Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Problematika Pendidikan Islam dalam Pandangan Muhaimin

Rosidin

PENDAHULUAN

Ada tiga batasan yang perlu disepakati terkait materi bahasan tulisan ini. Pertama, dari sisi sumber data, penulis mengacu pada beberapa karya Prof. Dr. H. Muhaimin MA., sebagai sumber data primer serta didukung oleh beberapa sumber data sekunder.
          
Kedua, ruang lingkup ‘Pendidikan Islam’ yang penulis bidik, mengacu pada pendidikan Madrasah dan pendidikan lanjutannya, seperti IAIN/STAIN/UIN. Hal ini didasarkan bahwa klasifikasi pendidikan Islam ditinjau dari wilayah program dan praktik pendidikan Islam di Indonesia yang meliputi [1]: 1) Pondok Pesantren atau Madrasah Diniyah; 2) Madrasah dan pendidikan lanjutannya, seperti IAIN/STAIN/ atau Universitas Islam Negeri (UIN) yang bernaung di bawah Departemen Agama (Kemenag); 3) Pendidikan Umum yang bernapaskan Islam, yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan yayasan dan organisasi Islam; 4) Pelajaran Agama Islam di sekolah/madrasah/Perguruan Tinggi sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah, dan/atau sebagai program studi; 5) Pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan/atau di forum-forum kajian ke-Islam-an, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya atau pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan nonformal dan informal. Argumentasi lainnya adalah pendidikan madrasah dan pendidikan lanjutannya sudah dirasa merepresentasikan pendidikan Islam, mengingat   kelima jenis pendidikan Islam di atas pada dasarnya bermuara pada satu pengertian yang utuh, yaitu pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan atas dasar hasrat, motivasi, dan semangat untuk memanifestasikan nilai-nilai Islam, baik nilai-nilai ketuhanan maupun kemanusiaan, melalui kegiatan pendidikan sebagaimana tercakup dalam lima program dan praktek pendidikan Islam di atas. [2]
          
Ketiga, konteks bahasan akan dikaitkan dengan wilayah kajian pendidikan Islam bermuara pada 3 problem pokok, yaitu: 1) Foundational problems, yang terdiri dari problem fondasi religius, filsafat, yuridis dan fondasi empiris/ilmiah yang menyangkut dimensi fondasi historis, sosiologis, psikologis, antropologis, ekonomi dan politik; 2) Structural problems, meliputi problem dari sisi struktur demografi dan geografis, struktur jiwa manusia, struktur ekonomi, struktur rumah tangga, struktur atau jenjang pendidikan, dan sebagainya; 3) Operational problems. Secara mikro menyangkut keterkaitan antara berbagai komponen dalam pendidikan Islam atau dari sisi hubungan input, proses dan output serta outcome. Secara makro, menyangkut keterkaitan pendidikan Islam dengan system social, politik, ekonomi, budaya dan agama, baik yang bersifat nasional maupun transnasional. [3] Hal ini dimaksudkan agar jawaban dari UAS memiliki relevansi yang kuat dengan judul mata kuliah bersangkutan, yaitu ”Pengembangan Pendidikan Islam (Kajian Fondasional dan Operasional)”.

PEMBAHASAN

A.           Harapan Terhadap Pendidikan Islam Di Masa Depan

Secara general, masyarakat berharap agar pendidikan Islam dapat berkembang secara  kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pendidikan Islam diharapkan tumbuh menjadi lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya dalam konteks pendidikan pada umumnya. Secara kualitatif, pendidikan Islam diharapkan tumbuh lebih baik, bermutu dan lebih maju. Lebih dari itu, pendidikan Islam diharapkan menjadi suatu bangunan keilmuan yang kokoh dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat nasional dan trans-nasional, serta pengembangan ipteks. Secara spesifik, harapan masyarakat terhadap keberadaan pendidikan madrasah adalah agar madrasah dapat memenuhi tiga kepentingan utama, yaitu: (1) Sebagai wahana untuk memperdalam ilmu ke-Islam-an serta membina roh atau praktik hidup ke-Islam-an; (2) Memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah agar dapat memenuhi atau bahkan melebihi standar nasional pendidikan; (3) Mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi maupun era informasi. [4]
          
