Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dr. (H.C.) KH. Sahal Mahfudh Pati (1937-2014)

Jejak dari Buaian hingga Liang Lahad 

Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh bin Abd. Salam. Lahir di Kajen, Margoyoso, Kabupaten Pati, tanggal 17 Desember 1937. Ibunda, Hj. Badi’ah (w. 1945) dan ayahanda, Kiai Mahfudh (w. 1944). Keluarga ini mempunyai jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakkin, perintis agama Islam yang sangat terkenal di desa Kajen, bahkan di Kabupaten Pati. Kiai Mahfudh juga merupakan adik sepupu KH. Bisri Syansuri, salah seorang Rais ‘Amm PBNU (1972-1980) yang sangat disegani.

Kiai Sahal tumbuh di lingkungan kiai yang mendalam penguasaan kitab kuningnya (tafaqquh) dan luhur sopan santunnya (tawarru’). Kiai Sahal memiliki lima saudara, yaitu satu laki-laki (M. Hasyim) dan empat wanita (Hj. Muzayyanah, Salamah, Hj. Fadhilah , Hj. Khodijah). Sang ayahanda wafat ketika Kiai Sahal berusia 7 tahun. Setelah itu, Kiai Sahal diasuh oleh adik kakeknya, yaitu Kiai Nawawi.

Pada tahun 1968/69, Kiai Sahal menikah dengan Nyai Nafisah, putri KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fatimiyyah Tambak Beras Jombang. Setelah menikah, Kiai Sahal tetap sibuk mengajar, mengabdi di Nahdlatul Ulama (NU) dan melayani umat. Waktunya seolah habis untuk memberdayakan umat. Sedangkan Nyai Nafisah merintis usaha, menjual kain dan menjahit, di samping mengajar dan berceramah agama.

Kiai Sahal wafat pada pukul 01.05 WIB, hari Jum’at, 24 Januari 2014 pada usia 78 tahun dengan meninggalkan seorang putra bernama Abdul Ghaffar Razin dan dua cucu.

Jejak Akademik dan Non-Akademik

Pendidikan formal Kiai Sahal dimulai sejak usia 6 tahun, tepatnya bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949) dan Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) di Perguruan Islam Mathali’ul Falah, madrasah pimpinan ayah beliau.

Kiai Sahal melanjutkan studi di Pesantren Bendo Kediri selama empat tahun (1954-1957) di bawah asuhan Kiai Muhajir, salah seorang murid Syaikhona Kholil Bangkalan. Di Pesantren Bendo, Kiai Sahal memperdalam ilmu tasawuf dan fikih dengan mempelajari kitab Ihya’ Ulumuddin, Mahalli, Fathul Wahab, Fathul Mu’in, dan lain-lain. Ketika liburan, Kiai Sahal memanfaatkannya untuk kursus atau belajar mandiri, terkait administrasi, politik, ekonomi, bahasa Inggris hingga bahasa Arab. Kiai Sahal dikenal gemar membaca kitab kuning, buku-buku ilmiah, sosial-politik, novel detektif hingga majalah. Sewaktu mondok di Pesantren Bendo inilah, Kiai Sahal menunjukkan kemampuan belajar mandiri (muthala’ah) di atas rata-rata. Misalnya muthala’ah setelah Isya’ hingga pukul 22.00 WIB sambil jongkok; mengkaji kitab Minhaj yang jumlahnya 11 juz hingga khatam. Minat baca Kiai Sahal yang sangat tinggi ini, semakin terbukti dengan koleksi mencapai 1.800 buku di rumah beliau. Oleh sebab itu, beliau kurang berkenan ketika ada santri yang bertanya apa rahasia Kiai Sahal mendapatkan ilmu laduni. Menurut Kiai Sahal, jika ingin meraih ilmu laduni, maka setiap waktu harus membaca, membaca dan membaca.

