Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akhlak Kebiasaan Sehari-hari


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Akhlak Bepergian
Traveling pun Memiliki Panduan Akhlaknya dalam Islam

Pertama, Akhlak Makan-Minum

Hendaknya orang yang makan dan minum berniat untuk mendapatkan energi untuk beribadah kepada Allah SWT, di samping status makanan dan minuman tersebut adalah halal. Jika seseorang makan karena Allah SWT, maka sudah sepantasnya jika orang tersebut membasuh tangan terlebih dahulu, berdasarkan Hadis: “Wudhu sebelum makan dapat menghilangkan kefakiran”.

Hendaknya memiliki iktikad untuk sedikit makan dan minum. Oleh sebab itu, seyogianya tidak makan sebelum merasa lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, karena kekenyangan menyebabkan kerasnya hati. Selain itu, tidak perlu terlalu memperhatikan kelezatan makanan.

Makanan yang terbaik adalah makanan yang dimakan bersama-sama dengan orang banyak. Semakin banyak orang yang ikut makan bersama, maka semakin baik makanan tersebut. Anas RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah makan sendirian. Disunahkan pula membaca Basmalah ketika memulai makan dan Hamdalah setelah selesai makan. Bacaan tersebut dibaca dengan keras untuk mengingatkan orang lain. Makan menggunakan tangan kanan, menyedikitkan genggaman makanan dan mengunyah makanan dengan baik.

Tidak boleh mengambil makanan lain hingga menelan makanan yang sebelumnya. Tidak boleh mencela makanan. Sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah mencela makanan; jika beliau berkenan, maka beliau makan; dan jika tidak berkenan, maka beliau meninggalkannya. Tidak boleh meniup makanan atau minuman yang panas. Ketika makan buah-buahan, hendaknya dalam jumlah ganjil. Ketika minum, setidaknya dengan tiga kali menghela nafas.

Ketika makan bersama banyak orang, maka bersabar untuk memberi kesempatan orang yang lebih senior agar makan terlebih dahulu, kecuali jika statusnya adalah tokoh masyarakat.1

Kedua, Akhlak Bekerja

Sesungguhnya meminta-minta termasuk jenis pekerjaan yang dibenci. Oleh sebab itu, bekerja adalah lebih utama; kecuali bagi orang yang berkewajiban mengurusi kemaslahatan umat, seperti pejabat. Ketika Abu Bakar RA menjabat sebagai khalifah, beliau meninggalkan pekerjaan berdagang dan fokus menjalankan kewajibannya sebagai khalifah.

Meskipun hukum asal muamalah adalah sah, namun terkadang muamalah mengandung jenis kezhaliman yang dapat mendatangkan murka Allah SWT. Misalnya menimbun barang agar menjadi langka, sehingga harganya naik tajam; menyembunyikan cacat pada barang yang diperjual-belikan; bersikap curang ketika menimbang atau menakar barang; dan sikap-sikap lain yang menunjukkan kepalsuan atau penipuan.

Disunahkan agar berjual-beli, melunasi dan menagih utang dengan sikap penuh toleransi, semisal tidak berjual-beli atau menagih utang dengan paksa; tidak pula sulit untuk melunasi utang, padahal sudah memiliki dana pelunasan.

Jangan sampai umat muslim terlalu sibuk dalam bekerja demi meraih laba di dunia, namun menyia-nyiakan modal di akhirat. Oleh sebab itu, niat bekerja adalah mencari rezeki yang halal; terhindar dari sikap meminta-minta dan memperoleh ongkos untuk perjalanan menuju akhirat. Sikap ini diapresiasi oleh Allah SWT dalam Surat al-Nur [24]: 37

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Q.S. al-Nur [24]: 37)

Inilah ayat yang memotivasi agar bekerja tidak sampai mengganggu kewajiban shalat lima waktu. Oleh sebab itu, disunahkan agar bergegas meninggalkan pekerjaan ketika mendengarkan adzan, agar dapat melaksanakan shalat di awal waktu, lebih-lebih dengan berjamaah.

