Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Islam Indonesia


ISLAM INDONESIA

Dr. Rosidin, M.Pd.I

Indonesia
Sarung dan Kerudung Khas Muslim Indonesia
(foto: artikula.id)


Halal bi Halal mencerminkan ciri khas Islam Indonesia. Kata Halal merupakan bahasa agama, karena dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan Hadis; akan tetapi, istilah Halal bi Halal merupakan bahasa budaya, karena al-Qur’an dan Hadis tidak pernah menggunakan istilah tersebut. Di sisi lain, Halal bi Halal dilaksanakan pada bulan Syawwal; sedangkan Syawwal bermakna ‘peningkatan’.

Mengingat umat muslim sudah dibina sepanjang bulan suci Ramadhan; wajar jika spirit Halal bi Halal adalah upaya meningkatkan kualitas diri melalui perbaikan berbagai dimensi kehidupan.

Pertama, meningkatkan pemahaman tentang agama Islam. Perlu diketahui bahwa Islam itu terdiri dari tiga dimensi: (a) ajaran; (b) aliran; (c) gerakan.

Dari segi ajaran, Islam itu sama (homogen) di semua negara; yaitu agama tauhid yang dibawa Nabi Muhammad SAW dengan al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman hidup.

Dari segi aliran, Islam itu beragam (heterogen), dikarenakan perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’an dan Hadis.

Dari segi gerakan, umat muslim ingin menerapkan ajaran Islam melalui gerakan tertentu, terutama gerakan politik.

Misalnya, dari segi ajaran, semua umat muslim sepakat bahwa Allah SWT telah memerintahkan taat kepada Ulil Amri atau pemimpin (Q.S. al-Nisa’ [4]: 59).

Dari segi aliran, Syiah berpendapat bahwa pemimpin umat muslim, harus berasal dari keturunan Nabi SAW yang disebut “imam” atau “imamah”; sedangkan Sunni berpendapat bahwa siapa saja berhak menjadi pemimpin umat muslim, asalkan disetujui oleh umat muslim secara langsung atau disetujui perwakilan umat muslim.

Dari segi gerakan politik, NU dan Muhammadiyah berpendapat bahwa pemerintahan Indonesia dinilai sah sebagai pemimpin umat muslim; sedangkan menurut HTI, pemerintahan Indonesia dinilai tidak sah sebagai pemimpin umat muslim; bahkan disebut thaghut (berhala), karena dianggap menyembah burung garuda yang menjadi simbol Pancasila. Oleh karena itu, jangan heran melihat ajaran Islam yang sama, namun ekspresinya berbeda-beda, karena perbedaan aliran dalam memahami ajaran Islam; dan perbedaan gerakan politik dalam menerapkan ajaran Islam.

Kedua, meningkatkan pemahaman tentang hubungan Islam dan NKRI. Jika melihat bentuk pemerintahan di dunia, maka akan diperoleh empat model negara:

(a) negara ateis komunis yang anti agama, seperti Uni Sovyet yang ternyata hanya berumur 70-an tahun saja, lalu runtuh;

(b) negara sekuler yang memisahkan urusan negara dan agama, seperti Denmark, yang seringkali membuat agama tergilas oleh konstitusi negara. Misalnya, ada undang-undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis, padahal tidak ada agama yang memperbolehkan hal itu;

(c) negara agama yang menjadikan teks agama sebagai undang-undang negara. Negara agama ini hanya cocok untuk negara yang rakyatnya beragama homogen, seperti Arab Saudi. Akan tetapi, tidak cocok untuk negara yang rakyatnya beragama heterogen, seperti Indonesia;

(d) negara nasionalis-religius seperti Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Di Indonesia, agama dilindungi oleh konstitusi negara.

Misalnya, jika ada orang menginjak-injak al-Qur’an di Indonesia, maka dia akan dipidanakan. Lain halnya dengan negara sekuler seperti Denmark, orang yang melecehkan Rasulullah SAW dengan membuat karikatur, tidak bisa dipidanakan.