Kemudian Kiai Sahal meneruskan studi di Pondok Pesantren Sarang Rembang di bawah bimbingan KH. Zubair (1957-1960). Di Pondok Sarang, Kiai Sahal lebih banyak belajar mandiri (muthala’ah). Beliau belajar langsung kepada Kiai Zubair tentang Ushul Fikih, Kaidah Fikih dan Balaghah (sastra Arab); bahkan beliau memiliki halaqah khusus dengan Kiai Zubair untuk mempelajari Al-Asybah wa al-Nazha’ir (Kaidah Fikih). Kiai Sahal juga belajar kitab Al-Hikam (tasawuf) kepada Kiai Ahmad. Pada waktu menunaikan haji, Kiai Sahal berkesempatan untuk berguru ilmu Hadis selama tiga bulan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram) kepada Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, seorang ulama Makkah yang sangat populer dan dikenal sebagai ahli Hadis.

Jejak Karier Organisasi

Dalam meniti karier organisasi, Kiai Sahal tidak ambisius maupun obsesif untuk meraih jabatan. Beliau memiliki moto: “Kalau diberi tanggung-jawab, dilaksanakan; kalau tidak, tidak apa-apa, asalkan tidak minta-minta, apalagi merekayasa jabatan tertentu”. Kiai Sahal sudah terlatih di bidang organisasi sejak usia sekolah. Di antara jabatan struktural yang pernah dipegang Kiai Sahal: 1) Ketua Koordinator Ma’arif NU Kecamatan Margoyoso; 2) Wakil Syuriah NU Cabang Pati; 3) Wakil Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pati; 4) Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah; 5) Rais Am Syuriah PBNU (1999-2004; 2004-2009; 2009-2014). Di luar NU, Kiai Sahal menjabat sebagai Ketua MUI Pati, Ketua MUI Jawa Tengah (dua periode), dan Ketua MUI Pusat (2000-2005 dan 2005-2010). Kiai Sahal juga dipercaya menjadi Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) tahun 2000-2005 dan Ketua DPS Asuransi Syariah Bumi Putera tahun 2002 hingga wafat, di samping menjabat sebagai Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara (sejak 1989).

Jejak Prestasi dan Legacy

Kiai Sahal merupakan pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati, Jawa Tengah, sejak tahun 1963. Sedangkan pesantren tersebut didirikan oleh ayah beliau, Kiai Mahfudh, pada tahun 1910.

Kiai Sahal merupakan sosok penulis produktif yang mampu menghasilkan banyak karya tulis. Laman resmi NU melansir setidaknya 10 (sepuluh) karya tulis yang berhasil diselesaikan Kiai Sahal ketika masih berusia 24-25 tahun. Pertama, Thariqat al-Hushul ‘ala Ghayatil Wushul (selesai 3 Maret 1961) di bidang Ushul Fikih. Kedua, al-Tsamarat al-Hajayniyah (26 September 1961) di bidang Fikih. Ketiga, al-Fawa’id al-Najibah (18 Oktober 1961) di bidang bahasa dan sastra Arab. Keempat, al-Bayanul Malma’ ‘an Alfazh al-Luma’ (Oktober 1961) di bidang Ushul Fikih. Kelima, Intifakhul Wadajayn ‘inda Munazharat ‘Ulama Hajayn fi Ru’yatil Mabi’ bi-Zujajil ‘Aynayn (1 Februari 1962) di bidang Fikih. Keenam, Faidh al-Hija ‘ala Nayl al-Raja (23 Mei 1962) di bidang Fikih. Ketujuh, terjemahan bahasa Jawa (Arab-Pegon) atas Qashidah Munfarijah di bidang bahasa dan sastra Arab. Kedelapan dan Kesembilan, Al-Murannaq dan Izalat al-Muttaham di bidang logika (manthiq). Kesepuluh, Anwarul Basha’ir di bidang Kaidah Fikih. Selain kitab-kitab berbahasa Arab, Kiai Sahal menghasilkan beberapa karya berbahasa Indonesia. Setidaknya ada empat buku berisi kumpulan berbagai artikel yang telah diterbitkan, antara lain: Nuansa Fiqih Sosial; Pesantren Mencari Makna; Wajah Baru Fiqh Pesantren; dan Dialog dengan KH MA Sahal Mahfudh: Telaah Fikih Sosial. Kiai Sahal juga pernah menulis buku bersama KH. A. Mustofa Bisri yang diberi judul Ensiklopedi Ijma’.

