Wawasan

Sikap

Keterampilan Hidup

Mampu membedakan jalan kebenaran dan jalan kesesatan (al-A’raf [7]: 146)

Internalisasi watak damai (sakinah); saling cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) (al-Rum [30]: 21)

Mengimplementasikan model pendidikan Nabawi berbasis tilawah, tazkiyyah dan ta’lim (Ali ‘Imran [3]: 164)

Tidak mengingkari hal-hal yang belum diketahui hakikatnya (al-Naml [27]: 84)

Internalisasi watak taat pada agama, bukan pada hawa nafsu (al-An’am [6]: 150)

Memanfaatkan SDA dan mengembangkan SDM (al-Baqarah [2]: 164)

Tidak mengingkari realitas faktual (al-Najm [53]: 11)

Internalisasi watak syukur nikmat Ilahi yang berupa SDA dan SDM (al-Rahman [55]: 13)

Mendukung pihak-pihak marjinal, seperti kaum difabel (al-Nur [24]: 61)

 

 

Mewujudkan masyarakat madani yang ditandai kemakmuran dan keimanan (Saba’ [34]: 15)

 

Uraian visi, misi dan tujuan Qur’anic Peace Education di atas, selaras dengan Maqashid Syariah yang merupakan tujuan utama syariat Islam, yaitu hifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mal dan hifzh al-‘irdh. Bahkan memberi kontribusi ilmiah berupa pemekaran kategori Maqashid Syariah, yaitu hifzh al-‘alam atau pemeliharan lingkungan alam.

  • Pertama, Hifzh al-din (pemeliharaan agama) terealisasikan pada posisi al-Qur’an sebagai starting point bagi teori dan praktik Qur’anic Peace Education.  
  • Kedua, Hifzh al-nafs (pemeliharaan jiwa-raga) terealisasikan pada upaya perlindungan jiwa-raga manusia dari tindakan anarkis, terutama pembunuhan.
  • Ketiga, Hifzh al-‘aql (pemeliharaan akal) terealisasikan pada dukungan terhadap ilmu pengetahuan yang berbasis fakta, bukan hoax.
  • Keempat, Hifzh al-nasl (pemeliharaan keturunan) terealisasikan pada interaksi sosial yang harmonis, intra umat muslim maupun antar umat beragama.  
  • Kelima, Hifzh al-mal (pemeliharaan harta) terealisasikan pada upaya mewujudkan kemakmuran masyarakat, melalui pemanfaatan SDA dan SDM.
  • Keenam, Hifzh al-‘irdh (pemeliharaan harga diri) terealisasikan pada dukungan terhadap pihak-pihak marjinal, seperti kaum difabel.
  • Ketujuh, Hifzh al-‘alam (pemeliharaan lingkungan alam) trealisasikan pada upaya pemeliharaan dan pengembangan SDA.

Uraian visi, misi dan tujuan di atas; menunjukkan bahwa dari segi afirmasi, Qur’anic Peace Education lebih memprioritaskan terciptanya damai positif, alih-alih damai negatif. Secara teoretis, Sukendar mengutip pendapat Johan Galtung yang membagi damai menjadi dua. Pertama, damai negatif. Yaitu ketiadaan perang atau kondisi tanpa konflik langsung, karena tidak adanya sebab yang mendorong konflik, seperti memisahkan pihak yang berkonflik. Kedua, damai positif. Yaitu perdamaian yang dilandasi kesejahteraan, kebebasan dan keadilan di tengah masyarakat (Sukendar, 2011: 275-276). Prioritas Qur’anic Peace Education terhadap realisasi damai positif, dibuktikan isi kandungan al-Qur’an yang menyatakan bahwa permusuhan antar umat manusia merupakan suatu keniscayaan hidup; sedangkan upaya persatuan dan kesatuan merupakan suatu pilihan hidup (Q.S. al-Baqarah [2]: 213; al-Ma’idah [5]: 48; Yunus [10]: 19; Hud [11]: 118; al-Nahl [16]: 93).    

Sedangkan dari segi negasi, Qur’anic Peace Education diorientasikan untuk mereduksi dua kategori kekerasan sekaligus. Pertama, kekerasan langsung. Baik bersifat personal, seperti pemerkosaan, pembunuhan, terorisme; maupun bersifat institusional, seperti perang, perusakan alam oleh industri. Kedua, kekerasan tidak langsung. Bisa terjadi secara struktural, seperti rasisme, seksisme, diskriminasi, kemiskinan, kelaparan, kurangnya pendidikan dan layanan kesehatan (Wahyudin, 2018: 24). 

Di samping itu, visi, misi dan tujuan Qur’anic Peace Education berpotensi menjadi alternatif solusi atas kendala yang selama ini dihadapi dalam membina Peace Education dan deradikalisasi agama, yaitu: Pertama, kendala teologis, berupa pemahaman agama yang kaku dan eksklusif, bukan inklusif. Kedua, kendala psikis, berupa kekhawatiran berubah keyakinan. Ketiga, kendala prasangka, berupa kecurigaan terjadi sinkretisasi atau pencampur-adukan agama. Keempat, kendala kepentingan, berupa pertarungan kepentingan atas nama agama (Machali, 2013: 60-61). Misalnya, kendala teologis dan psikis, diantisipasi melalui internalisasi watak taat beragama yang kokoh, sehingga tidak mudah terpengaruh; sedangkan kendala prasangka dan kepentingan, diantisipasi melalui reduksi watak ceroboh yang dikendalikan hawa nafsu. 

