Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Proposal Disertasi (Konsep Andragogi dalam al-Qur'an)

PROPOSAL DISERTASI

KONSEP ANDRAGOGI DALAM AL-QUR’AN


Rosidin

PROGRAM DOKTOR

KONSENTRASI DIROSAH ISLAMIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SUNAN AMPEL
SURABAYA

2012


Andragogi dalam Qur'an
Proposal sebagai Prasyarat Disertasi

A.         Latar Belakang Masalah

Malcolm Shepherd Knowles 1 menyatakan ada fakta yang mengherankan bahwa selama ini sedikit sekali pemikiran, investigasi maupun tulisan tentang pembelajaran orang dewasa, padahal pendidikan orang dewasa sudah menjadi concern umat manusia sejak lama. Jadi, sudah bertahun-tahun lamanya, pembelajar orang dewasa menjadi spesies yang disia-siakan.2

Istilah ‘dewasa’ dapat dilihat dari dimensi fisik (biologis), hukum, sosial psikologis. Elias dan Sharan B. Merriam (1990) menyebutkan kedewasaan pada diri seseorang meliputi: age, psychological maturity, and social roles. Dewasa dari segi usia berarti sudah menginjak usia 21 tahun (meskipun belum menikah). Dari segi hukum, status dewasa melahirkan perbedaan perlakuan hukum terhadap pelanggar. Dewasa dilihat dari sudut pandang biologis ketika seseorang memiliki karakteristik khas seperti: mampu memilih pasangan hidup, siap berumah tangga, dan melakukan reproduksi (reproductive function). Dari sisi psikologis, dewasa dapat dibedakan dalam tiga kategori yaitu: dewasa awal (early adults) dari usia 16 sampai dengan 20 tahun, dewasa tengah (middle adult) dari 20 sampai pada 40 tahun, dan dewasa akhir (late adults) dari 40 hingga 60 tahun. Sedangkan dari sisi peran sosial, kedewasaan dapat dicermati dari kesiapannya dalam menerima tanggungjawab, mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas peribadi dan sosialnya terutama untuk memenuhi kebutuhan belajarnya (Freire, 1973; dan Milton dkk, 1985). 3 Dengan serangkaian karakteristik ‘orang dewasa’ seperti ini, maka sudah seharusnya orang dewasa mendapatkan perlakuan yang berbeda dibandingkan anak-anak, termasuk dalam hal pendidikan. 

Bagi Malcolm Knowles, kurangnya riset terkait pendidikan orang dewasa sungguh mengherankan, jika mengacu pada fakta bahwa semua guru besar di masa lampau –Confucius dan Lao Tse di China, nabi-nabi dari bangsa Yahudi dan Jesus pada masa Bibel, Aristoteles, Socrates dan Plato pada masa Yunani kuno, Cicero, Evelid dan Quintillian pada masa Romawi kuno– semuanya adalah para guru bagi orang dewasa, bukan anak-anak. Mengingat pengalaman mereka bersama dengan orang-orang dewasa, maka mereka mengembangkan suatu konsep proses belajar-mengajar yang berbeda dengan konsep yang mendominasi pendidikan formal pada masa-masa berikutnya. 4

Maka dari itu, mereka menemukan teknik-teknik belajar yang melibatkan para pembelajar dalam inquiry (baca: pembelajaran). Para pendidik di masa China dan Yahudi kuno menemukan apa yang sekarang kita kenal dengan metode studi kasus (the case method), yaitu seorang ketua atau salah satu dari anggota kelompok mendeskripsikan situasi tertentu, seringkali dalam bentuk cerita perumpamaan, kemudian seluruh anggota kelompok berusaha mengeskplorasi karakteristik-karakteristik permasalahan tersebut dan resolusi-resolusi yang memungkinkan untuk diterapkan terhadap permasalahan tersebut. Para pendidik Yunani kuno menemukan apa yang sekarang kita sebut dengan dialog Socrates, yaitu seorang ketua atau anggota kelompok mengajukan sebuah pertanyaan atau dilema, kemudian para anggota kelompok lainnya menyatukan pemikiran dan pengalaman mereka untuk mencari sebuah jawaban atau solusi atas pertanyaan atau dilema tersebut. Para pendidik Romawi kuno menemukan metode yang lebih konfrontatif, yaitu mereka mengunakan tantangan-tantangan yang memaksa anggota kelompok untuk mengabil posisi tertentu kemudian mempertahankan posisi mereka tersebut. 5

Jika dilihat dari teknik-teknik belajar atas, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik: pertama, para pendidik kuno tidak memposisikan dirinya sebagai orang ’serba tahu’ (tidak bersikap otoritarian); kedua, para pendidik kuno selalu melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran (student centered); ketiga, sudah memperkenalkan teknik belajar kelompok (study group). Menariknya, teknik-teknik belajar khas pendidikan orang dewasa tersebut justru sedang marak diterapkan dalam dunia pendidikan kontemporer.     

Alasan utama tidak populernya pendidikan orang dewasa dapat ditelusuri pada fakta sejarah bahwa pada abad ke-17 di Eropa, sekolah-sekolah diorganisasikan untuk mengajari anak-anak, terutama untuk mempersiapkan anak-anak muda menjadi pendeta (priesthood). Mengingat misi utama para guru saat itu adalah untuk mengindoktrinasi para siswa tentang keimanan, keyakinan dan ritual-ritual gereja, maka mereka mengembangkan serangkaian asumsi-asumsi tentang belajar dan strategi-strategi mengajar yang kemudian disebut dengan ”Pedagogy”, yang secara literal bermakna ”the art and science of teaching children” (seni dan ilmu mengajar anak-anak). Term ini diderivasi dari bahasa Yunani ”paid” yang bermakna ”child” (anak) dan ”agogus” yang berarti ”leader of” (membimbing). Model pendidikan ini berlangsung selama berabad-abad hingga abad ke-20 dan menjadi basis organisasi bagi sistem pendidikan saat itu. 6 

Pada umumnya, para pakar mendefinisikan Pedagogy sebagai ilmu atau teori yang sistematis tentang pendidikan yang sebenarnya bagi anak atau untuk anak sampai ia mencapai kedewasaan. Pedagogy sebagai teori ilmu pendidikan merupakan studi teoretik-praktis yang berusaha memadukan teori kefilsafatan dengan pendekatan secara empirik (ilmiah) untuk memahami keseluruhan permasalahan dalam pendidikan. 7 

Definisi Pedagogy di atas menekankan pada pendidikan bagi anak-anak (children), akan tetapi dalam kurun sejarah tertentu, kata ‘anak-anak’ tersebut menghilang dari definisi Pedagogy. Akhirnya dalam pikiran banyak orang –bahkan dalam kamus sekalipun– Pedagogy didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengajar. Lebih dari itu, dalam literatur-literatur pendidikan orang dewasa, terdapat istilah ‘Pedagogy pendidikan orang dewasa’, tanpa ada perasaan janggal ketika menggunakan istilah yang kontradiktif tersebut. Penerapan Pedagogy pada pendidikan orang dewasa inilah yang kemudian menimbulkan problem-problem, semisal penilaian Malcolm Knowles bahwa alasan utama mengapa pendidikan orang dewasa tidak memberi pengaruh yang kuat terhadap peradaban adalah para gurunya hanya mengetahui cara mengajari orang dewasa seolah-olah mereka masih anak-anak. 8

Model pendidikan Pedagogy juga dilandaskan para teori belajar (learning) yang didasarkan pada studi tentang belajar yang dilakukan oleh anak-anak dan binatang. Sedangkan mayoritas teori mengajar (teaching) berasal dari pengalaman mengajar terhadap anak-anak yang sudah dikondisikan wajib untuk mengikuti pelajaran. Di sisi lain, mayoritas teori interaksi belajar-mengajar (the learning-teaching transaction) didasarkan pada definisi pendidikan sebagai proses transmisi kebudayaan. 9  

Model Pedagogy seperti di atas mengundang kritik dari para pakar pendidikan orang dewasa. Dari sisi learning (belajar) dan teaching (mengajar), Knowles (1976) melanjutkan pandangan C. Linderman, mengungkapkan bahwa kondisi orang dewasa dalam belajar berbeda dengan anak-anak. Perbedaan tersebut dikarenakan orang dewasa memiliki: 1) Konsep diri (The self-concept), 2) Pengalaman hidup (The role of the learner’s experience); 3) Kesiapan belajar (Readiness to learn); 4) Orientasi belajar (Orientation to learning); 5) Kebutuhan pengetahuan (The need to know); dan 6) Motivasi (Motivation). 10 Implikasinya adalah pendidikan orang dewasa membutuhkan strategi belajar dan mengajar yang selaras dengan enam karakteristik ini. Oleh karena itu, Pedagogy dinilai tidak memadai untuk mengakomodasi kegiatan belajar mengajar yang dilandasi oleh keenam karakteristik orang dewasa tersebut di atas.   

Problem lainnya adalah Pedagogy berpijak dari premis kuno tentang tujuan pendidikan yaitu the transmittal of knowledge (transmisi pengetahuan). Alfred North Whitehead menyatakan bahwa pada generasi silam, memang fungsional untuk mendefinisikan pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan selama rentang waktu (time-span) perubahan kebudayaan lebih besar daripada rentang kehidupan (life-span) individual. Dalam kondisi seperti ini, apa yang dipelajari oleh seseorang pada masa mudanya, akan tetap valid untuk sisa usia hidupnya. Akan tetapi, Whitehead menegaskan, ‘kita sekarang hidup pada periode pertama dalam sejarah umat manusia bahwa asumsi di atas adalah salah… hari ini, time-span sangat singkat dibandingkan dengan rentang waktu kehidupan manusia; maka dari itu, pelatihan kita harus menyiapkan individu-individu untuk menghadapi kondisi-kondisi yang serba baru.’ 11

Hingga pada permulaan abad ke-20, time-span dari perubahan kebudayaan mayor (seperti input pengetahuan baru secara masif, inovasi teknologi, perubahan dalam sistem politik dan ekonomi, dsb.) membutuhkan beberapa generasi; sedangkan dalam abad ke-21, beberapa revolusi kultural telah terjadi begitu cepat. Dalam kondisi seperti ini, pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika berusia 21 tahun sudah sangat usang (largely obsolete) ketika dia berusia 40 tahun; keterampilan-keterampilan yang membuatnya produktif pada usia 20 tahun-an, menjadi kadaluwarsa (out of date) ketika dia berusia 30 tahun. Jadi, sudah tidak fungsional lagi untuk mendefinisikan pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan; sekarang, pendidikan harus didefinisikan sebagai:  a lifelong process of discovering what is not known (proses sepanjang masa untuk menemukan apa yang tidak diketahui). 12        

Pandangan Whitehead tersebut selaras dengan Sir Eric Ashby yang menilai bahwa dunia pendidikan mengalami setidaknya 4 kali Revolusi Pendidikan, yaitu: 1) Profesi Guru (revolusi dari pendidikan di rumah menuju pendidikan di sekolah); 2) Penggunaan Bahasa Tulis dalam Pembelajaran (melengkapi bahasa lisan); 3) Penemuan Mesin Cetak oleh Gutenberg (berimplikasi pada munculnya buku-buku yang merupakan media utama pendidikan, di samping guru); 4) Perkembangan di bidang elektronik, terutama media komunikasi (radio, televisi, komputer, dsb.). 13

Berdasarkan historical stage di atas, berarti dunia pendidikan sedang pada fase revolusi ke-4. Sedangkan implikasi dari revolusi ke-4 ini adalah pentingnya pendidikan yang berorientasi pada learning how to learn dan lifelong education. Selanjutnya learning how to learn dan lifelong education ini berkembang menjadi paradigma baru pendidikan kontemporer. Bahkan UNESCO telah memformulasikan learning how to learn ke dalam salah satu dari 4 pilar utama pendidikan (the four pillars of education) masa kini, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. 14  Demikian halnya dengan lifelong education  yang muncul sebagai gerakan konseptual yang bersifat massal mulai tahun 70-an dengan munculnya laporan Komisi Internasional tentang perkembangan pendidikan yang dipimpin oleh Edgar Faure yang berjudul "Learning To Be, The World of Education, Today and Tomorrow", yang diterbitkan UNESCO pada tahun 1972. 15

Apabila dicermati dengan seksama, maka pendidikan yang berorientasi pada learning how to learn dan lifelong education tersebut memiliki relevansi kuat dengan pendidikan orang dewasa. Argumentasinya adalah orang dewasa mengemban peran tertentu di masyarakat. Dalam menjalani perannya tersebut, orang dewasa selalu dihadapkan pada problematika-problematika yang harus mereka pecahkan. Untuk itu, orang dewasa membutuhkan pendidikan sepanjang waktu (lifelong education) demi kepentingan menyelesaikan problematika (problem solving) yang mereka hadapi. Di sisi lain, secara biologi dan psikologis, orang dewasa dinilai memiliki kemandirian 16  dan kemampuan belajar mandiri (self-directed learning) 17. Kedua potensi khas orang dewasa ini mempermudah mereka untuk menjalani pendidikan yang berorientasi pada learning how to learn.

