Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Surat Al-Fil (Bagian I)




Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com



Tafsir Surat al-Fil
Ilustasi Pasukan Gajah yang Dipimpin Abrahah, Penguasa Yaman

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (1) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (3) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ (4) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ (5)

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?. Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (Q.S. al-Fil [105]: 1-5)

Surat al-Fil sebagai Surat Makkiyyah

Surat al-Fil merupakan Surat Makkiyyah yang terdiri dari lima ayat. Sebagai Surat Makkiyah, maka nilai utama yang diajarkan adalah Akidah dan Akhlak. Terkait akidah, setiap muslim harus meyakini bahwa Allah SWT tidak akan “tinggal diam” ketika simbol-simbol agama Islam akan dirusak atau dilecehkan oleh manusia. Misalnya, Ka’bah merupakan rumah ibadah pertama yang dibangun di dunia (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 96). Pertama kali dibangun Nabi Adam AS, lalu disempurnakan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS. Selanjutnya dipugar lagi pada masa-masa Pra Kenabian.

Sejarah mencatat sejumlah upaya penghancuran Ka’bah, namun selalu gagal, karena dihalangi oleh Allah SWT. Sehingga muncul “keyakinan” di kalangan masyarakat Arab secara turun-temurun, bahwa apabila ada orang bermaksud buruk pada Ka’bah, maka akan dihalang-halangi oleh Allah SWT. Sebaliknya, apabila orang tersebut bermaksud baik, maka akan dimudahkan jalannya oleh Allah SWT. Di sinilah letak perbedaan antara Abrahah dan pasukannya yang bermaksud buruk pada Ka’bah, sehingga dihalang-halangi oleh Allah SWT; dengan Nabi Muhammad SAW dan para shahabat yang bermaksud baik pada Ka’bah, sehingga dimudahkan jalannya menguasai Ka’bah saat Fath al-Makkah (Pembebasan Kota Mekah). Akibatnya, banyak orang Arab Jahiliyah yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW dan para shahabat memang “direstui” oleh Allah SWT, sehingga mereka berbondong-bondong masuk Islam (Q.S. al-Nashr [110]: 1-2). 

Adapun akhlak utama yang dapat dipetik dari Surat al-Fil adalah menjauhi sikap-sikap yang tergolong buruk terhadap simbol-simbol agama Islam. Misalnya, pembuatan kartun Nabi Muhammad SAW; pemalsuan al-Qur’an; berpacaran di masjid; dan sebagainya. Sebaliknya, menunjukkan sikap-sikap pengagungan terhadap simbol-simbol agama Islam, sebagai bukti ketakwaan kepada Allah SWT (Q.S. al-Hajj [22]: 32).

Penamaan Surat al-Fil sebagai Surat Gajah

Surat ini diberi nama binatang, yaitu Al-Fil yang berarti “Gajah”. Ada tujuh Surat al-Qur’an yang diberi nama binatang, yaitu al-Baqarah (Sapi Betina) [2], al-An’am (Binatang Ternak) [6], al-Nahl (Lebah) [16], al-Naml (Semut) [27], al-‘Ankabut (Laba-Laba) [29], al-‘Adiyat (Kuda yang Berlari Kencang) [100] dan al-Fil (Gajah) [105].

Setiap binatang yang dijadikan nama Surat al-Qur’an memiliki keistimewaan tersendiri. Baik keistimewaan tersebut terletak pada binatang itu sendiri, maupun fungsinya sebagai media pembelajaran bagi manusia. Berikut ini ulasan tentang keistimewaan tujuh binatang yang menjadi nama Surat al-Qur’an.

Pertama, Al-Baqarah mengacu pada sapi betina yang digunakan oleh Nabi Musa AS sebagai perantara untuk menghidupkan seorang korban pembunuhan. Setelah hidup kembali, dia memberitahukan tentang siapa pelaku yang telah membunuhnya (Q.S. al-Baqarah [2]: 67-74).