Sedangkan aspirasi umat Islam terhadap pendidikan tinggi Islam pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1) untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah; (2) untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam; (3) untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama’ dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi Negara maupun sector swasta, serta lembaga-lembaga social, dakwah, pendidikan dan sebagainya. [5] Namun para perkembangan selanjutnya terdapat kecenderungan-kecenderungan baru untuk merespon berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang di masyarakat, antara lain: (1) Tuntutan akan studi ke-Islam-an yang mengarah pada pendekatan non-madzhabi, sehingga menghasilkan pemudaran sektarianisme. (2) Menyangkut pergeseran dari studi ke-Islam-an yang bersifat normative ke arah yang lebih historis, sosiologis dan empiris. (3) Menyangkut orientasi keilmuan yang lebih luas. [6] 
          
Berbagai aspirasi, harapan dan tuntutan masyarakat di atas sebenarnya mewakili masing-masing problem pendidikan Islam, baik foundasional, structural maupun operational. Misalnya, tuntutan akan studi ke-Islam-an yang mengarah pada pendekatan non-madzhabi bersinggungan dengan problem fondasional; aspirasi agar pendidikan tinggi Islam dapat melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama’ dan fungsionaris keagaamaan berkaitan dengan problem structural; sedangkan harapan agar madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan jelas berhubungan dengan problem operasional.

B.            Kritik Terhadap Pendidikan Islam Pada Masa Kini

Banyaknya kritik dan luasnya lingkup yang dikritik membuat penulis hanya memaparkan beberapa contoh kritik masyarakat yang ditujukan pada pendidikan Islam, khususnya terhadap aspek fondasional, struktural dan operasional.

1.             Kritik Terhadap Aspek Foundational Problems
          
Pada beberapa dekade yang lalu, kajian yang berkembang di PTI, sebagaimana tercermin dalam fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan yang ada, lebih menekankan pada pengembangan ilmu agama Islam dalam pengertian al-‘ulum al-naqliyah. Pengembangan semacam ini ternyata telah mendapat kritik, yaitu bahwa paradigma yang mendasari PTI tersebut dianggap kurang relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan pembangunan nasional, karena bersifat sangat sektoral, hanya memenuhi satu sector tertentu dalam kehidupan Islam di Indonesia, yaitu memenuhi kebutuhan akan sarjana-sarjana yang mendapatkan pengetahuan tinggi mengenai agama Islam. Dengan demikian, PTI lebih mengabadikan paham dualisme atau dikotomi, bahkan terjadi isolasi akademik. Di samping itu, PTI dengan paradigmanya tersebut dipandang belum memungkinkan untuk melahirkan manusia-manusia yang kompetitif dalam era globalisasi yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga PTI dituntut untuk dapat melahirkan manusia-manusia yang menguasai ipteks dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama Islam, yang hal ini merupakan pilar-pilar dari masyarakat madani. [7]
          
Paradigma di atas disebut juga dengan model paradigm formisme, yaitu paradigma yang mengembangkan pendidikan Islam pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi garapan pendidikan umum (non-agama). Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualism dalam system pendidikan, yaitu munculnya istilah pendidikan agama (Islam) dan pendidikan umum. [8]
          
Implikasi lain dari paradigm formisme ini adalah pendidikan Islam ditekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan), sedangkan sains (al-‘ulum al-kawniyah) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang digunakan lebih bersifat keagamaan yang normative, doktriner dan absolutis; sementara kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normative dan doktriner tersebut. Bahkan, pada lembaga IAIN pun, tampaknya masih lebih dekat dengan paradigm formisme. [9]
          