Epistemologi Qur’anic Peace Education

Agar Qur’anic Peace Education selalu relevan dengan dinamika ruang dan waktu, maka dibutuhkan epistemologi yang mapan. Epistemologi ini berfungsi sebagai landasan untuk mengonstruksi, merevitalisasi, bahkan mendekonstruksi Qur’anic Peace Education, pada masa kini dan masa depan.  

Secara epistemologis, Qur’anic Peace Education dibangun di atas landasan atau dasar pendidikan Islam yang bersifat Ilahi (al-Qur’an; Hadis; ilham) dan insani (ijtihad; rasional; empiris). Hal ini selaras dengan pandangan Sa‘id Isma‘il ‘Ali yang membagi dasar-dasar pendidikan Islam menjadi enam: al-Qur’an, al-Sunnah, Pendapat Sahabat (Aqwal al-Shahabat), Peradaban Islami (al-Tsaqafah), Maslahat Publik (Mashalih al-Ijtima‘iyyah) dan Pemikiran Islami (al-Fikr al-Islami) yang meliputi akidah, fikih, tasawuf dan filsafat Islami (’Ali, 1992: 3).

Bagi umat muslim, al-Qur’an merupakan pedoman atau petunjuk (huda) dalam mengarungi kehidupan, agar selaras dengan nilai-nilai agama Islam. Akan tetapi, realita menunjukkan bahwa kehidupan umat muslim masih banyak yang dikendalikan oleh hawa nafsu, dibandingkan oleh petunjuk al-Qur’an. Dari sini bermula polarisasi petunjuk al-Qur’an yang menyeru pada kasih sayang; dengan perilaku umat muslim yang anti kasih sayang, seperti radikalisme dan terorisme. Oleh sebab itu, epistemologi Qur’anic Peace Education dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term huda, hawa dan derivasinya yang terdapat dalam Surat al-Baqarah [2]: 185; al-An’am [6]: 125; Yunus [10]: 108; al-Qashash [28]: 56; al-‘Ankabut [29]: 69; Ali ‘Imran [3]: 14; al-Nisa’ [4]: 27; al-A’raf [7]: 81; Maryam [19]: 59; Saba’ [34]: 54, dengan penyajian model analisis SWOT berikut:

Tabel 4: Konstruksi Epistemologi Qur’anic Peace Education

Kekuatan (strength)

Petunjuk al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai yang selaras dengan Peace Education. Misalnya, tidak memaksa orang lain untuk menerima ajaran Islam, apalagi melalui tindak radikalisme dan terorisme (al-Qashash [28]: 56)

Kelemahan (weakness)

Petunjuk al-Qur’an rentan disalah-pahami, terutama oleh orang yang belum memiliki perangkat keilmuan yang memadai (al-Baqarah [2]: 185). Misalnya, menerapkan ayat-ayat perang di wilayah atau negara yang damai.

Peluang (opportunity)

Petunjuk al-Qur’an berpotensi dipahami oleh siapapun yang bersungguh-sungguh mendapatkan petunjuk (al-An’am [6]: 125; Yunus [10]: 108; al-’Ankabut [29]: 69).

Ancaman (threat)

Petunjuk al-Qur’an yang mengutamakan kasih sayang, menjadi disfungsi ketika umat muslim lebih condong mengikuti hawa nafsu (Ali ’Imran [3]: 14; al-Nisa’ [4]: 27; al-A’raf [7]: 81; Maryam [19]: 59; Saba’ [34]: 54)

 

Jadi, secara epistemologis, umat muslim yang melakukan tindak kekerasan, radikalisme dan terorisme; disebabkan oleh kesalah-pahaman terhadap ajaran Islam; atau menyalah-gunakan ajaran Islam untuk memenuhi kepentingan hawa nafsu menyangkut kekuasaan politik dan kemakmuran ekonomi. 

Polaritas ajaran Islam yang menekankan kasih sayang, dengan perilaku umat muslim yang melakukan tindak radikalisme dan terorisme, sejalan dengan pandangan Navarro-Castro & Nario-Galace yang menyatakan bahwa misi mayoritas tradisi spiritual adalah menginspirasi dan memotivasi masyarakat untuk memeluk perdamaian. Meskipun para pemeluk agama melakukan perang dan tindak kekerasan atas nama agama, pada dasarnya konflik tersebut tidak berakar pada agama; melainkan berakar pada tujuan-tujuan politik dan ekonomi (Navarro-Castro & Nario-Galace, 2010: 49). 

Selanjutnya, agar epistemologi Qur’anic Peace Education dapat diterapkan sesuai dinamika ruang dan waktu; maka dibutuhkan kontekstualisasi yang bersifat konsisten dan kontinu, dengan konteks budaya masyarakat tertentu. Misalnya, jihad di Indonesia melalui pengembangan IPTEKS; sedangkan jihad di Palestina melalui perang melawan penjajah (Israel). Hal ini dikarenakan Indonesia dalam kondisi damai, sedangkan Palestina dalam kondisi perang. Di sisi lain, Indonesia tidak termasuk kategori dar al-Islam maupun dar al-harb; melainkan dar al-shulh. Yaitu wilayah netral atau wilayah damai antara muslim dan non-muslim, yang dilandasi kesepakatan, persekutuan dan kerjasama (Ozcelik & Ogretir, 2015: 240). 

Kontekstualisasi ajaran Islam yang universal dengan budaya masyarakat yang lokal, tercermin dalam konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Oleh sebab itu, epistemologi Qur’anic Peace Education juga dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term ‘arafa, nakara dan derivasinya yang terdapat dalam Surat Ali ‘Imran [3]: 110; al-Nisa’ [4]: 19; Luqman [30]: 15; al-Ahzab [33]: 59; al-Hujurat [49]: 13; al-Ma’idah [5]: 79; al-Taubah [9]: 67; al-Kahfi [18]: 74; al-‘Ankabut [29]: 29; Luqman [31]: 19, dengan penyajian model analisis SWOT berikut:

Tabel 5: Kontekstualisasi Epistemologi Qur’anic Peace Education

Kekuatan (strength)

Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai kewajiban agama secara kolektif (Ali ’Imran [3]: 110) dan interaksi sosial harus dilandasi nilai-nilai ma’ruf (al-Nisa’ [4]: 19).