Kedua, Al-An’am mengacu pada jenis binatang ternak khas Arab (unta, sapi dan kambing) yang banyak bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti untuk kendaraan dan makanan (Q.S. al-An’am [6]: 142).

Ketiga, Al-Nahl mengacu pada lebah yang memiliki kelebihan dari segi tempat tinggal, makanan dan produksi (Q.S. al-Nahl [16]: 68-69). Apa yang dikeluarkan oleh lebah mendatangkan banyak manfaat bagi manusia, antara lain: madu, royal jelly, tepung sari (bee pollen) dan propolis.

Keempat, Al-Naml mengacu pada kisah semut yang memerintahkan rekan-rekannya agar segera masuk ke sarangnya, agar tidak diinjak oleh rombongan Nabi Sulaiman AS (Q.S. al-Naml [27]: 18-19).

Kelima, Al-‘Ankabut mengacu pada perumpamaan bagi pelindung selain Allah SWT yang dinilai sedemikian rapuh, serapuh rumah laba-laba (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 41). Serangga apapun yang singgah di rumah laba-laba, keamanannya tidak terjamin, karena akan segera dimangsa oleh si laba-laba “tuan rumah”. Bahkan si laba-laba betina akan segera membunuh laba-laba jantan setiap selesai berhubungan badan dengannya.

Keenam, Al-‘Adiyat mengacu pada kuda-kuda perang yang berlari kencang menyongsong musuh, sehingga napasnya terengah-engah dan kuku-kuku kakinya berbenturan dengan bebatuan padang pasir hingga mengakibatkan percikan api (Q.S. al-‘Adiyat [100]: 1-2).

Ketujuh, Al-Fil mengacu pada gajah yang dijadikan binatang tunggangan oleh Abrahah, Penguasa Yaman yang memimpin penyerangan ke Ka’bah (Q.S. al-Fil [105]: 1).

Sesungguhnya gajah bukan binatang khas Arab, sehingga jarang sekali ditemukan di sana. Oleh sebab itu, ketika ada orang yang menunggang gajah, akan sangat berkesan bagi orang-orang yang melihatnya. Sebagaimana ketika ada kebun binatang di Indonesia yang memiliki pinguin, walaupun hanya sepasang, tentu akan cepat terkenal, karena pinguin bukan binatang khas Indonesia. Apalagi jika binatang tersebut terlibat dalam sebuah peristiwa besar, seperti upaya penghancuran Ka’bah yang menjadi ikon Jazirah Arab ketika itu. Bagi umat muslim, “Tahun Gajah” terasa akrab sekali di telinga, karena dijadikan sebagai tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW.


Kajian Tafsir Surat al-Fil Ayat 1


Alam Tara (Apakah Kamu Tidak Memperhatikan)

        Setidaknya al-Qur’an menggunakan tiga istilah yang mengacu pada penggunaan penglihatan. Pertama, Bashar. Kedua, Nazhar. Ketiga, Ru’yah. Ketiganya memiliki pengertian yang berbeda. Berikut ulasan berdasarkan pendapat al-Ashfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an.

Pertama, Bashar berarti melihat melalui penglihatan mata (bashar), namun hampir selalu diiringi penglihatan hati (bashirah), sehingga menghasilkan pengetahuan yang berdimensi lahiriah (eksoteris) sekaligus ruhaniah (esoteris). Misalnya, al-Qur’an memerintahkan umat muslim agar melakukan bashar pada diri sendiri (Q.S. al-Dzariyat [51]: 21). Hasilnya adalah pengetahuan tentang aspek fisik manusia sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu kedokteran; dan aspek psikis manusia sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu psikologi. Dengan demikian, ketika melihat orang lain melalui bashar, seseorang tidak hanya melihat penampilan fisiknya, melainkan juga aspek psikisnya.

Misalnya, Luqman al-Hakim secara fisik digambarkan serba kurang, yaitu memiliki tubuh sangat pendek, hidung pesek, berkulit hitam dan berkebangsaan Ethiopia (Habsyi). Namun keluhuran psikisnya serba lebih, antara lain tidak pernah berdusta seumur hidup, sehingga dianugerahi hikmah oleh Allah SWT dan namanya diberi tambahan gelar “Al-Hakim” yang berarti “Yang Bijaksana”. 