Selain itu, hendaknya seseorang senantiasa meneliti dan mengevaluasi pekerjaannya sendiri, agar tidak sampai ada hal-hal yang kelak dapat menjadi beban pada saat hari hisab (penghitungan amal), karena setiap rezeki yang diperoleh seseorang akan dihisab oleh Allah SWT. 2

Ketiga, Akhlak Terkait Halal-Haram

Ibnu Mas’ud RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
طَلَبُ الْحَلاَلِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

Mencari (rezeki) halal adalah kewajiban bagi setiap muslim.

Ibn ‘Abbas RA pernah berkata: “Allah tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya terdapat (makanan) haram”.

Sesungguhnya seluruh perkara haram adalah kotor; hanya saja sebagian perkara haram lebih kotor dibandingkan sebagian yang lain. Sedangkan seluruh perkara halal adalah bagus; namun sebagian perkara halal lebih bagus dibandingkan yang lain. Ada beberapa tingkatan terkait masalah halal dan haram. Pertama, Menjaga diri dari sesuatu yang dinilai haram menurut para ahli Fikih. Ini adalah standar minimal. Kedua, Menjaga diri dari sesuatu yang berpotensi haram, meskipun menurut sebagian ulama diperbolehkan. Dengan kata lain, statusnya masih syubhat (abu-abu) antara halal dan haram. Ketiga,        Meninggalkan sesuatu yang tidak haram dan tidak pula syubhat, namun dikhawatirkan dapat mendatangkan pada hal-hal yang diharamkan. Keempat, Sesuatu yang haram, tidak syubhat dan tidak berpotensi mendatangkan hal-hal yang haram, namun memperolehnya bukan kaena Allah SWT atau bukan dengan niat sebagai bekal energi untuk beribadah kepada Allah SWT. 3

Keempat, Akhlak Bergaul

Ketahuilah bahwa perasaan saling menyayangi karena Allah SWT dan bersaudara dalam agama-Nya termasuk ibadah yang paling utama. Keduanya merupakan buah dari akhlak terpuji. Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa Allah kehendaki kebaikan kepadanya, maka Allah menganugerahkannya teman yang shalih; jika dia lupa, temannya akan mengingatkan; dan jika dia ingat, maka temannya akan membantu”.

Manusia mencintai orang lain ada kalanya dikarenakan faktor internal orang tersebut, semisal cantik atau tampan. Ada kalanya dikarenakan faktor eksternal, semisal orang tersebut dapat dijadikan sebagai “sarana” atau “media” memperoleh tujuan seseorang. Ada kalanya tujuan yang bersifat duniawi dan ada kalanya bersifat ukhrawi.

Nabi SAW pernah bersabda: “Seseorang itu sesuai dengan “agama” temannya; maka hendaklah seseorang di antara kalian memperhatikan temannya”. Oleh sebab itu, umat muslim harus selektif dalam memilih teman, antara lain memenuhi kriteria: Berakal; bagus akhlaknya; tidak fasik; tidak ahli bid’ah dan tidak cinta dunia. 4

Berikut ini penulis kutipkan tips berteman atau bergaul menurut Ibn ‘Athaillah dan diperjelas oleh Jasser Auda: 5

لاَ تَصْحَبْ مَنْ لاَ يُنْهِضُكَ حَالُهُ وَلاَ يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقالُهُ. رُبَّما كُنْتَ مُسِيْئاً فَأَرَاكَ الإحْسَانَ مِنْكَ، صُحْبَتُكَ مَنْ هُوَ أَسوَأَ حَالاً مِنْكَ.

Janganlah kamu berteman dengan seseorang yang kondisinya tidak meningkatkan kondisimu atau tutur katanya tidak memandumu kepada Allah. Bisa jadi kamu berbuat buruk, namun kamu merasa berbuat baik karena kamu membandingkan dirimu dengan temanmu yang lebih buruk kondisinya.

