Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hikmah Wafatnya Ulama



Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com


Hikmah Ulama Wafat
Wafatnya Ulama adalah Kehilangan Nyata bagi Umat Muslim

وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. ungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3).

Kata pertama adalah wawu qasam atau wawu yang menunjukkan makna sumpah. Jika diteliti lebih mendalam, bahwa seluruh ayat yang dimulai dengan qasam (sumpah), pasti merupakan sesuatu yang istimewa dan luar biasa, misalnya: “Demi Fajar”, “Demi Kota Makkah”, “Demi Matahari”, “Demi waktu Dhuha”. Tidak kecuali pada Surat al-‘Ashr ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu merupakan sesuatu yang sangat istimewa.

Lantas di mana letak keistimewaan “waktu”? Analisis bahasa Arab kembali mengemuka di sini; kata yang digunakan oleh al-Qur'an adalah al-‘ashr, bukan al-waqt. Kata al-‘ashr pada dasarnya bermakna waktu yang “diperas” sedemikian rupa, sehingga benar-benar optimal. Penulis memahami kata al-‘ashr sebagai “waktu yang berkualitas”.

Mengapa disebut waktu berkualitas? Karena ayat berikutnya menjelaskan bagaimana seharusnya kita mengisi detik tiap detik waktu dalam kehidupan sehari-hari. Jika gagal mengelola waktu dengan baik, maka ayat kedua mengingatkan bahwa manusia akan terjerumus pada kerugian. Perpaduan antara huruf taukid (lam) dan huruf jar (fa') pada redaksi lafi khusrinsungguh di dalam kerugian) mengisyaratkan bahwa keteledoran manusia terhadap waktu “pasti” akan berujung pada kerugian; bahkan oleh Quraish Shihab digambarkan bahwa orang yang demikian itu seolah-olah terkurung dalam “ruangan kerugian” (pemahaman ini mengacu pada penggunaan kata fi yang bermakna “di dalam”).

Selanjutnya ayat ketiga memberikan solusi bagaimana agar seseorang menjalani hidup dengan waktu yang berkualitas. Paling tidak ada empat elemen yang perlu dilaksanakan, yaitu: a) Iman; b) Amal; c) Saling berpesan akan kebenaran; d) Saling berpesan akan kesabaran. Di antara profil manusia yang berhasil mengamalkan Surat al-‘Ashr [103]: 1-3 ini adalah para ulama.

Sebuah kenyataan yang menyedihkan ketika tahun 2017 ini banyak ulama yang wafat. KH. Ja’far Shodiq asal Singosari, KH. Badruddin Anwar asal Bulu Lawang hingga KH. Hasyim Muzadi asal Kota Malang adalah nama-nama ulama di Malang Raya yang wafat.

Begitu sesarnya rasa kehilangan umat atas wafatnya para ulama dibuktikan dengan membludaknya para penta’ziyah yang mencapai ribuan demi mengiringi kepergian para ulama tersebut. Nilainya tidak terletak pada jumlah penta’ziyah yang hadir, melainkan jumlah penta’ziyah yang secara sukarela mendoakan ulama, setidak-tidaknya ikut serta mendirikan shalat jenazah. Sebab artis atau tokoh nasional, bisa jadi mengundang ribuan penta’ziyah, namun belum tentu sebanding dengan jumlah penta’ziyah yang ikut serta mendirikan shalat jenazah ulama yang dilakukan hingga puluhan gelombang. Oleh sebab itu, mari kita berdoa, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa para ulama dan menempatkan mereka pada derajat yang tinggi di sisi-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Ada beberapa hal yang patut kita renungi terkait wafatnya para ulama.

Pertama, wafatnya ulama adalah pertanda sempurnanya tugas ulama tersebut. Sebagaimana yang pernah terjadi pada diri Rasulullah SAW, tepatnya ketika turun Surat al-Ma’idah [5]: 3 yang memuat redaksi:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

Tiba-tiba Sayyidina Abu Bakar RA pulang ke rumah dalam keadaan murung dan sedih. Kemudian beliau mengunci pintu rumah dan sibuk menangis siang-malam. Setelah itu ada yang bertanya, “Kenapa engkau hanya menangis saja wahai Abu Bakar, padahal orang lain sedang bergembira karena agama Islam telah sempurna”. Abu Bakar RA menjawab bahwa ketika sesuatu itu sudah sempurna, maka akan mulai merosot. Lebih jauh Abu Bakar RA menjelaskan bahwa ayat tersebut (Surat al-Ma’idah [5]: 3) adalah indikasi bahwa sebentar lagi Rasulullah SAW akan wafat, mengingat tugas beliau sudah sempurna. Setelah mendengar penjelasan tersebut, akhirnya mereka berdua sama-sama menangis, karena bersedih akan ditinggal wafat oleh Rasulullah SAW.

