Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Guru versus Murid

Dr. Rosidin, M.Pd.I



             
Sedari awal Rasulullah SAW sudah memposisikan hubungan guru dan murid bagaikan hubungan orangtua dengan anaknya: “Innamâ anâ lakum ka al-wâlid li waladihi”. Sudah familiar jika ada sebutan guru adalah “orangtua kedua”. Ada juga yang mengatakan bahwa orangtua kandung adalah pengasuh jasmani anak, sedangkan guru adalah pengasuh ruhani anak. Jika dilacak dari sisi historis, keberadaan guru dikarenakan kesibukan orangtua untuk bekerja yang membuatnya tidak bisa mendidik anaknya sepanjang waktu. Apalagi tidak setiap orangtua memiliki keterampilan mendidik dengan baik.
             
Guru ideal memiliki sifat-sifat Asmâ al-Husnâ yang melekat pada dirinya, baik sifat Jalâl (maskulin) maupun Kamâl (feminim), semisal tegas-otoritatif (al-Mâlik; al-Jabbâr; al-Qahhâr) namun penuh kasih-sayang (al-Rahmân; al-Rahîm; al-Ra’ûf). Selain itu, guru ideal menampilkan empat sifat kenabian, yaitu integritas (al-Shiddîq), profesional (al-Amânah), komunatif (al-Tablîgh) dan jenial (al-Fathânah). 

Jika direlevansikan dengan kompetensi guru di Indonesia, maka sifat al-Shiddîq selaras dengan kompetensi kepribadian; sifat al-Amânah sepadan dengan kompetensi profesional; sifat al-Tablîgh identik dengan kompetensi sosial; sedangkan sifat al-Fathânah bersinonim dengan kompetensi pedagogik.
             
Mengigat tidak setiap guru menguasai keempat kompetensi tersebut dalam porsi yang sama, maka muncul hierarki kualitas guru yang menurut identifikasi Munif Chatib terbagi menjadi lima level. 

Pertama, probation period, guru masa percobaan (“PPL”). 

Kedua, medium teacher, guru yang punya moto just tell (“pembaca berita”). 

Ketiga, good teacher, guru yang punya moto explain (“teoretikus”). 

Keempat, excellent teacher, pendidik yang punya moto demonstrate (“praktisi”). 

Kelima, great teacher, pendidik yang punya moto inspire (“kharismatik”) (Munif Chatib, 2014: 32). 

Rhenald Kasali membagi guru menjadi dua kategori: guru kurikulum dan guru inspiratif. Guru kurikulum amat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan, sehingga dia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Jumlahnya mencapai 99%, sedangkan guru inspiratif hanya 1%. Guru inspiratif tidak mengejar kurikulum, melainkan mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking) dan melihat sesuatu dari luar (thinking out of the box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, maka guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama. Dunia memerlukan keduanya, namun sistem sekolah di Indonesia hanya memberi tempat bagi guru kurikulum (Rhenald Kasali, 2014: 137-140).
             
Sebagaimana guru yang bertingkat-tingkat, murid juga memiliki tingkatan beragam. 

Pertama, murid “gelas tertutup”, sejak awal sudah tidak mau menerima kehadiran guru maupun pelajarannya, sehingga relasi keduanya bagaikan air dan minyak atau timur dan barat. Bentuk konkretnya adalah murid yang sengaja tidur di kelas ketika pelajaran berlangsung. 

Kedua, murid “gelas retak”, bagaikan pipa yang hanya menjadi tempat mengalirnya air; istilahnya, masuk ke telinga kanan, keluar dari telinga kiri. Prinsipnya yang penting hadir di kelas, sedangkan memahami pelajaran adalah urusan ke-27. 

Ketiga, murid “gelas miring”, setengah-setengah dalam mengikuti proses pembelajaran, sehingga hasilnya tidak pernah maksimal. Padahal jika murid memberikan perhatian 100% saja, ilmu hanya menjanjikan maksimal 50% yang dapat dipahami, apalagi jika hanya memberi perhatian 50%, tentu ilmu yang diperoleh tidak lebih dari 25%-nya. Murid yang mengerjakan tugas atau PR dengan menyontek temannya adalah salah satu contoh tipe ini. 

Keempat, murid “gelas utuh yang kotor”, di mana setiap pelajaran yang disampaikan oleh guru, justru disalah-pahami; ibarat anekdot seorang anak yang mendengar nasihat khatib Jum’at, “ambillah yang bagus-bagus”, lalu sepulang dari masjid, dia mengambil sandal orang lain yang dinilai bagus. 

Kelima, murid “gelas utuh yang bersih”, inilah tipe ideal murid yang diidam-idamkan oleh segenap guru. Dia menampilkan totalitas belajar disertai kejernihan nalar dan nurani, sehingga memahami pelajaran dengan baik dan benar, bukan salah-paham sebagaimana tipe murid yang keempat.
             
Agar murid mencapai level “gelas utuh yang bersih”, dibutuhkan kolaborasi yang sinergis antara guru dan murid. Mekanisme “Tilâwah”, “Tazkiyyah” dan “Ta’lîm” dapat dijadikan sebagai katalisatornya. 

Tilâwah dapat berupa pembacaan ayat al-Qur’an, kalimat thayyibah dan doa sebelum dan sesudah pembelajaran. Tazkiyyah diwujudkan melalui motivasi yang diberikan oleh guru, di samping self-motivation (motivasi-diri) yang dilakukan oleh setiap murid. Ta’lîm mengharuskan guru menyajikan pembelajaran dengan menarik, sedangkan murid menyambut pembelajaran dengan antusias. Program MTGW (Mario Teguh Golden Ways) –terlepas dari kontroversi sang motivator– adalah contoh ideal pembelajaran yang disajikan oleh “guru” dengan menarik dan disambut oleh “murid” dengan antusias, sehingga pembelajaran berjalan interaktif dan memenuhi standar PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan).

Kembali pada paragraf awal, perlu diinsafi bahwa relasi antara murid dan guru digambarkan oleh Rasulullah SAW seperti halnya relasi orangtua dan anaknya. Tentu ada perbedaan hak dan kewajiban antara keduanya. 

Murid tidak bijak menuntut guru untuk piket membersihkan kantor, hanya dengan argumentasi bahwa murid juga wajib piket membersihkan kelas; karena tanggung-jawab piket guru adalah membersihkan rumahnya masing-masing. Logika seperti itu sama dengan logika emansipasi wanita yang melampaui koridor –semisal: jika laki-laki boleh poligami, maka wanita boleh poliandri–, sehingga dapat dikritik dengan pernyataan Sayyidinâ ‘Ali ibn Abi Thalib RA: kalimah haqqin, urîda bi al-bâthil, yaitu pernyataan yang “tampaknya” benar, padahal salah. 

Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW mengingatkan identitas seorang muslim sejati: “man lam yarham shaghîranâ, wa ya’rif haqqa kabîranâ, falaysa minnâ” yang berarti “barangsiapa tidak menyayangi junior kami dan tidak mengakui [dalam riwayat lain, menghormati] hak senior kami, maka dia bukan golongan kami”. Walhasil, guru seharusnya penuh kasih-sayang kepada murid, sedangkan murid penuh sopan-santun kepada guru. Itulah identitas seorang murid ideal dalam pendidikan Islam. 

Wallahu A’lam bi al-Shawâb.