Di sini Ibn ‘Atha’illah mengajarkan tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin memilih teman-temannya?  Mungkin Anda berteman dengan seseorang yang lebih baik daripada Anda atau seseorang yang lebih buruk daripada Anda. Ibn ‘Atha’illah menyatakan bahwa ketika Anda berteman dengan seseorang yang lebih buruk dari Anda, maka Anda akan merasa sebagai pribadi yang unggul dalam segala situasi. Akan tetapi, ini hanya karena Anda membandingkan diri sendiri dengan teman Anda, yaitu seorang teman yang tidak peduli dengan dosa-dosa kecil maupun besar. Akan tetapi, jika Anda berteman dengan seseorang yang dapat meningkatkan Anda melalui kondisinya, atau memberi petunjuk Anda menuju Allah SWT melalui tutur katanya, yaitu seseorang yang lebih baik daripada Anda dalam kaitannya dengan keimanan, maka teman tersebut akan memiliki pengaruh yang positif bagi Anda.

Dalam sebuah riwayat Nabi SAW pernah bersabda:Seorang teman yang baik dan yang buruk itu seperti seorang penjual parfum dan tukang pandai besi. Seorang penjual parfum bisa jadi memberimu beberapa parfum sebagai hadiah, atau engkau membeli beberapa parfum darinya, atau paling tidak engkau dapat mencium bau wangi parfumnya. Sedangkan seorang pandai besi, mungkin dia membakar pakaianmu, atau paling tidak engkau akan bernafas dengan menghirup polusi uap tungku perapiannya.

Jika Anda berteman dengan seseorang yang memiliki karakter baik, mungkin dia akan memberi Anda sejumlah parfum. Seorang mukmin selalu memiliki bau yang harum. Bisa jadi dia memberi Anda ‘parfum’ dalam konteks moral, dalam bentuk nasihat, pengingat, hikmah Quran, petunjuk yang baik, atau bahkan senyum. Nabi SAW bersabda: “Tersenyum di depan saudaramu adalah sedekah”. Dia bisa menjadi seorang teladan yang baik bagi Anda ketika Anda melihatnya memberikan sedekah, mengucapkan tutur kata yang bagus, atau berdoa kepada Allah SWT. Kemudian Anda akan mendapati diri Anda sendiri ikut berpartisipasi dengannya dalam amal-amal kebaikan.

Sedangkan jenis teman yang lain adalah seperti pandai besi. Mungkin dia membakar pakaian Anda ketika dia menyalakan api! Dan jika Anda mendekat dengannya, bisa jadi dia membakar hati Anda dengan melibatkan Anda dalam pengkhianatan, persaksian palsu atau perbuatan-perbuatan buruk lainnya.

Janganlah kamu berteman dengan seseorang yang kondi­ si­nya tidak meningkatkan kondisimu. “Kondisi” adalah suatu ungkapan sufi yang bermakna pengaruh spiritual yang dimiliki seseorang terhadap spiritualitas orang lain. Pengaruh ini dijelaskan oleh Nabi SAW dalam Sunnah yang berbeda-beda. Nabi SAW bersabda: “Satu dirham bisa menjadi lebih besar daripada seratus ribu dirham.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana bisa, wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab: “Orang yang kaya mengambil seratus ribu dirham dari kekayaannya dan memberikannya sebagai sedekah. Sedangkan orang yang lain tidak memiliki apa pun selain dua dirham, dan dia mengambil satu dirham dan memberikannya sebagai sedekah.” Di sini satu-satunya perbedaan antara kedua orang tersebut adalah “kondisi” hati mereka, meskipun orang yang pertama memberikan seratus dirham lebih banyak! 6

