Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kaidah Fikih Seputar Niat


Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com


Setiap Amal Tergantung Niat
Setiap Insan Meraih Apa yang Diniatkan


Dasar Kaidah Fikih terkait Niat


Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّـمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَـاتِ، وَإِنَّـمَا لِكُلٍّ امْرِئٍ مَـا نَوَى. رواه البخاري.

Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya; dan sesungguhnya setiap orang akan meraih apa yang dia niatkan. (H.R. Bukhari)


Kaidah Ke-1

أَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا.

Perbuatan-Perbuatan itu Tergantung pada Niatnya.


Contoh:

Pertama, Dalam wudhu terdapat kewajiban niat. Demikian juga dalam mandi besar, shalat dan puasa.

Kedua, Seseorang melakukan perbuatan yang sebenarnya mubah, akan tetapi dia berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak halal baginya. Misalnya: seseorang berhubungan intim dengan wanita yang diyakini sebagai wanita lain, lalu dia berzina dengan wanita tersebut. Ternyata, wanita itu istrinya sendiri, maka perbuatan tersebut hukumnya haram.

Ketiga, Jika seseorang makan dan minum dengan niat memperoleh energi demi ibadah, maka dia memperoleh pahala. Demikian sebaliknya.

Keempat, Orang yang memeras anggur (hukumnya tergantung pada niatnya), apakah niat membuat cuka (halal) ataukah khamr (haram).

Kelima, Tidak bertegur-sapa atau nyatru (dengan orang lain) lebih dari tiga hari adalah haram, jika dia memang berniat demikian. Demikian sebaliknya.

Keenam, Wanita yang tidak memakai wewangian dan perhiasan lebih dari tiga hari atas kematian laki-laki lain yang bukan suaminya, maka hukumnya haram jika diniatkan sebagai ungkapan belasungkawa. Demikian sebaliknya.

Ketujuh, Pemiutang yang mengambil harta milik penghutang, apabila diniatkan sebagai pelunasan hutang, maka tidak dihukum potong tangan; sedangkan jika berniat mencuri, maka dihukum potong tangan.

Kedelapan, Suami menceraikan istrinya dengan kata-kata kinayah (kiasan), semisal: “Engkau adalah wanita yang kesepian”. Apabila suami berniat menceraikan istrinya, maka jatuhlah thalaq (cerai). Demikian sebaliknya.

Catatan: Ta’yin adalah menentukan niat secara spesifik atau khusus. Ta’arrudh adalah menentukan niat secara global atau umum.


Kaidah Ke-2

مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعْيِيْنُ، فَالْخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ.

Amalan yang Disyaratkan Ta’yin di dalamnya, Maka Kesalahan Ta’yin Dapat Membatalkan Amalan Tersebut.


Contoh:

Pertama, Salah niat shalat zhuhur dengan shalat ashar, atau sebaliknya. Misalnya, seseorang shalat zhuhur dengan niat shalat ashar, maka shalatnya tidak sah.

Kedua, Salah niat membayar kifarat zhihar dengan kifarat pembunuhan.

Catatan: Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: “Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku” atau perkataan lain yang sama maksudnya.

Ketiga, Salah niat shalat rawatib zhuhur dengan shalat rawatib ashar.

Keempat, Salah niat shalat Idul Fitri dengan shalat Idul Adha; dan sebaliknya.

Kelima, Salah niat shalat dua rakaat Ihram dengan shalat dua rakaat Thawaf; dan sebaliknya.

Keenam, Salah niat puasa Arafah dengan puasa Asyura’; dan sebaliknya.


Kaidah Ke-3

مَا يُشْتَرَطُ اَلتَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلاَ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً، إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ.

Amalan yang Disyaratkan Ta’arrudh secara Global dan Tidak Disyaratkan Ta’yin secara Rinci; Apabila Seseorang Melakukan Ta’yin, lalu Salah, Maka Dapat Membatalkan Amalan Tersebut.


Contoh:

Pertama, Seseorang niat makmum kepada Zaid, ternyata yang menjadi imam adalah Umar, maka (hukum) makmumnya tidak sah; karena dia tidak niat makmum kepada Umar. Sebab lainnya, dia niat makmum kepada Zaid, padahal orang yang dimakmumi adalah Umar. Sedangkan dalam shalat jamaah tidak disyaratkan ta’yin imam (semisal menyebut nama imam).  Sesungguhnya yang disyaratkan hanya niat shalat jamaah, bukan yang lain.

Kedua, Seseorang niat menshalati jenazah Bakar, ternyata jenazah itu adalah Khalid; atau niat menshalati jenazah laki-laki, ternyata jenazah itu adalah wanita; dan sebaliknya; maka shalat jenazahnya tidak sah. Dalam shalat jenazah tidak disyaratkan ta’yin jenazah (semisal menyebut nama jenazah), melainkan cukup niat shalat jenazah saja.

