Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dzikir versus Pikir

Dr. Rosidin, M.Pd.I

Nasihat Abah Hasyim
             

Perbedaan esensial antara ilmu pengetahuan menurut Islam dan Barat adalah Islam memandang ilmu pengetahuan sebagai cahaya Ilahi yang menuntun manusia dari gelap (jahil; kafir) menuju terang (bijaksana; mukmin), sehingga orientasi utamanya adalah bergerak vertikal menuju kepada Allah SWT. Sedangkan Barat memandang bahwa ilmu pengetahuan adalah kumpulan informasi yang dikonversi menjadi berbagai teknologi demi menebar manfaat bagi umat manusia, sehingga orientasi utamanya adalah bergerak horizontal menuju kepada manusia.
             
Implikasi pandangan di atas adalah pendidikan Islam lebih menekankan dimensi dzikir daripada pikir. Hal ini setidaknya tercermin dari tiga metode pembelajaran yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, yaitu Tilawah, Tazkiyyah dan Ta’lim (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 164; al-Jumu’ah [62]: 2). 

Tilawah dan Tazkiyyah lebih erat kaitannya dengan dzikir, sedangkan Ta’lim lebih erat kaitannya dengan pikir. Nuansa yang identik dapat ditemui dalam Surat Ali ‘Imran [3]: 190-191 yang memerintahkan umat muslim agar berdzikir kepada Allah SWT ketika sedang berdiri, duduk maupun tidur; serta memerintahkan agar memikirkan penciptaan langit dan bumi. Bahkan dzikir merupakan satu-satunya amal shalih yang lebih menekankan aspek kuantitas dibandingkan kualitas, seperti yang dinyatakan oleh Surat al-Ahzab [33]: 41, Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya

Keistimewaan dzikir juga dipertegas oleh Hadis Anas ibn Malik RA yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: Jika kalian melewati pertamanan surga, maka menggembalalah. Shahabat bertanya: Apakah pertamanan surga itu wahai Rasulullah? Rasulullah SAW menjawab: majlis-majlis dzikir. (H.R. al-Tirmidzi).
             
Jika mengacu pada praktik pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, maka dapat dijumpai manifestasi dari metode Tilawah dan Tazkiyyah. Metode Tilawah diwujudkan melalui pembacaan al-Qur’an (minimal Surat al-Fatihah) sebelum dan sesudah pembelajaran. Sedangkan metode Tazkiyyah diwujudkan melalui pembacaan dzikir berupa rangkaian ayat-ayat al-Qur’an dan kalimat thayyibah yang dirangkai menjadi doa sebelum dan sesudah pembelajaran. Adapun manifestasi metode Ta’lim diwujudkan sesuai dengan desain pembelajaran pada umumnya, yang melibatkan tujuan, materi, metode dan evaluasi pembelajaran.
             
Penggunaan metode Tilawah dan Tazkiyyah di atas dimaksudkan sebagai warming-up (pemanasan) sebelum mengikuti pembelajaran, sehingga peserta didik lebih siap secara psikologis-rohani sebelum mengikuti Ta’lim. Secara filosofis, Tilawah dan Tazkiyyah dapat dimaknai sebagai upaya penjernihan kerak-kerak dosa yang menjadi sumbat bagi jalur-jalur ilmu pengetahuan, seperti indra pendengaran, penglihatan dan fu’ad (akal dan hati). Sehingga memudahkan peserta didik untuk mengikuti Ta’lim dengan efektif dan optimal.
             
Dzikir dilakukan melalui hati, sedangkan pikir dilakukan melalui akal. Objek dzikir adalah Allah SWT, sedangkan objek pikir adalah tanda-tanda kekuasaan (ayat-ayat) Allah SWT. Oleh sebab itu, baik dzikir maupun pikir sama-sama bertujuan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hanya saja, rute yang dilewati berbeda. Dzikir melewati “jalur langsung”, sedangkan pikir melewati “jalur memutar”. Kendati besar peluangnya dzikir membuat seseorang lebih cepat sampai kepada Allah SWT, namun pikir juga berpeluang menyalip kecepatan dzikir. Di sinilah letak signifikansi sikap sabar dan istiqamah demi mengundang datangnya taufiq, hidayah dan inayah Allah SWT.
             
Apabila seseorang berhasil menjadi ahli dzikir sekaligus ahli pikir, maka dia berhak menyandang gelar “ulama” menurut standar al-Qur’an. Dengan catatan bahwa aktivitas dzikir dan pikirnya berbuah rasa takut yang dilandasi kekaguman (khasyyah) kepada Allah SWT, sebagaimana makna yang tersirat dalam Surat Fathir [35]: 28, Sesungguhnya yang takut disertai kagum (khasyyah) kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
             
Khasyyah berbeda dengan khauf. Khasyyah adalah rasa takut kepada Allah SWT yang muncul dikarenakan faktor kesempurnaan dan keagungan-Nya; sedangkan khauf adalah rasa takut kepada Allah SWT yang muncul dikarenakan faktor siksa dan neraka-Nya. Jika diilustrasikan, khasyyah itu bagaikan rasa takut disertai kagum yang ditunjukkan seorang santri kepada Kiai-nya yang terkenal berkarakter lemah-lembut; sedangkan khauf bagaikan rasa takut seorang anak kecil kepada singa yang buas dan liar. Ilustrasi lainnya, “khasyyah” (takut karena kekaguman) melekat pada pengikut Mahatma Ghandi, sedangkan “khauf” (takut karena hukuman) melekat pada pengikut Adolf Hitler.
             
Tren masa kini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Islam berlomba-lomba untuk menciptakan generasi “ulama” yang memadukan dzikir dan pikir. Pada umumnya, model yang diterapkan adalah integrasi yang setidaknya ditujukan pada empat program. 

Pertama, integrasi kelembagaan. Bentuknya adalah memadukan kelebihan pesantren pada aspek dzikir dengan kelebihan universitas pada aspek pikir. Misalnya Ma’had al-‘Aly UIN Maliki Malang atau Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang. 

Kedua, integrasi keilmuan. Bentuknya adalah “Islamisasi ilmu pengetahuan” yang memfilter ilmu pengetahuan agar selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Misalnya ekonomi atau perbankan Syariah, dengan ciri khas transaksi yang menghindari aspek-aspek yang diharamkan dalam Islam, seperti Maisir (perjudian), Gharar (penipuan), Riba (bunga) dan Batil (ilegal) atau biasa disingkat MAGHRIB. 

Ketiga, integrasi proses pembelajaran. Wujudnya adalah proses pembelajaran yang menekankan perpaduan antara Tilawah, Tazkiyyah dan Ta’lim sebagaimana paparan di depan. 

Keempat, integrasi tujuan pendidikan. Bentuknya adalah memadukan antara tujuan pendidikan yang bersifat idealis dengan realistis. Tujuan idealis pendidikan Islam adalah menciptakan Insan Kamil yang memiliki beragam atribut kehormatan, seperti takwa, berakhlak mulia dan cerdas; sedangkan tujuan realistis pendidikan Islam adalah memenuhi kebutuhan masyarakat dari berbagai bidang kehidupan, terutama dunia kerja, sehingga lulusan pendidikan Islam adalah pribadi-pribadi berdikari, bukan pengangguran. Contoh lulusan yang memenuhi standar ini adalaj para penghafal al-Qur’an yang menjadi tenaga profesional di bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan hingga pemerintahan. 

Wallahu A’lam bi al-Shawab.