Kritik terhadap paradigm formisme memang patut dikedepankan, karena menjadi penyebab dikotomi pendidikan yang begitu akut dalam dunia pendidikan Islam. Padahal pendidikan Islam didasari suatu suatu pemikiran, bahwa ilmu adalah milik Allah, maka pendidikan Islam juga berasal dari Allah. Allah adalah pendidik yang pertama dan utama (al-Fa@tih{ah: 2) dan juga sebagai pengajar pertama (al-Baqarah: 31). Ayat-ayat ini menjadi sandaran teologis, bahwa pendidik yang sebenarnya itu adalah Allah, sedangkan peserta didiknya adalah seluruh makhluk-Nya. Semuanya harus tunduk pada tatanan atau aturan yang telah ditetapkan. Dia-lah pemilik ilmu yang sebenarnya, yang tersebar di seluruh jagat alam raya ini. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki manusia hanyalah “pemberian” dari Allah, baik langsung maupun melalui proses, baik secara historis-teologis-eskatologis maupun kausalitas.[10]
          
Implikasi dari pandangan di atas adalah al-‘ulum al-naqliyah maupun al-‘ulum al-‘aqliyah sama-sama bersumber dari Allah, sehingga keduanya harus diposisikan sejajar, dalam arti sama-sama penting untuk dipelajari umat manusia. Meminjam bahasa Prof. Muhaimin, al-‘ulum al-naqliyah berorientasi pada itba’ li syari’atillah, sedangkan al-‘ulum al-‘aqliyah berorientasi pada itba’ li sunnatillah. Perpaduan antara kedua keilmuan ini akan membawa pemiliknya layak mendapatkan status Ulul Albab sebagaimana yang tercermin dalam Surat Ali Imran: 190-191; bahkan mereka berkesempatan besar untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat seperti yang dicita-citakan melalui do’a dalam Surat Al-Baqarah: 200.

2.             Kritik Terhadap Aspek Structural Problems
          
Secara makro, pendidikan di Indonesia sedang dilanda krisis. Dalam hal pembangunan manusia yang indikatornya meliputi pendidikan, kependudukan dan kesehatan, UNDP dalam laporan mutakhirnya, Human Development Report 2000, hanya menempatkan Indonesia di peringkat 109 dari 174 negara. [11] Data ini sekaligus menunjukkan kelemahan pendidikan Islam yang merupakan salah satu bagian dari pendidikan di Indonesia.
          
Dalam skala nasional, kualitas lembaga pendidikan Islam masih sangat memprihatinkan, sebagaimana tampak pada keberadaan Madrasah. Keberadaan Madrasah dari tingkat Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs) sampai Aliyah (MA) di seluruh tanah air saat ini dalam keadaan sangat memprihatinkan. Indikatornya antara lain dari sisi ketersediaan guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) siswa hingga tidak adanya standarisasi mutu Madrasah. [12]
          
Demikian juga dapat memasukkan kritik-kritik yang menyangkut isu demokratisasi pendidikan, semisal madrasah-madrasah unggulan jarang sekali memberikan peluang kepada anak-anak muslim yang kurang mampu; selain itu, pendidikan Islam kerap tidak menyentuh keluarga-keluarga muslim yang tinggal di daerah terpencil, apalagi di luar pulau Jawa.

3.             Kritik Terhadap Aspek Operational Problems
          
Khursid Ahmad dan Mohammad Abdus Salam menggaris-bawahi perlunya kepedulian para pemikir dan pengembang pendidikan Islam untuk selalu mencari jawaban atas tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam saat ini, terutama menyangkut lemahnya system pendidikan Islam yang selama ini berjalan, yang produknya dianggap belum banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada era globalisasi. Lebih jauh, perkembangan iptek dan budaya saat ini justru didominasi oleh dan masih berada di tangan para ilmuwan, teknolog dan budayawan yang humanis, sebagai produk system pendidikan yang notabene kurang concern, commitment dan kurang apresiatif terhadap ajaran dan nilai-nilai fundamental dari agama Islam, sedangkan system pendidikan di dunia Islam lebih banyak berada pada posisi marginal dan bahkan berposisi sebagai konsumen belaka. [13]   
          
