Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Harapan Tidak Menjadi Kenyataan

KETIKA HARAPAN TIDAK MENJADI KENYATAAN

Mimpi Tidak Selalu Menjadi Realita
(foto: smkberkaizen.wordpress.com)


Dr. Rosidin, M.Pd.I

Ibn ‘Athaillah dalam al-Hikam bertutur: “Ketika Allah SWT memberimu, berarti Dia membuatmu menyaksikan kebaikan-Nya; dan ketika Allah mencegahmu, berarti Dia membuatmu menyaksikan kekuasaan-Nya”.

Dengan kata lain, apabila kenyataan sesuai harapan, maka bersyukurlah, karena yang demikian itu merupakan kebaikan Ilahi. Namun, apabila kenyataan tidak sesuai harapan, maka rendah hatilah (tawadhu’), karena yang demikian itu merupakan kekuasaan Ilahi. Jadi, kalam hikmah ini mengajarkan bahwa dalam hidup manusia, ada kenyataan yang sesuai dan tidak sesuai dengan harapan.

Al-Qur’an memperingatkan, “Apakah manusia mendapatkan apa yang dicita-citakan?” (Q.S. al-Najm [53]: 24). Ayat ini mengisyaratkan bahwa tidak semua cita-cita atau harapan manusia, akan menjadi kenyataan. Berikut beberapa contoh kasusnya:

Pertama, para shahabat berharap dapat mengambil harta kafilah kaum kafir Makkah, tanpa perlu berperang. Harapan ini rasional, karena jumlah pasukan muslim hanya 313 orang dan itupun senjatanya minim sekali. Konon, satu senjata digunakan secara bergantian oleh sepuluh orang. Tentu saja kalah jauh dibandingkan pasukan kafir Makkah yang mencapai 1.000 orang dan bersenjata lengkap.

Akan tetapi, Allah SWT tidak mengabulkan harapan para shahabat; sehingga mereka harus berperang di medan Badar; kendati dengan perasaan “jengkel”, karena merasa seolah-olah digiring ke jurang kematian (Q.S. al-Anfal [8]: 6-8). Padahal, Allah SWT bermaksud menunjukkan ke-Maha Kuasa-an melalui kemenangan pasukan muslim yang minim jumlah dan senjata, melawan pasukan kafir yang jumlahnya berlipat-ganda dan bersenjata lengkap.

Kedua, Sayyidah Fathimah RA mengadu kepada Sayyidina ‘Ali RA, karena capek membuat adonan makanan untuk keluarga. Lalu Sayyidina ‘Ali RA menyarankan agar Sayyidah Fathimah RA meminta langsung kepada Rasulullah SAW. Akhirnya beliau berdua menghadap Rasulullah SAW.

Sebagai jawaban, Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kalian berdua aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada pembantu?. Jika kalian hendak tidur, maka bacalah tahmid 33 kali, tasbih 33 kali dan takbir 34 kali” (H.R. al-Tirmidzi).

Ketiga, Pada tahun 6 H, Rasulullah SAW bermimpi melaksanakan umrah bersama para shahabat. Esok harinya, beliau menceritakan mimpi itu kepada para shahabat dan memastikan bahwa mimpi itu akan menjadi kenyataan di masa datang (Q.S. al-Fath [48]: 27).

Selanjutnya, Rasulullah SAW dan para shahabat bersiap-siap pergi ke Makkah. Para shahabat begitu antusias mengikuti umrah, sehingga jumlah peserta mencapai kisaran 1.400 orang. Kenyataannya, umat muslim tidak jadi umrah pada tahun tersebut, karena dihalang-halangi kaum kafir Makkah.

Akan tetapi, pada momen inilah, terjadi tiga peristiwa penting dalam sejarah Islam:

(a) Ba’iat Ridhwan, yaitu sumpah setia yang diucapkan para peserta umrah di bawah pohon, bahwa mereka siap berperang melawan kaum kafir Makkah, jika keadaan menuntut demikian. Para peserta Bai’at Ridhwan diapresiasi dan diridhai Allah SWT dengan mengabadikan peristiwa tersebut dalam al-Qur’an (Q.S. al-Fath [48]: 10);

(b) Perjanjian Hudaibiyyah yang memuat poin genjatan senjata selama 10 tahun. Poin ini membuat Rasulullah SAW dan para shahabat dapat fokus mengembangkan ajaran Islam melalui dakwah maupun pendidikan. Jumlah umat muslim pun meningkat pesat, dengan bukti bahwa pada saat Fathul Makkah, umat muslim yang pergi ke Makkah mencapai 10.000 orang;

(c) Akibat kaum kafir Makkah melanggar perjajian Hudaibiyyah, akhirnya Rasulullah SAW dan umat muslim memiliki alasan kuat untuk menaklukkan Makkah melalui peristiwa besar dalam Islam, yaitu Fathul Makkah pada tahun 8 H.