Kelemahan (weakness)

Penyimpangan dalam bentuk Amar Munkar Nahi Ma’ruf (al-Taubah [9]: 67); ujaran negatif (Luqman [31]: 19) dan tindakan anarkis, seperti pembunuhan (al-Kahfi [18]: 74)

Peluang (opportunity)

Ma’ruf bersifat heterogen, semisal bentuk kebaktian pada orangtua (Luqman [30]: 15); dinamis, semisal model jilbab (al-Ahzab [33]: 59) dan interaktif, semisal pertukaran budaya positif (ta’aruf) antar suku bangsa dan negara (al-Hujurat [49]: 10)

Ancaman (threat)

Pembiaran terhadap kemungkaran yang dilakukan secara masif, bahkan memberikan perlindungan secara konstitusional, seperti legalisasi homoseksual (al-’Ankabut [29]: 29; al-Ma’idah [5]: 79)

 Contoh Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam konteks Indonesia adalah budaya toleransi umat beragama yang ditunjukkan oleh Gerakan Pemuda Ansor yang menerjunkan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) untuk memberikan pengamanan kepada umat Kristiani pada Natal 2018 (www.cnnindonesia.com). Sedangkan contoh penyimpangan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah tindakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga muslim di tiga gereja Surabaya yang menewaskan 18 korban jiwa, pada tanggal 13 Mei 2018 (nasional.tempo.co). Dalam konteks ini, penafsiran Ibn ‘Asyur terhadap Surat al-Hajj [22]: 40 tentang perlawanan terhadap agresi dan perobohan tempat-tempat ibadah seperti biara, gereja, sinagog dan masjid; menunjukkan bahwa agama-agama selain Islam juga harus mendapat penghormatan dari umat muslim. Oleh sebab itu, al-Qur’an melarang keras umat muslim untuk menghina atau merendahkan keyakinan dan simbol agama lain (Q.S. al-An’am [6]: 108) (Hanafi, 2010: 426-427). Jadi, sudah jelas bahwa al-Qur’an melarang tindak pengrusakan tempat ibadah umat non-muslim, apalagi membunuh non-muslim. Realitanya, oknum umat muslim justru merusak rumah ibadah non-muslim, bahkan membunuh non-muslim.    

Lebih dari itu, konstruksi epistemologi Qur’anic Peace Education di atas, dapat direvisi, direvitalisasi bahkan didekonstruksi, dengan mempertimbangkan fitur-fitur pendekatan sistem yang direkomendasikan Auda dalam konteks epistemologi disiplin ilmu Islam era kontemporer, yaitu (Auda, 2008: 46-52):  

  • Pertama, kognisi. Teks al-Qur’an yang statis, dipahami berdasarkan disiplin ilmu yang dinamis. Implikasinya, konstruksi Qur’anic Peace Education selalu relevan dengan dinamika ruang dan waktu.
  • Kedua, kemenyeluruhan dan kesaling-terhubungan. Teks al-Qur’an tentang Peace Education dipahami secara komprehensif, melalui tafsir tematik yang cenderung objektif, bukan secara atomistik berdasarkan ayat tertentu yang cenderung subyektif.
  • Ketiga, keterbukaan dan pembaruan diri. Qur’anic Peace Education membuka diri pada aneka disiplin ilmu maupun budaya masyarakat, asalkan selaras dengan nilai-nilai pokok ajaran Islam.
  • Keempat, multidimensi. Memahami teks al-Qur’an secara multidimensi, bukan monodimensi. Misalnya, memahami ayat al-Qur’an sesuai konteks perang dan damai. Jihad fisik dalam kondisi perang dan toleransi dalam kondisi damai.   
  • Kelima, kebermaksudan. Tujuan utama Qur’anic Peace Education adalah merealisasikan tujuh Maqashid Syariah yang tertera dalam dimensi ontologis.

Selanjutnya, Qur’anic Peace Education dapat diimplementasikan melalui dua model Peace Education. Pertama, Peace Education Tidak Langsung. Model ini cocok diterapkan di tengah masyarakat yang mengalami konflik, terjadi kekerasan dan banyak anggota masyarakat yang mendukung keberlanjutan konflik tersebut. Kedua, Peace Education Langsung. Model ini dapat diluncurkan ketika kondisi masyarakat dan politik sudah matang; dan sistem pendidikan sudah siap secara administratif maupun pedagogis untuk menerapkan Peace Education (Bar-Tal, 2009: 27-32).     

Realita di lapangan menunjukkan bahwa Indonesia masih berkutat pada implementasi model Peace Education Tidak Langsung. Salah satu indikatornya adalah Kemendikbud, Kemenag maupun Kemeristekdikti, belum menjadikan Peace Education sebagai kebijakan politik pendidikan yang diterapkan secara masif di seluruh Indonesia; kendati banyak juga lembaga pendidikan yang menerapkan Peace Education, baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya, Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) Malang yang membuka program Pascasarjana (S2) Pendidikan Islam dengan Konsentrasi Peace Education (uniramalang.ac.id); dan Pondok Modern Latansa, Desa Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak yang menyelenggarakan program Peace Education pasca konflik. Yaitu menangani anak-anak korban konflik, baik konflik komunal maupun individual (seperti konflik keluarga) (Sukendar, 2011: 273-274).

