Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Piagam Madinah dan Sistem Pemerintahan

PIAGAM MADINAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN

Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi


Sistem Pemerintahan
Piagam Madinah sebagai Pemersatu Bangsa Multi-SARA

Latar Belakang Historis dan Normatif

Dalam perjalanan dakwah Islam, Rasulullah SAW tidak pernah menentukan sistem pemerintahan bagi suatu negara Islam. Berikut ini penjelasan tentang bagaimana Rasulullah SAW mengatur masyarakat di dalam Negara Madinah. Ini penting karena belakangan ini ada berbagai macam pendapat tentang negara. Ada yang ngotot (bersikukuh) bahwa negara harus menggunakan khilafah, Pancasila, dan sebagainya.
 
Dahulu, kurang lebih dua tahun sebelum wafat, Rasulullah SAW membuat perjanjian antara umat Islam dengan umat agama, seperti Yahudi, Nasrani dan Shabi’in. Shabi’in adalah agama lokal, seperti Kejawen di Jawa. Rasulullah SAW juga mengikat perjanjian dengan suku-suku, karena ketika itu di Madinah banyak sekali suku. Mereka hidup sebagai qaba’il (jamak qabilah) yang berarti bersuku-suku dan syu’ub (jamak sya’b) yang berarti berbangsa-bangsa. Dalam al-Qur’an disebutkan, 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)

 
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan; dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).
 
Perbedaannya, qabilah (suku) itu tidak ada aturannya, sehingga aturan tergantung kepala suku; sedangkan sya’b itu ada aturannya, undang-undangnya, konstitusinya atau dalam bahasa sekarang, ada sistemnya. 

Piagam Madinah


Ayat di atas mengakui adanya perbedaan antar suku dan bangsa; akan tetapi, keduanya harus bergaul dengan ta’aruf (saling mengenal), agar tidak terus-menerus bertikai. Salah satunya dengan cara mengikat perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Shahifah al-Madinah). Perjanjian ini mengatur hubungan kemasyarakatan menurut ajaran Islam; dan hubungan antara masyarakat Islam dengan negara. Piagam Madinah ditulis dalam 47 Pasal yang dapat diringkas menjadi beberapa kelompok.

Kelompok Pertama

Hubungan sesama umat Islam yang disebut ukhuwwah Islamiyah. Ukhuwwah Islamiyah dalam Piagam Madinah ditetapkan bahwa semua umat Islam, sekalipun terdiri dari berbagai suku, harus ada tafahum atau kesepahaman. Dalam bahasa sekarang, ada MoU. Misalnya, di kalangan umat Islam, perbedaan pendapat itu biasa. Istilahnya, khilafiyah. Jadi, khilafiyah adalah perbedaan dalam Islam yang masih berada di dalam koridor Islam. Khilafiyah merupakan pilihan, sehingga umat Islam bebas memilih pendapat yang dikehendaki, asalkan tidak sampai terjadi pertikaian (ta’arudhiyyah). Oleh sebab itu, khilafiyah (perbedaan) jangan sampai diubah menjadi ta’arudhiyyah (pertikaian), karena perbedaan itu boleh sedangkan pertikaian itu haram.
 
Prinsip dalam ukhuwwah Islamiyah adalah “lana a’maluna wa lakum a’malukum” (bagi kami, amalan kami; dan bagi kalian, amalan kalian) (Q.S. al-Baqarah [2]: 139). Artinya, amalku adalah pilihanku; amalmu adalah pilihanmu.
 
Selain itu, para kepala suku tetap diberi kekuasaan sebagaimana semestinya, tidak dicabut, asalkan cara menggunakannya tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Kelompok kedua

Bagaimana cara mengatur hubungan umat Islam yang berstatus mayoritas ini dengan umat lain, seperti Yahudi, Nasrani dan Shabi’in. Peraturannya adalah, untuk urusan keimanan, ibadah dan syariah, masing-masing umat menggunakan agamanya sendiri-sendiri dan tidak boleh dicampur.
 