Sistem pendidikan kita juga menganut filsafat progressivisme atau dalam konteks filsafat pendidikan Islam disebut tipologi modernis, yang lebih bebas, terbuka, dinamis dan kritis, serta berupaya mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan kebutuhan zamannya. Dalam pengembangan kurikulumnya bersifat humanities, menekankan peningkatan kualitas individu secara optimal dan mampu berkompetensi dengan yang lain. Namun demikian, produk dari system pendidikan tersebut ternyata lebih menonjolkan kepentingan individual dan kurang menonjolkan aspek tanggung jawab kemasyarakatan, atau lebih menekankan learning to know, learning to do, learning to be, dan kurang mengarah ke learning to live together. Sebagai implikasinya, muncullah para individualis dan egoistis baru, serta muncul masyarakat kepentingan (gesselschaft), sehingga yang tampak di permukaan adalah timbulnya konflik kepentingan-kepentingan, baik kepentingan individu, kelompok, agama, etnis, politik maupun kepentingan lainnya. Sedangkan nilai-nilai koperatif dan kolaboratif sebagai karakteristik masyarakat paguyuban, yang termasuk ciri khas masyarakat Indonesia, sudah mulai ditinggalkan. [14]
          
Sistem pendidikan yang berlangsung selama ini lebih banyak menekankan dimensi transfer ilmu (pengetahuan), sedangkan aspek internalisasi dan amaliah (implementasi) belum banyak tergarap untuk membangun suasana masyarakat yang memiliki the bound of civility (ikatan keadaban atau tata krama) yang merupakan cirri masyarakat madani. System pendidikan kita juga lebih menekankan peningkatan kualitas individu secara optimal dan mampu berkompetisi dengan yang lain, tetapi nilai-nilai kooperatif dan kolaboratif sebagai karakteristik dari masyarakat paguyuban sudah mulai ditinggalkan. [15]
          
Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai insan (budaya manusia) dan nilai-nilai Ilahi (agama) adalah penting, sebagai pengembangan dari filsafat pendidikan Essensialisme dan Perenialisme, atau dalam konteks pendidikan Islam termasuk dalam pengembangan tipologi Perenial-essensialis mazhabi. Hanya saja dalam pengembangan kurikulumnya ternyata terjebak pada pengembangan subyek akademik semata, yakni pencarian, penggalian, penguasaan ilmu pengetahuan hanya terbatas pada upaya melestarikan dan mempertahankan apa yang telah dihasilkan oleh para pemikir dan ilmuwan sebelumnya, serta pembelajarannya lebih berorientasi pada hafalan dan drill. Di IAIN/STAIN, agaknya belum pernah muncul Ushul Fiqih atau Qawa’id al-Fiqhiyyah, ‘Ulum al-Qur’an, ‘Ulum al-Hadits, Ilmu Kalam dan sebagainya yang baru. Yang ada hanya terbatas pada upaya transfer ilmu, belum banyak dibarengi dengan upaya internalisasi dan amaliah  (implementasi), sehingga terlepas dari landasan filosofisnya yang menghendaki ketiganya (transfer ilmu atau nilai insane dan Ilahi, internalisasi dan amaliah) merupakan satu kesatuan yang utuh. [16]
          
