Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cinta dalam Perspektif al-Qur'an

CINTA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN

Dr. Rosidin, M.Pd.I
 
Doa Cinta yang Diteladankan Rasulullah SAW. Sumber Foto: duniatips.com

MAKNA CINTA DALAM AL-QUR'AN

Salah satu istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut cinta adalah “hubbun”. Menurut al-Ashfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hubbun atau mahabbah adalah menghendaki sesuatu yang dinilai baik. Entah baik dari segi zatnya, seperti cinta suami kepada istri; segi manfaatnya, seperti cinta kepada harta; maupun segi keutamaannya, seperti cinta kepada ulama. 
 
Lebih jauh, hakikat cinta adalah upaya sungguh-sungguh yang dilakukan seseorang untuk meraih apa yang dicintainya dan selalu mengutamakan apa yang dicintainya. Misalnya, cinta yang meluap-luap (syaghaf), membuat Zalikha berupaya keras memperdaya Nabi Yusuf AS untuk berbuat asusila di ruangan pribadi yang tertutup rapat, padahal dia sudah memiliki suami (Q.S. Yusuf [12]: 30). 

Di sisi lain, kata hubbun seakar dengan kata “habban” yang berarti “biji atau benih”. Dari sini dapat dipetik hikmah bahwa cinta dalam pengertian hubbun adalah cinta yang perlu dirawat dengan baik, agar dapat tumbuh dan berkembang, layaknya benih yang berhasil tumbuh menjadi tanaman. Jika cinta tidak dirawat dengan baik, maka akan sulit tumbuh dan berkembang, bahkan bisa jadi rusak dan mati terabaikan. 
 
Misalnya, cinta yang dirawat akan menumbuhkan sakinah, mawaddah dan rahmah dalam rumah tangga (Q.S. al-Rum [30]: 21); sedangkan cinta yang tidak dirawat akan menimbulkan sikap saling curiga, bahkan tuduhan zina (perselingkuhan) antara suami dan istri (Q.S. al-Nur [24]: 6).            

SUBYEK CINTA DALAM AL-QUR'AN

Dari segi pelakunya, ada dua jenis cinta. Pertama, Cinta Allah SWT. Al-Qur’an seringkali menggunakan redaksi “Allah menyukai” yang berarti “Allah SWT memberi pahala”. Misalnya, Allah SWT menyukai orang yang berbuat ihsan (Q.S. al-Baqarah [2]: 195); orang yang bertaubat dan bersuci (Q.S. al-Baqarah [2]: 222); orang yang bertakwa (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 76); orang yang sabar (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 146); orang yang tawakkal (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159); orang yang adil (Q.S. al-Ma’idah [5]: 42). 
 
Sebaliknya, Allah SWT tidak menyukai orang yang melampaui batas (Q.S. al-Baqarah [2]: 190); orang yang kufur (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 32); orang yang zhalim (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 57); orang yang angkuh dan sombong (Q.S. al-Nisa’ [4]: 36); orang yang sering berkhianat dan berdosa (Q.S. al-Nisa’ [4]: 107); orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al-Ma’idah [5]: 64); orang yang berlebihan (Q.S. al-A’raf [7]: 31).
           
Kedua, Cinta manusia. Misalnya, manusia dianugerahi rasa cinta kepada lawan jenis, anak-cucu, harta benda, kendaraan, flora-fauna, dan sebagainya (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 14). Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa beliau mencintai wanita dan minyak wangi. Namun ketentraman hati beliau adalah saat mendirikan shalat (H.R. al-Bukhari).      

CINTA TERPUJI

Selanjutnya, cinta manusia terbagi menjadi dua kategori, yaitu cinta terpuji dan cinta tercela. Cinta terpuji adalah cinta yang dilandasi nilai-nilai keimanan; sedangkan cinta tercela adalah cinta yang dilandasi kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan (Q.S. al-Hujurat [49]: 7). Jadi, standar cinta dalam Islam adalah nilai-nilai keimanan. Jika cinta telah melanggar nilai-nilai keimanan, maka statusnya bukan cinta terpuji, melainkan cinta tercela (Q.S. al-Taubah [9]: 23). Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW, “Seseorang belum beriman dengan sempurna, hingga aku lebih dia cintai daripada orangtuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya” (H.R. al-Bukhari). 
          