Di dalam Piagam Madinah, hak-hak umat non-muslim (Yahudi, Nasrani, Shabi’in) sebagai warga negara, disamakan dengan umat muslim. Kalau di Indonesia sekarang, ada istilah pluralisme yang artinya “banyak tetapi jadi satu”. Pluralisme ini hanya berlaku dalam hubungan sosial, tidak pada keimanan dan ibadah. Jadi, di zaman Rasulullah SAW, pluralisme sosiologis itu boleh, sedangkan pluralisme teologis tidak boleh.
 
Inilah bibit dari Islam Rahmatan lil ’Alamin yang diambil dari ayat al-Qur’an, 

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107)


 “Dan tidaklah Aku (Allah) mengutus kamu (Nabi Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam” (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107).
 
Jadi, Piagam Madinah merupakan bibit, cikal bakal atau embrio dari Islam Rahmatan lil ’Alamin, bukan cuma Rahmatan lil Muslimin. Sekarang ini, banyak orang menerapkan Islam secara terbolak-balik. Akhirnya, jangan lagi Rahmatan lil ’Alamin; Rahmatan lil Muslimin saja tidak; bahkan justru menjadi Fitnatan lil Muslimin (fitnah bagi umat Islam).

Kelompok ketiga

Umat Islam dan umat non-Islam bersatu dalam membela Kota Madinah. Mereka harus bersatu melawan serangan dari luar secara bersama-sama. Artinya, ketika Kota Madinah diserang, maka umat lintas agama membela secara berama-sama. Inilah yang dalam bahasa ilmu negara sekarang, disebut nasionalisme.

Kelompok keempat

Kewaspadaan terhadap persatuan. Negara tidak boleh tidak, harus memiliki kewaspadaan terhadap persatuan, karena orang luar akan cenderung untuk menyerang, sedangkan orang dalam sendiri cenderung bertengkar satu sama lain.
 

Kelompok kelima

Seluruh warga Madinah, harus memiliki perasaan sama-sama orang Madinah, sehingga tercipta rasa kebangsaan.
 
Di dalam Piagam Madinah tersebut, tidak ada perintah untuk membentuk suatu negara, karena di kemudian hari akan terdapat berbagai macam bentuk negara. Artinya, bentuk negara tidak ditentukan oleh Rasulullah SAW. Setelah masa Rasulullah SAW, ada masalah Khulafaur Rasyidin. Disebutkan dalam Hadis bahwa khalifah di belakang Rasulullah SAW hanya berusia 30 tahun, selebihnya adalah raja-raja yang menggunakan atribut khalifah. Dengan demikian, bentuk negara itu bersifat ijtihadi, yaitu sesuai dengan pemikiran orang dan kondisi masyarakat ketika itu.
 
Di Indonesia sendiri, sistem pemerintahannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila itu bagus sebagai dasar negara Indonesia dan harus dipertahankan. Tetapi, saat ini Pancasila tidak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena tidak nyata, akhirnya diserobot orang lain. Itu salah siapa? Siapa yang bertanggungjawab menegakkan Pancasila?. Dalam keadaan seperti ini, berarti ada pembiaran dan penelantaran terkait tanggungjawab terhadap ketuhanan dan kenegaraan.
 
Bagaimana cara menghadapi kondisi ini? Rasulullah SAW bersabda, ibda’  bi nafsika (mulai dari dirimu sendiri). Artinya, dimulai dari diri kita yang harus memperbaiki hubungan dengan Allah SWT melalui ibadah dan hubungan dengan sesama manusia melalui keadilan. Selain itu, mari kita pagari keluarga kita sendiri. Setelah kita melakukan itu semua, baru akan datang ma’unah (pertolongan) Allah SWT.
 
Permasalahan di Indonesia ini tidak bisa diselesaikan dengan tangan manusia, karena masalahnya sudah terlalu besar. Penyelesaiannya harus dengan kekuasaan dan ma’unah (pertolongan) Allah SWT. Oleh sebab itu, kita memohon pertolongan Allah SWT dengan cara betul-betul menjalankan ajaran dan syariat Rasulullah SAW.