Di sisi lain, jika mencermati fenomena social dan cultural yang actual, yang nota bene juga merupakan bagian dari produk pendidikan, juga cukup memprihatinkan. Pada saat ini masih banyak orang yang cerdas, terampil, pintar, kreatif, produktif dan professional, tetapi tidak dibarengi dengan kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual serta keunggulan akhlak. Sebagai indicator, akhir-akhir ini banyak isu tindak kekersan, anarchisme, premanisme, tindakan brutal, perkelahian antar pelajar, konsumsi minuman keras, narkoba, yang sudah melanda di kalangan pelajar dan mahasiswa, serta kriminalitas yang semakin hari semakin menjadi-jadi dan semakin rumit. Selain itu, ada pula isu white collar crimes (kejahatan kerah putih atau kejahatan yang dilakukan misalnya oleh para guru, eksekutif, birokrat, politisi atau yang setingkat dengan mereka), isu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), dan lain-lain. [17]
          
Kritik-kritik yang senada juga dilontarkan oleh Mochtar Bukhari, Rasdianah, M. Amin Abdullah, Komaruddin Hidayat, dan para pakar lainnya. [18]
          
Menurut hemat penulis, kritik para aspek operational problems ini diarahkan pada: a) Dari sisi input, rendahnya SDM yang bersinggungan dengan pendidikan Islam, semisal profesionalisme guru yang masih rendah; b) Dari sisi proses, pembelajaran bersifat teacher oriented dan lebih mengedepankan transfer of knowledge. Selain itu, proses pendidikan cenderung mengarahkan peserta didik menjadi pribadi-pribadi yang individualis-egoistis; c) Dari sisi output, banyak lulusan pendidikan Islam yang mengerti ilmu agama Islam, tapi tidak menjalankan perilaku Islami; munculnya pribadi-pribadi yang split personality, menggabunggkan antara ke-shalih-an dengan ke-thalih-an. Selain itu, muncul pribadi-pribadi yang memiliki sifat idividualis-egoistis yang tinggi, sehingga tidak jarang mengakibatkan konflik-konflik di masyarakat.

C.           Alternatif Problem Solving
          
Secara umum, alternatif untuk menjawab berbagai kritik di atas antara lain: 1) Mengembangkan pendidikan Islam yang dapat memiliki kontribusi signifikan bagi pembangunan masyarakat dan pengembangan ipteks; 2) Mengembangkan model-model pendidikan Islam yang lebih kreatif dan inovatif, dengan tetap komitmen terhadap dimensi-dimensi fondasionalnya sebagai landasan bagi pengembangan pendidikan Islam; 3) Menggali masalah-masalah operasional dan actual pendidikan Islam untuk dibidik dari dimensi-dimensi fondasional dan strukturalnya; 4) Mengembangkan pemikiran pendidikan Islam yang tertuang dan terkandung dalam literature-literatur pendidikan Islam. [19]  Secara spesifik, ada beberapa alternative problem solving yang ditawarkan oleh para pakar pendidikan Islam sebagaimana tersaji di bawah ini:

1.             Alternatif Problem Solving terhadap Foundational Problems
          
Kritik terhadap paradigm (formisme) yang dianut oleh PTI selama ini menggarisbawahi perlunya PTI pada tataran operasional dibangun agar lulusannya mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan di seluruh bidang keahlian, serta berada pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Dalam arti, agar lulusan PTI mampu berkiprah dalam forum mana pun, maka perlu dikembangkan bidang-bidang tugas yang lebih luas, yang meliputi penyiapan calon-calon ulama/agamawan, teknolog, dokter, psikolog, budayawan atau sasterawan, ekonom, sosiolog, saintis dan ulama yang berperspektif Islam. [20]
          
Untuk mereduksi bahkan mengeliminasi model paradigm formisme yang dikotomik di atas, maka pendidikan Islam harus dikembangkan ke arah paradigm organisme, yaitu paradigm yang memandang bahwa pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai system yang berusaha untuk mengembangkan pandangan/semangat hidup Islam, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami. Paradigm organism ini menggaris-bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrins dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah al-Shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau menerima kontribusi pemikiran dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisitasnya. [21]       
          
Kesimpulannya, paradigma formisme yang selama ini masih mendominasi lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti IAIN, perlu segera dikembangkan ke arah paradigma organism yang lebih tepat untuk diterapkan dalam menghadapi persaingan global di era kontemporer ini.