Aksiologi Qur’anic Peace Education dalam Konteks Subyek Pendidikan

Dalam Qur’anic Peace Education, pendidik menempati posisi sentral, sebagaimana posisi nabi dan rasul bagi umatnya. Hal ini dikarenakan pendidik merupakan pewaris para nabi dan rasul, dari segi ilmu, amal dan akhlak.

Salah satu karakter utama yang dimiliki Rasulullah SAW sebagai pendidik adalah mencintai hal-hal yang selaras dengan nilai-nilai agama; dan membenci hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, pendidik dalam Qur’anic Peace Education dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term hubb, kariha dan derivasinya yang terdapat dalam al-Baqarah [2]: 216; Ali ‘Imran [3]: 92; al-Taubah [9]: 24; Yusuf [12]: 8; al-Hujurat [49]: 7; al-Baqarah [2]: 256; Yunus [10]: 99; al-Nur [24]: 33; al-Ahqaf [46]: 15; al-Hujurat [49]: 7, dengan penyajian model standar kompetensi pendidik berikut:

Tabel 6: Kompetensi Pendidik Qur’anic Peace Education

Kepribadian

Ikhlas menjalani suka-duka profesi pendidik (al-Baqarah [2]: 216); dan sabar-gigih menghadapi problematika pendidikan yang bersifat fisik maupun psikis (al-Ahqaf [46]: 15)

Sosial

Rela berkorban demi orang lain (Ali ‘Imran [3]: 92); dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain (al-Baqarah [2]: 256), apalagi memaksa orang lain berbuat asusila (al-Nur [24]: 33)

Pegagogis

Interaksi edukatif dilandasi nilai-nilai keimanan dan terhindar dari kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan (al-Hujurat [49]: 7); dan tidak mendiskriminasikan atau memandang rendah peserta didik yang prestasi belajarnya tidak sesuai harapan (Yunus [10]: 99)

Profesional

Mengutamakan tugas mendidik, dibandingkan kepentingan pribadi (al-Taubah [9]: 24); memperlakukan peserta didik secara adil, tanpa pilih kasih (Yusuf [12]: 8)

Standar kompetensi pendidik dalam Qur’anic Peace Education di atas, melengkapi fungsi pendidik sebagai fasilitator yang memainkan banyak peran dalam proses pembelajaran Peace Education, antara lain: a) Perencana; b) Inisiator; c) Pembangun iklim pembelajaran yang kondusif; d) Pemandu; e) Mediator saat peserta didik mengalami problem; f) Pengelola pengetahuan peserta didik; g) Evaluator prestasi belajar (UNESCO, 2001: 42).


Gambar 1 : Fungsi Pendidik sebagai Fasilitator dalam Peace Education

Gambar 1 : Fungsi Pendidik sebagai Fasilitator dalam Peace Education

 
Sedangkan salah satu karakteristik utama yang ditunjukkan para shahabat saat menerima pendidikan dari Rasulullah SAW adalah kesabaran dalam mengikis kebodohan. Atas dasar itu, peran peserta didik dalam Qur’anic Peace Education, dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term shabara, jahila dan derivasinya yang terdapat dalam al-Baqarah [2]: 177; Ali ‘Imran [3]: 200; al-Nahl [16]: 126; al-Kahfi [18]: 68; al-Muzzammil [73]: 10; Ali ‘Imran [3]: 154; al-Ma’idah [5]: 50; Yusuf [12]: 89; al-Ahzab [33]: 33; al-Fath [48]: 26, dengan penyajian model taksonomi Bloom berikut:
 

Tabel 7

Karakteristik Peserta Didik Qur’anic Peace Education

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

Mereduksi praduga yang dilandasi ketidak-tahuan (Ali ‘Imran [3]: 154)

Mereduksi fanatisme pada budaya yang tidak sesuai nilai-nilai agama (al-Fath [48]: 26)

Menghindari pergaulan dengan orang-orang jahil (al-A’raf [7]: 199)

Memahami sesuatu berdasarkan nilai agama, bukan hukum jahiliyah (al-Ma’idah [5]: 50)

Sabar menghadapi aneka problematika pendidikan (al-Baqarah [2]: 177), seperti ujaran kebencian (al-Muzzammil [73]: 10)

Tidak berpenampilan negatif di depan publik (al-Ahzab [33]: 33)

Memahami realita secara lahiriah dan batiniah (al-Kahfi [18]: 68)

Meneladani orang yang tingkat kesabarannya lebih tinggi (Ali ‘Imran [3]: 200)

Membela diri terhadap aksi-aksi kekerasan (al-Nahl [16]: 126)

Dalam tataran praktis, karakteristik peserta didik dalam Qur’anic Peace Education, dapat mengimplementasikan panduan UNESCO dalam membina pribadi yang damai. Pertama, berpikir positif pada diri sendiri maupun orang lain. Kedua, menyayangi dan tidak menyakiti. Ketiga, menemukan kedamaian hati. Keempat, belajar hidup bersama. Kelima, menghormati hak asasi manusia. Keenam, menjadi diri sendiri, tanpa menjatuhkan orang lain. Ketujuh, mengembangkan pemikiran kritis. Kedelapan, menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Kesembilan, membina perdamaian di tengah masyarakat. Kesepuluh, peduli pada lingkungan bumi (UNESCO, 2001: 59-61). 

Gambar 2 Karakteristik Peserta Didik Peace Education versi UNESCO

Demi memperlancar interaksi edukatif antara pendidik dan peserta didik, maka dibutuhkan tenaga kependidikan, baik yang berwenang sebagai pengambil kebijakan pendidikan, seperti kepala sekolah; maupun yang berwenang sebagai fasilitator kebijakan pendidikan, seperti pegawai tata usaha.

