Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Tarbawi Surat al-Jumuah

PENDIDIKAN, IBADAH DAN BEKERJA
Tafsir Tarbawi Surat al-Jumu’ah [62]: 1-11

Harmoni Ibadah dan Kerja dalam Hidup

Sumber Foto: ribonuj.kellysquaresherman.com

Dr. Rosidin, M.Pd.I

Salah satu wujud kebijaksanaan Allah SWT adalah mengutus Rasulullah SAW yang bertugas mendidik umat manusia agar selamat dari jalan yang sesat. Ada tiga model pendidikan yang diterapkan Rasulullah SAW, yaitu Tilawah, Tazkiyyah dan Ta’lim (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 2).

Tilawah mengisyaratkan peran penting al-Qur’an sebagai sumber primer bagi teori dan praktik pendidikan Islam. Tazkiyyah mengisyaratkan pentingnya motivasi dalam pendidikan Islam. Ta’lim mengisyaratkan pentingnya arahan dalam pendidikan Islam. Jika diilustrasikan, Tilawah memberi panduan tentang jalan yang lurus (shirath al-mustaqim). Tazkiyyah memberi motivasi umat muslim agar memiliki kemauan untuk meniti jalan yang lurus. Ta’lim memberi arahan umat muslim agar memiliki kemampuan untuk meniti jalan yang lurus.

Dengan demikian, hakikat pendidikan Islam bukan sekedar informasi, melainkan transformasi. Yaitu mengajak umat muslim bertransformasi dari kehidupan Jahiliah (biadab) yang dikendalikan hawa nafsu insaniah, menuju kehidupan Madaniah (beradab) yang dikendalikan cahaya ajaran Ilahiah. Oleh sebab itu, orang yang memiliki sumber informasi melimpah, namun tidak dapat memahami, apalagi melaksanakan informasi tersebut, ibarat keledai yang memikul buku bertumpuk-tumpuk; namun sama sekali tidak memahami isi buku-buku tersebut, apalagi melaksanakannya (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 5). Bahkan hingga kini, keledai masih dijadikan sebagai simbol kebodohan atau kedunguan.

Contoh kehidupan Jahiliah era modern adalah paham materialisme dan hedonisme yang memandang kehidupan dengan “satu mata”, yaitu duniawi belaka. Implikasinya, manusia materialis dan hedonis itu hanya memfokuskan diri untuk menikmati kehidupan duniawi, sampai-sampai ingin hidup selamanya dan tidak mau mati (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 7). Padahal, kematian merupakan kebenaran hakiki yang pasti dialami setiap manusia. Oleh sebab itu, Islam memandang bahwa kehidupan dunia merupakan lahan amal untuk kehidupan akhirat; karena setiap amal di dunia, pasti mendapatkan balasan di akhirat kelak; entah berupa pahala, atau justru berupa siksa (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 8).

Implikasinya, kehidupan umat muslim senantiasa diisi dengan dua aktivitas utama, yaitu ibadah dan bekerja; kendati bekerja terkategorikan sebagai ibadah dalam pengertian umum (ghairu mahdhah). Kedua aktivitas ini sama-sama penting untuk dilaksanakan. Akan tetapi, ibadah lebih diprioritaskan dibandingkan bekerja. Buktinya, ketika adzan shalat Jum’at berkumandang, umat muslim diperintahkan bergegas melaksanakan ibadah dan berhenti bekerja untuk sementara (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 9).

Di antara argumentasinya, waktu ibadah itu umumnya lebih singkat dibandingkan waktu bekerja. Misalnya, rangkaian ibadah shalat Jum’at, mulai dari adzan, khutbah, shalat, dzikir dan doa, hanya berlangsung kisaran satu hingga dua jam. Sebelum dan sesudah itu, al-Qur’an menyeru umat muslim agar aktif bekerja (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 10), sehingga waktu bekerja umumnya berkisar delapan hingga sepuluh jam dalam sehari.

Argumentasi lain, Islam mengunggulkan akhirat dibandingkan dunia (Q.S. al-Dhuha [93]: 4. Atas dasar itu, al-Qur’an berpesan agar umat muslim bersungguh-sungguh dalam aktivitas yang bersifat ukhrawi, yaitu ibadah; dan tidak melupakan aktivitas yang bersifat duniawi, yaitu bekerja (Q.S. al-Qashash [27]: 77). Redaksi ayat tersebut ibarat nasihat pendidik kepada peserta didik, “Belajarlah sungguh-sungguh, tapi jangan lupa istirahat”. Artinya, status belajar lebih unggul dibandingkan istirahat.

Tantangannya, pekerjaan dan hiburan seringkali membuai umat muslim, sehingga rela melalaikan ibadah (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 11). Misalnya, masih banyak umat muslim yang tidak melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, karena sibuk bekerja mencari rupiah; entah karena faktor kemiskinan maupun ketamakan. Demikian halnya, masih banyak umat muslim yang tidak melaksanakan shalat lima waktu, karena menikmati hiburan seperti pertandingan sepakbola, musik, film, game, media sosial, dan sebagainya. Apalagi di era digital ini, begitu banyak pilihan hiburan yang tersedia. Baik hiburan yang bersifat privat, seperti gadget; maupun hiburan yang bersifat masif, seperti wahana wisata. Bahkan, saat ini banyak umat muslim yang tidak melaksanakan shalat lima waktu, gara-gara terjebak macet di jalan raya saat perjalanan pulang-pergi ke tempat wisata.

Alternatif solusinya, para pemimpin umat yang meliputi pendidik, da’i, pejabat, tokoh masyarakat, hingga kepala keluarga, perlu bersinergi untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, agar umat muslim lebih memprioritaskan ibadah dibandingkan pekerjaan dan hiburan. Misalnya, pendidik bertugas mendidikkan manajemen waktu, agar umat muslim dapat mengelola waktu dengan baik, sehingga tidak terjadi benturan antara ibadah, pekerjaan dan hiburan. Da’i bertugas mendakwahkan pentingnya ibadah di atas pekerjaan dan hiburan, dengan memberikan contoh-contoh yang berasal dari al-Qur’an maupun keteladanan Rasulullah SAW dan orang-orang shalih. Pejabat membuat kebijakan yang mendukung harmonisasi ibadah, pekerjaan dan hiburan; sebagaimana yang umumnya diberlakukan pada momen bulan suci Ramadhan. Tokoh masyarakat memberi keteladanan dengan memprioritaskan aktivitas ibadah dibandingkan pekerjaan dan hiburan. Kepala keluarga tidak henti-hentinya mendidik dan mengingatkan anggota keluarganya agar senantiasa menomorsatukan ibadah di atas pekerjaan dan hiburan.

Posisi istimewa ibadah dibandingkan pekerjaan dan hiburan, secara tegas tergambar dalam firman Allah SWT, “Katakanlah: ‘Apa yang di sisi Allah lebih baik dari permainan dan perdagangan’” (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 11). Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal” (Q.S. al-Nahl [16]: 96). Paling tidak, manfaat pekerjaan dan hiburan hanya dapat dinikmati selama manusia masih hidup. Lain halnya dengan ibadah yang manfaatnya dapat dinikmati saat manusia masih hidup, terlebih lagi setelah meninggal dunia.

Siapapun yang mengutamakan ibadah dibandingkan pekerjaan dan hiburan, tidak perlu mengkhawatirkan rezekinya. Karena Allah SWT sudah menjamin rezeki tiap-tiap makhluk (Q.S. Hud [11]: 6) dan Allah SWT merupakan sebaik-baik Dzat pemberi rezeki (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 11).

Catatannya, pengutamaan ibadah bukan berarti meninggalkan pekerjaan dan hiburan, karena keduanya sama-sama penting bagi kehidupan manusia. Pekerjaan dapat memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan hiburan dapat memenuhi kebutuhan ruhani. Hanya saja, ketika waktu ibadah bersamaan dengan waktu pekerjaan maupun hiburan, umat muslim seyogianya lebih mengutamakan ibadah dibandingkan pekerjaan dan hiburan.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.