2.             Alternatif Problem Solving terhadap Structural Problems
          
Solusi untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam adalah dengan cara mengembangkan sekolah Islam/madrasah yang unggul atau sekolah berprestasi. Dalam literature pendidikan, sekolah unggul diistilahkan dengan effective school, good school atau the moving school. Karakteristik dari sekolah Islam/madrasah unggul antara lain: [22]
          
Pertama, dari aspek Output: (a) Prestasi Akademik ditunjukkan dengan NUN, lomba karya ilmiah, lomba mata pelajaran, cara-cara berpikir; (b) Prestasi non akademik ditunjukkan dengan keingin-tahuan yang tinggi, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesame, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga dan kesenian, kepramukaan, dan lain-lain;
          
Kedua, dari aspek Proses: (a) Proses belajar pembelajaran efektif; (b) kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang kuat; (c) lingkungan sekolah/madrasah yang aman dan tertib; (d) pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif; (e) memiliki budaya mutu; (f) memiliki team work kompak, cerdas, dinamis; (g) memiliki kemandirian; (h) adanya partisipasi yang tinggi dari masyarakat; (i) mempunyai keterbukaan; (j) mempunyai kemauan untuk berubah baik secara psikologis maupun fisik; (k) melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan; (l) responsive dan antisipatif terhadap kebutuhan; (m) mempunyai komunikasi yang baik; (n) mempunyai akuntabilitas; (o) memiliki dan menjaga sustainabilitas dalam program dan pendanaan.
          
Ketiga, dari aspek Input: (a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas; (b) adanya sumber daya yang tersedia dan siap; (c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi; (d) memiliki harapan prestasi yang tinggi; (e) focus pada pelanggan (khususnya siswa); (f) adanya input manajemen, yang ditandai dengan tugas yang jelas, rencana rinci dan sistematis, program yang mendukung pelaksanaan rencana dan system pengendali mutu yang efektif.

3.             Alternatif Problem Solving terhadap Operational Problems
          
Secara spesifik, harapan masyarakat terhadap keberadaan pendidikan madrasah adalah agar madrasah dapat memenuhi tiga kepentingan utama, yaitu: (1) Sebagai wahana untuk memperdalam ilmu ke-Islam-an serta membina roh atau praktik hidup ke-Islam-an; (2) Memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah agar dapat memenuhi atau bahkan melebihi standar nasional pendidikan; (3) Mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi maupun era informasi. [23]
          
Pemahaman terhadap tujuan pertama akan berimplikasi pada tujuan kedua dan ketiga. Tujuan kedua adalah untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam. Makna dakwah Islam tidak lagi tereduksi menjadi dakwah dalam arti mengomunikasikan al-‘ulum al-naqliyah (perennial knowledge), tetapi juga bagaimana al-‘ulum al-naqliyah member spirit dan landasan, serta ancangan bagi pengembangan al-‘ulum al-‘aqliyah yang meliputi arts (ilmu-ilmu imajinatif), ilmu-ilmu intelektual, ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu terapan dan ilmu-ilmu praktis. [24]    
          
Sedangkan tujuan ketiga adalah untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama. Pemahaman tentang ulama bukan lagi terbatas pada mereka yang hanya menguasai al-‘ulum al-naqliyah, melainkan juga mereka yang menguasai al-‘ulum al-‘aqliyah atau ilmu kauniyah, serta menjadikan al-‘ulum al-naqliyah sebagai landasan, spirit dan ancangan bagi dan mewarnai pengembangan al-‘ulum al-‘aqliyah atau ilmu kauniyah. [25]
          