Merujuk tiga kisah nyata di atas, banyak hikmah yang dapat dipetik umat muslim masa kini dalam menyikapi kenyataan hidup yang tidak sesuai harapan.

Pertama, keshalihan seseorang tidak menjamin harapan menjadi kenyataan. Terbukti, para shahabat, termasuk Sayyidina ‘Ali RA dan Sayyidah Fathimah RA, yang memiliki kualitas ketakwaan tingkat tinggi, harapan mereka tidak menjadi kenyataan.

Oleh sebab itu, jika ada orang muslim yang sudah berpuluh-puluh tahun rajin beribadah wajib dan sunnah, di samping rajin bekerja dan berdoa; lalu dia berharap dapat menunaikan haji; maka janganlah kecewa, apalagi berputus-asa, kendati harapan belum jua menjadi kenyataan hingga saat ini.

Bisa jadi, dia tidak ditakdirkan berhaji, agar hatinya tetap membumi (tawadhu’) dan tidak merasa suci; sehingga selalu rajin ibadah dan bekerja setiap hari. Hal ini jauh lebih baik daripada dia berhaji, kemudian menjadi tinggi hati (sombong) dan merasa suci, sehingga malas beribadah dan bekerja lagi.

Pada titik inilah kita dapat memahami kalam hikmah Ibn ‘Athaillah yang populer, Man’u al-‘Atha’, ‘Ain al-‘Atha’; yang berarti “Tidak adanya pemberian, justru merupakan pemberian itu sendiri”.

Kedua, umat muslim sebaiknya tidak banyak berharap menjalani kehidupan yang serba mudah dan mewah. Jangan bandingkan diri dengan non-muslim yang menjalani hidup dengan foya-foya bertabur kemewahan dan fantasi (Q.S. al-Hijr [15]: 3).

Salah satu alasannya, kualitas umat muslim tidak dilihat dari fasilitas hidup duniawi, seperti rumah, kendaraan dan pelayan; akan tetapi, dilihat dari kebermanfaatan hidup untuk perbekalan akhirat, seperti ibadah mahdhah berupa dzikir dan ibadah ghairu mahdhah berupa taat kepada orangtua dan suami, sebagaimana yang diteladankan Sayyidah Fathimah RA di atas.

Yakinlah bahwa setiap perjuangan hidup yang dilakukan umat muslim, pasti mendapat balasan di akhirat kelak, “Barangsiapa bertakwa dan bersabar; maka sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat ihsan” (Q.S. Yusuf [12]: 90).

Ketiga, banyak hikmah yang terkandung saat harapan tidak menjadi kenyataan. Akan tetapi, bisa jadi hikmah tersebut baru dirasakan setelah beberapa waktu, bahkan beberapa tahun kemudian, sebagaimana hikmah yang dialami umat muslim berupa Ba’iat Ridhwan, Perjanjian Hudaibiyyah dan Fathul Makkah.

Di sinilah pentingnya umat muslim berbaik sangka (husnuzhan) kepada Allah SWT dan meyakini kebenaran firman-Nya, “Dalam kekuasaan-Mu lah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa atas segala sesuatu” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 26).

Di sisi lain, Allah SWT berpesan agar umat muslim tidak angkuh, manakala harapan menjadi kenyataan. “Agar kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu” (Q.S. al-Hadid [57]: 23).

Dalam Tafsir al-Jalalain ditafsiri, “Jangan bergembira yang bernuansa sombong, melainkan bergembira yang bernuansa syukur atas nikmat”. Terkait tata cara bersyukur, umat muslim sebaiknya meneladani sifat Allah SWT, yaitu Syakur yang berarti Yang Maha Bersyukur (Q.S. Fathir [35]: 30).

Maksudnya, Allah SWT mengapresiasi amal shalih manusia yang sedikit, walau seberat dzarrah; dengan memberi anugerah yang luar biasa banyak. Bagaimana tidak, dua rakaat shalat qabliyah shubuh saja, diapresiasi oleh Allah SWT dengan pahala yang nilainya lebih baik dibandingkan seluruh isi dunia (H.R. Muslim). Atas dasar itu, perbanyaklah syukur saat harapan menjadi kenyataan.