Seluruh paparan di atas menunjukkan bahwa orang dewasa butuh pendidikan; sedangkan pendidikan untuk orang dewasa seharusnya memiliki ciri khas yang membedakannya dengan pendidikan untuk anak-anak.

Diferensiasi pendidikan anak-anak dengan pendidikan orang dewasa merupakan konsekuensi logis dari adanya perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa. Ditinjau dari segi umur, orang yang berusia antara 16-18 tahun dapat dikatakan sebagai orang dewasa dan yang kurang dari 16 tahun dapat dikatakan masih anak-anak. Ditinjau dari ciri-ciri psikologis, seseorang yang dapat mengarahkan dirinya sendiri, tidak selalu tergantung pada orang lain, mau bertanggung-jawab, mandiri, berani mengambil resiko dan mampu mengambil keputusan, orang tersebut dikatakan telah dewasa secara psikologis. Sedangkan ditinjau dari ciri-ciri biologis, orang dewasa adalah orang yang telah menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder. Tanda-tanda kelamin sekunder pada laki-laki, antara lain tumbuhnya jakun pada leher, berubahnya suara menjadi besar dan berat dan tumbuhnya bulu-bulu pada tubuh seperti kumis, jenggot, cambang, bulu dada. Adapun tanda-tanda kelamin sekunder pada wanita antara lain terjadinya menstruasi dan tumbuhnya payudara. 18

Malcolm Knowles berpendapat bahwa pendidikan orang dewasa secara nyata telah terpisah (departing) dari praktek pendidikan anak-anak (Pedagogy). Hanya saja, para pendidik orang dewasa tidak memiliki teori yang koheren untuk menjustifikasi perlakuan mereka kepada orang dewasa sebagai orang dewasa. Kelemahan ini sedang diperbaiki melalui para teoretikus pendidikan orang dewasa di Eropa (khususnya di Jerman dan Yugoslavia) dan Amerika Utara yang berupaya mengembangkan teori khusus untuk pembelajaran orang dewasa (adult learning). Dari teori ini kemudian berkembang menjadi teknologi baru untuk pendidikan orang dewasa. Untuk membedakannya dengan Pedagogy, teknologi baru pendidikan orang dewasa ini diberi nama: Andragogy, yang berasal dari akar kata bahasa Yunani, aner (dengan akar kata andr-) yang berarti man (orang dewasa). Dengan demikian, Andragogy adalah the art and science of helping adults learn (seni dan ilmu membantu orang dewasa untuk belajar). 19

Andragogy telah mengalami sejarah panjang hingga menjadi sebuah teori pendidikan orang dewasa yang terkenal. Adapun kilasan sejarah perkembangan Andragogy tersebut akan disajikan secara naratif di bawah ini:
Sesaat setelah Perang Dunia I, di Amerika dan Eropa, perkembangan gagasan (body of notions) tentang karakteristik-karakteristik unik dari para pembelajar orang dewasa mulai muncul. Akan tetapi, dalam beberapa dekade saja, gagasan-gagasan tersebut berkembang menjadi framework yang terintegrasi tentang pembelajaran orang dewasa. Usaha untuk menyatukan konsep-konsep, wawasan-wawasan (insights) dan temuan-temuan riset tentang adult learning yang berserakan menjadi sebuah framework yang terintegrasi dimulai pada tahun 1949, dengan publikasi karya Harry Overstreet, The Mature Mind. Kemudian diikuti oleh publikasi karya-karya lainnya seperti Informal Adult Education (Knowles, 1950), An Overview of Adult Education Research (Bruner, 1959), How Adults Learn (Kidd, 1973), J.R. Gibb yang menulis artikel ”Learning Theory in Adult Education” di Handbook of Adult Education di Amerika Serikat pada tahun 1960, dan Teaching and Learning in Adult Education (Miller, 1964). Namun demikian, semua ini hanya berupa daftar konsep-konsep dan prinsip-prinsip deskriptif, bukan suatu theoretical frameworks yang komprehensif, koheren dan integratif. Oleh sebab itu, yang dibutuhkan adalah sebuah konsep yang integratif dan berbeda (dengan sebelumnya). 20  

Dimulai dari Eropa, berkembanglah konsep belajar orang dewasa dalam wujud integrated framework yang diberi label “Andragogy”, sebuah istilah baru yang diciptakan untuk membedakannya dengan teori belajar anak-anak, “Pedagogy”. Dusan Savicevic, pendidik orang dewasa asal Yugoslavia, pertama kali memperkenalkan konsep dan label ‘Andragogy’ ke budaya Amerika tahun 1967, dan Knowles menulis artikel, “Andragogy, Not Pedagogy” dalam Adult Leadership pada April 1968. Sejak saat itulah, label Andragogy secara luas diadopsi dalam literatur-literatur. 21  Sebenarnya istilah Andragogy sudah digunakan sejak abad 19.  Hal ini berlandaskan hasil penelusuran yang mendalam tentang origins (asal usul) dan penggunaan term Andragogy yang dilakukan Ger Van Enckevort, seorang pakar pendidikan orang dewasa dari Belanda.

Berikut ini kesimpulan telaah historis yang dilakukan oleh Van Enckevort: Term Andragogy pertama kali diciptakan oleh seorang guru grammar kebangsaan Jerman, Alexander Kapp pada tahun 1833. Kapp menggunakan kata tersebut untuk mendeskripsikan teori pendidikan Filosof Yunani Plato, walaupun Plato sendiri tidak pernah memakainya. Beberapa tahun kemudian, filosof Jerman, John Friedrich Herbart menentang keras penggunaan istilah tersebut. Van Enckevort menilai bahwa “seorang filosof besar (baca: John Friedrich Herbart) lebih berpengaruh dibandingkan seorang guru (baca: Alexander Kapp). Oleh karena itu, istilah Andragogy terlupakan dan tidak pernah muncu1 lagi hampir 100 tahun lamanya”. 22

Van Enckevort menemukan istilah Andragogy dipakai kembali pada tahun 1921 oleh ahli ilmu sosial Jerman, Eugen Rosenstock, seorang dosen di Academy of Labor di Frankfurt. Dalam laporannya kepada Academy tahun 1921, Rosenstock berpendapat bahwa pendidikan orang dewasa memerlukan guru khusus, metode khusus, dan filsafat khusus. “Tidaklah cukup untuk menerjemahkan pandangan-pandangan teori pendidikan (Pedagogy) ke dalam situasi orang dewasa… guru hendaknya profesional, yaitu dapat bekerja sama dengan para muridnya; dan hanya guru yang seperti itulah yang cocok untuk mengajar orang dewasa (andragogue), bukan guru yang pedagogue (pengajar anak-anak). Pada mulanya Rosenstock meyakini bahwa dialah yang menemukan istilah Andragogy. Akhirnya Rosenstock menggunakan term Andragogy dalam berbagai kesempatan, sehingga banyak dikutip pula oleh para koleganya, namun istilah Andragogy ketika itu masih belum dikenal secara umum.  Baru pada tahun 1962, Rosenstock diberi informasi bahwa istilah Andragogy tersebut sudah digunakan terlebih dahulu oleh Kapp dan Herbart. 23  

Van Enckevort kembali menemukan istilah Andragogy dipakai oleh ahli psikiatri Swiss, Heinrich Hanselmann, dalam bukunya yang diterbitkan pada 1951, Andragogy: Nature, Possibilities and Bounderies of Adult Education, yang berkenaan dengan penyembuhan nonmedis atau re-edukasi orang-orang dewasa. Hanya enam tahun setelah itu, yaitu tahun 1957, seorang guru dari Jerman, Franz Poggeler, menerbitkan buku yang berjudul Introduction to Andragogy: Basic Issues in Adul Education. Sejak itulah Negara-negara Eropa mulai menggunakan istilah Andragogy. 24

Tahun 1956, M. Ogrinovic menerbitkan disertasinya di Yugoslavia yang berjudul Penological Andragogy, dan tahun 1959 terbit sebuah buku berjudul Problems of Andragogy. Tidak lama sesudah itu, para pendidik orang dewasa berkebangsaan Yugoslavia, termasuk Salomovcev, Filipovic dan Savicevic, mulai berbicara dan menulis tentang Andragogy; selain itu, fakultas Andragogy menawarkan program doktoral di bidang pendidikan orang dewasa di Universitas Zagreb dan Belgrade di Yugoslavia serta universitas-universitas Budapest dan Debrecen di Hongaria. 25

Di Amsterdam Belanda, Prof. T.T. Ten Have, dalam perkuliahannya tahun 1954 mulai menggunakan istilah Andragogy. Tahun 1959 dia menerbitkan outline tentang Science of Andragogy. Pada tahun 1966, University of Amsterdam membuka program doktor di bidang Andragogy dan tahun 1970 didirikanlah Department of Pedagogical and Andragogical Sciences di Fakultas Ilmu Sosial. T.T. Ten Have membedakan antara “Andragogy”, “Andragogics” dan “Andragology”. Andragogy adalah segala aktivitas bimbingan secara sadar (intentional) dan professional yang bertujuan untuk mengubah orang dewasa; Andragogics adalah background sistem metodologi dan ideologi yang mengatur proses andragogi aktual; Andragologi adalah studi ilmiah tentang Andragogy dan Andragogics. 26

Selama tahun 1960-an Andragogy semakin berkembang dan digunakan oleh para pendidik orang dewasa di berbagai Negara seperti di Prancis (Bertrand Schwartz), di Inggris (oleh J.A. Simpson), Venezuela (Felix Adam), dan di Kanada (didirikan program a Bachelor of Andragogy di Universitas Concordia di Montreal tahun 1973). 27

Berikutnya beberapa penjelasan eksposisi mayor tentang teori Andragogy dan implikasinya dalam praktik muncul di Amerika Serikat (seperti Godbey, 1978; Knowles, 1970, rev. 1980; Ingalls dan Arceri, 1972; Knowles, 1973, 1975, dan 1984). Sejumlah artikel diterbitkan yang memuat laporan aplikasi kerangka Andragogy (Andragogical framework) dalam pendidikan pekerjaan sosial, pendidikan agama, pendidikan sarjana (undergraduate) dan pascasarjana (graduate), manajemen training, dan bidang-bidang lainnya; serta meningkatnya jumlah penelitian terhadap hipotesis yang berasal dari teori-teori Andragogy yang kemudian diterbitkan. Selain itu ada juga peningkatan bukti-bukti \bahwa penggunaan teori Andragogy telah membuat perbedaan dalam hal mengorganisasikan dan mengoperasikan program-program pendidikan orang dewasa; dalam hal bagaimana cara para guru orang dewasa dilatih; dan dalam hal bagaimana cara orang-orang dewasa dibantu belajarnya. Bahkan ada bukti bahwa konsep Andragogy mulai memberikan impact terhadap teori dan praktek dalam pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Andragogy in Action (Knowles, 1984) menyajikan gambaran tentang berbagai program yang didasarkan pada model Andragogy. 28