Dilihat dari sudut pandang tersebut, maka studi ke-Islam-an mengalami pemekaran makna, yaitu: (1) Studi Islam sebagai upaya kajian terhadap sumber ajaran Islam atau ayat-ayat naqliyah/qauliyah yang terhimpun dalam al-Qur’an dan al-Sunnah; (2) Studi Islam sebagai upaya kajian terhadap ayat-ayat kauniyah yang mencakup gejala-gejala kealaman, social dan humanities; (3) Studi Islam sebagaimana yang dialami, diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan. [26]   


D.           Tawaran Langkah-Langkah Operasional

1.             Langkah-langkah Operasional dalam Aspek Foundamental Problems
          
Secara embrional kritik terhadap paradigm formisme telah direspon pada jenjang pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah) dan pendidikan menengah (Madrasah Aliyah) melalui upaya pengembangan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Sebagai sekolah umum, maka madrasah dituntut untuk memiliki kualifikasi yang sama dengan sekolah umum, baik dari segi sumber daya manusia, kurikulum, sarana/prasarana, dan sebagainya. Sedangkan sebagai sekolah dengan kekhasan Islam, maka ia tetap mengembangkan: (1) Mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari Pendidikan Agama Islam, yaitu Al-Qur’an Hadis, Aqidah-Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab; dan (2) Suasana keagamaannya, yang berupa: suasana kehidupan madrasah yang Islami, adanya sarana ibadah, penggunaan metode atau pendekatan religious dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang memungkinkan; dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak mulia, di samping memenuhi kualifikasi sebagai guru/pendidik berdasar ketentuan yang berlaku (Baca: UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru). [27] 
          
Jadi, model paradigm organism sudah mulai dirintis dan dikembangkan dalam system pendidikan Islam di Madrasah. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu: (1) Sebagai wahana untuk memperdalam ilmu ke-Islam-an serta membina roh atau praktik hidup ke-Islam-an; (2) Memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan system sekolah sebagai wahana pembinaan warga Negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif; (3) Mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi. [28]
          
Menyikapi tiga kepentingan yang ditujukan pada pendidikan madrasah di atas, agaknya akan sulit segera terwujud bila tidak dibarengi penyiapan sumber daya manusia. Implikasinya, Kementerian Agama dituntut mengembangkan kelembagaan PTI sebagai perguruan tinggi umum yang berciri khas agama Islam, yang di dalamnya dikembangkan “program-program studi umum”. Tuntutan tersebut rupanya secara bertahap dijawab melalui kebijakan PTI (STAIN dan IAIN) with Wide Mandate, lalu secara legal formal terjawab dengan lahirnya UIN. [29] 

2.             Langkah-langkah Operasional dalam Aspek Structural Problems
          
Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan dalam mengembangkan sekolah/madrasah berprestasi adalah: [30] 
          
Pertama, Membangun berbagai kekuatan di sekolah/madrasah, yang meliputi: (a) memiliki guru yang mempunyai kompetensi, dedikasi dan komitmen yang tinggi; (b) memiliki siswa yang berprestasi, yakni siswa yang berprestasi lahir dari proses pembelajaran yang kreatif dan efektif; (c) mengembangkan sumber belajar yang tidak hanya berpusat pada guru; (d) memiliki budaya sekolah/madrasah yang kokoh; (e) memiliki seorang tokoh panutan di sekolah/madrasah; (f) memiliki motivasi yang tinggi untuk mampu bersaing; (g) menciptakan kebersamaan yang erat dari berbagai komponen yang ada di dalam komunitas madrasah.
          
Kedua, Memperkuat leadership/kepemimpinan dan manajemen sekolah/madrasah. Kepala sekolah harus mampu memfungsikan kepemimpinan/manajemennya agar arah pengembangan sekolah/madrasah dapat dipahami dan dijadikan sesuatu yang diperjuangkan oleh semua warga sekolah/madrasah.
          
