Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Transportasi dalam Perspektif Al-Qur'an

TRANSPORTASI QUR’ANI


Tafsir Tarbawi Terma Rakiba dan Derivasinya

 
Transportasi
Menikmati Kendaraan Sesuai Syariat Islam



Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com


Salah satu terma yang digunakan al-Qur’an terkait transportasi adalah rakiba yang berarti menaiki kendaraan. Al-Qur’an menyebutkan terma ini sebanyak 15 kali dalam 15 ayat. Dari seluruh ayat itu, dapat diperoleh pemahaman seputar transportasi dalam perspektif al-Qur’an.
 
Pertama, Pada mulanya, manusia menggunakan binatang sebagai kendaraan, seperti yang diisyaratkan Surat al-Nahl [16]: 8, 

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan, dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
 
Penghujung ayat ini seolah mengisyaratkan akan ada kendaraan dalam bentuk baru. Misalnya, pesawat terbang. Uniknya, pesawat terbang pun tidak lepas dari peran binatang, lebih tepatnya terinspirasi kinerja burung yang mampu terbang di udara, seperti dinyatakan Surat al-Mulk [67]: 19, Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? tidak ada yang menahannya (di udara) selain yang Maha Pemurah.
 
Jika diperluas maknanya, banyak kendaraan yang menggunakan “binatang” sebagai logo hingga nama. Perhatikanlah logo Ferrari atau Lamborghini; serta nama kendaraan, seperti pesawat garuda, tank amfibi, mobil kijang, hingga sepeda motor bebek.
 
Dengan demikian, pengembangan moda transportasi di masa lalu, sekarang, dan masa depan, senantiasa berhubungan dengan binatang. Tidak mengherankan jika al-Qur’an sering memotivasi umat muslim untuk menelaah binatang (sebagaimana Surat al-Mulk [67]: 19) di atas, agar dapat mengambil inspirasi yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, semisal penciptaan moda transportasi canggih yang terinspirasi kinerja binatang tertentu.

Kedua, al-Qur’an mengajarkan dua bentuk doa berkendara:

(1) Surat Hud [11]: 41

بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
  
Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
 
Doa ini mengisyaratkan bahwa naik kendaraan seharusnya mengundang ampunan (maghfirah) Allah SWT. Salah satu syaratnya, tidak melakukan maksiat di atas kendaraan. Misalnya, mencopet, menonton video vulgar, berpacaran. Doa ini juga mengisyaratkan bahwa naik kendaraan seharusnya mengundang rahmat Allah SWT yang bersifat khusus. Misalnya, mendapatkan keselamatan sekalipun kendaraan mengalami kecelakaan.

(2) Surat al-Zukhruf [43]: 13-14,

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ.
  
Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.
 
Doa naik kendaraan ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat mengendalikan kendaraan 100%. Manusia hanya bisa mengontrol kendaraan sebelum menggunakannya.
 
Siapakah yang menjamin ban motor tidak meletus saat melaju dengan kecepatan tinggi? Siapakah yang menjamin rem mobil berfungsi normal? Siapakah yang menjamin kondisi cuaca yang kondusif bagi penerbangan pesawat? Siapakah yang menjamin laut tidak terjadi badai dahsyat yang dapat menerjang kapal? Semua itu tidak berada di bawah kontrol manusia, melainkan berada di bawah kekuasaan Allah SWT.
 
Sedangkan penghujung doa mengisyaratkan sikap pasrah, seandainya pun kendaraan mengalami kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa, karena suatu saat manusia pasti akan wafat dan kembali kepada Allah SWT.
 
Ketiga, kondisi kendaraan yang tidak berada di bawah kontrol manusia secara penuh (100%), membuat manusia dapat mempelajari sikap ikhlas. Yaitu semata-mata menaruh harapan kepada Allah SWT, seperti yang dinyatakan dalam Surat al-‘Ankabut [29]: 65

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ.
  
Maka apabila mereka naik kapal, mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan beragama kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) 
Sikap ikhlas ini juga dapat diibaratkan seperti orang yang sedang naik pesawat, lalu cuaca di udara sangat buruk, sehingga membuat seluruh penumpang merasa takut. Pada saat itulah, muncul sikap “ikhlas” yang sesungguhnya. Yaitu sepenuh hati menaruh harapan kepada Allah SWT, karena tidak ada lagi yang dapat menjamin keselamatan nyawanya selain Allah SWT.
 
Sayangnya, ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia cenderung bersikap ikhlas ketika mengalami kondisi tercekam saat berada di atas kendaraan; namun melupakan sikap ikhlas yang sedemikian murni, ketika mengalami kondisi aman dan nyaman saat berada di daratan.
 
Keempat, dilarang membahayakan penumpang kendaraan. Sebagaimana kritik keras yang dilontarkan oleh Nabi Musa AS saat melihat Nabi Khidhir AS melubangi perahu yang normalnya berpotensi membahayakan seluruh penumpang (Q.S. al-Kahfi [18]: 71) 

فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا
 
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu, Khidhr melubanginya. Musa berkata:"Mengapa kamu melubangi perahu itu, (yang) akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. 
Kata imran dalam ayat di atas bermakna “suatu kerusakan besar yang diakibatkan kelemahan berpikir seseorang, sehingga membuat banyak orang merasa terheran-heran”. Kandungan makna ayat ini dapat diarahkan pada segala bentuk perbuatan yang mencerminkan kelemahan akal seseorang, sehingga melakukan suatu kerusakan hebat yang membuat heboh masyarakat.
 
Misalnya, aksi ugal-ugalan sopir truk atau bus yang mengakibatkan kecelakaan yang memakan korban jiwa ataupun luka parah; aksi oknum yang membebani kendaraan dengan muatan yang melebihi batas maksimal, sehingga mengakibatkan kendaraan berjalan terlampau lambat; atau malah bannya bocor di tengah jalan, yang semua itu sama-sama berpotensi mengakibatkan kemacetan semakin parah dan mengganggu para pengguna jalan lainnya; sama halnya dengan aksi pilot yang mengemudikan pesawat dalam keadaan mabuk, sehingga berpotensi mengancam keselamatan jiwa para penumpang; demikian seterusnya.
 
Kelima, dalam kondisi apapun, pengguna kendaraan tidak boleh meninggalkan kewajiban shalat, seperti yang dinyatakan Surat al-Baqarah [2]: 238-239,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238) فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
  
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.  
Shalat boleh dikerjakan secara ada' (tepat waktu); dan boleh secara jamak atau qashar bagi orang yang memenuhi syarat-syaratnya. Oleh sebab itu, pengguna kendaraan harus pandai dan bijak dalam berkendara, sehingga tidak sampai meninggalkan kewajiban asasi sebagai umat muslim, yaitu mendirikan shalat lima waktu. 

Ingat, satu-satunya waktu yang membuat umat muslim boleh tidak mendirikan shalat adalah saat dia dishalati, yaitu sudah meninggal dunia. Ini di luar kondisi yang terlarang melakukan shalat, semisal wanita haid.
 
Wallahu A’lam bi al-Shawab.