Mustofa Kamil menilai bahwa penggunaan istilah Andragogy dalam pendidikan memang mengalami perjalanan panjang, namun pemikiran-pemikiran yang lebih fokus dari segi konsep teori, filsafat maupun tahapan implementasi (metodologi) seperti pada: proses pembelajaran, tujuan pembelajaran, sasaran pembelajaran serta kaitan antara Andragogy dengan masalah ekonomi, sosial, budaya dan politik, dimulai pada tahun 1950 ketika Malcolm Knowles menyusun buku “Informal Adult Education” yang menyatakan bahwa inti pendidikan orang dewasa berbeda dengan pendidikan tradisional (Pedagogy). Berikut ini ringkasan sejarah perkembangan Andragogy yang disajikan oleh dalam bentuk tabel: 29
Nama
Konsep dan Pemikiran yang dikembangkan
Dugan Sevicevic
Tahun 1967
Menggunakan istilah Andragogi untuk pendidikan orang dewasa. Istilah andragogi parallel dengan Pedagogy, sehingga ia mengenalkan istilah Agogy
Malcolm Knowles
Tahun 1970
Menyusun buku “the modern practice of adult education, Andragogi versus Pedagogy”
Kidd JR
Tahun 1973
Menyusun buku “how adult learn” pada tahun itu Knowles menyusun buku tentang “the adult learner: a neglected species
Malcolm Knowles
1975
Menysuun buku “Self-Directed Learning
Knore AB
Tahun 1977
Menyusun buku “Adult Development and Learning
Malcolm Knowles
Tahun 1980
Menyusun buku “the modern practice of adult education: from Pedagogy to Andragogy”
Patricia A Cross
Tahun 1981
Menyusun buku “Adult as Learner
Gordon G Darkenwald dan Sharan B Meriam
Tahun 1982
Buku “Adult Education: Foundation of Practice”. Pada tahun itu pula Robert Smith melahirkan buku tentang “Learning How to Learn”
Malcolm Knowles
Tahun 1984
Menyusun buku “Andragogi in Action, Applying Modern Principles of Adult Learning”. Tahun 1986: Stephen D Brookfield menyusun buku “Understanding and Facilitating Adult Learning
       
Telaah historis terhadap perkembangan Andragogy menunjukkan posisi istimewa Malcolm Knowles. Cross menyebut Malcolm Knowles telah berjasa mempopulerkan istilah dan konsep Andragogy di Amerika Serikat. 30  Sharan B. Merriam menilai Andragogy versi Knowles sebagai teori belajar orang dewasa yang paling terkenal. 31   Puncaknya, Malcolm Knowles dianugerahi gelar sebagai Bapak Andragogi. Gelar ini dilabelkan kepadanya mengingat dedikasi Knowles yang sangat peduli dalam mengembangkan dan mengampanyekan Andragogy. 32 Dalam konteks penelitian ini, teori Andragogy yang digagas oleh Malcolm Knowles menjadi landasan teoretik utama, di samping mempertimbangkan teori-teori pendidikan orang dewasa yang dicetuskan oleh para pakar lain.

Menurut Knowles, Andragogy paling tidak didasarkan pada 4 asumsi krusial tentang karakteristik para pelajar dewasa yang berbeda dengan asumsi tentang para pelajar anak-anak yang menjadi pijakan Pedagogy. Asumsi-asumsi ini adalah, sebagai seorang dewasa, (1) konsep pribadinya bergeser dari pribadi yang bergantung kepada orang lain (a dependent personality) menuju pribadi yang bias mengarahkan diri sendiri (a self-directing human being); (2) akumulasi dari pertumbuhan pengalamannya yang segudang menjadi sumber belajar yang kaya; (3) kesiapannya (readiness) untuk belajar secara meningkat diorientasikan pada pengembangan tugas-tugas peranan sosialnya; (4) perspektif waktunya berubah dari aplikasi pengetahuan yang sifatnya ditunda (postponed application of knowledge) menjadi aplikasi pengetahuan yang sifatnya mendesak (immediacy of application); karena itu, orientasi belajarnya bergeser dari belajar yang berpusat pada mata pelajaran menuju pada belajar yang berpusat pada masalah. 33

Pada perkembangan berikutnya, bertambah lagi dua asumsi, yaitu motivasi belajar (yang ditambahkan pada 1984) dan kebutuhan untuk mengetahui (yang ditambahkan pada 1989 dan 1990). Dengan demikian, jumlah keseluruhan asumsi Andragogy ada 6, yaitu: a) The need to know; b) The learners’ self concept; c) The role of the learners’ experiences; d) Readiness to learn; e) Orientation to learn; f) Motivation. Asumsi-asumsi ini berangsur-angsur menjadi prinsip-prinsip model Andragogy yang membedakannya dengan model Pedagogy. 34

Peneliti akan menyajikan secara singkat penjelasan tentang keenam asumsi Andragogy di atas dalam perspektif terbaru:

a) Kebutuhan untuk mengetahui (The need to know). Prinsip utama bahwa orang dewasa ‘need to know’ adalah mengapa mereka terlibat dalam pembelajaran. Prinsip ini kemudian menjadi suatu premis yang diterima secara umum bahwa orang dewasa sebaiknya dilibatkan dalam penyusunan rancangan proses belajar mereka. Paling tidak ada tiga dimensi yang perlu diketahui oleh orang dewasa sebelum terlibat belajar, yaitu: bagaimana belajar akan diselenggarakan; apa saja yang akan dipelajari; mengapa belajar itu penting. 35

b) Konsep diri (The learners’ self concept). Orang dewasa memiliki konsep pribadi untuk bertanggung jawab terhadap keputusan dan kehidupan mereka sendiri. Ketika mereka memiliki self-concept, maka mareka mengembangkan kebutuhan psikologis yang dalam untuk dilihat oleh orang lain dan diperlakukan oleh orang lain sebagai manusia yang mampu mengarahkan diri sendiri (self-direction). Maka dari itu, pendidik  orang dewasa dituntut untuk menciptakan pengalaman belajar yang membantu mereka untuk bertransisi dari pembelajar yang bergantung (dependent) menuju pembelajar mandiri (self-directing learners). 36

c) Peran pengalaman orang dewasa (The role of the learners’ experiences). Dalam pendidikan orang dewasa akan ditemui lebih banyak heterogenitas dalam konteks latar-belakang, gaya belajar, motivasi, kebutuhan, minat dan tujuan (belajar) mereka, dibandingkan pada pendidikan anak-anak. Oleh karena itu, tekanan utama dalam pendidikan orang dewasa diletakkan pada strategi belajar-mengajar individual. Hal ini juga berarti dalam banyak jenis belajar, sumber terkaya belajar justru terletak pada diri pembelajar dewasa itu sendiri. Maka dari itu, dalam pendidikan orang dewasa yang ditekankan adalah teknik-teknik belajar experiental, yaitu teknik belajar yang membuka peluang bagi pengalaman pembelajar, seperti diskusi kelompok, simulasi, aktivitas problem solving, studi kasus dan laboratorium. 37 

d) Kesiapan belajar (Readiness to learn). Orang dewasa siap untuk belajar tentang hal-hal yang memang mereka butuhkan dan dapat diterapkan secara efektif untuk mengatasi situasi-situasi riil kehidupan mereka. Sumber utama dari ‘readiness to learn’ adalah perkembangkan tugas-tugas yang berpindah-pindah dari satu stage menuju ke stage berikutnya. 38  Contoh kesiapan belajar adalah orang dewasa yang bekerja di suatu perusahaan akan siap belajar untuk hal-hal yang dapat menunjang karir mereka di perusahaan tersebut.

e) Orientasi belajar (Orientation to learning). Berbeda dengan anak-anak yang orientasi belajarnya didasarkan pada mata pelajaran (subject-centered), orientasi belajar orang dewasa dilandaskan pada kehidupan nyata (life-centered /task centered /problem centered). Orang dewasa termotivasi untuk belajar ketika mereka merasa bahwa belajar tersebut dapat membantu mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas atau problem-problem yang mereka hadari dalam situasi kehidupan nyata. Lebih jauh lagi, orang dewasa mempelajari berbagai pengetahuan baru, pemahaman, skill, nilai dan sikap secara efektif jika disajikan dalam konteks aplikasinya dalam situasi-situasi kehidupan yang sebenarnya. 39            

f) Motivasi (Motivation). Orang dewasa cenderung lebih termotivasi untuk belajar jika belajar tersebut dapat membantu mereka untuk menyelesaikan problem-problem dalam kehidupan mereka atau menghasilkan nilai internal (internal payoff) bagi mereka. Hal ini bukan berarti nilai eksternal (external payoff) –seperti peningkatan gaji– tidak memiliki relevansi, melainkan kebutuhan kepuasan pribadi merupakan motivator yang lebih kuat. 40  

Ringkasan perbedaan antara Andragogy dan Pedagogy dapat dilihat pada tabel kreasi Knowles di bawah ini: 41
Assumptions

Pedagogy
Andragogy
Konsep diri
(self-concept)
Bergantung (pada orang lain)
Meningkatkan self-directiveness
Pengalaman
(experience)
Sedikit bekal (of little worth)
Para pembelajar adalah sumber belajar yang kaya
Kesiapan
(readiness)
Perkembangan biologis dan tekanan sosial
Pengembangan tugas-tugas peran sosial
Time-perspective
Penerapannya ditunda  (postponed application)
Segera diterapkan (immediacy of application)
Orientasi belajar
Mata pelajaran
(Subject centered)
Problem centered

Design Elements

Pedagogy
Andragogy
Suasana
(climate)
Authority oriented, formal, competitive
Mutuality, respectful, collaborative, informal
Perencanaan
(planning)
Oleh guru (by teacher)
Mekanisme perencanaan bersama (mutual planning)
Formulasi sasaran
(objectives)
Oleh guru (by teacher)
Mutual self-diagnosis
Desain
(design)
Logic of the subject matter; content units
Sesuai dengan urutan kesiapan (sequenced in terms of readiness); problem units
Aktivitas
(activities)
Teknik transmisi (transmittal techniques)
Teknik eksperimen (inquiry)
Evaluasi
(evaluation)
Oleh guru (by teacher)
Mutual re-diagnonis of needs; penilaian bersama terhadap program (mutual measurement of program)

Perbedaan lain antara Andragogy dengan Pedagogy adalah Pedagogy berlangsung dalam bentuk identifikasi dan peniruan, sedangkan Andragogy berlangsung dalam bentuk pengembangan diri sendiri untuk memecahkan masalah. Jadi, istilah andragogi mulai dirumuskan menjadi teori baru sejak tahun 1970-an, oleh Malcolm Knowles. Knowles memperkenalkan istilah tersebut terutama untuk pembelajaran pada orang dewasa. 42

Meskipun demikian, perbedaan model Andragogy dan Pedagogy bukanlah perbedaan yang bersifat hitam-putih. Knowles menilai bahwa perbedaan istilah Andragogy dan Pedagogy sekedar membedakan antara asumsi-asumsi tentang pembelajar. Sehingga seorang guru bisa jadi mendidik secara Pedagogy, baik peserta didiknya dewasa maupun anak-anak; demikian halnya seorang guru bisa mendidik secara Andragogy, baik peserta didiknya dewasa maupun anak-anak. Faktanya banyak lembaga-lembaga pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi Andragogy, meskipun peserta didiknya adalah anak-anak dan orang dewasa. 43  Dalam istilah Sudarwan Danim, Andragogy tidak dapat secara hitam-putih dimasukkan ke kandang ‘seni mengajar untuk orang dewasa’ dalam usia kronologis. 44  Kesimpulannya, Pedagogy dan Andragogy adalah suatu kontinum, yaitu satu rangkaian pembelajaran yang saling melengkapi satu sama lain.

Selanjutnya Andragogy kerap dijumpai dalam proses pembelajaran orang dewasa (adult learning), baik pendidikan nonformal (Pendidikan Luar Sekolah) maupun formal. Dalam pendidikan nonformal, teori dan prinsip Andragogy digunakan sebagai landasan proses pembelajaran pada berbagai satuan, bentuk dan tingkatan (level) penyelenggaraan pendidikan. Dalam pendidikan formal, andragogi kerap dipakai pada proses pembelajaran pada tingkat atau level pendidikan menengah ke atas. Meskipun demikian, penerapan konsep dan prinsip andragogi pada proses pembelajaran tidak harus didasarkan pada bentuk, satuan tingkat atau level pendidikan, akan tetapi yang paling utama adalah berdasar pada kesiapan peserta didik untuk belajar. 45

Sajian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, secara praktis, pendidikan orang dewasa sudah berlangsung sejak zaman kuno, akan tetapi secara teoretis, embrio pemikiran pendidikan orang dewasa baru berkembang pasca Perang Dunia I. Kedua, tumbuh-kembangnya ide, pemikiran dan teori pendidikan orang dewasa dilatar-belakangi oleh fakta bahwa orang dewasa memiliki karakteristik-karakteristik yang berbeda dengan anak-anak, sehingga mereka membutuhkan teori khusus untuk pendidikan orang dewasa. Ketiga, di antara banyak teori pendidikan orang dewasa, Andragogy merupakan teori yang paling populer dan sudah teruji berpuluh-puluh tahun.