Di samping itu, Kiai Sahal aktif menulis di berbagai media massa, seperti Jawa Pos dan Majalah Aula. Bahkan memiliki kolom mingguan khusus di Suara Merdeka dengan judul “Dialog Fiqh”. Sedangkan karya tulis dalam bentuk makalah, hampir tidak terhitung jumlahnya. Setidaknya ada 46 risalah dan makalah yang tidak diterbitkan, antara lain: Strategi dan Pengembangan SDM bagi Institusi Non-Pemerintah; Mengubah Pemahaman atas Masyarakat; Arah Pengembangan Ekonomi dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Umat; iqh Sosial sebagai Alternatif Pemahaman Beragama Masyarakat; Filosofi dan Strategi Pengembangan Masyarakat di Lingkungan NU.

Kiai Sahal bukan hanya sekedar jago kandang, karena beliau memiliki kiprah internasional yang mengagumkan. Misalnya diberi mandat sebagai tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha Putra Utama (2000), dan tokoh Pemersatu Bangsa (2002). Bahkan Kiai Sahal pernah diberi penghargaan oleh WHO (World Health Organization) atau Organisasi Kesehatan Dunia dari PPB (Persatuan Bangsa-Bangsa) atas gagasan pendirian taman gizi yang menangani anak-anak balita.

Kiprah dan kontribusi besar Kiai Sahal akhirnya diakui secara resmi pada tanggal 18 Juni 2003, melalui penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa (H.C.) oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di bidang pengembangan ilmu Fikih serta pengembangan pesantren dan masyarakat.

Legacy utama Kiai Sahal yang dapat ditindak-lanjuti oleh generasi muslim Indonesia adalah Fikih Sosial yang merupakan produk jadi dari Ushul Fikih. Fikih Sosial berupaya memfungsikan ajaran Islam sebagai landasan pokok untuk merealisasikan kemaslahatan umum (al-mashlahah al-‘ammah) yang didasarkan pada lima prinsip pokok: Pertama, interpretasi teks-teks fikih secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermazhab, dari bermazhab secara tekstual (qauli) menuju bermazhab secara metodologis (manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar mana yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’). Keempat, Fikih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial. Hebatnya, Fikih Sosial yang digagas Kiai Sahal ini bukan sekedar teori, melainkan sudah terbukti secara praktis dengan hadirnya Pesantren Maslakul Huda, Rumah Sakit Islam Pati, dan Bank Perkreditan Rakyat Artha Huda Pati.

Referensi

Abidin, Zainul. Studi Analisis Pemikiran KH Sahal Mahfudh tentang Diperbolehkannya Memakai Minyak Wangi Beralkohol. Skripsi. Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus. 2016.
Asmani, Jamal Ma’mur. Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya: Khalista. 2007.
Muttaqin, Imamul. Studi Analisis terhadap Pendapat KH. MA. Sahal Mahfud tentang Wali Mujbir. Al-Hukama: The Indonesian Journal of Islamic Family Law. Volume 02, Nomor 01, Juni 2012.
Mahbib Khoiron, “Inilah 10 Kitab Karya Kiai Sahal Mahfudh”, http://www.nu.or.id/post/read/49894/inilah-10-kitab-karya-kiai-sahal-mahfudh [dikutip 9 September 2017].
http://news.detik.com/berita/2476743/kh-sahal-mahfudz-akan-dikebumikan-di-kompleks-waliyullah-ahmad-mutamakkin [dikutip 9 September 2017].
http://jqh.or.id/biografi-kh-ma-sahal-mahfudz/ [dikutip 9 September 2017].

Penyusun: Rosidin
http://www.dialogilmu.com