Prinsip pokok tenaga kependidikan adalah memberikan kemudahan dan menghindari kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, peran tenaga kependidikan dalam Qur’anic Peace Education dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term yasara, thagha, dan derivasinya yang terdapat dalam Surat al-Baqarah [2]: 185; al-Baqarah [2]: 280; al-Isra’ [17]: 28; al-Thalaq [65]: 7; al-Insyiqaq [84]: 8; Hud [11]: 112; Thaha [20]: 43; Thaha [20]: 81; al-Fajr [89]: 11; al-‘Alaq [96]: 6, dengan penyajian model POAC berikut:

Tabel 8: Karakteristik Tenaga Kependidikan Qur’anic Peace Education

Planning

Prinsip kerjanya adalah memudahkan, bukan mempersulit (al-Baqarah [2]: 185); dan mengedepankan nilai-nilai altruis-kolaboratif, alih-alih egois-individualis (al-‘Alaq [96]: 6)

Organizing

Mendelegasikan tugas dan tanggung-jawab berdasarkan tingkat kemampuan, tanpa unsur pemaksaan (al-Thalaq [65]: 7); dan menggunakan bahasa lisan maupun tulis yang mudah dicerna (al-Isra’ [17]: 28)

Actuating

Memberikan kemudahan, terutama terkait kebutuhan finansial (al-Baqarah [2]: 280); tidak menyalah-gunakan wewenang (al-Fajr [89]: 11), semisal korupsi (Thaha [20]: 81); dan tidak melanggar tata tertib atau kode etik (Hud [11]: 112)

Controlling

Memberikan evaluasi kinerja yang memudahkan, bukan malah mempersulit (al-Insyiqaq [84]: 8); dan menerima realitas faktual secara jujur dan inklusif (Thaha [20]: 43)

 Selanjutnya relasi pendidik, peserta didik dan tenaga kependidikan, perlu supervisi dari pihak luar (outsider). Inilah tugas stakeholders eksternal, seperti pemerintah, komite dan masyarakat. Mengingat tugas utama stakeholders adalah supervisi yang berintikan pada perbaikan, maka relevan jika peran stakeholders dalam Qur’anic Peace Education, dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term shalaha, fasada dan derivasinya yang terdapat dalam Surat al-Baqarah [2]: 220; al-Nisa’ [4]: 114; al-Anfal [8]: 1; Fathir [35]: 10; al-Hujurat [49]: 9; al-Baqarah [2]: 30; al-A’raf [7]: 56; al-Naml [27]: 34; al-Rum [30]: 41; Muhammad [47]: 22, sebagai berikut:

Tabel 9: Karakteristik Stakeholders Qur’anic Peace Education

Kontribusi

Memperkokoh pondasi hubungan antar subyek pendidikan (al-Anfal [8]: 1) dan menghindari hal-hal yang berpotensi merusak relasi harmonis antar subyek pendidikan (Muhammad [77]: 22); serta mengadakan musyawarah untuk membahas hal-hal yang bermanfaat bagi publik (al-Nisa’ [4]: 114)

Fasilitasi

Memberikan bantuan finansial (al-Baqarah [2]: 220); dan menyusun buku panduan yang dapat diimplementasikan subyek pendidikan (Fathir [35]: 10)

(Re)Konsiliasi

Mengadakan ishlah (rekonsiliasi) jika terjadi konflik, dengan prinsip al-qisth dan al-‘adl (al-Hujurat [49]: 9); dan menghindari segala bentuk tindakan anarkis (al-Baqarah [2]: 30) maupun destruktif (al-A’raf [7]: 56), baik yang merusak lingkungan alam maupun sosial (al-Rum [30]: 41); apalagi dengan mengatas-namakan wewenang yang dimiliki (al-Naml [27]: 34).

Dengan demikian, seluruh subyek pendidikan bertanggung-jawab mendidikkan dan merealisasikan isu kritis dalam Peace Education, yaitu menjaga perdamaian (peacekeeping), menciptakan perdamaian (peacemaking) dan membangun perdamaian (peacebuilding); serta sebab-sebab kekerasan (Machali, 2013: 46).

Aksiologi Qur’anic Peace Education dalam Konteks Proses Pendidikan

Sebagaimana dimaklumi, proses pendidikan terdiri dari empat unsur utama: tujuan, materi, metode dan evaluasi pendidikan. 

Tujuan Qur’anic Peace Education adalah merealisasikan perdamaian. Oleh sebab itu, relevan jika tujuan dalam Qur’anic Peace Education dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term salima, qatala dan derivasinya yang terdapat dalam Surat al-Baqarah [2]: 208; al-Nisa’ [4]: 94; al-Anfal [8]: 61; al-Furqan [25]: 63; al-Shaffat [37]: 84; al-Baqarah [2]: 191; al-Nisa’ [4]: 93; al-Ma’idah [5]: 30; al-Taubah [9]: 36; al-Isra’ [17]: 33, sebagai berikut:

Tabel 10: Tujuan Pembelajaran Qur’anic Peace Education

Wawasan

Membentuk nalar kritis melalui pembiasaan tabayun (al-Nisa’ [4]: 94); menjelaskan etika berjihad dalam konteks perang maupun damai (al-Taubah [9]: 36); serta menjelaskan hukum pidana terkait tindak kekerasan, terutama pembunuhan (al-Isra’ [17]: 33)

Sikap

Menginternalisasikan karakter cinta damai (al-Anfal [8]: 61); membina hati yang damai atau qalbun salim (al-Shaffat [37]: 84)