Analisis kritis yang peneliti ajukan adalah keseluruhan paparan di atas berada dalam bingkai pendidikan Barat. Maka dari itu, perlu ada penambahan spektrum pemikiran tentang orang dewasa dan pendidikannya. Dalam konteks ini, perspektif Islam dan Pendidikan Islam dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi pendidikan orang dewasa, khususnya Andragogy

Dalam Islam, orang dewasa menempati posisi urgen. Hal ini disebabkan objek mayoritas ajaran Islam adalah orang mukallaf, sedangkan kandungan makna mukallaf 46 meliputi kedewasaan dari segi biologis (al-baligh) dan dari segi psikis-intelektual (al-'aqil). Implikasinya, Islam juga memberikan ruang yang luas bagi terjadinya interaksi pendidikan orang dewasa.

Telaah historis pendidikan Islam menunjukkan bahwa secara faktual pendidikan orang dewasa telah berlangsung sejak zaman Rasul Allah saw. Fakta ini mengacu pada adanya diferensiasi terminologi antara Kibar al-Shahabat yang merepresentasikan Shahabat yang sudah dewasa dan Sighar al-Shahabat yang merepresentasikan Shahabat masih kecil (anak-anak). Dengan demikian, interaksi pendidikan yang terjadi antara Rasul Allah saw. dengan Kibar al-Shahabat dapat dikategorikan sebagai ’Andragogy’ dalam terminologi masa kini.

Telaah normatif pada dua sumber utama pendidikan Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada kesimpulan adanya interaksi pendidikan orang dewasa yang dapat dikategorikan sebagai ’Andragogy’. Beberapa contoh konkret pendidikan orang dewasa dalam al-Qur’an adalah kisah Nabi Musa a.s. dan Nabi Khidhr a.s. (al-Kahfi: 60-82); kisah Nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth, Syu‘ayb dan Musa (al-A‘raf: 60-137); interaksi pendidikan Nabi Muhammad saw. dengan para Sahabat maupun kaum non-Muslim yang biasanya disajikan oleh al-Qur’an dengan kata (يَسْئَلُوْنَكَ); demikian juga dengan kisah Ashab al-Kahfi (al-Kahfi: 9-26) dan Nabi Ibrahim (al-Anbiya’: 51-71) yang tergolong interaksi pendidikan orang dewasa awal. 47

Riwayat-riwayat Hadits juga membuktikan begitu banyak interaksi-interaksi pendidikan orang dewasa yang melibatkan Rasul Allah saw., para Sahabat r.a. maupun kaum non-Muslim ketika itu. Pendidikan yang secara periodik disampaikan oleh Rasul Allah saw. dalam majlis-majlis ta‘lim di masjid maupun tempat-tempat lain (seperti rumah Arqam bin Arqam) adalah bukti-bukti tertulis adanya interaksi pendidikan orang dewasa pada zaman itu.

Keheranan Malcolm Knowles tentang minimnya pemikiran, investigasi dan tulisan-tulisan tentang pendidikan orang dewasa sebagaimana paparan sebelumnya, ternyata relevan untuk ditujukan pada pendidikan Islam. Walaupun secara kuantitatif pendidikan Islam kaya akan data-data pendidikan orang dewasa, akan tetapi secara kualitatif data-data tersebut belum diolah menjadi suatu teori baku yang dapat dijadikan acuan bagi praktek pendidikan orang dewasa khas Islam.

Dari hasil penelusuran literatur-literatur pendidikan Islam selama ini, peneliti belum mendapati suatu teori khusus pendidikan orang dewasa dari perspektif pendidikan Islam. Masih mengacu pada hasil penelusuran tersebut, peneliti berpandangan bahwa pada umumnya, para pakar pendidikan Islam lebih tertarik untuk mengkaji pendidikan anak-anak maupun pendidikan Islam secara general.  Karya ‘Abd Allah Nasih ‘Ulwan yang berjudul Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam dan karya Muhammad Sa‘id Mursi yang berjudul Fann Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam merupakan literatur yang membahas pendidikan anak-anak dalam Islam. Sedangkan karya seperti Ta‘lim al-Muta‘allim karya al-Zarnuji, Ayyuha al-Walad karya al-Ghazali maupun al-Tarbiyyah fi al-Islam karya Muhammad ‘Atiyyah al-Abrasyi lebih berkonotasi pendidikan Islam secara general. Ruang kosong berupa ’belum/tidak adanya’ teori pendidikan orang dewasa dalam perspektif Islam inilah yang menjadi latar belakang peneliti untuk memberikan contribution to knowledge berupa penelitian disertasi yang bertujuan untuk memformulasikan Konsep Andragogi dalam al-Qur’an. 48

Mengingat penelitian ini menggunakan al-Qur’an sebagai sumber primernya, maka peneliti harus menggunakan metode tafsir yang relevan. Adapun metode tafsir yang paling tepat untuk memformulasikan konsep andragogi dalam al-Qur’an adalah metode tafsir Mawdhu‘i.    

Mustafa Muslim membagi corak (lawn) tafsir Mawdhu‘i menjadi 3 macam, yaitu: a) seorang peneliti mengidentifikasi suatu term dari al-Qur’an, kemudian menghimpun ayat-ayat yang mengandung term tersebut maupun derivasinya. Setelah menghimpun ayat-ayat dan mempertimbangkan penafsirannya, peneliti berusaha untuk menggali (istinbath) petunjuk-petunjuk term tersebut berdasarkan penggunaannya dalam al-Qur’an. Contoh: Kitab Ishlah al-Wujuh wa al-Naza’ir karya al-Damaghani; al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an karya al-Raghib al-Ashfahani; b) peneliti membatasi topik tertentu dalam al-Qur’an, kemudian mengkajinya dengan berbagai macam uslub dari sisi penyajian, analisa, kritik maupun memberikan catatan kaki. Contoh: Kitab-kitab I‘jaz al-Qur’an, Ahkam al-Qur’an, Amtsal al-Qur’an, dsb.; c) corak ketiga ini mirip dengan corak kedua, hanya saja lingkupnya lebih sempit, yaitu terbatas pada satu surat saja. 49  Dari ketiga corak di atas, penelitian ini menggunakan corak tafsir Mawdhu‘i yang pertama. Sedangkan langkah-langkah praktisnya akan peneliti uraikan pada bagian metode penelitian.

Namun demikian, sebagai argumentasi posibilitas upaya memformulasikan konsep Andragogi (pendidikan orang dewasa) dalam al-Qur’an, peneliti mengajukan hasil penelaahan awal terhadap Surat al-Kahfi: 32-44 dengan menerapkan beberapa langkah metode tafsir Mawdhu‘i berikut ini:

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا رَجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا (32) كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آَتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا وَفَجَّرْنَا خِلَالَهُمَا نَهَرًا (33) وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا (34) وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (35) وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا (36) قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا (37) لَكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا (38) وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَوَلَدًا (39) فَعَسَى رَبِّي أَنْ يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِنْ جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا (40) أَوْ يُصْبِحَ مَاؤُهَا غَوْرًا فَلَنْ تَسْتَطِيعَ لَهُ طَلَبًا (41) وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا أَنْفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا (42) وَلَمْ تَكُنْ لَهُ فِئَةٌ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مُنْتَصِرًا (43) هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ عُقْبًا (44)

Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat". Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya. dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu." Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu "maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan. maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik dari pada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu; hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi." Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku." Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.

Ayat-ayat Surat al-Kahfi: 32-44 di atas dapat dijadikan sebagai objek telaah dalam rangka memformulasi konsep Andragogi (pendidikan orang dewasa) dalam al-Qur’an. Hal ini didasari pada dua hal yang relevan dengan Andragogi, yaitu: pertama, para pelaku dalam ayat-ayat tersebut adalah dua orang laki-laki dewasa (رَجُلَيْنِ); kedua, terjadinya interaksi pendidikan melalui diskusi (حِوَارْ).

Hasil analisis yang dapat peneliti utarakan terkait dengan ayat-ayat dalam Surat al-Kahfi: 32-44 adalah:

Pertama, Ayat-ayat tersebut menjadikan orang dewasa (رَجُلٌ) sebagai objek pembicaraan (yaitu Khawlah bint Tsa‘labah dengan suaminya, Aws bin al-Shamit serta dua laki-laki pemilik kebun), sedangkan orang dewasa merupakan objek utama dari Andragogi.

Jika dikaitkan dengan kata (رَجُلٌ) beserta derivasinya yang disebutkan dalam 7 bentuk dengan frekuensi 57 kali, maka akan didapati kesimpulan bahwa term (رَجُلٌ) dan derivasinya hampir seluruhnya digunakan untuk menyebut individu maupun sekelompok orang laki-laki yang relatif sudah matang secara psikologis 50 maupun independen dalam hal urusan hidup 51. Meskipun demikian, kematangan psikologis dan independensi sebagai manusia dewasa tidak serta merta menghindarkan mereka dari terjerumus pada hal-hal negatif 52; di samping memiliki potensi untuk berbuat kebaikan 53. Dengan demikian, tampak jelas bahwa setiap manusia membutuhkan bimbingan dan pengarahan. Di sinilah letak urgensi pendidikan bagi mereka agar cenderung pada nilai-nilai positif dan menjauhi nilai-nilai negatif. Atau dalam bahasa al-Qur’an, ketika manusia berada dalam persimpangan (baca: وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ) 54, pendidikan berfungsi membina dan mengarahkan mereka agar hidup sebagai manusia yang ahsan taqwim dan menjauhkan mereka dari posisi asfal al-safilin.

Kedua, Dua tokoh orang laki-laki dewasa yang dinarasikan dalam ayat-ayat di atas melakukan interaksi pendidikan melalui metode hiwar. Sedangkan dialog (hiwar) merupakan metode yang kerap kali diterapkan dalam pendidikan orang dewasa (Andragogy). Salah satu bentuk hiwar yang sering digunakan dalam praktek pendidikan adalah diskusi. Efektivitas dialog maupun diskusi ini dikarenakan pihak-pihak yang berdiskusi dituntut untuk meramu argumentasi yang kokoh, dan pada saat yang sama dia dituntut memiliki ketangkasan untuk menanggapi mitra atau lawan dialog yang menunjukkan ketidak-sepakatannya terhadap argumentasi yang dia bangun. Selain itu, efektivitas dialog maupun diskusi dikarenakan mampu merangsang kedua belah otak secara seimbang seperti terlihat pada gambar di bawah ini: 55
 
Ceramah
Perbandingan Metode Diskusi dan Ceramah


Gambar di atas menunjukkan bahwa metode ceramah hanya cenderung mengasah otak kiri, sedangkan metode diskusi berfungsi mengasah otak kanan dan otak kiri sekaligus secara seimbang; adapun metode demonstrasi dan penemuan (discovery) lebih dominan mengasah otak kanan.

Metode hiwar direpresentasikan melalui term (يُحَاوِرُهُ). Kata (يُحَاوِرُهُ) beserta derivasinya hanya ada 2 bentuk dengan frekuensi 3 kali. Analisis terhadap term (يُحَاوِرُ) dan derivasinya ini mengindikasikan adanya interaksi timbal balik antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog. Karakter dialog yang terjadi sifatnya antagonistik, seperti yang terjadi antara dua pemilik kebun yang berbeda keyakinan (al-Kahfi: 34 dan 37); demikian juga dialog yang terjadi Khawlah bint Tha‘labah dengan suaminya, Aws bin al-Shamit (dalam al-Mujadilah ayat 1).

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1)

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

Kilasan ceritanya adalah sang suami bersumpah zhihar kepada istrinya; beberapa waktu kemudian, sang suami berminat untuk menggauli istrinya; tentu saja si istri –Khawlah– menolak hingga mendapatkan keputusan hukum dari Allah dan Rasul-Nya. Akhirnya turunlah ayat ini sekaligus disertai penjelasan Rasul Allah terkait kafarat sumpah zhihar. 56

Data tersebut menunjukkan bahwa tema hiwar dalam ayat-ayat di atas menyangkut suatu problem yang hendak dipecahkan oleh para ’aktor’ dalam ayat-ayat tersebut. Dengan demikian, sudah jelas bahwa metode hiwar yang mengedepankan pendekatan problem solving memiliki relasi yang kuat dengan metode pendidikan orang dewasa (Andragogy).

Telaah awal peneliti di atas tergolong argumentatif bagi penelitian ini yang berusaha memformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an. 

Mengapa perlu memformulasikan Andragogi dalam al-Qur’an? Argumen pertama peneliti adalah Andragogi merupakan salah satu teori pendidikan orang dewasa yang sudah teruji berpuluh-puluh tahun sehingga menjadi sebuah teori yang andal, bahkan menjadi pijakan teoretis bagi pendidikan non-formal seperti Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Jadi rasional jika peneliti memilih Andragogi untuk ditelaah dari perspektif pendidikan Islam melalui kajian tematik al-Qur’an.