Contoh cinta terpuji adalah cinta orang mukmin kepada Allah SWT yang melebihi cinta kepada selain-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 165). Sedangkan indikator cinta kepada Allah SWT adalah mengikuti ajaran Rasulullah SAW (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 31). Wujudnya adalah melaksanakan apa yang dicintai Allah SWT, seperti berbuat ihsan (Q.S. al-Baqarah [2]: 195); dan meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah SWT, seperti sikap angkuh dan sombong (Q.S. al-Nisa’ [4]: 36). 
 
Buktinya, secinta-cinta orang mukmin kepada harta benda, tidak sampai melalaikan dari kewajiban ibadah (Q.S. Shad [38]: 32); bahkan orang mukmin rela mewakafkan harta yang dicintai, demi melaksanakan ajaran agama (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 92). Inilah yang diteladankan oleh Abu Thalhah RA, seorang shahabat Anshar yang kaya-raya. Beliau mewakafkan hartanya yang paling dicintai, yaitu Sumur Ha’ yang saat ini berada di depan King Fahd Gate (Pintu 22), setelah turun Q.S. Ali ‘Imran [3]: 92, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna (al-birr), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai”.      

CINTA TERCELA

Contoh cinta tercela adalah cinta kepada keluarga yang menjerumuskan seseorang pada profesi haram; cinta kepada lawan jenis yang menjerumuskan pada perzinahan atau perselingkuhan; cinta kepada harta benda dan profesi yang membuat lalai dari kewajiban agama; dan sebagainya (Q.S. al-Taubah [9]: 24).
          
Termasuk cinta tercela adalah lebih mengutamakan cinta dunia dibandingkan cinta akhirat. Misalnya, gemar menumpuk harta benda, tanpa peduli kepada anak yatim dan fakir miskin (Q.S. al-Fajr [89]: 17-20); begitu mencintai harta benda, tapi tidak bersyukur kepada Allah SWT (Q.S. al-‘Adiyat [100]: 6-8). Orang yang mengutamakan cinta dunia dibandingkan cinta akhirat ini, dinilai al-Qur’an sebagai orang yang berada dalam kesesatan yang jauh sekali (Q.S. Ibrahim [14]: 3). Hal ini dikarenakan dia lebih mencintai sikap acuh tak acuh dan durhaka terhadap petunjuk agama, alih-alih bersikap taat dan mengikuti petunjuk agama (Q.S. Fushshilat [41]: 17).
          
Dari sini jelas, bahwa ekspresi cinta sebagaimana yang umum terjadi pada momen Valentine yang diperingati setiap tanggal 14 Februari, lebih didominasi cinta tercela, karena tidak dilandasi oleh nilai-nilai keimanan, melainkan dilandasi oleh kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan.
           
Catatan terakhir, cinta tidak bisa dijadikan standar baik-buruknya sesuatu. Karena cinta belum tentu mendatangkan kebaikan, sebagaimana benci belum tentu mendatangkan keburukan. Bisa jadi, apa yang dicintai seseorang, justru buruk baginya; sedangkan apa yang dibenci seseorang, justru baik baginya (Q.S. al-Baqarah [2]: 216). Ibarat sirup manis yang disukai, bisa mengakibatkan penyakit; sedangkan jamu pahit yang dibenci, justru bisa mengobati penyakit. Misalnya, mendekam di penjara dan selamat dari godaan wanita, lebih disukai Nabi Yusuf AS daripada hidup bebas, tapi terjerumus dalam godaan wanita (Q.S. Yusuf [12]: 33).  

EKSPRESI CINTA YANG ADIL

Di sisi lain, Rasulullah SAW berpesan agar cinta diekspresikan secara adil. Misalnya, Rasulullah SAW memerintahkan seorang ayah agar bersikap adil kepada anak-anaknya, tanpa pilih kasih; agar kelak semua anaknya berbakti kepadanya, bukan hanya sebagian anaknya saja yang berbakti kepadanya (H.R. al-Bukhari). Hal ini dikarenakan ekspresi cinta orangtua yang tidak adil, dapat menimbulkan kecemburuan sosial, sebagaimana kecemburuan para saudara Nabi Yusuf AS yang menilai Nabi Ya’qub AS lebih mencintai Nabi Yusuf AS dan Bunyamin dibandingkan mereka (Q.S. Yusuf [12]: 8). Apalagi al-Qur’an berulang-ulang menyatakan dengan tegas, “Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat adil” (Q.S. al-Ma’idah [5]: 42; al-Hujurat [49]: 9; al-Mumtahanah [60]: 8).  

Wallahu A’lam bi al-Shawab.