Keterampilan Hidup

Mengamalkan ajaran Islam secara kaffah atau utuh, dari segi iman, Islam dan ihsan (al-Baqarah [2]: 208); berkomunikasi dan berinteraksi sosial yang santun dengan komunitas yang jahil (al-Furqan [25]: 73); serta mengaplikasikan nilai-nilai deradikalisasi dalam lingkup keluarga (al-Ma’idah [5]: 30), internal umat muslim (al-Nisa’ [4]: 93) dan antar umat beragama (al-Baqarah [2]: 191)

Tujuan Qur’anic Peace Education, selaras dengan tiga tujuan pembelajaran Peace Education yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pertama, membangun kesadaran terhadap realita, akar masalah dan konsekuensi kekerasan. Kedua, membangun kepedulian dan mengembangkan nilai-nilai empati, kasih sayang, harapan dan tanggung jawab sosial. Ketiga, melakukan tindakan yang dimulai dari tekad untuk mengubah mindset dan sikap pribadi, lalu melakukan hal-hal yang konkret terkait kekerasan (Navarro-Castro & Nario-Galace, 2010: 175).    

Secara lebih detail, UNICEF merilis tujuan Peace Education berikut (Fountain, 1999: 14-16):

  • Pertama, aspek pengetahuan (kognitif). Meliputi: sadar diri; memahami watak konflik dan damai; kemampuan mengidentifikasi sebab-sebab konflik dan resolusi anti- kekerasan; analisis konflik; meningkatkan pengetahuan mekanisme masyarakat dalam membangun perdamaian dan menyelesaikan konflik; proses mediasi; memahami hak dan kewajiban; memahami keadaan saling-bergantung antara individu dan sosial; peduli pada warisan budaya; dan mengenali praduga.
  • Kedua, aspek keterampilan (psikomotorik). Meliputi: Komunikasi (aktif mendengar; ekspresi diri; menafisrkan; menata ulang); ketegasan; kemampuan kerjasama; afirmasi; penalaran kritis; kemampuan penalaran kritis terhadap dugaan; kemampuan menghadapi stereotipe; mengelola emosi; problem-solving; kemampuan menghasilkan alternatif solusi; menyusun resolusi konflik; pencegahan konflik; partisipasi dalam masyarakat untuk perdamaian; kemampuan hidup dalam perubahan.
  • Ketiga, aspek sikap (afektif). Meliputi: menghargai diri sendiri, menilai positif diri sendiri, kepribadian yang kuat; toleransi; menerima yang lain, menghormati perbedaan; menghormati hak dan tanggung-jawab anak maupun orangtua; mewaspadai praduga; keadilan gender; empati; rekonsiliasi; solidaritas; tanggung-jawab sosial; rasa keadilan dan persamaan; kebahagiaan hidup.

Sedangkan menurut UNESCO, Peace Education bertujuan melindungi pikiran peserta didik dari pengaruh kekerasan di tengah masyarakat; serta menyiapkan peserta didik untuk membangun dunia yang damai dengan cara membekali pengetahuan, sikap dan keterampilan yang mereka butuhkan. Ringkasnya, Peace Education untuk memanusiakan peserta didik, pembelajaran dan sekolah (UNESCO, 2001: 6). 

Dalam merealisasikan tujuan pendidikan, dibutuhkan materi pendidikan yang mengutamakan prinsip menarik kebaikan dan menampik keburukan. Oleh sebab itu, materi pendidikan dalam Qur’anic Peace Education dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term hasana, zhalama dan derivasinya yang terdapat dalam Surat al-Nisa’ [4]: 36; al-Qashash [28]: 77; al-Ahzab [33]: 21; Fushshilat [41]: 34; al-Mulk [67]: 2; al-Baqarah [2]: 279; al-Nisa’ [4]: 10; al-Ma’idah [5]: 45; Fathir [35]: 32; Shad [38]: 24, sebagai berikut:

Tabel 11: Materi Pembelajaran Qur’anic Peace Education

Wawasan

Memahami etika Islami dalam interaksi sosial (al-Nisa’ [4]: 36) maupun perilaku ekonomi (al-Baqarah [2]: 279); serta memahami materi hukum pidana (al-Ma’idah [5]: 45) dan hukum perdata (Shad [38]: 24) yang mendukung maupun yang menghambat perdamaian.

Sikap

Meneladani akhlak nabawi (al-Ahzab [33]: 21); sikap tawazun (seimbang) antara nilai-nilai religius dan humanistik (al-Qashash [28]: 77); dan sikap kompetitif dalam melaksanakan ajaran Islam (Fathir [35]: 32).

Keterampilan Hidup

Memiliki lifeskill yang berfungsi sebagai alternatif solusi atas problematika riil dalam kehidupan (al-Mulk [67]: 2); mempraktikkan manajemen konflik, advokasi dan diplomasi yang mengubah permusuhan menjadi perdamaian (Fushshilat [41]: 34); dan menunjukkan kepedulian sosial kepada kelompok marjinal (al-Nisa’ [4]: 10).

Sedangkan Sukendar menyatakan bahwa materi Peace Education tidak hanya membahas manajemen konflik, melainkan juga manajemen post-konflik. Yaitu pemulihan terhadap korban konflik, agar mengalami trauma dan tetap dapat menjadi orang yang mencintai perdamaian (Sukendar, 2011: 271). 

Hasil riset Huda menunjukkan bahwa materi yang dijumpai pada referensi Islamic Peace Education meliputi: dasar-dasar resolusi konflik, negosiasi, mediasi, fasilitasi, arbitrasi dan manajemen konflik. Di samping itu, ada pula bab khusus yang dijadikan sebagai latihan praktis, yaitu: konseling, psikologi, analisis keluarga dan psikologi, mengelola kemarahan, pendekatan positif dan negatif dalam membangun perdamaian, tahap-tahap kekerasan, akar masalah konflik, praktik pluralisme dan dialog yang kompleks, aturan hukum dan pemahaman pengaruh kekerasan terhadap anak-anak (Huda, 2010: 80).