Argumen kedua, Muhaimin menyatakan bahwa dilihat dari aspek program dan praktik pendidikan, setidaknya ada 5 kategori pendidikan Islam di Indonesia: a) Pendidikan Pondok Pesantren; b) Pendidikan Madrasah dan pendidikan lanjutannya, seperti IAIN/STAIN; c) Pendidikan Umum yang bernafaskan Islam, yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan yayasan dan organisasi Islam; d) Pelajaran Agama Islam sebagai suatu mata kuliah; e) Pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan/atau di forum-forum keislaman, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya. 57  Tidak dapat dipungkiri bahwa kelima jenis pendidikan Islam ini sedikit-banyak juga menjadikan orang dewasa sebagai peserta didiknya.

Selanjutnya program dan praktek pendidikan Islam yang menjadikan orang dewasa sebagai peserta didiknya perlu memiliki pijakan teoretis berupa teori pendidikan orang dewasa.  Di sisi lain, pendidikan Islam –sepanjang penelusuran peneliti– belum menghasilkan teori khusus pendidikan orang dewasa khas Islam. Ironisnya, teori pendidikan orang dewasa justru muncul dari dunia Barat –dalam konteks ini Andragogy–. Pada titik inilah peneliti berminat untuk menjembatani antara program atau praktek pendidikan orang dewasa khas Islam dengan teori pendidikan orang dewasa khas Barat melalui upaya formulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an.

Upaya ’penjembatanan’ di atas penting untuk dilangsungkan karena setiap teori ilmiah pasti dilandaskan pada epistemologi tertentu. Sebagai bagian dari pendidikan Barat, Andragogi juga dibangun di atas filsafat pendidikan yang menggunakan pendekatan epistemologi yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam, semisal anti-metafisika. 58  Oleh karena itu, pendidikan Islam dituntut untuk selalu menyeleksi setiap bentuk teori non-Islami sebelum diadopsi ke dalamnya.

Bagi peneliti, upaya penyeleksian tersebut dapat dilakukan dengan cara menelaah sebuah teori dari perspektif al-Qur’an. Pandangan peneliti ini berpijak pada pendapat Abu al-‘Ainayn yang menyatakan bahwa al-Qur’an telah meletakkan dasar-dasar pendidikan yang disebut “filsafat pendidikan”. Prinsip-prinsip semacam ini bersifat komprehensif dan tidak terbatas pada aspek-aspek tertentu kehidupan. 59 Pintu terbuka bagi cabang-cabang pengetahuan lain yang terbukti fit dengan perspektif al-Qur’an. 60  Dengan demikian, prinsip-prinsip al-Qur’an telah membangun landasan dasar teori pendidikan dan para ahli pendidikan harus menerjemahkan detailnya, sehingga al-Qur’an mengundang para spesialis untuk memberikan kontribusi. 61  Untuk itu, peneliti hendak turut memberikan kontribusi pemikiran yang beranjak dari penelitian ilmiah yang bertujuan formulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan ‘perspektif Islami’ bagi Andragogi, sehingga terlahir konsep Andragogi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Akhirnya, dengan segenap paparan dan argumentasi di atas, peneliti bermaksud mengajukan judul penelitian disertasi sebagai berikut: Konsep Andragogi dalam al-Qur’an.

B.         Identifikasi Masalah

Peneliti sadar bahwa kajian tematik terhadap al-Qur’an membutuhkan etos ilmiah yang tinggi, hal ini disebabkan banyaknya lingkup bahasan yang tercakup di dalamnya. Berikut ini peneliti mengidentifikasi beberapa masalah yang relevan dengan kajian tematik di atas:

1. Apa saja isi kandungan al-Qur’an yang relevan dengan Andragogi?
2. Bagaimana isi kandungan al-Qur’an dalam perspektif Andragogi?
3. Bagaimana konsepsi Andragogi dalam al-Qur’an?
4. Bagaimana ontologi konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
5. Bagaimana epistemologi konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
6. Bagaimana aksiologi konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
7. Siapa yang berposisi pendidik pada konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
8. Siapa yang berposisi sebagai anak didik pada konsep Andragogi al-Qur’an?
9. Apa tujuan dari konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
10. Apa materi (kurikulum) dari konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
11. Apa metode dari konsep Andragogi dalam al-Qur’an?

Daftar identifikasi masalah di atas pada intinya menunjukkan begitu banyak permasalahan yang termasuk dalam lingkup bahasan Andragogi dalam al-Qur’an. Maka dari itu, peneliti membatasi diri melalui perumusan masalah yang dinilai representatif untuk memformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an.

C.         Rumusan Masalah

Selaras dengan batasan masalah yang dipaparkan sebelumnya, peneliti mengajukan 3 rumusan masalah yang representatif untuk dijadikan sebagai pijakan dalam upaya memformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an. Ketiga rumusan masalah tersebut adalah:

1. Apa isi al-Qur’an yang relevan dengan Andragogi?

2. Bagaimana konsepsi Andragogi dalam al-Qur’an?

3. Bagaimana relasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an jika dikaitkan dengan teori Andragogi?

D.        Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui isi al-Qur’an yang relevan dengan Andragogi;

2. Untuk memformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an;

3. Untuk mengetahui relasi antara konsep Andragogi dalam al-Qur’an dengan teori Andragogi.

E.         Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dinilai penting karena beberapa alasan, antara lain: Pertama, al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat manusia. Petunjuk berarti memberikan arahan, jalan keluar, pedoman, baik dalam berpikir, berencana, berinisiatif, maupun bertindak. Agar al-Qur’an dapat menjadi petunjuk, maka manusia harus mengangkatnya ke dataran yang dapat dipahami oleh manusia. Oleh karena itu, pengkajian-pengkajian al-Qur’an harus senantiasa dilangsungkan. 62  Penelitian ini termasuk bagian dari upaya pengkajian terhadap al-Qur’an yang bertujuan untuk kepentingan pendidikan Islam. Selain itu, penelitian ini termasuk studi pustaka (library research) yang berfungsi sebagai penyeimbang bagi penelitian lapangan (field research). 

Kedua, selama ini ada kesan bahwa konsep atau teori pendidikan anak dalam Islam sudah representatif untuk diterapkan dalam pendidikan orang dewasa (Andragogi).  Padahal, terdapat berbedaan tajam antara pendidikan anak-anak dengan pendidikan orang dewasa, semisal dari sisi psikologi belajar, gaya belajar, motivasi belajar, dan seterusnya. Oleh sebab itu, penting untuk diformulasikan konsep Andragogi bagi kepentingan pendidikan Islam itu sendiri. Di sinilah peneliti tertarik untuk meformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode tafsir Mawdu‘i.

Adapun manfaat penelitian ini antara lain: Pertama, Sebagai bahan pelajaran bagi peneliti untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya sebagai praktik aplikasi metode tafsir Mawdhu‘i; disertai harapan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang berminat dan tertarik untuk mengimplementasikan hasil penelitian ini; Kedua, Memperkaya khazanah literatur ilmu pendidikan Islam, khususnya tentang konsep Andragogi dalam al-Qur’an yang relatif masih terbatas.

F.          Penelitian Terdahulu

Pada bagian ini, peneliti bersandar pada pemahaman bahwa pendekatan yang baik dalam studi kepustakaan adalah merangkai studi-studi itu berdasarkan topiknya dan menetapkan bagaimana hubungan tiap-tiap topik ini dengan penelitian yang akan dilakukan. Oleh karena itu, dalam hal ini peneliti tidak akan menyajikan literatur dalam bentuk abstrak, melainkan menyajikannya dengan tujuan menjadikan studi kepustakaan ini sebagai dasar sistematik bagi penelitian yang hendak dilakukan. 63

Data penelitian terdahulu berikut ini diperoleh dengan cara menelusuri beberapa perpustakaan konvensional maupun digital. Perpustakaan konvensional yang telah peneliti kunjungi antara lain IAIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim (MALIKI) Malang, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Negeri Malang (UM). Sedangkan perpustakaan digital (repository atau digilib) yang telah peneliti telusuri antara lain IAIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maliki Malang, UMM, UM; UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Makassar; UNESA dan UPI.

Hasil penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dengan penelitian ini antara lain:

SEMBADA, Gada. 2004. Pengembangan Model Pelatihan Keterampilan Sumber Daya Manusia Berbasis Potensi Lingkungan Sosial Ekonomi: Suatu studi untuk Pemberdayaan Buruh Usia Produktif Pasca Pemutusan Hubungan Kerja Menggunakan Pendekataan Pembelajaran Andragogi di Kabupaten Bogor. Disertasi. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Di antara temuan disertasi ini yang relevan dengan penelitian Andragogi dalam al-Qur’an adalah model pendidikan dan pelatihan bagi para buruh yang masih pada usia produktif adalah pelatihan yang dapat membangkitkan sensitifitas terhadap potensi mereka. Potensi tersebut diberi rangsangan melalui pendekatan psikologik dengan menggunakan model pendidikan Andragogi. Model pendidikan Andragogi digunakan karena mereka semua adalah manusia dewasa, sehingga potensi mereka perlu dibangkitkan dengan cara pendampingan sehingga mereka dapat menemukan jati diri mereka. Disertasi ini memberikan pijakan ilmiah bahwa orang dewasa dapat mengaktualisasikan potensi dan jati diri mereka melalui pendampingan dengan menggunakan model pendidikan Andragogi.

Nuril Huda. 2003. Pelatihan Bersifat Andragogi Lebih Disukai (Kasus Partisipasi Pengusaha Kecil pada Pelatihan yang Diselenggarakan oleh Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Propinsi Jawa Timur). Tesis, Program Studi Pendidikan Luar Sekolah. Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Kesimpulan penting yang relevan dengan penelitian ini adalah bukti empiris bahwa bahwa pelatihan yang lebih banyak ciri Andragoginya lebih disukai oleh pengusaha kecil selaku warga belajar.

Umami, Himma Nur. 2009. Penerapan Prinsip-prinsip Andragogi dalam Pembelajaran Pesantren di Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Skripsi, Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang. Penelitian ini berkaitan dengan Andragogi praktis pada pesantren mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai kegiatan pembelajaran di Pesantren Luhur yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, secara langsung melibatkan santri. Dengan demikian, Pesantren Luhur telah menerapkan prinsip-prinsip Andragogi, namun kuantitas dan kualitasnya berbeda antara satu prinsip dengan prinsip lainnya. Inilah bukti riil bahwa lembaga pendidikan Islam secara aktual sudah menerapkan prinsip-prinsip Andragogi, terlepas dari kuantitas penerapan prinsip-prinsip tersebut. Bahkan seiring makin maraknya pesantren mahasiswa, Andragogi praktis merupakan alternatif pendidikan yang selaras dengan mahasiswa yang tergolong orang dewasa. Relevan dengan hal tersebut, penelitian disertasi yang akan peneliti lakukan ini bertujuan untuk memberikan perspektif al-Qur’an yang lebih ‘Islami’ terhadap Andragogi teoretis dan praktis.

Fathullah, M. 2007. Pendekatan Andragogi sebagai Upaya Peningkatan Kompetensi Guru dalam Menghadapi Program Sertifikasi. Skripsi. Fakultas Tarbiyah. IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Nurmawati, Anita. 2009. Pengaruh Metode Andragogi terhadap Peningkatan Prestasi Mata Pelajaran Fiqih kelas XI di SMA Islam Parlaungan Berbek Waru Sidoarjo. Skripsi. Fakultas Tarbiyah. IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Dua skripsi di atas semakin menunjukkan bahwa Andragogi telah fungsional bagi peningkatan kompetensi pendidik maupun peserta didik. 

Adapun beberapa penelitian terdahulu yang memiliki relevansi secara general dengan penelitian ini, antara lain:

M. Radhi Al-Hafid, Nilai Edukatif Kisah al-Qur’an. 64  Disertasi ini paling tidak menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an memiliki nilai edukatif atau pendidikan. Jika demikian, maka kisah-kisah yang termaktub dalam al-Qur’an juga mengandung nilai edukatif. Selain itu, disertasi ini menyangkut model-model strategi belajar-mengajar nilai Islami pada lembaga pendidikan keagamaan: formal, nonformal dan informal. Relevansinya dengan penelitian ini adalah penerapan strategi belajar-mengajar nilai Islami pada lembaga formal, informal dan nonformal sudah pasti bersinggungan dengan orang-orang dewasa (khususnya pendidikan non-formal seperti Pendidikan Luar Sekolah), oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat difungsikan sebagai bahan suplemen terkait dengan metode pembelajaran orang dewasa dalam perspektif al-Qur’an.     