Dalam konteks bergaul dengan kedua orangtua, Abdul Aziz bin Fathi al-Sayyid Nada memberikan rekomendasi daftar akhlak berikut: Pertama, Hak-hak orang tua ketika masih hidup. Meliputi: a) mentaati keduanya dalam hal yang tidak bermaksiat kepada Allah SWT; b) berbuat baik kepada mereka; c) merendahkan diri di hadapan mereka; d) bertutur kata yang lembut; e)  memberi makan keduanya; f) meminta izin ketika hendak pergi berjihad atau yang lainnya; g) memberikan harta yang mereka kehendaki; h)  membuat senang dengan cara berbuat baik kepada orang-orang yang mereka cintai; i) melaksanakan sumpah mereka; j) tidak mencaci atau melakukan sesuatu yang menyebabkan cacian kepada orangtua; k)  mengutamakan ibu daripada ayah. Kedua, Hak-hak orang tua sesudah wafat. Meliputi: a) mendoakan keduanya'; b) beristighfar untuk mereka; c) menunaikan janji mereka; d) menghormati para sahabat mereka; e), menyambung kekerabatan yang tidak mungkin ada tanpa mereka. 7

Kelima, Akhlak Menyediri (‘Uzlah)

Mayoritas Tabi’in menyunahkan berinteraksi sosial dan memperbanyak teman untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Sedangkan beberapa tokoh seperti Sufyan al-Tsauri, Ibrahim ibn Adham dan Fudhail ibn ‘Iyadh lebih menyunahkan menyendiri (‘uzlah), yaitu mengisolasi diri dari interaksi sosial. 8

Menurut al-Ghazali, di antara manfaat ‘uzlah adalah lebih memungkinkan untuk menetapi berbagai ketaatan, belajar-mengajar, bebas dari berbagai larangan yang muncul dalam interaksi sosial, seperti riya’, ghibah dan meninggalkan amar ma’ruf nahy munkar. Demikian halnya bebas dari meniru akhlak buruk orang lain.

Niat orang yang melakukan ‘uzlah adalah semata-mata menjauhkan umat manusia dari keburukan dirinya; memfokuskan diri secara total untuk dzikir kepada Allah SWT; tidak banyak angan-angan atau fantasi; serta demi berjihad memerangi hawa nafsu (mujahadah al-nafs). Al-Ghazali menegaskan bahwa tidak mungkin untuk mengunggulkan interaksi sosial atas isolasi diri (‘uzlah) atau sebaliknya, secara mutlak; karena hal itu bersifat kasuistis, yakni sesuai dengan pribadi masing-masing orang. Akan tetapi, yang lebih utama adalah bersikap tengah-tengah. Yaitu tidak meninggalkan interaksi sosial secara total, sehingga membuat seseorang kehilangan manfaat dari interaksi sosial. Demikian juga, tidak terlalu berlebihan dalam berinteraksi sosial, sehingga membuat seseorang kehilangan manfaat dari isolasi diri (‘uzlah). 9

Keenam, Akhlak Perjalanan (Safar)

Pada hakikatnya, perjalanan dalam Islam terbagi menjadi dua, yaitu perjalanan ruhani dan perjalanan jasmani. Perjalanan ruhani adalah perjalanan batin menuju Allah SWT, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah SWT terkait kisah Nabi Ibrahim AS:
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ

Dan Ibrahim berkata:"Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (Q.S. al-Shaffat [37]: 99)

Sedangkan perjalanan jasmani adalah melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya. Di antara akhlak terkait perjalanan jasmani adalah memperbaiki niat. Misalnya bepergian dengan niat berhaji; mengunjungi ulama atau wali; lari dari hal-hal yang dapat merusak agama dan urusan dunia seseorang; atau untuk berdagang mencari harta yang halal. Selain itu, orang yang bepergian harus mempelajari tanda-tanda arah kiblat, bahkan menyiapkan alat untuk mengetahui arah kiblat, semisal kompas. Jadi, bepergian tidak semata-mata bersifat duniawi, sehingga hanya memperoleh keletihan dan kelelahan semata. 10

Ketujuh, Akhlak Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan pokok agama; melalui keduanya, tujuan kenabian dapat terealisasi. Allah SWT berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 104)

Abu Bakar RA meriwayatkan sebuah Hadis Nabi SAW: “Ketika suatu kaum melakukan kemaksiatan, sedangkan di antara mereka ada orang yang mampu untuk mencegahnya, namun dia tidak melakukannya; maka dikhawatirkan Allah SWT akan menimpakan adzab-Nya kepada mereka secara menyeluruh”.