Selanjutnya materi pendidikan disajikan melalui metode pendidikan yang efektif dan efisien. Salah satu metode unggulan dalam pendidikan Islam adalah al-hikmah yang memiliki beragam makna. Oleh sebab itu, metode pendidikan dalam Qur’anic Peace Education dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term hakama, hawa dan derivasinya yang terdapat dalam Surat al-Baqarah [2]: 151; al-Baqarah [2]: 269; Hud [11]: 1; al-Nahl [16]: 125; Luqman [31]: 12; al-Nisa’ [4]: 135; al-Kahfi [18]: 28; al-Rum [30]: 29; Shad [38]: 26; al-Nazi’at [79]: 40, sebagai berikut:

Tabel 12: Metode Pembelajaran Qur’anic Peace Education

Pendekatan Pendidik

Pendekatan Peserta Didik

Metode tilawah, tazkiyyah dan ta’lim (al-Baqarah [2]: 151)

Metode amal ilmiah dan ilmu amaliah (al-Baqarah [2]: 269)

Metode keteladanan (al-Nahl [16]: 125)

Metode ilmiah (al-Rum [30]: 29)

Metode mau’izhah (Luqman [31]: 12)

Metode partisipatif yang dilandasi prinsip keadilan (al-Nisa’ [4]: 135) 

Metode ceramah yang menjelaskan realitas lahiriah dan hakikat batiniah (Hud [11]: 1)

Metode yang proporsional, antara kebutuhan individual dan kolaboratif peserta didik (al-Kahfi [18]: 28)

 

Metode problem solving atau problem based learning (Shad [38]: 26)

 

Metode riyadhah atau latihan meredam hawa nafsu (al-Nazi’at [79]: 40)

 Mengingat Peace Education bertujuan membentuk watak (state of mind), metode pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) merupakan metode kunci untuk menginternalisasikan nilai-nilai, sikap, persepsi, keterampilan dan kecenderungan perilaku. Artinya, peserta didik butuh hidup dalam kondisi bernuansa Peace Education, serta mempraktikkan cara hidup bermasyarakat yang sesuai dengan tujuan Peace Education (Bar-Tal, 2009: 35).  

Sedangkan metode utama yang disarankan UNICEF adalah metode berbasis-siswa aktif dengan yang bersifat partisipatoris, karena diyakini dapat mengantarkan siswa mencapai potensinya yang tertinggi. Misalnya, kerja kelompok, peer teaching, brainstorming, latihan membuat keputusan dan membangun kesepakatan, negosiasi, bermain peran dan simulasi (Fountain, 1999: 30). 

Untuk mengetahui hasil pendidikan, dibutuhkan evaluasi pendidikan yang terukur. Oleh sebab itu, evaluasi pendidikan dalam Qur’anic Peace Education dikonstruksi berdasarkan makna hermeneutis term hasiba, sarafa dan derivasinya yang terdapat dalam Surat al-Baqarah [2]: 284; Ali ‘Imran [3]: 142; Yunus [10]: 5; al-Mu’min [40]: 17; al-Insyiqaq [84]: 8; al-Nisa’ [4]: 6; al-Furqan [25]: 67; al-Syu’ara’ [26]: 151; al-Mu’min [40]: 28; al-Mu’min [40]: 34), sebagai berikut:

Tabel 13: Evaluasi Pembelajaran Qur’anic Peace Education

Planning

Prinsip evaluasi adalah memudahkan, bukan menyulitkan (al-Insyiqaq [84]: 8); serta tidak melampaui batas dalam menetapkan anggaran pendanaan untuk kebutuhan evaluasi, yaitu tidak serba lebih atau serba kurang (al-Furqan [25]: 67)

Organizing

Evaluasi diatur dalam kalender akademik yang jelas (Yunus [10]: 5); menyesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta didik (Ali ‘Imran [3]: 142); dan disusun secara meyakinkan atau valid (al-Mu’min [40]: 34)

Actuating

Evaluasi ditujukan pada implementasi kurikulum tertulis dan kurikulum tersembunyi (al-Baqarah [2]: 284); dilaksanakan dengan prinsip efektif dan efisien (al-Mu’min [40]: 17); serta menindak peserta didik yang melampaui batas saat evaluasi (al-Syu’ara’ [26] 151)  

Controlling

Evaluasi mengedepankan nilai-nilai kejujuran, bukan kedustaan (al-Mu’min [40]: 28); serta berfungsi sebagai pengukur tingkat prestasi belajar peserta didik (al-Nisa’ [4]: 6)

UNICEF menyarankan enam metode evaluasi yang dilakukan dengan cara membandingkan kondisi peserta didik antara sebelum dan sesudah mengikuti Peace Education. Yaitu metode survei atau kuesioner; wawancara; fokus grup; observasi; studi dokumentasi catatan sekolah; dan metode eksperimen (Fountain, 1999: 24).

Hasil riset terhadap lembaga pendidikan tingkat menengah, menunjukkan bahwa lembaga pendidikan, dinilai sukses menyelenggarakan Peace Education, apabila dijumpai nilai-nilai perdamaian. Antara lain: a) saling percaya; b) kerjasama; c) tenggang rasa; d) penerimaan terhadap perbedaan; e) penghargaan terhadap kelestarian lingkungan. Sedangkan sikp dan perilaku yang mencerminkan kedamaian, antara lain: a) kontrol diri; b) mampu menyelesaikan konflik; c) memiliki kompetensi sosial; d) budi pekerti; e) taat aturan dan tata tertib; f) komunikatif (Hadjam & Widhiarso, 2003: 13-18).