Hal ini mirip dengan sebuah kisah hikmah, ada seseorang bertanya kepada orang bijak, “Wahai Syaikh, mengapa Allah mewafatkan ulama yang berperilaku terpuji, bukannya mematikan penjahat yang berperilaku tercela?”. Orang bijak menjawab, “Wahai anakku, jika engkau memanen apel, tentu engkau akan memanen apel yang sudah matang dan bagus, bukan apel yang masih mentah, apalagi dimakan ulat. Demikian halnya Allah SWT memanen ulama yang sudah matang dan bagus, serta memberikan kesempatan kepada kita yang masih belum matang”. 

Dari sini patut kita maknai bahwa apabila kita masih hidup hingga saat ini, berarti Allah SWT sedang memberi peluang agar kita bergegas mematangkan diri, terutama melalui jalur taubat dan ibadah.

Kedua, wafatnya ulama adalah simbol terangkatnya ilmu yang bermanfaat. Inilah yang diisyaratkan dalam Hadis Shahih Bukhari-Muslim berikut:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya secara langsung dari para hamba-Nya; melainkan Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama.

Wafatnya ulama merupakan suatu kehilangan yang besar, karena mereka sudah terbukti memiliki ilmu yang bermanfaat. Padahal tidak semua ilmu itu bermanfaat.

Setidaknya ada empat kategori ilmu: a) Ilmu yang berbahaya, semisal ilmu ekonomi yang digunakan untuk merusak ekonomi umat; b) Ilmu yang sia-sia, semisal kuliah di jurusan kedokteran, kemudian memilih profesi sebagai politikus dan tidak lagi mau mengobati pasien; c) Ilmu yang manfaatnya terbatas untuk diri sendiri, seperti halnya makanan yang hanya untuk mengenyangkan perutnya sendiri; atau manfaatnya terbatas pada orang lain saja, seperti halnya lilin yang dapat menerangi orang lain, namun membinasakan dirinya sendiri; d) ilmu yang bermanfaat secara luas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Inilah kategori ilmu yang dimiliki oleh para ulama. Mereka semakin tercerahkan melalui ilmunya, bersamaan dengan menerangi umat melalui ilmu mereka, sehingga mereka benar-benar telah menjadi manusia yang paling dicintai oleh Allah SWT, seperti sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar RA berikut:

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Manusia yang paling dicintai Allah SWT adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. (H.R. al-Thabarani)

Ketiga, wafatnya ulama berarti hilangnya lentera umat. Sebagai pewaris Nabi, ulama senantiasa memberi bimbingan dan arahan kepada masyarakat. Melalui nasihat dan fatwanya, ulama memberi panduan yang jelas kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika ulama sudah wafat, berarti menyisakan para pemimpin yang keruh nuraninya, sehingga kebijakan-kebijakan yang diputuskan tidak mencerahkan, justru membingungkan umat, bahkan menjerumuskan pada kesesatan, sebagaimana lanjutan Hadis Shahih Bukhari-Muslim di atas:  

حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.

Sehingga ketika sudah tidak tersisa orang alim, maka manusia menjadikan para pemimpin yang “sangat bodoh”. Lalu ketika mereka ditanya, mereka memberi fatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.

Keempat, wafatnya ulama berarti berhentinya sumber hikmah. Hikmah adalah intisari ilmu. Hikmah adalah buah ketika ilmu diiringi amal dan ibadah ritual diiringi ibadah sosial.

Hikmah bisa berwujud perilaku yang dikenang oleh umat sepanjang masa. Seperti KH. Hasyim Muzadi yang berhasil mendirikan Madrasah Kulliyatul Qur’an di Depok yang merupakan lembaga pendidikan pertama yang muridnya hanya diisi oleh mereka yang sudah hafal al-Qur’an 30 Juz. Dalam konteks ini, penulis teringat ilustrasi Abah Hasyim Muzadi yang menyebut bahwa beliau hanya bertugas sebagai “tukang selep gabah” (penggilingan padi) bagi padi-padi yang sudah ditanam, dirawat hingga dipanen oleh para ulama lain; sehingga menjadi beras yang siap dimasak.  

Bisa pula berupa tutur kata. Terkadang kata-katanya terdengar sederhana, namun meliputi banyak makna. Misalnya kalimat hikmah KH. Hasyim Muzadi: “Berdoa dan bekerja keras memang perintah Allah, dan Allah akan memberi anugerah; tapi bukan berarti doa dan kerja keras kita itu dapat memaksa Allah”. Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Orang yang berkorban untuk orang lain, tidak akan pernah menjadi korban kehidupan”. Sungguh tutur kata ini merupakan hikmah yang selaras dengan Hadis berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ بِمَا يَعْلَمُ وَرَّثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (حلية الأولياء)

Anas ibn Malik RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa mengamalkan ilmu yang diketahui, maka Allah menganugerahkan ilmu yang belum diketahui” (Hulyah al-Auliya’)

Kelima, wafatnya ulama berarti berkurangnya figur manusia yang tidak dikuasai hawa nafsu. Para ulama terbukti berhasil menjinakkan nafsu yang liar (nafs al-ammarah) hingga menjadi nafsu setengah jinak (nafs al-lawwamah), kemudian menjadi nafsu yang jinak (nafs al-muthmainnah).