Ada empat rukun Amar Ma’ruf Nahi Munkar. 11

Pertama, Subyek Amar Ma’ruf Nahi Munkar (al-Muhtasib). Syaratnya adalah muslim dan mukallaf. Tidak disyaratkan ‘adalah (keunggulan akhlak), karena setiap manusia –selain Nabi SAW– tidak terjaga dari dosa. Dengan demikian, tidak boleh meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan alasan dirinya sendiri masih berlumur dosa.

Kedua, Obyek Manusia Amar Ma’ruf Nahi Munkar (al-Muhtasab ‘alaih) adalah manusia, termasuk anak-anak. Demikian halnya, baik berstatus sebagai pejabat maupun rakyat biasa. Diriwayatkan bahwa salah seorang pejabat tinggi yang bernama Marwan ibn al-Hakam melakukan khutbah sebelum shalat Idul Fitri, lalu ada seorang jamaah yang mengingatkan bahwa khutbah dilakukan setelah shalat hari raya.

Ketiga, Objek Perbuatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (al-Muhtasab fih) adalah perbuatan tersebut memang diketahui termasuk kemungkaran. Jika statusnya masih diperdebatkan oleh para ulama, maka perbuatan tersebut bukan termasuk objek perbuatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, misalnya berdakwah dengan menggunakan alat musik. Adapun contoh objek perbuatan yang menjadi sasaran Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah orang yang shalatnya melenceng dari arah kiblat; rukuk dan sujudnya tidak thuma’ninah; bacaan al-Qur’an-nya menyalahi kaidah Tajwid; dan lain-lain.

Dalam praktik Amar Ma’ruf Nahi Munkar, subyek (al-Muhtasib) hendaknya berilmu, wira’i, berakhlak mulia dan lemah lembut. Dengan ilmu, dia mengetahui batasan-batasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Dengan wira’i, dia membatasi diri pada hal-hal disyariatkan saja. Dengan lemah lembut dan tidak berlaku kasar, agar tidak melampaui batasan Syariat, yaitu dampak kerusakannya lebih banyak dibandingkan dampak perbaikannya. Amar Ma’ruf Nahi Munkar dilakukan atas dasar kasih sayang, sehingga ketika ada seseorang yang mengabaikan atau malah membalas dengan hal-hal yang buruk, maka dia tidak sampai keluar dari batasan syariat Islam dengan membalas balik, sehingga menimbulkan kemunkaran lanjutan yang justru bertolak-belakang dengan hakikat Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Ada empat tahap Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Pertama, memberitahu. Kedua, menasihati dengan lembut (mau’izhah). Ketiga, memberi peringatan keras dengan lisan. Keempat, mencegah secara paksa dengan perbuatan. 12

Catatan Kaki

1] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din,  (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2004), h. 73-75.

2] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 80-82.

3] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 84.

4] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 89-90.

5] Jasser Auda, Spiritual Journey: 28 Langkah Meraih Cinta Allah (Terjemah oleh Rosidin), (Bandung: Mizan, 2014), h. 103.

6] Jasser Auda, Spiritual Journey, h. 105-106.

7] Abdul Aziz bin Fathi al-Sayyid Nada, Ensiklopedia Etika Islam: Begini Semestinya Muslim Berperilaku (Penerjemah M. Isnaini, dkk.) (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2005), h. 520-525.

8] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 95.

9] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 95-96.

10] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 97.

11] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 102-103.

12] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 104.


Posting Komentar untuk "Akhlak Kebiasaan Sehari-hari"