PENUTUP

Teori dan praktik Peace Education dalam pendidikan Islam masih didominasi filsafat dan teori pendidikan Barat yang bersifat antroposentris (insani); sehingga tidak benar-benar kompatibel dengan pendidikan Islam yang bersifat teo-antroposentris (Ilahi dan insani). Sebagai alternatif solusi, tulisan ini menawarkan Qur’anic Peace Education yang dikonstruksi di atas landasan filsafat ilmu pendidikan Islam melalui telaah hermeneutis Ricoeur dan tafsir tarbawi tematik, terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang relevan; lalu dikonstruksi secara komprehensif dan sistematis dalam bingkai filsafat ilmu yang meliputi aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Implikasinya, tulisan ini perlu ditindak-lanjuti dengan riset pustaka maupun lapangan, yang berfungsi sebagai verifikasi maupun falsifikasi terhadap konstruksi Qur’anic Peace Education.   

REFERENSI

Abdullah (et al), Taufik. 2005. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
‘Ali, Sa‘id Isma‘il. 1992. al-Ushul al-Islamiyyah li al-Tarbiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby.
al-‘Athiyyah, Durriyyah. 2010. Fiqh al-‘Ibadat ‘ala al-Madzhab al-Syafi’i. Al-Maktabah al-Syamilah. Edisi II.
Auda, Jasser. 2008. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought.
Bar-Tal, Daniel (et al). 2009. Peace Education in Societies Involved Intractable Conflicts: Goals, Conditions and Directions. London: Routledge.
Fountain, Susan. 1999. Peace Education in UNICEF. New York: UNICEF.
Hadjam, M. Noor Rochman & Widhiarso, Wahyu. 2003. Budaya Damai Antri Kekerasan: Peace and Anti Violence. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Umum.
Hanafi, Muchlis M.. 2010. Tafsir al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an.
Huda, Qamar-ul. Peace Education in Muslim Societies and in Islamic Institutions. https://www.academia.edu/22260626/Peace_Education_in_Muslim_Societies_and_in_Islamic_Institutions.
Machali, Imam. 2013. Peace Education dan Deradikalisasi Agama. Dalam Jurnal Pendidikan Islam. Vol. II, No. 1, Juni 2013.
Muhaimin. 2011. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Navarro-Castro, Loreta & Nario-Galace, Jasmin. 2010. Peace Education: A Pathway to a Culture of Peace. Quezon City: Center for Peace Education Miriam College.
Özçelik, Sezai & Öğretir, Ayşe Dilek. 2015. Islamic Peace Paradigm and Islamic Peace Education: The Study of Islamic Nonviolence in Post-September 11 World. Dalam Arab-Turkish Congress of Social Sciences (ATCOSS IV): Economy, Education and Development.
Ricoeur, Paul. 1976. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Texas: The Texas Christian University Press.
Shihab, M. Quraish. 2011. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Sukendar. 2011. Pendidikan Damai (Peace Education) bagi Anak-Anak Korban Konflik. Jurnal Walisongo. Vol. 19, No. 2.
UNESCO. 2001. Learning the Way of Peace: A Teachers’ Guide to Peace Education. New Delhi: UNESCO.
Wahyudin, Dinn. 2018. Peace Education in the Context of Education Sustainable Development (ESD). Journal of Sustainable Development Education and Research (JSDER). Vol. 2, No. 1.
Zain, Samih ‘Athif. 2001.  Mu’jam Tafsir Mufradat Alfazh al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Kutub.
https://regional.kompas.com/read/2018/10/25/14430951/6-kasus-orangtua-bunuh-anak-sepanjang-2018?page=all. Dikutip 15-7-2019.
https://jateng.tribunnews.com/2019/04/22/anak-tebas-tubuh-ayah-di-kebumen-inilah-7-kasus-pembunuhan-orangtua-yang-terjadi-di-indonesia. Dikutip 15-7-2019.
https://nasional.kompas.com/read/2019/06/17/15533041/polri-4-dari-9-korban-kerusuhan-21-22-mei-2019-dipastikan-tewas-karena. Dikutip 15-7-2019.
https://news.detik.com/berita/d-4503214/pengakuan-idris-yang-tembak-mati-subaidi-karena-beda-pilihan-pilpres. Dikutip 15-7-2019.
https://nasional.sindonews.com/read/1356879/13/dari-574-kasus-80-pembunuhan-bermotif-dendam-dan-sakit-hati-1542924888. Dikutip 15-7-2019.
https://nasional.tempo.co/read/1148714/mabes-polri-sebut-ada-625-kasus-pembunuhan-sepanjang-2018. Dikutip 15-7-2019.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181224160304-20-356077/gp-ansor-terjunkan-relawan-banser-jaga-gereja-di-malam-natal. Dikutip 6-8-2019.
https://nasional.tempo.co/read/1088460/pelaku-bom-di-surabaya-satu-keluarga-begini-pembagian-tugasnya. Dikutip 6-8-2019.
http://uniramalang.ac.id/postgraduate-programmes/. Diakses 6 Agustus 2019.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181224160304-20-356077/. Dikutip 6-8-2019.
https://nasional.tempo.co/read/1088460/. Dikutip 6-8-2019.

Pembaca dapat melihat artikel-artikel lain karya penulis disini. Bagikan semua kebaikan dialogilmu kepada orang di sekitar kita. Sebab hidup ini terlalu singkat untuk dinikmati sendiri.

Posting Komentar untuk "Epistemologi Peace Education dalam Perspektif al-Qur'an"