Kedua, Nazhar berarti memberdayakan penglihatan mata (bashar) dan penglihatan hati (bashirah) untuk memahami dan melihat sesuatu. Sehingga menghasilkan pengetahuan melalui proses penyelidikan dan pengujian terlebih dahulu. Tentu proses ini membutuhkan waktu yang lama; selaras dengan padanan kata nazhar, yaitu intazhara yang berarti “menunggu”. Agar pengetahuan yang diperoleh semakin kuat, maka dibutuhkan penyelidikan terhadap objek-objek yang sejenis; selaras dengan padanan kata nazhar, yaitu nazhir yang berarti “padanan”. Lalu pengetahuan yang diperoleh tersebut, didiskusikan lebih lanjut dengan pihak-pihak yang berkompeten, melalui proses diskusi (munazharah). Akhirnya menghasilkan pengetahuan yang relatif mapan dan teruji.

Misalnya, al-Qur’an memerintahkan umat muslim agar melakukan nazhar pada unta, langit, gunung dan bumi (Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 17-20). Melalui proses penyelidikan dan pengujian yang terus-menerus dalam kurun waktu lama, terhadap objek-objek yang sejenis, disertai diskusi panjang antar para ahli, akhirnya muncul disiplin keilmuan yang teruji, seperti biologi, zoologi, astronomi, meteorologi, vulkanologi, geologi, geografi, dan sebagainya.
Ketiga, Ru’yah berkenaan dengan proses melihat yang melibatkan empat alat: a) Mata; b) Imajinasi; c) Tafakur; d) Akal. Dengan kata lain, ru’yah berarti melihat sesuatu secara langsung melalui kontak mata atau pun secara tidak langsung melalui imajasi, termasuk melalui mimpi. Selanjutnya hasil penglihatan tersebut ditelaah lebih mendalam melalui tafakkur (perenungan) dan ta’aqqul (penalaran), sehingga menghasilkan pengetahuan yang diyakini kebenarannya dalam bentuk “pendapat atau opini (ra’yan)”.

Misalnya, perintah al-Qur’an agar umat muslim melakukan ru’yah terhadap peristiwa penyerangan Ka’bah yang dilakukan oleh Abrahah dan pasukannya (Q.S. al-Fil [105]: 1). Mengingat kita tidak melihat peristiwa tersebut secara langsung melalui kontak mata, maka kita dapat “melihat” melalui imajinasi dengan cara membaca kisah tersebut secara lengkap dari sumber-sumber yang terpercaya (mu’tabar). Lalu merenungkan dan menalar kisah tersebut hingga menghasilkan suatu pendapat atau opini pribadi yang meyakini bahwa setiap perbuatan yang bertujuan merusak simbol-simbol agama Islam, akan mendatangkan adzab dari Allah SWT, cepat atau pun lambat.

Kayfa (Bagaimana?)

Kayfa (bagaimana) merupakan kata tanya yang membutuhkan jawaban lengkap (komprehensif), karena mencakup tahap awal, proses dan hasil. Contoh sederhana, ketika ada orang bertanya, “Bagaimana memasak nasi?”, maka jawabannya mengharuskan pejelasan tentang tahap awal sebelum nasi dimasak, semisal beras harus dicuci terlebih dahulu; kemudian tahap proses memasak nasi yang membutuhkan tenaga api (kompor) atau tenaga listrik (rice cooker); hingga menghasilkan nasi yang siap dimakan.

Jika dikontekstualisasikan pada Surat al-Fil, maka seseorang membutuhkan pengetahuan tentang sebab-musabab dari peristiwa penyerangan Ka’bah. Dalam Tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa Abrahah selaku Penguasa Yaman, membangun gereja di Shan’a, agar jamaah haji berpaling dari Makkah ke Yaman. Kemudian seorang laki-laki dari Kinanah melakukan tindakan yang dipandang melecehkan gereja tersebut, yaitu melumurinya dengan kotoran unta. Akhirnya, Abrahah bersumpah akan menghancurkan Ka’bah. Lalu dia menghimpun para pasukannya untuk kemudian bergerak menuju Makkah. Namun hasilnya mengecewakan, karena diluluh-lantakkan oleh Allah SWT.