Ketiga, Membangun pencitraan (image building) sekolah/madrasah. Dalam konteks ini, madrasah perlu mengantisipasi hal-hal berikut: (a) perlunya internasionalisasi lembaga pendidikan Islam; (b) perlunya manajemen pendidikan Islam yang berdasarkan kebutuhan pasar kerja; (c) perlunya manajemen pendidikan Islam secara terpadu antara pendidikan formal dengan nonformal, keterpaduan antara riset, pengajaran dan pelayanan; (d) perlunya pengembangan keterampilan terjual; (e) perlunya komersialisasi riset, sehingga lembaga pendidikan Islam terutama perguruan tingginya harus mampu memilih dan menawarkan riset apa saja yang bisa dijual kepada masyarakat; (f) perlu mengembangkan program-program unggulan sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
          
Keempat, Mengembangkan program-program unggulan. Madrasah dapat menentukan pilihan program unggulan dengan cara sebagai berikut: Being Different, Being the First, Being the Best. The Path towards excellence: (a) Taking bold action; (b) Developing the Strategy; (c) Setting the Goals.
          
Kelima, Berani merubah mindset atau  cara berpikir umat Islam, misalnya mengarahkan umat Islam agar memanfaatkan kekayaan mereka untuk kepentingan pendidikan Islam, bukan hanya memenuhi hedonism spiritual
  
3.             Langkah-langkah Operasional dalam Aspek Operational Problems
          
Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Ashraf menawarkan tiga model rekonstruksi dalam upaya menyiapkan lulusan Universitas Islam yang mampu mengintegrasikan imtaq dan ipteks, yaitu: (1) Rekonstruksi tentang konsep ilmu, yaitu menawarkan untuk memasukkan ilmu-ilmu, yang menurut istilah Ibnu Khaldun disebut sebagai ilmu naqliyah, seperti Al-Qur’an, Hadits, Fikih/Ushul Fikih, Tauhid dan Metafisika sebagai mata kuliah dasar umum elektif bagi peserta didik, yang melandasi disiplin ilmunya masing-masing yang aqliyah/kauniyah sifatnya; (2) Rekonstruksi kelembagaan, yaitu menjadikan lembaga pengembangan studi ilmu-ilmu naqliyah sebagai bagian dari universitas; (3) Rekonstruksi atau lebih tepatnya pengembangan kepribadian individual, mulai dari kalangan civitas akademiknya sampai ke alumninya. Rekonstruksi pertama tersebut banyak tergantung kepada pemegang otoritas akademik UIN. Rekonstruksi kedua lebih banyak bergantung kepada pemegang otoritas kelembagaan perguruan tinggi (UIN) yang bersangkutan. Rekonstruksi ketiga memerlukan evolusi panjang yang peningkatan kualitasnya merupakan pengaruh timbal balik dengan keberhasilan rekonstruksi kedua dan pertama. [31] 
          
Selain pandangan Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Ashraf di atas, dapat juga menerapkan langkah-langkah operasional dalam subbab sebelumnya, yaitu langkah-langkah operasional dalam mengembangkan madrasah berprestasi (effective school).

Referensi

Muhaimin. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
__________. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2004.
__________. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
__________. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Penerbit Nuansa. 2003.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga. 2006.






[1]Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 52.
[2] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. vi.
[3] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 2-3.
[4] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 1; 77.
[5] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 65.
[6] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 65-66.
[7] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 75-76.
[8] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 39-40.
[9] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, h. 40-46.
[10] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 260.
[11] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Penerbit Nuansa, 2003), h. 265.
[12] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, h. 266.
[13] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, h. viii.
[14] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, h. 266-267.
[15] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, h. 268.
[16] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, h. 267.
[17] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, h. 266.
[18] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, h. 89-90.
[19] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 3.
[20] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 76.
[21] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, h. 45-46.
[22] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 104-105.
[23] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 77.
[24] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 67.
[25] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 68.
[26] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 68.
[27] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 76-77.
[28] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, h. 46.
[29] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 77-78.
[30] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 105-109.
[31] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, h. 80-81.