Ketiga, Seseorang menshalati banyak jenazah, dan dalam shalat ini tidak diwajibkan ta’yin jumlah jenazah. Jika dia berniat menshalati 10 jenazah, ternyata jumlahnya lebih dari 10 jenazah, maka dia harus mengulangi shalatnya atas seluruh jenazah, karena di antara jenazah tersebut terdapat jenazah yang ‘dihukumi’ belum dishalati, dan tidak jelas siapa jenazah yang dimaksud.

Keempat, Tidak disyaratkan ta’yin jumlah rakaat. Apabila seseorang niat shalat zhuhur dengan menyebutkan lima atau tiga rakaat, maka shalatnya tidak sah.

Kelima, Seseorang ta’yin mengeluarkan zakat atas harta yang berada di luar rumahnya, padahal harta tersebut rusak (tidak ada); maka zakatnya tidak mencukupi (tidak sah) untuk zakat atas harta yang berada di rumahnya.


Kaidah Ke-4

مَا لاَ يُشْتَرَطُ اَلتَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلاَ تَفْصِيْلاً، إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ لَمْ يَضُرَّ.

Amalan yang Tidak Disyaratkan Ta’arrudh secara Global maupun Ta’yin secara Rinci; Apabila Seseorang Ta’yin, lalu Salah, Maka Tidak Membatalkan Amalan Tersebut.


Contoh:

Pertama, Salah dalam ta’yin tempat shalat. Misalnya: seseorang niat shalat zhuhur di Mesir, padahal dia berada di Makkah, maka shalatnya tidak batal, karena niatnya dinilai cukup. Sedangkan ta’yin tempat shalat tidak memiliki keterkaitan dengan niat shalat, baik secara global maupun rinci.

Kedua, Salah dalam ta’yin waktu shalat. Misalnya: seseorang niat shalat ashar pada hari kamis, padahal saat itu hari jum’at, maka shalatnya tidak batal.

Ketiga, Imam salah ta’yin orang yang makmum di belakangnya. Misalnya: seorang imam niat menjadi imam bagi Zaid, padahal orang yang makmum adalah Umar, maka shalatnya tidak batal, karena imam tidak disyaratkan ta’yin makmum maupun niat menjadi imam.


Kaidah Ke-5

مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَى نِيَةِ اللاَّفِظِ

Maksud Suatu Pernyataan Dikembalikan pada Niat Pembicara

Contoh:

Pertama, Jika seseorang memiliki istri bernama Thaliq (artinya: wanita yang diceraikan), lalu dia berkata: “Wahai Thaliq!”, maka apabila dia berniat cerai, jatuhlah talak (cerai) pada istri. Apabila dia bermaksud sekedar memanggil, maka tidak jatuh talak pada istri.

Kedua, Jika seseorang mengulang-ulang pernyataan talak sebanyak tiga kali tanpa kata sambung (huruf ‘athaf), maka apabila setiap pernyataan diniatkan satu kata talak, maka jatuh talak tiga. Sedangkan apabila pengulangan itu diniatkan sebagai pengukuhan (taukid) semata, maka jatuh talak satu.

Ketiga, Jika seseorang melafalkan ayat al-Quran dalam shalat dengan niat membaca al-Qur’an, maka hukumnya jelas (tidak membatalkan shalat). Jika dia melafalkan ayat al-Qur'an dengan niat memberi pemahaman kepada orang lain, maka shalatnya menjadi batal. Jika berniat membaca ayat al-Qur'an sekaligus memberi pemahaman kepada orang lain, maka shalatnya tidak batal. Jika tanpa ada niat (mutlak), maka menurut pendapat yang Ashah, shalatnya menjadi batal. Misalnya: Melafalkan Surat al-Hijr [15]: 46

ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آَمِنِينَ

(Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman.

atau Surat Maryam [19]: 12

يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ

Hai Yahya! Ambillah al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.

Keempat, Apabila seseorang mengiringi niat dengan kalimat “Insya Allah” (Jika Allah menghendaki), maka niatnya batal, jika kalimat itu dimaksudkan sebagai Ta’liq (penggantungan niat). Jika kalimat itu dimaksudkan sebagai Tabaruk (mencari berkah), maka niatnya tetap sah. Jika tanpa ada niat, maka menurut pendapat yang Ashah, niatnya menjadi batal.

Referensi
‘Abd al-Hamid Hakim,  Mabadi’ Awwaliyyah (Jakarta: Maktabah Sa’adiyyah Putra, ttt.), h. 22-26.