Pengetahuan yang berangkat dari kata tanya kayfa (bagaimana) akan menghasilkan pengetahuan yang komprehensif, sehingga sering digunakan sebagai kata tanya dalam rumusan masalah penelitian ilmiah (riset), seperti skripsi, tesis, disertasi hingga jurnal ilmiah. Lebih dari itu, kata tanya kayfa berkenaan dengan aspek epistemologi (filsafat ilmu) yang berhubungan dengan bagaimana cara belajar (“learning how to know”), bukan apa materi belajar (“learn to know”). Ibarat kata, kayfa membuat orang tertarik untuk belajar bagaimana cara memancing ikan; tidak tertarik untuk memperoleh ikan. Ketika seseorang menguasai cara memancing, maka tinggal menunggu waktu saja, suatu saat pasti dia akan memperoleh ikan juga. Contoh: Siswa yang gemar membaca buku berarti telah menjiwai kata tanya kayfa. Bisa jadi hari ini dia tidak memahami buku yang dibaca, namun suatu saat pasti dia akan memiliki pengetahuan yang lebih banyak daripada siswa yang tidak gemar membaca buku.  

Fa’ala Rabbuka (Tuhanmu telah Melakukan)

Salah satu kemukjizatan al-Qur’an adalah bahasa dan sastranya yang luar biasa. Misalnya, al-Qur’an menggunakan terma “fa’ala” (melakukan) ketika berkenaan dengan hal-hal yang berkonotasi “negatif”. Antara lain: Perbuatan yang dilakukan orang-orang bodoh (Q.S. al-A’raf [7]: 155); perbuatan Nabi Ibrahim AS yang menghancurkan berhala-berhala (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 59); perlakukan buruk saudara-saudara Nabi Yusuf AS (Q.S. Yusuf [12]: 89); perbuatan buruk yang dilakukan akibat berita yang belum melalui proses tabayun atau cek dan ricek (Q.S. al-Hujurat [49]: 6); perbuatan-perbuatan Nabi Khidhir AS yang sebelumnya “dipandang negatif” oleh Nabi Musa AS, sebelum mengetahui hakikat yang sebenarnya (Q.S. al-Kahfi [18]: 82). Demikian halnya adzab Allah SWT yang ditimpakan kepada kaum ‘Ad (Q.S. al-Fajr [89]: 6) maupun pasukan gajah (Q.S. al-Fil [105]: 1).

Dari data di atas dapat dipahami bahwa apa yang dipandang buruk (negatif) menurut penglihatan manusia, belum tentu buruk secara total. Bisa jadi, ada nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dipandang buruk oleh kaumnya, karena dinilai menghina “tuhan-tuhan” mereka; padahal justru hal itu dilakukan Nabi Ibrahim AS agar kaumnya sadar dari kesesatan akidah. Demikian juga apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir AS dipandang buruk oleh Nabi Musa AS yang sebelumnya belum mengetahui hakikat sebenarnya. Namun setelah mengetahui hakikat sebenarnya, beliau sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir AS adalah baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.  

Pemahaman seperti itulah yang seharusnya diterapkan untuk memahami mengapa Allah SWT menimpakan adzab kepada pasukan gajah. Artinya, ada hikmah tersembunyi di balik adzab tersebut. Apalagi kata fa’ala dalam ayat di atas, diikuti kata Rabbuka yang berarti “Tuhan Yang Maha Memelihara”. Jadi, adzab bukanlah ekspresi “kekejaman” Allah SWT, melainkan suatu peringatan dan pendidikan bagi umat manusia. Hanya saja, tidak semua insan mengetahui hikmah di balik adzab. Menurut Quraish Shihab, hal ini mirip dengan operasi amputasi yang dilihat oleh anak kecil yang masih belum matang akalnya (belum baligh). Anak kecil tersebut akan menilai bahwa amputasi merupakan perbuatan buruk, karena memotong tubuh manusia. Namun bagi orang dewasa yang sudah matang akalnya (sudah baligh), tentu akan menilai amputasi merupakan perbuatan baik, karena menyelamatkan nyawa manusia. Sedangkan nyawa lebih utama daripada sekedar tangan atau kaki yang diamputasi.