Selain relevan dengan kondisi Indonesia yang rakyatnya heterogen, asas Pancasila selaras dengan nilai-nilai Islami.

Sila Pertama mengisyaratkan bahwa Indonesia adalah negara yang dibangun berdasarkan nilai-nilai agama, bukan teks agama. Jika memakai teks agama tertentu, seperti al-Qur’an dan Hadis, niscaya daerah-daerah mayoritas non-muslim seperti Papua, NTT dan Bali; tidak akan mau bergabung dengan NKRI dan lebih memilih menjadi negara baru.

Sila Kedua merupakan contoh nilai-nilai yang disepakati oleh agama-agama yang diakui di Indonesia. Semua agama sepakat bahwa ujung dari agama adalah kemanusiaan. Dalam bahasa al-Qur’an, Islam yang dibawa Rasulullah SAW bertujuan sebagai rahmat bagi semesta alam atau rahmatan lil ‘alamin (Q.S. al-Anbiya’ [22]: 107).

Misalnya, seseorang dinilai mendustakan agama, jika menelantarkan anak yatim dan fakir miskin (Q.S. al-Ma’un [107]: 1-3). Oleh sebab itu, tindakan yang Islami adalah memelihara anak yatim; bukan malah melakukan tindakan terorisme, seperti bom bunuh diri, yang justru menyebabkan munculnya anak yatim.

Sila Ketiga menjadi perekat bagi seluruh rakyat Indonesia yang beraneka-ragam Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Fakta sejarah membuktikan, pada saat para pahlawan masih berjuang atas nama golongan tertentu, Indonesia belum jua mampu meraih kemerdekaan. Namun, pada saat para pahlawan berjuang atas nama bangsa Indonesia, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, jangan sampai persatuan dan kesatuan yang sudah dibina berpuluh bahkan beratus tahun di Indonesia, tercerai berai oleh perbedaan pandangan politik seperti yang terjadi saat ini.

Janganlah bangsa Indonesia menjadi bangsa bodoh, layaknya wanita dalam cerita Arab kuno yang sudah menenun sepanjang hari, kemudian mengurainya lagi di penghujung hari (Q.S. al-Nahl [16]: 92). Artinya, persatuan Indonesia yang sudah ditenun sepanjang zaman, jangan sampai diurai lagi hanya gara-gara perbedaan pandangan politik kekuasaan saat ini.

Sila Keempat memberikan panduan bagi para pemimpin bangsa Indonesia bahwa orientasi utama kepemimpinan adalah “Kerakyatan”. Jadi, pemimpin bertanggung-jawab memberi kontribusi kepada rakyat; bukan malah mempolitisasi rakyat agar menjadikan dan melanggengkannya sebagai pejabat.

Kepemimpinan yang pro rakyat dapat terwujud, apabila kebijakan pemimpin dilandasi oleh “Hikmah Kebijaksanaan”. Artinya, kebijakan publik bukan untuk meningkatkan citra populis si pejabat, sehingga kelak terpilih kembali; melainkan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat. Di sisi lain, para wakil rakyat harus melayani rakyat layaknya “pegawai”, bukan malah mengeksploitasi rakyat layaknya “majikan”.

Sila Kelima merupakan parameter untuk menilai apakah para pemimpin Indonesia itu melayani rakyat atau justru mengeksploitasi rakyat. Jika rakyat merasakan Keadilan Sosial di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, hukum, politik, dan sebagainya; maka pemimpin tersebut dinilai berhasil melayani rakyat. Demikian sebaliknya.

Hanya saja, mengingat jumlah rakyat Indonesia yang sedemikian banyak dan tersebar di berbagai tempat; tentu saja ada rakyat yang tidak puas dengan kinerja pemimpin Indonesia. Hal ini wajar, bukankah kita yang berstatus orangtua, pendidik, dai, atau majikan; tidak bisa memberi kepuasan kepada semua pihak? Padahal jumlah “rakyat” yang kita naungi dalam jumlah sangat terbatas; jika dibandingkan jumlah rakyat Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa.