Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah perkembangan Kitab Kuning di Indonesia dalam Perspektif Filologi

Artikel Sejarah Perkembangan Kitab Kuning di Indonesia dalam Perspektif Filologi ini sudah dipresentasikan pada gelaran International Symposium on Religious Literature and Heritage (ISLAGE 2021) yang diselenggarakan oleh Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) yang berkolaborasi dengan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan IRCICA Turkey.

Selanjutnya artikel ini dipublikasikan oleh Atlantis Press pada Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 644. Artikel dalam bentuk full paper, dapat diakses pada link berikut:
https://www.atlantis-press.com/article/125970486.pdf

Agar keterbacaan artikel ini lebih luas, maka penting pula untuk mempublikasikannya dalam versi bahasa Indonesia. Semoga menjadi lebih berkah dan manfaat bagi segenap pihak yang berkenan untuk mengaksesnya.

dialogilmu

SEJARAH PERKEMBANGAN KITAB KUNING DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FILOLOGI

Abstract

Tulisan ini dilatar-belakangi realita minimnya riset tentang topik khusus kitab kuning yang dipublikasikan dalam jurnal bereputasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN); dan kecenderungan riset tentang kitab kuning yang didominasi perspektif pendidikan. Implikasinya, tulisan ini menelaah kitab kuning dari perspektif sejarah, dengan teknik analisis filologi yang meliputi kodikologi dan tekstologi. Ada dua temuan riset. Pertama, dari perspektif kodikologi, kitab kuning yang tersebar di Indonesia sejak abad ke-16 hingga ke-21 mengalami peningkatan secara konsisten dari segi variasi disiplin keilmuan, judul kitab dan media tulisnya. Sedangkan tujuan kitab kuning bermula dari materi dakwah, lalu menjadi materi pelajaran di pesantren, kemudian menjadi referensi dalam Bahtsul Masail, perkuliahan, perundang-undangan hingga fatwa MUI. Adapun penulis kitab kuning, berkembang dari yang semula berstatus non-Indonesia, terutama Timur Tengah, menuju penulis asli Indonesia. Kedua, dari perspektif tekstologi, banyaknya versi naskah kitab kuning, berimplikasi pada signifikansi kritik teks naskah jamak. Sedangkan kitab kuning yang sejak dulu hingga kini digunakan masyarakat akademis, terutama pesantren, menunjukkan sisi pragmatik, estetika resepsi dan dinamika resepsi dalam konteks edisi teks. Ketiga, Transliterasi dan Penerjemahan kitab kuning, bermula dari metode terjemah gandul yang memaknai kitab kuning yang berbahasa Arab dengan bahasa nusantara (Melayu, Jawa, Sunda, Madura) yang ditulis dengan aksara Arab (Pegon). Selanjutnya transliterasi dan penerjemahan kitab kuning semakin berkembang pesat, terutama dari aksara Arab ke aksara Latin dan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia.

Keywords: Kitab Kuning; Sejarah; Filologi; Kodikologi; Tekstologi.

Introduction

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam khas Indonesia (indigenous) yang tersebar di 34 provinsi. Berdasarkan Statistik Data Pondok Pesantren per 14 Februari 2021, jumlah pesantren mencapai 26.974 unit, santri mukim sebanyak 1.444.527 dan santri non-mukim sebanyak 1.202.556, sehingga total 2.647.083 santri. Provinsi yang memiliki pesantren terbanyak adalah Jawa Barat (8.343 unit, 148.987 santri mukim dan 306.728 santri non-mukim); Banten (4.579 unit, 60.897 santri mukim dan 96.042 santri non-mukim); Jawa Timur (4.452 unit, 323.293 santri mukim dan 241.006 santri non-mukim); Jawa Tengah (3.787 unit, 166.605 santri mukim dan 132.269 santri non-mukim); dan Aceh (1.177 unit, 124.922 santri mukim dan 50.974 santri non-mukim). 

Pesantren-pesantren tersebut memiliki titik temu dalam hal dasar pendirian (raison d’être), yaitu transmisi ajaran Islam yang termaktub dalam teks klasik Islam lintas disiplin keilmuan, termasuk komentar (syarah) dan super-komentar (hasyiyah)-nya. Di Indonesia, teks klasik Islam itu dikenal sebagai “kitab kuning” (yellow books) yang mengacu pada kertas warna kuning yang digunakan pada saat pertama kali tiba di Indonesia dari Timur Tengah.  Lebih dari itu, kesamaan kitab kuning yang diajarkan di berbagai pesantren, menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultur budaya dan praktik keagamaan di kalangan kiai dan santri di seluruh nusantara. 

Misalnya, dalam menetapkan fatwa hukum agama melalui forum Bahtsul Masa’il, kalangan pesantren senantiasa menjadikan kitab kuning sebagai rujukan primer melalui implementasi tiga prosedur baku. Pertama, jika suatu persoalan sudah dapat dijawab dengan suatu pendapat (qaul; wajh), maka pendapat itulah yang dijadikan fatwa hukum. Kedua, jika suatu persoalan dapat dijawab dengan banyak pendapat (aqwal; wujuh), maka dilakukan taqrir jama’i (keputusan kolektif) untuk memilih pendapat yang dinilai paling akurat sebagai fatwa hukum. Ketiga, jika suatu persoalan tidak dijumpai jawabannya secara langsung dalam bentuk ‘ibarah (teks) kitab kuning, maka dilakukan ilhaq, yaitu kontekstualisasi kitab kuning.  

Kendati posisi kitab kuning sedemikian signifikan, terutama bagi dunia pesantren, riset yang memfokuskan kajiannya terhadap kitab kuning tergolong minim. Realita ini peneliti jumpai saat menelusuri kata kunci “kitab kuning” dan “yellow book” pada 10 jurnal bereputasi (Sinta 1 dan 2) di sejumlah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) berikut:

Tabel 1: Data Riset Topik Khusus Kitab Kuning dalam Jurnal Bereputasi di PTKIN 

Jurnal

Artikel

Edisi

Ulul Albab, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Ita Musarrofa, “Analisis Wacana Kritis terhadap Fatwa Bahtsul Masa’il tentang Perempuan”

Vol. 18, No. 2, Tahun 2017: 135-160

JIIS (Journal of Indonesian Islam), UIN Sunan Ampel Surabaya

Ibnu Burdah, “Thariqah al-Tarjamah al-Wazhifiyyah al-Mu’jamiyyah al-Mu’allaqah

Vol. 5, No. 2, Tahun 2011: 353-376

Studia Islamika, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ervan Nurtawab, “The Decline of Traditional Learning Methods in Changing Indonesia: Trends of Bandongan-Kitab Readings in Pesantrens

Vol. 26, No. 3, Tahun 2019: 511-541

Affandi Mochtar, “Mulahadzah ‘Amah ‘an al-Kutub al-Safra’ fi al-Ma’ahid al-Diniyyah

Vol. 3, No. 2, Tahun 1996: 121-161

Walisongo, UIN Walisongo Semarang

Muhamad Jaeni, “The Nationalism of Javanese Muslim Clerics: Study on Nationalism Discourse of Kitabs by Kiais of North Coast of Central Java in the XIX-XX Centuries

Vol. 28, No. 1, Tahun 2020: 29-48

Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Muhammad Rikza Muqtada, “The Teaching of Religious Moderation in the Arba’in Hadith of Mahfuzh al-Tarmasi and the Arba’in Hadith of Hasyim Ash’ari

Vol. 27, No. 2, Tahun 2019: 121-131

Al-Jami’ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

-

-

Samarah, UIN Ar-Raniry Aceh

-

-

Jurnal Pendidikan Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

-

-

IJIMS (Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies), IAIN Salatiga

-

-

QIJIS (Qudus International Journal Of Islamic Studies), STAIN Kudus

-

-

Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat ditarik dua kesimpulan berikut:  

Pertama, minimnya riset tentang topik khusus kitab kuning yang dipublikasikan dalam jurnal bereputasi di PTKIN yang terakreditasi Sinta 1 dan 2. Ironisnya, justru orientalis Martin van Bruinessen yang begitu intens menghasilkan karya tulis terkait topik khusus kitab kuning. Antara lain: a) buku berjudul “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia”, Bandung: Mizan, 1995; b) book chapter berjudul “Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of a Tradition of Religious Learning”, dalam Wolfgang Marschall (ed.), Texts from the Islands. Oral and Written Traditions of Indonesia and the Malay World, Berne: University of Berne, 1994: 121-145; c) book chapter berjudul “Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning” dalam Lies M. Marcoes-Natsir & Johan Hendrik Meuleman (ed), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: INIS, 1993: 165-174; d) book chapter berjudul “Traditions for the Future: the Reconstruction of Traditionalist Discourse within NU”, dalam Greg Barton and Greg Fealy (eds.), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Clayton: Monash Asia Institute, 1996: 163-189; e) artikel berjudul “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu”, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 146 (1990): 226-269. 

Kedua, riset tentang topik khusus kitab kuning didominasi oleh perspektif pendidikan. Baik terkait metode pembelajaran, seperti riset Burdah (2011)   yang menyoroti metode utawi iki iku atau metode terjemah gandul untuk memaknai kitab kuning di pesantren dan riset Nurtawab (2019)   yang menelaah metode bandongan dalam pengajian kitab kuning; atau terkait isi kitab kuning, seperti riset Jaeni (2020)   yang mengkaji nilai-nilai nasionalisme dalam kitab kuning dan riset Muqtada (2019)   yang mengomparasikan pemikiran moderat dalam kitab kuning karya KH. Mahfuzh al-Tarmasi dan KH. Hasyim Asy’ari. Sedangkan riset Mochtar (1996)   bagaikan resensi umum terkait khazanah kitab kuning dan riset Musarrofa (2017)   membahas fungsi kitab kuning sebagai referensi primer dalam forum Bahtsul Masa’il. 

Implikasinya, tulisan ini akan menelaah kitab kuning dari perspektif sejarah perkembangannya di Indonesia, dengan teknik analisis filologi yang meliputi kodikologi dan tekstologi. Kodikologi berkaitan dengan seluk-beluk fisik naskah kitab kuning, seperti media tulis; sedangkan tekstologi berkaitan dengan isi kandungan (konten) teks kitab kuning, seperti rumpun keilmuan. Harapannya, tulisan ini dapat dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bereputasi terbitan PTKIN, untuk memperkaya riset ilmiah tentang topik khusus kitab kuning.

Discussion

Tulisan ini merupakan riset pustaka dengan pendekatan kualitatif yang ditujukan pada sumber data berupa literatur yang relevan dengan topik sejarah perkembangan kitab kuning di Indonesia. Baik ditulis oleh pakar muslim sebagai insider, maupun oleh pakar non-muslim sebagai outsider; baik berupa buku, artikel, esai, opini, berita, informasi maupun materi perkuliahan yang bertebaran di berbagai media offline dan online. 

Lalu bahan riset dianalisis dari perspektif filologi. Dalam konteks ini, peneliti mengacu pada materi perkuliahan filologi yang disampaikan secara online oleh Otong Sulaeman melalui youtube di akun “Otong Sulaeman”.    

Secara garis besar, filologi memiliki dua dimensi utama. Pertama, kodikologi atau studi naskah yang bersifat konkret. Kedua, tekstologi atau studi teks yang bersifat abstrak. 

Secara detail, kodikologi mencakup 18 topik: 

  1. Judul naskah; 
  2. Nomor naskah (semisal nomor naskah di perpustakaan nasional); 
  3. Bahan naskah (termasuk media tulis); 
  4. Watermark (cap air untuk mengetahui perkiraan tahun terbit); 
  5. Tempat penyimpanan naskah; 
  6. Asal naskah (hibah, pembelian, salinan); 
  7. Keadaan naskah (utuh, tidak utuh, baik, rusak); 
  8. Ukuran naskah (ditulis dengan ukuran centimeter, semisal 17,5 cm × 21,5 cm); 
  9. Tebal naskah (jumlah halaman); 
  10. Jumlah baris dalam setiap halaman (termasuk ukuran huruf; spasi); 
  11. Huruf atau aksara (jenis, ukuran, warna tinta, bahasa); 
  12. Bentuk teks (prosa, puisi); 
  13. Fungsi teks (menuangkan gagasan, mengikat ilmu, mengomunikasikan gagasan, memberikan tanggapan); 
  14. Fungsi naskah (semisal mushhaf al-Quran sebagai syarat prosesi pengambilan sumpah jabatan presiden); 
  15. Penulis (pengarang, muallif) dan Penyalin (juru tulis, warraq); 
  16. Sejarah penulisan dan penyalinan (biasanya terlihat pada kolofon); 
  17. Ilustrasi (gambar yang terkait isi naskah); 
  18. Iluminasi (gambar sebagai hiasan semata).

Sedangkan tekstologi mencakup 4 topik utama: 

  1. Kritik Teks terkait naskah tunggal maupun naskah jamak; 
  2. Edisi Teks, baik terkait kesalahan naskah yang meliputi: Lakuna (ada kata atau kalimat yang terlampaui); Substitusi (penggantian kata); Adisi (penambahan huruf atau sukukata); Omisi (huruf atau sukukata terlampui); Interpolasi (kata-kata disisipkan); Substitusi-Interpolasi; Ditografi (pengulangan sukukata atau kata yang sama); Metatesis (pertukaran urutan bunyi atau typo); maupun terkait nilai suatu teks bagi masyarakat dari segi pragmatik, estetika resepsi, dinamika resepsi maupun interteks; termasuk suatu karya pasti dihasilkan dari ruang budaya, bukan ruang hampa; 
  3. Transliterasi (peralihan aksara), seperti  aksara Latin ke Arab dalam bentuk Pegon atau sebaliknya; dan kata serapan, baik melalui proses Adopsi (mengambil sepenuhnya); Adaptasi (mengambil makna kata asing, lalu disesuaikan ejaannya); Penerjemahan maupun Kreasi (mengambil konsep dasar, lalu mengubahnya secara kreatif, seperti spare part diserap menjadi suku cadang); 
  4. Penerjemahan (peralihan makna atau pesan) yang berhubungan dengan teks sumber, bahasa sumber, teks sasaran, bahasa sasaran; akurasi terjemahan berdasarkan pemahaman penerjemah dan didukung editor bahasa maupun editor konten; serta bentuk terjemahan yang bagus, yaitu natural (tidak disadari pembaca bahwa itu adalah teks terjemah) dan efektif (diksi tepat, hemat, cermat, logis, paralel, sesuai budaya).

Sejarah Perkembangan Kitab Kuning dalam Perspektif Kodikologi

Dari 18 topik kodikologi yang dijadikan perspektif teoretis dalam tulisan ini, dapat disederhanakan menjadi tiga topik pokok terkait sejarah perkembangan kitab kuning di Indonesia. Pertama, Identitas teks dan naskah kitab kuning. Kedua, Fungsi teks dan naskah kitab kuning. Ketiga, Penulis-penyalin dan penulisan-penyalinan kitab kuning.

1. Identitas Teks dan Naskah Kitab Kuning

Judul Kitab dan Disiplin Keilmuan

Para ahli sejarah kesulitan untuk menemukan data terkait kitab kuning yang digunakan pesantren pada masa awal pertumbuhannya, yaitu masa Sunan Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M). Baru pada masa Sunan Giri, diperoleh sedikit informasi. Menurut riset Pesantren Luhur, Sunan Giri mengajarkan al-Qur’an, Hadis dan kitab sittina yang memuat hukum ibadah, terutama shalat. Sedangkan pada masa Demak (pertengahan abad ke-16), pesantren mengajarkan dasar-dasar ajaran Islam melalui kitab ushul nem bis, yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi 6 kitab yang dimulai dengan kalimat Bismi Allah al-Rahman al-Rahim, karya ulama Samarkand (Uzbekistan). Pesantren juga mengajarkan kitab tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi; suluk Sunan Bonang, suluk Sunan Kalijaga dan wasita jati Sunan Geseng dalam bentuk diktat yang ditulis tangan. Pada abad ke-18, pesantren di Mataram sudah menggunakan kitab Taqrib karya Abu Syuja’ dan Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghazali.  

Mulai abad ke-19 hingga abad ke-20, kitab kuning yang dipelajari di pesantren semakin variatif, baik dari segi judul kitab maupun disiplin keilmuan. Misalnya, menurut Bruinessen, pada abad ke-19, pesantren hanya menggunakan kitab tafsir al-Jalalain; sedangkan pada abad ke-20, ditemukan sepuluh kitab tafsir yang berbahasa Arab, Melayu, Jawa dan Indonesia. Demikian halnya dari segi disiplin keilmuan. Pada abad ke-19, kitab-kitab Hadis, tarikh (sejarah Islam), manthiq (logika), ushul al-fiqh dan falak tidak disebutkan sama sekali oleh Berg. Lalu kelima disiplin keilmuan tersebut berkembang pada abad ke-20.  

Pada abad ke-21, semakin banyak pesantren yang menggunakan “kitab putih” (al-kutub al-‘ashriyyah) sebagai rujukan. Yaitu kitab-kitab karya ulama kontemporer yang metode penulisannya mengikuti kaidah modern dan bersifat lintas mazhab. Misalnya, kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhaili yang diakui sebagai kitab mu’tabar (terpercaya) oleh para ulama pesantren pada saat Muktamar NU ke-31 di Boyolali tahun 2004; sehingga dapat dijadikan rujukan dalam Bahtsul Masail tingkat nasional.  

Paparan di atas menunjukkan bahwa sejarah perkembangan kitab kuning di Indonesia sejak abad ke-16 hingga ke-21 mengalami peningkatan secara konsisten dari segi variasi judul kitab maupun disiplin keilmuan.

Media Tulis dan Karakteristik Kitab

Bruinessen menyebut bahwa saat pertama kali tiba di Indonesia dari Timur Tengah, kitab kuning memakai media tulis berupa kertas berwarna kuning.  Sedangkan penggunaan kertas sebagai media tulis, dapat dilacak pada sejarah peradaban Islam secara global. 

Menurut Hitti, hingga awal abad ke-3 H, media tulis yang umumnya digunakan adalah perca (kulit binatang; perkamen) dan papirus. Pada abad ke-3 H, tepatnya tahun 751 M, beberapa tawanan Cina memperkenalkan seni pembuatan kertas dari flax, linen atau kain rami. Dari sini berkembang industri kertas yang pertama kali muncul di Samarkand, lalu menyebar ke Irak. Pada tahun 794 M (abad ke-8 M), pabrik kertas pertama berdiri di Baghdad. Kertas pun dipakai untuk menuliskan dokumen-dokumen resmi negara pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Pada akhir abad ke-10 M, kertas menggantikan perca dan papirus di seluruh wilayah umat muslim.  “Kertas Arab” atau “Kertas Islam” yang digunakan secara luas untuk penulisan berbagai dokumen dan buku, berimplikasi pada standarisasi bahasa Arab dan transisi budaya dari lisan menuju tulisan. Pada akhirnya, meningkatkan angka literasi, diseminasi sistem pengetahuan dan kualitas SDM. 

Dalam konteks kitab kuning, kertas ekspor dari China yang terbuat dari pohon murbei, digunakan sebagai bahan untuk penulisan manuskrip berbahasa Arab yang ditulis kisaran tahun 721/722 M hingga 780 M. Sedangkan penerbitan buku pertama secara manual, yaitu karya al-Razi pada abad ke-9 M yang menggunakan tiga jenis bahan, yaitu papirus (papyrus), perca (parchment) dan kertas (paper). Ibn al-Nadhim, seorang ahli bibliografi abad ke-10 M, menghimpun daftar buku-buku dan naskah-naskah yang ditulis menggunakan kertas dan tinta. 

Pada mulanya kertas yang digunakan untuk mencetak buku atau kitab Islami adalah kertas warna kuning, karena belum ditemukan teknologi kimiawi yang mampu menghasilkan kertas warna putih. Oleh sebab itu, kitab-kitab keIslaman dicetak dengan menggunakan kertas warna kuning. Dari sini, kitab-kitab keIslaman itu dikenal sebagai kitab kuning, meskipun saat ini sudah banyak kitab-kitab keIslaman tersebut yang dicetak dengan kertas putih. Di samping warna kuning memiliki sejumlah kelebihan, seperti tidak menyilaukan mata; penyebutan kitab kuning mengisyaratkan ciri-ciri khusus atau karakteristik yang melekat padanya.  

Ciri khas kitab kuning antara lain ukuran panjang dan lebar kertasnya sekitar 26 cm; tidak dijilid secara utuh, melainkan dijilid secara terpisah-pisah yang disebut dengan istilah koras. Konkretnya, setiap kitab kuning terdiri dari beberapa koras, sedangkan setiap koras memuat sekitar 8 hingga 20 halaman. Jadi, ketika mengikuti pengajian, santri cukup membawa koras yang dikaji, tidak perlu membawa seluruh koras kitab.   

Ukuran panjang dan lebar kertas yang digunakan kitab kuning tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Demikian halnya format penjilidan. Dari semula berupa koras, berkembang menjadi jilidan utuh seperti buku pada umumnya. Semua itu tergantung pada kebijakan penerbit. 

Adapun penerbit kitab kuning yang terkenal di Indonesia, antara lain: Al-Hidayah, Salim Nabhan (Surabaya), Lirboyo Press (Kediri), Maktabah al-Turats al-Islami (Jombang), Menara Kudus (Kudus), Toha Putra (Semarang), Al-Misriyya (Cirebon), Maktabah at-Turmusy Litturots (Depok) dan Dar al-Kutub al-Islamiyah (Jakarta). Akan tetapi, mayoritas kitab kuning yang diterbitkan merupakan cetak ulang dari kitab asli yang diterbitkan di Mekah, Kairo atau Beirut, seperti Dar al-Kutub, Dar al-Fikr, Dar al-Minhaj. 

Di sisi lain, ciri khas kitab kuning dapat dilihat dari periode waktu. Ada kitab kuning yang dilabeli sebagai kitab klasik (al-muqaddimah), yaitu kitab kuning yang disusun sebelum abad ke-19 M; dan kitab modern (al-‘ashriyyah), yaitu kitab kuning yang disusun setelah abad ke-19 M. 

Menurut Team PDP Tebuireng dalam Fawait (2015), ciri khas kitab klasik antara lain: 

  • a) Tidak mencantumkan tanda baca (koma, titik, tanda tanya); 
  • b) Tidak memakai alinea atau paragraf, melainkan memakai sistematika penulisan dari general ke spesifik, seperti kitab, bab, fashl, far’un, tanbih dan tatimmah.

Sedangkan ciri khas kitab modern antara lain: 

  • a) Memakai tanda baca yang membantu pemahaman; 
  • b) Isi kitab merupakan hasil studi literer yang merujuk pada banyak referensi.  

Perbedaan lain yang peneliti jumpai adalah: 

  • a) kitab modern dilengkapi daftar isi, catatan kaki (footnote) dan daftar pustaka; berbeda halnya dengan kitab klasik; 
  • b) kitab modern sudah dilengkapi dengan harakat (vokalisasi), sehingga mudah dibaca; berbeda halnya dengan kitab klasik yang tanpa harakat (gundul); 
  • c) kitab modern umumnya dicetak di kertas warna putih, sedangkan kitab klasik umumnya dicetak di kertas warna kuning.   

Seiring perkembangan teknologi, terjadi peralihan media tulis, dari kertas menuju paperless. Kitab kuning pun disajikan dalam bentuk paperless, seperti e-book yang tersebar di berbagai media online dan offline (umumnya berformat .pdf), software (seperti al-Maktabah al-Syamilah), hingga aplikasi khusus kitab kuning yang dapat diunduh melalui smartphone. 

2. Fungsi Teks dan Naskah Kitab Kuning

Pada prinsipnya, ajaran Islam terkandung dalam dua sumber. Pertama, sumber wahyu berupa al-Qur’an dan al-Hadis yang bersifat absolut, abadi dan tidak dapat diubah. Kategori ini disebut Islam normatif. Kedua, sumber ijtihad berupa kitab atau buku karya para pakar Islam, yang bersifat relatif, temporer dan dapat diubah. Kategori ini disebut Islam historis.  Dari sini dapat dipahami bahwa fungsi kitab kuning adalah elaborasi makna al-Qur’an dan Hadis, berdasarkan hasil ijtihad para pakar. 

Secara spesifik, Mochtar menyatakan bahwa pada abad ke-16 dan ke-17, kitab kuning diposisikan sebagai referensi dakwah. Kemudian mulai abad ke-18, kitab kuning difungsikan sebagai materi pelajaran di pesantren.  Pada abad ke-19, kitab kuning semakin mantap sebagai kurikulum pesantren. Lalu pada abad ke-20 hingga ke-21, kitab kuning berkembang di dunia akademik secara lebih masif. Antara lain difungsikan sebagai referensi perkuliahan di perguruan tinggi dan referensi primer forum Bahtsul Masail.   

Lebih dari itu, kitab kuning memiliki peran signifikan dalam skala nasional, terutama terkait perundang-undangan. Setidaknya ada dua bukti faktual. Pertama, kitab kuning menjadi sumber hukum formal dalam forum-forum pengadilan dan fatwa. Misalnya, pada abad ke-17 M, ketika Sultan Iskandar Muda (w. 1636) memerintahkan Kerajaan Aceh Darussalam (1607-1636 M), kitab kuning karya Nuruddin al-Raniri (w. 1658) yang berjudul al-Shirath al-Mustaqim, dijadikan sebagai pegangan umat muslim di Aceh dan wilayah-wilayah lain di Indonesia terkait fikih mazhab Syafi’i. Kedua, kitab kuning menjadi sumber material hukum nasional. Misalnya, kitab kuning menjadi salah satu sumber penyusunan undang-undang yang dipergunakan di Indonesia, seperti UU Perkawinan No. 14 tahun 1974 dan UU Pengadilan Agama No. 7 tahun 1989.  

Dalam menyikapi isu-isu nasional yang berkembang di masyarakat, sejak dulu hingga sekarang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara konsisten menggunakan kitab kuning sebagai landasan fatwa hukum yang dikeluarkan, di samping al-Qur’an, Hadis, Ushul Fikih dan Kaidah Fikih. Misalnya, Fatwa MUI No 02 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac Life Sciences, Co. Ltd China dan PT Biofarma, yang dinyatakan suci dan halal, sehingga boleh digunakan; mengacu pada lima kitab kuning, yaitu Syarah Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal; Tuhfatu al-Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami; Raudlatu al-Thalibin wa Umdatu al-Muftiin karya Imam al-Nawawi; Tahdzib al-Atsar karya Imam al-Thabari dan Irsyadu al-Sari ila Syarh Shahih al-Bukhari karya al-Qasthalani. 

3. Penulis-Penyalin dan Penulisan-Penyalinan Naskah Kitab Kuning

Dahlan (2018) menyebut bahwa kitab kuning mayoritas muncul setelah kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik dan al-Umm karya Imam Syafi’i. Ringkasnya, kitab kuning dalam pengertian kitab mutaqaddimah (klasik), ditulis oleh mujtahid mazhab maupun mujtahid muntasib pada abad ke-10 M hingga ke-19 M. Sedangkan kitab kuning yang ditulis pada abad ke-20 M, lebih tepat disebut kitab muta’akkhirah (modern), seperti kitab yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1915), KH. Mahfuzh Termas (w. 1919-20) dan KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947).  Sedangkan menurut Team PDP Tebuireng, kitab klasik (al-qadimah) merupakan karya ulama sebelum abad ke-19 M, sedangkan kitab modern (al-‘ashriyyah) merupakan karya ulama setelah abad ke-19 M. 

Kendati demikian, para peneliti dunia pesantren memiliki pemahaman umum bahwa kitab kuning adalah kitab agama Islam yang ditulis dengan bahasa Arab atau aksara Arab; dan dihasilkan oleh ulama klasik, yaitu sebelum abad ke-17 M, baik berasal dari Timur Tengah maupun Indonesia.  Jika ditelisi lebih jauh, penulis kitab kuning berasal dari berbagai wilayah Islam. Antara lain, India (semisal Syaikh Zainuddin al-Malibari, penulis Fath al-Mu’in); Mesir (Zakariya al-Anshari, penulis Fath al-Wahhab); Andalusia atau Spanyol (Ibn Malik, penulis Alfiyah Ibn Malik); Samarkand atau Uzbekistan (Imam Bukhari, penyusun Shahih Bukhari); dan sebagainya. 

Selanjutnya, terjadi transmisi ilmu keIslaman melalui kitab kuning dari Timur Tengah (terutama Makkah-Madinah) ke Indonesia yang dilakukan para ulama terkemuka.  Di samping mengajarkan kitab kuning karya penulis non-Indonesia, para ulama terkemuka asal Indonesia sukses menghasilkan karya kitab kuning secara mandiri. Di antara ulama terkemuka abad ke-16 M dan ke-17 M adalah Hamzah al-Fansuri (karya kitab kuning, Asrar al-‘Arifin), Syamsuddin al-Sumatrani (Jauhar al-Haqaiq), Yusuf al-Makassari (Safinah al-Najah). Pada abad ke-18 M, Abdus Shamad al-Palimbangi (Hidayah al-Salikin), Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (Sabil al-Muhtadin). Pada abad ke-19 M, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (al-Jawahir al-Naqiyyah), Syaikh Mahfuz al-Tarmasi (Kifayat al-Mustafid), Syaikh Nawawi al-Bantani (Nihayah al-Zain). Pada abad ke-20 M, KH. Hasyim Asy’ari (Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah), KH. Bisri Mustofa (al-Ibriz), KH. Ihsan Jampes (Siraj al-Thalibin). Pada abad ke-21, KH. Sahal Mahfudh (Thariqah al-Hushul), KH. Maimun Zubair (al-‘Ulama al-Mujaddidun) dan KH. M. Afifudin Dimyathi (Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir).

Transmisi ilmu keIslaman melalui kitab kuning yang dilakukan oleh para tokoh yang mengenyam pendidikan di tanah suci Makkah-Madinah tersebut, diabadikan dalam istilah yang populer digunakan untuk menyebut aktivitas pembelajaran kitab kuning, yaitu “mengaji”. Menurut Cak Nur dalam Amrizal (2018), mengaji merupakan bentuk kata kerja aktif dari “kaji”, bahasa Jawa dari kata “Haji”. Walhasil, mengaji bermakna “mengikuti jejak (orang) haji”, yaitu belajar agama Islam dengan bahasa Arab. 

Sejarah Perkembangan Kitab Kuning dalam Perspektif Tekstologi

1. Kritik Teks Kitab Kuning

Kritik teks meliputi naskah tunggal dan naskah jamak. Jika kitab kuning hanya memiliki satu versi naskah, maka disebut naskah tunggal. Jika kitab kuning memiliki banyak versi naskah, maka disebut naskah jamak. Saat ini, mayoritas kitab kuning termasuk naskah jamak, karena memiliki banyak versi sesuai dengan banyaknya penerbit.
 
Berbeda penerbit, berbeda pula format naskahnya, bahkan bisa jadi ada perbedaan teks. Misalnya, kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din yang diterbitkan oleh Dar al-Minhaj, Jeddah, Saudi Arabia, tahun 2011; menggunakan format eksklusif 8 jilid. Dilengkapi tanda baca, termasuk vokalisasi di akhir kata (i’rab), sehingga relatif lebih mudah dibaca. Sedangkan kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din yang diterbitkan Karya Toha Putra, Semarang, Indonesia, tanpa tahun terbit; menggunakan format 4 Jilid. Dilengkapi tanda baca, namun tanpa vokalisasi (harakat). Agak mirip dengan terbitan Pesantren Fathul ‘Ulum, Kediri, Indonesia, tanpa tahun terbit; menggunakan format 4 Jilid. Minim tanda baca dan tanpa vokalisasi, namun disertai makna terjemah gandul.
 
Sedangkan contoh perbedaan teks, ditemukan oleh KH. Thobary Syadzily yang mengidentifikasi tahrif pada kitab al-Ajurumiyyah, tepatnya nazham yang berbunyi “bi jahi Muhammad” yang berkonotasi tawasul kepada Rasulullah SAW; diganti dengan redaksi “bi hubbi Muhammad” yang berkonotasi cinta kepada Rasulullah SAW.  Dalam konteks filologi, yang demikian ini masuk kategori Edisi Teks. Yaitu penyalin dan penerbit kitab kuning, telah melakukan substitusi atau penggantian teks.
 
Berhubung kitab kuning memiliki banyak versi, maka pembaca perlu menerapkan kritik teks naskah jamak, agar dapat mengetahui terbitan kitab kuning yang dinilai paling akurat, di antara terbitan-terbitan lainnya. Apalagi jika membaca kitab kuning yang diterbitkan oleh penerbit yang berafiliasi dengan aliran Wahabi, sebagaimana bukti tahrif yang dipaparkan di atas. Hal ini dikarenakan pemahaman aliran Wahabi yang seringkali bertolak belakang dengan pemahaman ulama-ulama pesantren di Indonesia. 

2. Edisi Teks Kitab Kuning

Eksistensi kitab kuning dari masa ke masa, menunjukkan bahwa kitab kuning memiliki nilai pragmatik bagi masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, penggunaan kitab kuning sebagai materi pembelajaran di pesantren, bahkan kurikulum inti pesantren, mencerminkan estetika resepsi. Yaitu kitab kuning diterima dengan baik oleh para pakar dan kalangan terpelajar, utamanya para kiai yang menjadi pengasuh pondok pesantren di Indonesia. 
 
Toto Edi et al menyusun ensiklopedi yang mencakup semua buku daras berupa tergolong kitab kuning yang diajarkan di berbagai pesantren salafiyah di Indonesia; dikategorisasikan menjadi tujuh rumpun keilmuan, seperti yang peneliti ringkas pada tabel berikut: 

Tabel 2 : Rumpun Keilmuan dan Judul Kitab Kuning di Pesantren-Pesantren Indonesia

No

Rumpun Keilmuan

Contoh Kitab Kuning

1

al-Qur’an, Tajwid, Tafsir & Ilmu Tafsir

Hidayah al-Shibyan, Tuhfah al-Athfal, Fath al-Aqfal, Miftah al-Suhulah, Tafsir al-Jalalain, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Muhammad Abduh, Tafsir al-Munir, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Maraghi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Zubdah al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Faidhul Khabir wa Khulashah al-Taqrir, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an.

2

Hadis & Ilmu Hadis

Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, al-Muwaththa’, Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi, Bulugh al-Maram, Subul al-Salam, Jawahir al-Bukhari, Riyadh al-Shalihin, al-Arba’in al-Nawawiyah, Tanqih al-Qaul, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Mawa’izh fi al-Ahadits al-Qudsiyyah, Mukhtar al-Ahadits, al-Qawa’id al-Asasiyyah fi ‘Ilm Mushthalah al-Hadits, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits.

3

Ilmu Tauhid & Akidah

Syarah al-Hikam, Hujjah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Kifayah al-‘Awam, Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, al-Jawahir al-Kalamiyyah, al-Hushun al-Hamidiyyah, ‘Aqidah al-‘Awam, Durus al-‘Aqaid al-Diniyyah, Inarah al-Zhalam fi ‘Aqaid al-Islam, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala Umm al-Barahin, Syarah Tijan al-Darari.

4

Fikih, Ushul Fikih & (Qawa’id al-Fiqhiyyah)

al-Risalah al-Badi’ah fi Ushul al-Din, Syarah Safinah al-Najah, Fath al-Qarib, Syarah Sullam al-Taufiq, al-Minhaj al-Qawim, Fath al-Mu’in, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, Kifayah al-Akhyar, Fath al-Wahhab, Minhaj al-Muslim, Hasyiyah al-Bajuri, Syarah Bahjah al-Wasa’il, Syarah Tuhfah al-Thullab, Tarjamah Nazhm al-Fara’id al-Bahiyyah fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, al-Miftah fi ‘Ilm al-Faraidh, Mabadi’ Awwaliyyah, Hasyiyah al-Dimyathi ‘ala Syarh al-Waraqat, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh.

5

Akhlak & Tasawuf

Ta’lim al-Muta’allim, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, al-Nashaih al-Diniyyah, Bidayah al-Hidayah, Nashaih al-‘Ibad, Idhah al-Nasyi’in, al-Minah al-Saniyyah, Irsyad al-‘Ibad, Syarah Kifayah al-Atqiya’, Risalah al-Mu’awanah, Qami’ al-Thughyan, Taisir al-Khallaq, Washaya al-Aba’ li al-Abna’, al-Akhlaq li al-Banin, al-Akhlaq li al-Banat, Ihya’ ‘Ulum al-Din.

6

Nahwu, Sharaf, Balaghah & Manthiq

Matn al-Jurumiyyah, Syarah Mukhtashar Jiddan, Tashil Nail al-Amani, Nazhm al-‘Imrithi, Mutammimah al-Ajrumiyyah, Alfiyah Ibn Malik, Syarh Ibn ‘Aqil, al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Nazhm al-Maqshud, Syarh Nazhm al-Maqshud, Matn wa Syarh al-Kailani, ‘Unwan al-Zharf fi ‘Ilm al-Sharf, Qawa’id al-I’rab, al-Nahwu al-Wadhih, Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, Jauhar al-Maknun, al-Balaghah al-Wadhihah, Idhah al-Mubham, Nazhm al-Sullam al-Munauraq.

7

Tarikh dan Falak

Khulashah Nur al-Yaqin, Durus al-Tarikh al-Islami, al-Durus al-Falaqiyyah.

            
Aneka judul kitab kuning dan disiplin keilmuan yang tersaji pada Tabel 2, merepresentasikan estetika resepsi para pimpinan pesantren di Indonesia. Dalam teori filologi, semakin banyak estetika resepsi yang diterima suatu naskah atau teks, maka semakin berkualitas naskah atau teks tersebut.
 
Di sisi lain, terjadi dinamika resepsi di kalangan pesantren terhadap kitab kuning. Misalnya, di pesantren salaf (seperti Lirboyo), kitab kuning dikaji secara intensif; sedangkan di pesantren yang memiliki lembaga formal seperti Tebuireng, kitab kuning masih dikaji, namun tidak secara intensif layaknya pesantren salaf. Sedangkan di pesantren modern seperti Gontor, kitab kuning bisa jadi tidak lagi dikaji, karena sudah digantikan dengan diktat atau modul yang disusun oleh dewan pengajar.   
 
Dinamika resepsi juga terlihat pada penggunaan kitab kuning yang sebelumnya tidak dikaji di pesantren-pesantren. Misalnya, banyak pesantren yang menggunakan kitab al-Tadzhib fi Adillah Matn al-Ghayah wa al-Taqrib karya Musthafa Dib al-Bagha, karena mengulas dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang melandasi kitab al-Taqrib karya Abu Syuja’. Hal ini tidak lepas dari fenomena peningkatan kebutuhan dan kritisisme masyarakat terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis yang melandasi praktik beragama; bukan sekadar berdasar pada teks kitab kuning.   

3. Transliterasi dan Penerjemahan Kitab Kuning

Kitab kuning disebut juga kitab gundul, karena ditulis tanpa harakat, sehingga sulit dipahami oleh pembaca yang tidak menguasai bahasa Arab. Untuk mempermudah pemahaman, maka diterapkanlah metode terjemah gandul (al-tarjamah al-mu’allaqah; terjemah yang ditulis menggantung di bawah teks utama). Sedangkan bahasa yang digunakan antara lain bahasa Jawa, Madura, Sunda dan Melayu,  sesuai dengan bahasa pengantar utama yang digunakan dalam pesantren; kendati semuanya ditulis dalam aksara Arab. Dengan demikian, di samping menerjemahkan kitab kuning, metode ini juga mentransliterasikan bahasa nusantara (Jawa, Madura, Sunda, Melayu) ke dalam aksara Arab yang kemudian dikenal dengan sebutan Pegon.
 
Dari sini muncul format kitab kuning yang diberi makna gandul. Di pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, kitab kuning yang diberi makna gandul, populer dengan sebutan kitab kuning ala “Pesantren Petuk”, karena yang dinilai pertama kali memperkenalkan terbitan kitab kuning dalam format ini adalah Pondok Pesantren Hidayatut Thullab yang berlokasi di Dusun Petuk, Desa Puhrubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Setidaknya sudah ada 148 judul kitab yang diberi makna gandul. Antara lain yang populer adalah al-Ajurumiyah, Arba’in Nawawi dan Fathul Mu’in.  
 
Menurut Bruinessen dalam Burdah (2011), sekitar abad ke-16 M, ditemukan sejumlah kitab kuning yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu dengan metode gandul, antara lain: a) Satu kitab tentang hukum pernikahan; b) Qashidah Burdah karya al-Bushiri; c) al-Tamhid fi Bayan al-Tamhid karya Abu Syakur; d) al-Taqrib karya Abu Syuja’.  
 
Adapun pelopor kegiatan penerjemahan kitab kuning secara umum, yang dimulai pada abad ke-16 adalah Syaikh Abdul Rauf al-Singkili (1615-1693 M).  Yaitu melalui kitab tafsir al-Qur’an berjudul Turjuman al-Qur’an yang menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab (Pegon). Misalnya, saat menafsirkan Surat al-Fatihah, al-Singkili menulis:

اين سورة الفاتحة يائت توجه ايات ...
“Ini Surat al-Fatihah yaitu tujuh ayat”.  
 
Selain penerjemahan, kutipan kitab Turjuman al-Qur’an juga mencerminkan transliterasi dari bahasa Melayu dan aksara Latin ke bahasa dan aksara Arab.
 
Selanjutnya kegiatan penerjemahan kitab kuning berkembang pesat, terutama penerjemahan ke bahasa Indonesia dan aksara Latin. Misalnya, KH. Sahal Mahfudz dan KH. Mustofa Bisri, menerjemahkan kitab Mausu’ah al-Ijma’ yang diterbitkan Pustaka Firdaus Jakarta pada tahun 1987 dengan judul Ensiklopedi Ijma’.
 
Peneliti pribadi, ikut meramaikan aktivitas penerjemahan kitab kuning ke dalam bahasa Indonesia. Yaitu menerjemahkan karya KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian dipublikasikan dalam bentuk buku: a) Pendidikan Karakter ala Pesantren, terjemah Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim; b) Fiqih Munakahat Praktis, terjemah Dha’u al-Mishbah; c) Inti Fiqih Haji dan ‘Umrah, terjemah al-Manasik al-Shughra; d) Koreksi Peringatan Maulid Nabi SAW, terjemah Tanbihat al-Wajibat; e) Risalah Aswaja: Dari Pemikiran, Doktrin hingga Model Ideal Gerakan Keagamaan, terjemah Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Conclusion

Kontribusi tulisan ini adalah membuka tabir sejarah perkembangan kitab kuning di Indonesia dari perspektif filologi. Implikasi tulisan ini adalah mengundang para akademisi, terutama peneliti, untuk mengkaji topik kitab kuning secara lebih intensif dari berbagai perspektif keilmuan (inter-, multi-, dan trans- disipliner).
 
Perpaduan penelitian pustaka, lapangan dan pengembangan (R&D) dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dapat digunakan secara masif untuk mengeksplorasi khazanah kitab kuning yang masih minim perhatian. Harapannya, peningkatan perhatian masyarakat akademik terhadap kitab kuning, berdampak positif bagi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan Islam, khususnya pondok pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam khas Indonesia (indigenous) yang tersebar seantero wilayah nusantara tercinta.

Bibliography

  • Amrizal. 2016. “Eksistensi Tradisi Kajian Kitab Kuning dalam Lingkup Perubahan Sosial (Studi Kasus di Pesantren Darun Nahdhah. Darel Hikmah dan Babussalam).” Sosial Budaya 13(1): 73-88.
  • Bruinessen, Martin van. 1994. “Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of a Tradition of Religious Learning”. in Texts from the Islands. Oral and Written Traditions of Indonesia and the Malay World. ed. Wolfgang Marschall. Berne: University of Berne.
  • Burdah, Ibnu. 2011. “Thariqah al-Tarjamah al-Wazhifiyyah al-Mu’jamiyyah al-Mu’allaqah.” JIIS: Journal of Indonesian Islam 5(2): 353-376.
  • Chotimah, Chusnul. 2016. “Mobilisasi Intangibles Dalam Meningkatkan Kemandirian Ekonomi di Pondok Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan)” in Proceeding Pesantren Management and Development towards Globalization. M. Mujab et al. 1st International Conference of Pesantren, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 29th -30th July 2016. Malang: UIN-Maliki Press.
  • Dahlan, Zaini. 2018. “Khazanah Kitab Kuning: Membangun Sebuah Apresiasi Kritis.” Jurnal Ansiru PAI (3(1): 1-19.
  • Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. 8
  • Edi, Toto et al. 2007. Ensiklopedi Kitab Kuning. Jakarta: Aulia Press.
  • Fatikhin, Kholisul. 2021. “Nukilan Kitab Gundul Pondok Petuk Kediri Mendunia”. https://kediripedia.com. (February 20, 2021).
  • Fawait, Agus. 2015. “Reinventing Kitab Kuning sebagai Warisan Keilmuan Islam Nusantara”. Islamic Akademika: 1-16.  
  • Hitti, Philip K. 1989. History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present. London: Macmillan Education.
  • Islam, Muhammad Hifdil. 2019. “Islam and Civilization (Analysis Study on the History of Civilization in Islam).” Jurnal Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman 5(1): 22-39.
  • Jaeni, Muhamad. 2020. “The Nationalism of Javanese Muslim Clerics: Study on Nationalism Discourse of Kitabs by Kiais of North Coast of Central Java in the XIX-XX Centuries.” Walisongo 28(1): 29-48.
  • Mahfudh, MA Sahal. 2011. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS.
  • Majelis Ulama Indonesia (MUI). 2021. “Fatwa MUI No 02 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac Life Sciences, Co. Ltd China dan PT Biofarma”. mui.or.id (February 28, 2021).
  • Mochtar, Affandi. 1996. “Mulahadzah ‘Amah ‘an al-Kutub al-Safra’ fi al-Ma’ahid al-Diniyyah.” Studia Islamika 3(2): 121-161.
  • Muhammad, Ismail. 2019. “Analisis Isi Kitab al-Qur’an al-Karim wa Bihamisihi Turjuman al-Mustafid.” Al-Mu’ashirah 16(1): 12-21.
  • Muqtada, Muhammad Rikza. 2019. “The Teaching of Religious Moderation in the Arba’in Hadith of Mahfuzh al-Tarmasi and the Arba’in Hadith of Hasyim Ash’ari.” Ushuluddin 27(2): 121-131.
  • Musarrofa, Ita. 2017. “Analisis Wacana Kritis terhadap Fatwa Bahtsul Masa’il tentang Perempuan.” Ulul Albab: Jurnal Studi Islam 18(2): 135-160.
  • NU Online. 2015. “Perjalanan Kitab Putih Syekh Wahbah Hingga Muktamar NU”. www.nu.or.id (February 28, 2021).
  • NU Online. 2012. “Kitab Kuning”. www.nu.or.id (February 28, 2021).
  • Nurhayati, Aisatun. 2013. “Literatur Keislaman dalam Konteks Pesantren”. Pustakaloka 5(1): 106-124.
  • Nurtawab, Ervan. 2019. “The Decline of Traditional Learning Methods in Changing Indonesia: Trends of Bandongan-Kitab Readings in Pesantrens.” Studia Islamika 26(3): 511-541.
  • [PDPP] Pangkalan Data Pondok Pesantren Nasional. 2021. Statistik Data Pondok Pesantren. https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/statistik. (February 14. 2021).
  • Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
  • Qomari, Nur & Roihanah. 2016. “Sketsa Historis Posisi Kitab Kuning dalam Legislasi Hukum Islam di Indonesia.” Jurnal Pusaka 7: 54-68.
  • Saridewi, Dinia. 2016. “Masuknya Buku-Buku KeIslaman Timur Tengah ke Indonesia.” Jurnal Pustaka Budaya 3(2): 1-11.  
  • Shatzmiller, Maya. 2018. “The Adoption of Paper in the Middle East 700-1300 AD.” Journal of the Economic and Social History of the Orient 61: 1-32.
  • Sulaeman, Otong. 2021. “Filologi 1: Pengertian dan Ruang Lingkup”, “Tekstologi”, “Tekstologi (2)”, “Kritik Teks Naskah Tunggal dan Jamak”, “Edisi Teks 1”, “Edisi Teks 2”, “Edisi Teks 3: Interteks”, “Transliterasi”, “Penerjemahan”.https://www.youtube.com/channel/UCONMNXIf9Fi1Bj-Nhtyh9jg/videos. (February 14-17, 2021).
  • Syadzily, Muhammad Thobary. 2012. “Temuan Kitab-Kitab yang Mengalami Perubahan-Perubahan (Tahrif/Distorsi) dan Konsekuensinya”. Makalah dipresentasikan pada Halaqah Nasional Kiai Pondok Pesantren Ahlussunnah Wal Jama’ah. Bandung: Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah, December 14-15.

Posting Komentar untuk "Sejarah perkembangan Kitab Kuning di Indonesia dalam Perspektif Filologi"