Hal ini setidaknya dapat kita lihat pada para ulama yang memiliki rumah dan kendaraan sederhana dibandingkan kapasitasnya. Banyak ulama yang aslinya mampu membangun rumah bertingkat-tingkat, namun justru lebih memilih rumah sederhana.

Para ulama telah memberi contoh bagaimana cara menjinakkan nafsu. Misalnya ada seorang ulama yang tidak mau makan tempe bertahun-tahun, semata-mata karena beliau sangat menyukai tempe. Ada lagi ulama yang ketika berselera ingin makan tempe, justru beliau makan sate; sebaliknya, ketika beliau berselera ingin makan sate, justru beliau makan tempe. Sungguh bertolak-belakang dengan mayoritas manusia yang ketika berselera makan sate, dia pun makan sate. Artinya, ulama senantiasa tidak mengindahkan keinginan hawa nafsu, bahkan pada selera makan sekalipun. Hal ini bertolak belakang dengan mayoritas manusia yang lebih senang menuruti nafsu, seperti yang disindir dalam Surat al-Furqan [25]: 43

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا (43)  

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (Q.S. al-Furqan [25]: 43)

Keenam, wafatnya ulama berarti lenyapnya sosok pelayan umat. Bagi masyarakat luas, sikap pelayanan inilah yang membuat masyarakat secara sukarela memberi gelar ulama kepada seseorang. Meskipun seseorang memiliki ilmu setinggi langit dan sedalam lautan, tidak akan pernah diberi label ulama apabila belum melakukan pelayanan kepada umat. Watak pelayanan ini tergambar dalam istilah “khadimul-ma’had” (pelayan pesantren) yang digunakan sebagai “gelar” pengasuh pesantren.

Kiranya sikap ini belajar dari baginda Rasulullah SAW yang senantiasa memikirkan umat beliau, bahkan ketika menjelang detik-detik ajal tiba, beliau masih berseru lirih, “umatku, umatku, umatku”.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (128)  

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (Q.S. al-Taubah [9]: 128).

Ketujuh, wafatnya ulama perlu disikapi dengan peran serta dalam regenerasi atau reproduksi ulama di masa depan. Meskipun tidak semua orang mampu menjadi ulama, namun paling tidak kita perlu mengusahakan agar anak-anak kita tumbuh menjadi ulama. Salah satunya adalah memondokkan anak-anak di pesantren-pesantren.

Hanya pesantren lah yang saat ini terbukti mampu menghasilkan profil ulama, sedangkan lembaga pendidikan lain masih belum terbukti nyata. Seandainya jalur ini tidak bisa ditempuh, paling tidak memberikan kontribusi finansial dengan memberi beasiswa kepada para santri, agar mereka fokus belajar hingga benar-benar memahami agama Islam, sehinga layak menyandang status sebagai “ulama” di masa depan yang memberi pelayanan kepada masyarakat luas.

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122) التوبة

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q.S. al-Taubah [9]: 122).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wafatnya ulama merupakan salah satu tanda sempurnanya tugas yang diemban oleh ulama tersebut, terutama melalui jalur penyebaran ilmu yang bermanfaat ke tengah-tengah masyarakat luas, sehingga ulama menjadi lentera umat melalui hikmah-hikmahnya dalam bentuk perilaku maupun tutur kata. Hal ini dikarenakan ulama sudah memiliki nafsu yang stabil (nafs al-muthmainnah), sehingga orientasi kehidupannya tidak lagi egoistis, melainkan altruis, yaitu diabdikan untuk melayani umat hingga akhir hayat.

Mengingat begitu luar-biasanya ulama, sudah menjadi tanggung jawab kita yang masih hidup untuk ikut aktif berkontribusi dalam proses regenerasi ulama yang berpusat di pesantren-pesantren. Menurut keterangan Hadis riwayat Abu Darda’ RA, jalurnya hanya ada empat. Jangan sampai kita menjadi orang yang kelima. Berikut riwayat Hadis yang dimaksud:

كُنْ عَالِمًا، أَوْ مُتَعَلِّمًا، أَوْ مُسْتَمِعًا، أَوْ مُحِبُّا، وَلَا تَكُنِ الْخَامِسَةَ، فَتَهْلَكَ (الإبانة الكبرى لإبن بطة)

Secara kontekstual, Hadis ini menyeru kepada kita agar menjadi: a) seorang ulama, ahli ilmu; b) seorang pelajar, seperti santri atau siswa yang kesibukan utamanya adalah belajar di lembaga pendidikan; c) seorang pendengar ilmu, seperti peserta pengajian rutin di majlis ta’lim, di sela-sela kesibukan utamanya; d) seorang pecinta ilmu, seperti donatur atau orang tua asuh yang memberi bantuan finansial kepada pesantren ataupun santri. Jika menjadi orang yang kelima, yakni tidak berbuat apa-apa, berarti kita bagaikan petani yang tidak rela sawahnya terkena air irigasi.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.