Sedangkan penelitian terdahulu berupa disertasi yang sudah diterbitkan menjadi buku antara lain:

Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an65  Literatur ini menelaah konsep manusia secara utuh berdasarkan 11 istilah kunci dalam al-Qur’an. Hasil penelitian Baharuddin menyebutkan bahwa manusia memiliki 3 aspek dengan 6 dimensi, yaitu 1) Aspek Jismiyyah; 2) Aspek Nafsiyyah meliputi dimensi al-nafs, al-‘aql, dan al-qalb; dan 3) Aspek Ruhiyah meliputi dimensi al-ruh dan al-fithrah. Relasi dengan penelitian ini adalah konsepsi utuh tentang manusia dalam perspektif al-Qur’an ini dapat dijadikan sebagai data komparatif terkait dengan karakteristik orang dewasa, khususnya ditinjau dari sisi psikologis.

Huda, Miftahul. Interaksi Pendidikan: 10 Cara Qur’an Mendidik Anak. 66  Judul buku mengisyaratkan bahwa sasaran kajian adalah pendidikan anak yang dilandaskan pada interaksi pendidikan antara figur-figur ternama dalam al-Qur’an, seperti Nabi Adam, Nabi Nuh, Ibrahim, Zakariya dan Zakariya dengan anak-anak mereka. Lebih dari itu, buku ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi penelitian ini, karena memiliki beberapa kemiripan. Antara lain, beberapa bagian yang menjadi objek kajian penelitian buku ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai interaksi pendidikan orang dewasa. Misalnya interaksi antara Nabi Adam dengan Qabil dan Habil terkait dengan masalah perjodohan yang menjadi pemicu konflik di antara kedua putra Adam tersebut. Disebut memiliki relevansi dengan andragogi karena perjodohan sendiri mengindikasikan bahwa saat itu Qabil dan Habil sudah berusia dewasa.   

Mengacu pada daftar penelitian terdahulu di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik: Pertama, penelitian andragogi yang berkaitan dengan pendidikan Islam tergolong field research (penelitian lapangan), sedangkan penelitian ini tergolong library research. Kedua, penelitian library research yang ditujukan pada al-Qur’an selama ini menyangkut pendidikan Islam secara umum ataupun pendidikan anak dalam Islam, sedangkan pendidikan orang dewasa dalam al-Qur’an belum tersentuh oleh penelitian ilmiah; ketiga, belum ada penelitian ilmiah yang membahas konsep pendidikan orang dewasa dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, penelitian ini tergolong baru dan diharapkan dapat memberikan penyegaran bagi khazanah ilmu pendidikan Islam. 

G.         Metode Penelitian

1.            Sumber Penelitian

Secara metodologis, penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), sehingga termasuk dalam kategori studi teks. 67  Jika mengacu pada pendapat Noeng Muhadjir, maka studi teks dalam penelitian ini termasuk studi pustaka yang berguna untuk membangun konsep teoretik yang pada waktunya nanti, tentu memerlukan uji kebermaknaan emperik di lapangan. 68  Adapun konsep teoretik yang menjadi sasaran penelitian ini adalah konsep Andragogi dalam al-Qur’an.

Sumber-sumber data penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis yang terbagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer penelitian ini adalah al-Qur’an. Sumber sekundernya adalah berbagai literatur yang relevan dengan objek penelitian ini, baik berupa kitab tafsir, Hadits, filsafat pendidikan Islam, ilmu pendidikan Islam, psikologi pendidikan dan terutama literatur pendidikan orang dewasa (Andragogi).

Kitab tafsir yang menjadi referensi utama penelitian ini adalah:

a) Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Tafsir ini mewakili penafsiran al-Qur’an dari perspektif orang Indonesia. Selain itu, tafsir ini tergolong kaya akan pendekatan, mulai dari pendekatan linguistik, i‘jaz al-Qur’an dari sisi bahasa, isyarat ilmiah maupun pemberitaan ghaib, munasabah antar ayat, serta makna-makna mendalam yang terkandung pada suatu ayat, khususnya telaah suatu ayat dari perspektif pendidikan, akan sangat berguna bagi penelitian ini.  

b) Tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Husain al-Thabathaba‘i.69  Tafsir al-Mizan relevan dengan penelitian ini, karena dalam tafsir tersebut, al-Tabataba‘i menggunakan berbagai pendekatan, yaitu filsafat (falsafy), sosiologis (ijtima‘y), historis (tarikhy), ilmiah (‘ilmy), ilmiah dan etika (‘ilmy wa akhlaqy), ilmiah dan filosofis (‘ilmy wa falsafy) serta rasional dan Qur’ani (‘aqly wa qur’any). 70  Kekayaan pendekatan dalam tafsir al-Mizan ini berpotensi memberikan keluasan dan kedalaman pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi objek penelitian ini.

c) Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Muhammad Tahir ibn Asyur. Keistimewaan tafsir ini menurut penulisnya sendiri adalah adanya upaya sintesa dari dua karakteristik kitab tafsir selama ini, yaitu tafsir yang hanya mengekor tafsir-tafsir pendahulunya dan tafsir yang menolak dan apriori terhadap tafsir-tafsir pendahulunya. Upaya sintesa tersebut salah satunya dilakukan dengan cara membersihkan (mentashih) dan menambah. Ibn Asyur lebih menitik-beratkan tafsirnya pada sisi-sisi i‘jaznya, balaghah dan badi’, di samping menjelaskan munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya. Di samping itu, Ibn Asyur menjelaskan seluruh maksud-maksud ayat al-Qur’an; mengungkapkan poin-poin dan kemukjizatan al-Qur’an yang belum terungkap dalam buku-buku tafsir lain; serta menggunakan metode yang sistematis. 71 Bagi peneliti, serangkain kelebihan tafsir ibn Asyur di atas dapat berguna untuk mempertajam analisis linguistik suatu ayat atau term serta makna implikatifnya yang bersifat praktis dan modern, mengingat posisi Ibn Asyur sendiri yang berperan signifikan sebagai seorang aktivis –khususnya menggerakkan nasionalisme di Tunisia– serta pengkategorian tafsir ini yang termasuk tafsir kontemporer.

d) Tafsir Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Razy. Poin-poin penting yang terdapat dalam tafsir ini antara lain: mengutamakan penyebutan hubungan (munasabah) antara surat-surat al-Qur’an dan ayat-ayatnya satu sama lain, sehingga dia menjelaskan hikmah-hikmah yang terdapat dalam urutan-urutan al-Qur’an; sering menyimpang ke pembahasan tentang ilmu Matematika, Filsafat, Biologi dan lainnya; Membubuhkan banyak pendapat para filosof dan ahli kalam. 72  Tidak disangsikan lagi bahwa tafsir al-Razy ini sarat dengan kecenderungan filsafat. Analisis filosofis inilah yang akan peneliti manfaatkan untuk menyelami makna terdalam dan universal dari suatu ayat, lalu dikontekstualisasikan dengan kajian penelitian ini.   

e) Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhayly. Alasan utama peneliti menggunakan referensi Tafsir al-Munir adalah adanya sub bahasan tentang Fiqh al-Hayat (fiqih kehidupan), yaitu bahasan tentang makna praktis dari ayat-ayat yang telah dijelaskan sebelumnya.

f) Tafsir Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya al-Biqa‘i. Tafsir ini terkenal dengan munasabah  antara surat maupun ayat. 73  Pemahaman tentang munasabah ini lebih terasa urgensinya ketika menemui ayat-ayat tidak memiliki asbab al-nuzul, sedangkan banyaknya ayat-ayat yang menjadi objek dalam penelitian meniscayakan adanya ayat-ayat yang tidak memiliki asbab al-nuzul.

g) Kitab-kitab tafsir lainnya yang berguna untuk melengkapi dan mempertajam analisis bahasan penelitian ini.

Dalam rangka memahami makna linguistic suatu term dalam al-Qur’an, peneliti menggunakan kitab Mufradat Gharib al-Qur’an karya al-Ashfahany, Mu‘jam Tafsir Mufradat Alfazh al-Qur’an al-Karim karya Samih ‘Athif al-Zayn, dan al-Wujuh wa al-Naza’ir li Alfaz Kitab Allah al-‘Aziz karya al-Damaghany; sedangkan untuk menemukan ayat-ayat al-Qur’an secara tematik, peneliti memanfaatkan kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li-Alfazh al-Qur’an karya Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi; sebagai pelengkap, peneliti juga menggunakan bantuan software Qur’an Digital, Qur’an in Word 2003 dan al-Maktabah al-Syamilah edisi 2. Software al-Maktabah al-Syamilah juga difungsikan untuk melacak Hadits-Hadits yang relevan dengan topik bahasan, khususnya yang terdapat dalam Kutub al-Tis’ah, meskipun tetap mengkonfirmasi pada kitab aslinya. 

Adapun sumber data tentang Andragogi, peneliti akan berpijak pada literatur-literatur tentang Andragogi –khususnya dari karya Malcolm Knowles, Bapak Andragogi– dan dilengkapi dengan karya-karya yang menyangkut teori adult learning, higher education  dan lifelong education.

Selain sumber-sumber primer dan sekunder di atas, peneliti juga akan menggunakan sumber-sumber data lainnya dalam upaya mewujudkan hasil penelitian yang lebih sempurna, baik dalam bentuk karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi), jurnal ilmiah (khususnya journal of adult education) dan sumber-sumber data relevan lain yang diperoleh peneliti selama proses penelitian berlangsung. 

2.          Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian terhadap al-Qur’an mengacu pada metode tafsir al-Qur’an. Secara general, pendekatan penelitian ini adalah pendekatan tafsir tematik (Mawdhu‘y).

Menurut al-Farmawi, ada 4 metode tafsir yang dipakai hingga saat ini, yaitu metode Tahlily, Ijmaly, Muqaran, dan Mawdhu‘y.74  Secara lebih spesifik, M. Ridlwan Nasir mengelompokkan metode tafsir menurut titik tekan dan sisi sudut pandangnya masing-masing. Metode Tahlily 75  dan Mawdhu‘y 76  terkait dengan segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan. Metode Ijmaly 77 berkaitan dengan segi keluasan penjelasan tafsirannya; sedangkan metode Muqaran 78 berhubungan dengan segi cara penjelasannya. 79 Berikut ini visualisasinya:

Kecenderungan Tafsir
Metode dan Corak Tafsir al-Qur'an

3.          Langkah-Langkah Penelitian

Secara sistematis, langkah-langkah penelitian yang akan peneliti tempuh meliputi 4 langkah, yaitu:  

Langkah pertama, peneliti menyajikan perspektif teoretik tentang Andragogi, khususnya prinsip-prinsip Andragogi dan Pendidikan Islam yang membahas tentang dasar, tujuan, materi, metode, pendidik dan peserta didik. Aksentuasi ditujukan pada bahasan al-Qur’an sebagai salah satu dasar pendidikan Islam. Bahasan tentang al-Qur’an meliputi isi al-Qur’an secara universal, kajian tentang hakikat manusia dan pendidikan, serta subtema tentang pendidikan orang dewasa. Tampilannya disajikan pada bab II.  

Langkah kedua, peneliti akan mengidentifikasi dan mengklasifikasi isi al-Qur’an yang relevan dengan prinsip-prinsip Andragogi. Hasilnya akan dipaparkan pada bab III.

Langkah ketiga, peneliti berupaya memformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an dengan cara menganalisis data pada bab III dengan menerapkan langkah-langkah metodologis-aplikatif tafsir Mawdu‘i versi Abd. Al-Hayy al-Farmawi dan didukung telaah terhadap sumber-sumber data sekunder penelitian ini –terutama kitab-kitab tafsir– di samping juga mempertimbangkan perspektif teoretik tentang Andragogi dan Pendidikan Islam. Dengan demikian, bagian ini merupakan inti dari formulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an. Hasil langkah ketiga ini akan ditampilkan pada bab IV.