Oleh sebab itu, tugas manusia adalah menyibak hikmah-hikmah yang tersembunyi di balik setiap adzab yang ditimpakan oleh Allah SWT. Jangankan adzab, sakit saja yang belum tentu tergolong adzab, sudah mendatangkan banyak hikmah, seperti penghapusan dosa-dosa dan mencegah orang berbuat dosa. Di antara hikmah adzab yang ditimpakan oleh Allah SWT adalah sebagai peringatan bagi si pelaku, dan pelajaran bagi orang lainnya agar tidak meniru perbuatan yang memicu datangnya adzab tersebut. Inilah yang kerap disarankan oleh al-Qur’an melalui redaksi ayat “Maka perhatikanlah bagaimana akibat perbuatan”: orang-orang yang berdosa (Q.S. al-A’raf [7]: 84); orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al-A’raf [7]: 103); orang-orang yang zhalim (Q.S. Yunus [10]: 39); orang yang sudah diberi peringatan (Q.S. Yunus [10]: 73]; orang-orang yang berdusta (Q.S. al-Zukhruf [43]: 25); dan sebagainya.

Ashhab al-Fil (Pemilik Gajah)

Jika mengacu pada Tafsir al-Jalalain, redaksi “Ashhab al-Fil” mengacu pada pemilik gajah yang bernama Mahmud dan penunggang gajah yang bernama Abrahah, Penguasa Yaman. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang membantu suatu perbuatan, kendati hanya memberikan fasilitas dan akomodasi, akan mendapatkan perlakuan layaknya si pelaku perbuatan. Jika perbuatan yang dilakukan tergolong buruk, maka dia mendapatkan imbas dosa. Sebaliknya, jika perbuatan yang dilakukan tergolong baik, maka dia mendapatkan pahala. Hal ini semakna dengan kandungan Hadis berikut:

وعن أَبي هريرة رضي الله عنه: أنَّ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ : مَنْ دَعَا إِلَى هُدَىً، كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أجُورِ مَنْ تَبِعَه، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أجُورِهمْ شَيئاً. وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ، كَانَ عَلَيهِ مِنَ الإثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيئاً. (رواه مسلم)

Abu Hurairah RA meriwayatkan: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mengajak pada petunjuk (kebaikan), maka baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun. Barangsiapa mengajak pada kesesatan (keburukan), maka baginya dosa sebagaimana dosa orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun”. (H.R. Muslim).

Ringkasan Tafsir Surat al-Fil Ayat 1

Upaya penghancuran Ka’bah yang dilakukan oleh Abrahah dan pasukannya yang dikenal sebagai “Pasukan Gajah”, perlu dipahami secara lengkap dengan membaca kisahnya dari sumber terpercaya; baik terkait hal-hal sebelum, ketika maupun sesudah peristiwa tersebut terjadi; kemudian merenungkan dan menalarnya hingga memperoleh suatu pendapat atau opini yang diyakini kebenarannya, bahwa siapapun yang bermaksud buruk terhadap agama Allah SWT, pasti akan mengalami kegagalan, bahkan adzab dari Allah SWT. Adzab tersebut tertuju pada pelaku utama (seperti Abrahah dan pasukannya), maupun pelaku pendukung (seperti Mahmud, sang pemilik gajah yang dikendarai Abrahah). Hanya saja, adzab tidak mencerminkan “kekejaman” Allah SWT, melainkan suatu “peringatan keras” yang bertujuan mendidik manusia agar tidak berperilaku yang serupa.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Bersambung ke Bagian II

Singosari, 13 November 2017