Pada langkah kedua dan ketiga di atas, peneliti menerapkan langkah-langkah metodologis-aplikatif metode tafsir Mawdu‘i yang digunakan oleh Abd. Al-Hayy al-Farmawi dengan perincian sebagai berikut: a) Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang dikaji secara tematik; b) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan; ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah; c) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, 80  disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul; d) Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya; e) Menyusun tema bahasan di dalam outline yang pas, sistematis, sempurna dan utuh; f) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan Hadits, bila dipandang perlu, sehingga penjelasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas; g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara ‘am dan khas, mutlaq dan muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang tampaknya kontradiktif, menjelaskan nasikh-mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindak pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat. 81  

Langkah keempat, peneliti akan mendialogkan hasil penelitian berupa konsep Andragogi dalam al-Qur’an dengan teori Andragogi. Bagian ini dimaksudkan sebagai telaah kritis terkait kelebihan maupun kelemahan dari masing-masing pihak, sehingga diharapkan dapat saling mengisi. Hasilnya dapat dilihat pada bab V.

Visualisasi dari keempat langkah penelitian di atas dapat dilihat pada framework penelitian di bawah ini:



Framework Proposal
Framework Disertasi Andragogi dalam al-Qur'an

4.          Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis. Dalam prakteknya, content analysis ini secara inheren sudah tercakup pada setiap langkah-langkah metodologis sebelumnya, yaitu menganalisis isi al-Qur’an secara keseluruhan dengan pisau analisis tafsir Mawdu‘i.

Hasil penelitian akan dilaporkan secara deskriptif analitik dan kritis, yakni berupa paparan dan penjelasan dengan disertai analisis dan kritisisme dari peneliti terhadap data-data yang dihasilkan selama penelitian.

H.        Sistematika Pembahasan

Hasil akhir dari penelitian ini akan dilaporkan dalam bentuk Disertasi dengan sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kepentingan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua memuat perspektif teoretik. Pada bab ini peneliti akan menyajikan teori Andragogi dengan aksentuasi pada prinsip-prinsip Andragogi dan Pendidikan Islam yang memuat bahasan tentang dasar, tujuan, materi, metode, pendidik dan peserta didik; disertai dengan bahasan tentang al-Qur’an dengan aksentuasi pada pendidikan orang dewasa.

Bab ketiga adalah isi kandungan al-Qur’an tentang Andragogi. Bab ini memuat identifikasi sekaligus klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki relevansi dengan prinsip-prinsip Andragogi.

Bab keempat memuat tentang formulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an. Bingkai bahasannya berdasarkan prinsip-prinsip Andragogi.

Bab kelima relasi konsep andragogi dalam al-Qur’an dengan teori Andragogi. Bab ini menyajikan hasil dialog antara konsep Andragogi dalam al-Qur’an dengan teori Andragogi, dilengkapi dengan kritisisme dari peneliti.
Bab keenam adalah penutup berupa kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian akhir akan dilengkapi dengan bibliografi dan sejumlah lampiran.

Catatan Kaki
[1] Malcolm Shepherd Knowles adalah “Bapak Andragogi”. Lahir pada 24 Agustus 1913 dan wafat pada 27 November 1997. Terlahir di Montana dari ayah bernama, Dr. A. D. Knowles. Keluarganya pindah ke West Palm Beach, Florida. Knowles lulus dari Palm Beach High School tahun 1930 lalu mendapatkan beasiswa ke Harvard University dan lulus sebagai Bachelor of Arts tahun 1934. Setelah itu, Knowles bekerja di  National Youth Administration di Massachusetts dan menikah dengan Hulda Fornell yang dia kenal ketika kuliah di Harvard. Tahun 1940, Knowles menduduki posisi sebagai Director of Adult Education di Boston YMCA sampai dia dialih-tugaskan ke United States Navy tahun 1943. Pada tahun 1946, Knowles pindah ke Chicago untuk bertugas sebagai Director of Adult Education di YMCA sekaligus menjalani studi di University of Chicago hingga meraih gelar M.A. di tahun 1949. Sejak tahun 1951-1959 Knowles menjalani peran sebagai executive director di Adult Education Association of the USA dan mengejar titel PhD-nya di University of Chicago. Tahun 1959, Knowles diangkat menjadi profesor tetap untuk pendidikan orang dewasa di Boston University dan menghabiskan waktu selama 14 tahun di sana. Knowles menjadi anggota the faculty of Education di North Carolina State University tahun 1974 sekaligus menyelesaikan 4 tahun terakhir dari karir akademiknya sebelum pensiun. Pasca pensiun, Knowles tetap aktif dalam pendidikan orang dewasa hingga tahun 1990-an. Knowles mengajar di Fielding Graduate University, Santa Barbara, CA dan di the University of Arkansas. Knowles wafat di Fayetteville, Arkansas, karena stroke. (http://en.wikipedia.org/wiki/Malcolm_Knowles diakses pada 13 Desember 2011)

[2] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner: The Definite Classic in Adult Education and Human Resource Development (Houston: Gulf Publishing Company, 1998), 35. Hemat peneliti, satu di antara faktor pemicunya dapat ditujukan pada asumsi bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk ’mendewasakan’ manusia, sehingga ketika seorang insan sudah dewasa, maka  dia tidak lagi menjadi prioritas sasaran pendidikan.

[3] Mohammad Ali (et al), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis (Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama, 2007), 288-289. Pandangan lain dikemukakan oleh Sudarwan Danim yang menyebut istilah dewasa tidak identik dengan usia kronologis, melainkan lebih pada kematangan psikologis. Alasannya, banyak orang yang secara usia kronologis termasuk kelompok anak-anak, tetapi sudah cukup dewasa secara psikologis. Sebaliknya, banyak juga orang yang secara usia kronologis termasuk kelompok dewasa, tetapi belum dewasa secara psikologis. Implikasinya dalam pendidikan adalah andragogi tidak dapat secara hitam-putih dimasukkan ke kandang ‘seni mengajar untuk orang dewasa’ dalam usia kronologis. (Sudarwan Danim, Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi (Bandung: Alfabeta, 2010), 125.)

[4] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner, 35.

[5] Ibid., 35-36.

[6] Ibid., 36.

[7] Mohammad Ali (et al), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis, 34.

[8] Malcolm Tight (ed.), Adult Learning & Education (New Hampshire: The Open University, 1987), 53.

[9] Ibid., 53.

[10] Mohammad Ali (et al), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis, 291.

[11] Malcolm Tight (ed.), Adult Learning & Education, 53-54.

[12] Ibid., 554.

[13] Backgroud dari masing-masing revolusi adalah: Revolusi ke-1 terjadi karena orang tua atau keluarga tidak mampu lagi membelajarkan anak-anaknya sendiri. Revolusi ke-2 terjadi karena guru ingin memberikan pelajaran kepada lebih banyak anak didik dengan cara lebih cepat. Revolusi ke-3 terjadi karena guru ingin mengajarkan lebih banyak lagi dan lebih cepat lagi, sementara itu kemampuannya makin terbatas, sehingga perlu menggunakan pengetahuan yang telah diramukan orang lain. Revolusi ke-4 terjadi karena mustahil bagi guru untuk memberikan semua ajaran (ilmu pengetahuan) yang diperlukan, dan karena itu yang lebih penting adalah mengajar anak didik tentang bagaimana belajar. Ajaran (ilmu pengetahuan) selanjutnya  akan diperoleh si pembelajar sepanjang usia hidupnya melalui berbagai sumber dan saluran. (Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2009), 104-105.)

[14] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 283.

[15] Sejak itu, ide tersebut terus menyebar luas ke berbagai negara menuju ke negara maju dan negara berkembang untuk diketahui dan dipertimbangkan. Pada saat itu respon berbagai negara tidak sama. Khususnya di Indonesia respon terhadap PSH itu sangat positif dan dituangkan dalam kebijaksanaan negara, yaitu dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 jo. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN yang menetapkan prinsip pembangunan nasional antara lain: Dalam Bab IV bagian pendidikan, butir (d) berbunyi: Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga/keluarga dan masyarakat, karena itu pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. (Umar Tirtarahardja & La Sulo, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 44)

[16] Pengertian mandiri di sini berarti tidak tergantung kepada orang lain, bebas dan dapat melakukan sendiri. Dalam konteks kemandirian dalam belajar, Wedemeyer menyebut bahwa peserta didik memiliki kebebasan untuk belajar tanpa harus menghadiri pembelajaran di kelas; sedangkan Keegen mengutip Moore yang menyatakan bahwa kemandirian belajar peserta didik adalah sejauh mana dalam proses pembelajaran itu, siswa dapat ikut menentukan tujuan, bahan dan pengalaman belajar, serta evaluasi pembelajarannya (Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengambangkan Profesionalisme Guru (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 353-365)

[17] Ada beberapa pengertian Self-Directed Learning (SDL), antara lain: a) proses inquiry yang melibatkan guru dan siswa sekaligus; b) independensi yang utuh dari guru; c) proses yang menempatkan para pembelajar (learners) sebagai pengambil inisiatif untuk menganalisis dan mendiagnosa kebutuhan-kebutuhan belajar mereka; memformulasi tujuan-tujuan belajar yang relevan bagi pribadi mereka; mengidentifikasi bagaimana (cara) meraih semua itu serta pemikiran (reflection) terhadap prestasi mereka.  (George M. Pirkurich,  Self-Directed Learning: A Practical Guide to Design, Development and Implementation (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1993), 7)

[18] Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa: Dari Teori Hingga Aplikasi (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), 11-12.

[19] Malcolm Tight (ed.), Adult Learning & Education, 554.

[20] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner, 58.

[21] Ibid., 58-59.

[22] Ibid., 59. Mustofa Kamil menyebut bahwa sebelum Rosenstock, terlebih dahulu muncul Adam Smith pada tahun 1919 yang memberikan argumentasi terkait pendidikan orang dewasa “pendidikan juga tidak hanya untuk anak-anak, tetapi pendidikan juga untuk orang dewasa”. (Mohammad Ali (et al), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis, 290.)

[23] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner, 59.

[24] Ibid., 59.

[25] Ibid., 60.

[26] Ibid., 60.

[27] Ibid., 60.

[28] Ibid., 60-61.

[29] Mohammad Ali (et al), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis, 293.

[30] K. Patricia Cross,  Adults as Learners: Increasing Participation and Facilitating Learning (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1981), 222.

[31] Sharan B. Merriam & Rosemary S. Carafella, Learning in Adulthood (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1991), 249. 

[32] Sudarwan Danim, Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi, 127.

[33] K. Patricia Cross, Adults as Learners, 222-223.

[34] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner, 64-69.

[35] Ibid., 133.

[36] Ibid., 65.

[37] Ibid., 65-66.

[38] Ibid., 67.

[39] Ibid., 67.

[40] Ibid., 149.

[41] K. Patricia Cross, Adults as Learners, 224.

[42] Mohammad Ali (et al), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Ilmu Pendidikan Teoretis, 295.

[43] Malcolm S. Knowles, Self-Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers (Chicago:Follet Publishing Company, 1975), 19.

[44] Sudarwan Danim, Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi (Bandung: Alfabeta, 2010), 125.

[45] Mohammad Ali (et al), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Ilmu Pendidikan Teoretis, 287.

[46] Definisi mukallaf adalah اَلْمُكَلَّفُ هُوَ الْبَالِغُ الْعَاقِلُ. Mahmud Hamid ‘Uthman, al-Qamus al-Mubin fi Istilah al-Usuliyyin  (Kairo: Dar al-Hadits, tt.), 215.

[47] Teks lengkap akan disajikan pada bagian lampiran.

[48] Tulisan menurut versi bahasa aslinya adalah Andragogy, namun dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan tulisan dalam versi bahasa Indonesia, yaitu Andragogi. Mengingat term Andragogi sudah dikenal luas dalam literatur pendidikan –khususnya pendidikan orang dewasa–, maka peneliti memilih kata Andragogi versi bahasa Indonesia.

[49] Mustafa Muslim, Mabahith fi al-Tafsir al-Mawdu‘i (Dimshiq: Dar al-Qalam, 1989), 23-28.

[50] Kematangan secara psikologis antara lain tampak pada hak ikut serta dalam peperangan (al-Ahzab: 23); berposisi sebagai suami (al-Baqarah: 228); hak menjadi saksi dalam transaksi mu‘amalah (al-Baqarah: 282); bahkan yang paling jelas adalah hanya yang berstatus رجل yang berhak memperoleh wahyu kerasulan (Yusuf: 109; al-Nahl: 43; al-Anbiya’: 7)

[51] Misalnya yang dialami oleh dua orang pemilik kebun (al-Kahfi: 32); kaum laki-laki yang pekerjaan mereka sebagai pedagang tidak sampai melalaikan mereka dari dzikir kepada Allah s.w.t. dan mendirikan shalat(al-Nur: 37);  

[52] Seperti yang terjadi para kaum Nabi Lut yang suka menjalin hubungan homoseksual (al-A‘raf: 81); suka bertengkar layaknya kasus dua orang Bani Isra’il yang kemudian dilerai oleh Nabi Musa (al-Qassas: 15); bahkan yang paling parah adalah terjurumus pada jurang kekafiran dan kemusyrikan (al-Kahfi: 32; al-Zumar: 29).   

[53] Contoh: laki-laki yang menerima ajaran Nabi Musa (al-Qassas: 20); kaum laki-laki yang tidak pernah lalai dari melakukan dzikir kepada Allah dan mendirikan shalat (al-Nur: 37); memenuhi janji semaksimal mungkin (al-Ahzab: 23); suka berbuat adil (al-Nahl: 76); serta mentauhidkan dan beriman kepada Allah s.w.t. (al-Kahfi: 32; al-Zumar: 29). 

[54] Surat al-Balad: 10 ini dalam Tafsir al-Jalalayn dijelaskan sebagai: (بيَّنا له طريق الخير والشر). 

[55] Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, 553.

[56]  ‘Abd al-Fattah ‘Abd al-Ghany al-Qadi, Asbab al-Nuzul ‘an al-Sahabah wa al-Mufassirin, 220.

[57] Kelima jenis pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bermuara pada satu pengertian yang utuh, yaitu pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan atas dasar hasrat, motivasi, dan semangat untuk memanifestasikan nilai-nilai Islam, baik nilai-nilai ketuhanan maupun kemanusiaan, melalui kegiatan pendidikan sebagaimana tercakup dalam lima program dan praktek pendidikan Islam di atas. (Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), v-vi.)

[58] Kazuo Shimogaki menyebutkan kecenderungan epistemologi Barat modern tersebut menjadi lima macam: pemisahan antara bidang sakral dan bidang duniawi, kecenderungan ke arah reduksionisme, pemisahan antara subyektivitas dan objektivitas, antroposentrisme, dan progresivisme. Dapat disebutkan juga, bahwa pendekatan epistemologi Barat itu adalah skeptic, rasional-empiris, dikotomik, positivis-objektivis, dan menentang dimensi spiritual (anti metafisika). (Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2006), 58.)

[59] Abdur Rahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Qur’an serta Implementasinya (Penyunting Dahlan dari Educational Theory, A Quranic Outlook) (Bandung: CV. Diponegoro, 1991), 36.

[60] Ibid., 42.

[61] Ibid., 48.

[62] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 18.

[63] Donald Ary, dkk., Pengantar Penelitian dalam Pendidikan (alih bahasa oleh Arief Furchan) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 108.

[64] M. Radhi Al-Hafid, Nilai Edukatif Kisah al-Qur’an (Disertasi Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995).

[65] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

[66] Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan: 10 Cara Qur’an Mendidik Anak (Malang: UIN-Malang Press, 2008).

[67] Sebagai bagian dari upaya integrasi ilmu dengan wahyu, Noeng Muhadjir memasukkan studi-studi tentang kitab suci yang merupakan wahyu Allah ke dalam bagian studi teks. Asumsi dasar yang melandasinya adalah meskipun wahyu Allah bukan produk budaya, melainkan highest wisdom yang diturunkan Allah melalui medium bahasa yang komunikatif bagi semua manusia dan berada pada dataran yang dapat dipahami manusia, maka wahyu dapat ditelaah sebagai objek studi Geisteswissenshaften (human science) ataupun sebagai karya sastra. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 158-159.

[68] Ibid., 159.

[69] Menurut Tabataba‘i, agar dapat memahami hakikat al-Qur’an dan maksudnya yang tinggi, maka harus menempuh dua cara penafsiran al-Qur’an, yaitu: Pertama, mengkaji secara ilmiah dan filosofis persoalan-persoalan yang dipaparkan ayat sampai menemukan yang haq dalam persoalan tersebut, kemudian memperkuatnya dengan ayat lain. Kedua, menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan cara menjelaskan makna ayat dengan ayat-ayat yang mirip melalui tadabbur kepada jiwa ayat sebagaimana Surat al-Nahl: 89 yang dijelaskan oleh Surat al-Baqarah: 185 dan Surat al-Nisa’: 174. (Waryono Abdul Ghafur, Millah Ibrahim dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), 94)  

[70] Waryono Abdul Ghafur, Millah Ibrahim dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, 102.

[71] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir  (alih bahasa oleh Faisal Saleh dan Syahdianor) (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 316-318.

[72] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, 323.

[73] Sebagaimana pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul yang berpengaruh besar dalam memahami makna dan menafsiri ayat; demikian halnya dengan pengetahuan tentang Munasabah antar ayat dapat membantu seseorang memperoleh penta'wilan yang lebih baik dan pemahaman yang lebih mendalam. Maka dari itu, tidak heran jika ada pakar yang menyusun karya tersendiri terkait dengan masalah Munasabah ini, seperti Abu Ja‘far Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubayr al-Andalusy dan al-Biqa'i. (Manna‘ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur'an (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 91.)

[74] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 85-86.

[75] Metode Tahlily adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal Surat al-Fatihah hingga akhir Surat al-Nas. Contoh: Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-din al-Razy.

[76] Metode Mawdu‘y. adalah suatu penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat mengenai satu judul atau topik tertentu, dengan memperhatikan masa turunnya dan asbab al-nuzul ayat, serta dengan mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dan mendalam, dengan memperhatikan hubungan ayat yang satu dengan ayat yang lain di dalam menunjuk suatu permasalahan, kemudian menyimpulkan masalah yang dibahas dari dilalah ayat-ayat yang ditafsirkan secara terpadu. Contoh: al-Mar’ah fi al-Qur’an al-Karim karya ‘Abbas al-‘Aqqad.

[77] Metode Ijmaly adalah penafsiran dengan cara menafsirkan ayat al-Qur’an hanya secara global saja, tidak mendalam dan tidak pula secara panjang lebar, sehingga bagi orang awam akan lebih mudah untuk memahaminya. Contoh: Tafsir al-Qur’an al-Karim karya M. Farid Wajdi.

[78] Metode Muqarin adalah membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan Hadits (isi dan matan), antara pendapat mufassir dengan mufassir lain dengan menonjolkan segi-segi perbedaan. Contoh: Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtuby.

[79] M. Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur’an: Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin (Surabaya: Indra Media, 2003), 14-17.

[80] Untuk itu, peneliti akan menggunakan data yang diperoleh Andi Rosadisastra. Menurut Sayyid M. Husein Thabathaba’i, Surat-surat berdasarkan urutan masa turunnya adalah: 1) al-‘Alaq; 2) al-Qalam; 3) al-Muzzammil; 4) al-Muddaththir; 5) al-Fatihah; 6) al-Masad; 7) al-Takwir; 8) al-A‘la; 9) al-Layl; 10) al-Fajr; 11) al-Duha; 12) al-Inshirah; 13) al-‘Asr; 14) al-‘Adiyat; 15) al-Kauthar; 16) al-Takathur; 17) al-Ma’un; 18) al-Kafirun; 19) al-Fil; 20) al-Falaq; 21) al-Nas; 22) al-Ikhlas; 23) al-Najm; 24) ‘Abasa; 25) al-Qadr; 26) al-Shams; 27) al-Buruj; 28) al-Tin; 29) al-Quraysh; 30) al-Qari‘ah; 31) al-Qiyamah; 32) al-Humazah; 33) al-Mursalat; 34) Qaf; 35) al-Balad; 36) al-Tariq; 37) al-Qamar; 38) Sad; 39) al-A‘raf; 40) al-Jinn; 41) Yasin; 42) al-Furqan; 43) al-Malaikah; 44)Maryam; 45) Taha; 46) al-Waqi‘ah; 47) al-Shu‘ara’; 48) al-Naml; 49) al-Qassas; 50) Bani Isra’il; 51) Yunus; 52) Hud; 53) Yusuf; 54) al-Hijr; 55) al-An‘am; 56) al-Saffat; 57) Luqman; 58) Saba’: 59) al-Zumar; 60) al-Mu’min; 61) al-Sajdah; 62) al-Shura; 63) al-Zukhruf; 64) al-Dukhan; 65) al-Jathiyah; 66) al-Ahqaf; 67) al-Dhariyat; 68) al-Ghashiyah; 69) al-Kahfi; 70) al-Nahl; 71) Nuh; 72) Ibrahim; 73) al-Anbiya’: 74) al-Mu’minun; 75) Fussilat; 76) al-Tur; 77) al-Mulk; 78) al-Haqqah; 79) al-Ma‘arij; 80) al-Naba’; 81) al-Nazi‘at; 82) al-Infitar; 83) al-Inshiqaq; 84) al-Rum; 85) al-‘Ankabut; 86) al-Mutaffifin; Ini adalah Surat-surat MAKKIYAH; sedangkan Surat-surat MADANIYAH adalah 87) al-Baqarah; 88) al-Anfal; 89) Ali ‘Imran; 90) al-Ahzab; 91) al-Mumtahanah; 92) al-Niza’; 93) al-Zalzalah; 94) al-Hadid; 95) al-Qital; 96) al-Ra‘d; 97) al-Rahman; 98) al-Insan; 99) al-Talaq; 100) al-Bayyinah; 101) al-Hashr; 102) al-Nasr; 103) al-Nur; 104) al-Hajj; 105) al-Munafiqun; 106) al-Mujadilah; 107) al-Hujurat; 108) al-Tahrim; 109) al-Jumu‘ah; 110) al-Taghabun; 111) al-Saff; 112) al-Fath; 113) al-Ma’idah; 114) al-Tawbah. (Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial (Jakarta: Amzah, 2007), 54-59.)  

[81] Abd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Sebuah Pengantar (alih bahasa oleh Suryan A. Jamrah) (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), 45-46.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,  Abdur Rahman Shalih. Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Qur’an serta Implementasinya (Penyunting Dahlan dari Educational Theory, A Quranic Outlook). Bandung: CV. Diponegoro. 1991.

Ali, Mohammad (et al). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis. Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama. 2007.

Ali, Mohammad (et al). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian II Ilmu Pendidikan Praktis. Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama. 2007.

Ary, Donald dkk.. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan (alih bahasa oleh Arief Furchan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Cross,  K. Patricia. Adults as Learners: Increasing Participation and Facilitating Learning. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. 1981.

Danim, Sudarwan. Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta. 2010.

Farmawi al, Abd. al-Hayy. Metode Tafsir Mawdhu’iy: Sebuah Pengantar (alih bahasa oleh Suryan A. Jamrah). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996.

Ghafur,  Waryono Abdul. Millah Ibrahim dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2008.

Hafid al, M. Radhi. Nilai Edukatif Kisah al-Qur’an. Disertasi. Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1995.

Huda, Miftahul. Interaksi Pendidikan: 10 Cara Qur’an Mendidik Anak. Malang: UIN-Malang Press. 2008.

Knowles, Malcolm Shepherd. The Adult Learner: The Definite Classic in Adult Education and Human Resource Development. Houston: Gulf Publishing Company. 1998.

Knowles, Malcolm S.. Self-Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers. Chicago:Follet Publishing Company. 1975.

Mahmud, Mani’ Abd Halim. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir  (alih bahasa oleh Faisal Saleh dan Syahdianor). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2006.

Merriam, Sharan B. & Rosemary S. Carafella. Learning in Adulthood. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. 1991.

Miarso, Yusufhadi. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. 2009.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif: Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama. Yogyakarta: Rake Sarasin. 1996.

Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.

Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.

Muslim, Mustafa. Mabahith fi al-Tafsir al-Mawdu‘i. Dimshiq: Dar al-Qalam. 1989.

Nasir, M. Ridlwan. Memahami al-Qur’an: Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin. Surabaya: Indra Media. 2003.

Pirkurich,  George M.. Self-Directed Learning: A Practical Guide to Design, Development and Implementation. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. 1993.

al-Qadi, ‘Abd al-Fattah ‘Abd al-Ghany. Asbab al-Nuzul ‘an al-Sahabah wa al-Mufassirin. Kairo: Dar al-Salam. 2007.

Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga. 2006.

Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah. 2007. 

Rusman. Model-model Pembelajaran: Mengambangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1999.

Suprijanto. Pendidikan Orang Dewasa: Dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2007.

Tight, Malcolm (ed.). Adult Learning & Education. New Hampshire: The Open University. 1987.

Tirtarahardja, Umar & La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2000.

‘Uthman, Mahmud Hamid. al-Qamus al-Mubin fi Istilah al-Usuliyyin. Kairo: Dar al-Hadits. tt..

Sumber Internet
http://en.wikipedia.org/wiki/Malcolm_Knowles diakses pada 13 Desember 2011