Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ikhlas dalam Bingkai al-Qur’an

Rosidin

             
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas diartikan tulus hati dan bersih hati; sedangkan keikhlasan dimaknai ketulusan hati, kejujuran dan kerelaan.
             
Hal yang patut dicermati adalah jika definisi ikhlas versi KBBI relatif tegas, maka definisi keikhlasan relatif kabur. Alasannya, kejujuran dan kerelaan memiliki istilah tersendiri dalam bahasa Arab, yaitu shiddiq (kejujuran) dan ridha (kerelaan). Kendati demikian, masyarakat pada umumnya ‘sudah terlanjur’ memaknai ikhlas dengan pengertian versi KBBI, terutama memaknai ikhlas sebagai kerelaan. Hal ini tergambar dari pernyataan-pernyataan yang jamak ditemui di kalangan masyarakat, misalnya: “shadaqah itu yang penting ikhlas, walaupun sedikit”; “ikhlaskan saja kepergiannya, dia memang bukan jodohmu”; “saya ikhlas menerima semua cobaan ini”; dan lain sebagainya. 
             
Agar fenomena di atas tidak menjadi kebenaran umum, maka perlu ditegaskan di sini bahwa pengertian ikhlas versi KBBI belum benar-benar ‘menjangkau’ khazanah makna yang terkandung dalam kata IKHLAS. Untuk itu, perlu dilakukan kajian mendalam tentang hakikat pengertian ikhlas. Dalam pada itu, penulis bermaksud menelusuri penggunaan kata ikhlas dalam al-Qur’an, kemudian membandingkannya dengan penggunaan kata ikhlas dalam Hadis maupun pendapat para pakar muslim.
             
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap kitab al-Muʻjam al-Mufahras karya al-Baqi, penulis mendapati beberapa kesimpulan bahwa term Ikhlas dalam berbagai bentuknya disebutkan sebanyak 31 kali dalam 30 Surat. Lebih dari itu, ada lima term Ikhlas yang terdapat dalam Surat Madaniyah; dan 26 term lainnya berada dalam Surat Makkiyah.
             
Sebelum menguraikan hasil analisis lebih dalam, penulis menyajikan pengertian ikhlas secara linguistik menurut pakar bahasa Arab dalam al-Qur’an.

Pengertian Ikhlas
             
Al-Ashfahani menyatakan bahwa kata “Khalish” (bersih, murni) seperti halnya “Shafi” (jernih), akan tetapi kata Khalish bermakna sesuatu murni setelah hilang campurannya; sedangkan Shafi ditujukan pada sesuatu yang jernih tanpa ada campuran apapun sebelumnya. Dari sini al-Ashfahani menyatakan bahwa keikhlasan kaum muslimin berarti mereka telah bebas dari penyerupaan yang diyakini oleh kaum Yahudi maupun trinitas yang diyakini oleh kaum Nasrani. Adapun keikhlasan sejati adalah terbebas dari segala sesuatu selain Allah SWT. Di samping itu, Ibn Faris dalam Maqayis al-Lughah menyatakan bahwa makna Khalish adalah penyucian dan pembersihan sesuatu.
           
Secara sekilas, pengertian yang dikemukakan oleh dua tokoh di atas mengisyaratkan bahwa ikhlas dapat diperoleh melalui upaya proaktif dari seseorang untuk membersihkan segala bentuk campuran apapun dalam dirinya, sehingga hanya ‘menyisakan’ Allah SWT semata. Dari sini dapat dimaklumi, jika pada awalnya, seseorang memiliki banyak sekali motif ‘campuran’ ketika melaksanakan ibadah. ‘Campuran’ tersebut ada kalanya: ‘ingin menjadi kaya’, ‘ingin naik pangkat’, ‘ingin sehat’, ‘ingin mendapat jodoh’, ‘ingin masalah terselesaikan’, ‘ingin mendapat pahala’, ‘ingin masuk surga’, ‘ingin terhindar dari neraka’, ‘ingin bersama bidadari’ dan terselip di tengah-tengahnya motif ‘lillahi-ta’ala, semata-mata karena Allah SWT’.
             
Beranjak dari keterangan di atas, tentu saja butuh perjuangan ekstra keras agar seseorang memiliki sifat ikhlas. Secara ilustratif, kemampuan seseorang untuk mengeluarkan motif-motif ‘campuran’ di luar Allah SWT, layaknya air susu yang posisinya berada di antara kotoran manusia dan darah, namun keluar dalam keadaan jernih dan murni (al-Nahl: 66).

Karakteristik Orang yang Ikhlas
             
Menariknya, tiga ayat yang memuat term “Mukhlish (orang yang ikhlas)” seluruhnya berada dalam Surat yang sama, yakni al-Zumar ayat 2, 11 dan 11 serta diawali dengan redaksi perintah. Surat al-Zumar: 2 menginspirasi bahwa al-Qur’an merupakan sumber utama yang dapat dijadikan sebagai panduan agar seseorang memiiki sifat ikhlas. Surat al-Zumar: 11 dan 14 dikaitkan rangkaian ayat sebelumnya dan sesudahnya memuat bahasan tentang Ulul Albab yang memiliki karakteristik tekun beribadah di tengah-tengah malam dalam keadaan fisik bersujud maupun berdiri; dan keadaan rohani yang memadukan sikap penuh harap (raja’) dan sikap takut (khauf) kepada Allah SWT, sehingga menghasilkan sikap waspada. Selain itu, Ulul Albab adalah seorang pemilik hati yang jernih dan ilmu yang penuh hikmah (al-Zumar: 9). Sifat ikhlas juga dilatih dengan melakukan aktivitas kebaikan (ihsan) sebanyak-banyaknya dan ditopang oleh sikap sabar sepenuhnya (al-Zumar: 10).
             
Jika proses tersebut dilewati dengan baik, maka ketika itulah seseorang naik status untuk memperjuangkan keikhlasan dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam, yakni memurnikan seluruh aktivitas keberagamaannya semata-mata karena Allah SWT. Pada akhirnya, ada peluang baginya selamat dari siksa Allah SWT yang sangat pedih dan terhindar dari status sebagai orang-orang yang merugikan diri sendiri maupun anggota keluarganya (al-Zumar: 11-15).

Gambar 1

Karakteristik Komunitas yang Ikhlas
             
Ada 8 ayat yang memuat pengertian jamak –orang-orang yang ikhlas–, yaitu 7 ayat memakai redaksi “Mukhlishin” dan 1 ayat menggunakan redaksi “Mukhlishun”.
             
Orang-orang yang ikhlas mampu keluar dari kepungan godaan syaitan yang tidak henti-hentinya melakukan tipu daya kepada manusia. Misalnya, melakukan perbuatan-perbuatan keji atas nama pelestrarian tradisi nenek moyang. Selain itu, orang yang ikhlas senantiasa rajin melaksanakan ibadah, terutama di masjid-masjid, dengan tetap memfokuskan hatinya kepada Allah SWT semata. Mereka bukanlah orang-orang yang terperdaya syaitan, namun merasa mendapatkan hidayah dari Allah SWT (al-A’raf: 26-30).
             
Orang-orang yang ikhlas memiliki kebiasaan melakukan inabah, yakni satu tingkat di atas taubat. Jika taubat biasanya diawali dengan adanya dosa, maka inabah tidak diawali oleh adanya dosa. Ibaratnya, taubat itu mandi setelah kondisi tubuh kotor atau terkena najis, sedangkan inabah adalah mandi meskipun tubuh masih bersih dan suci (Ghafir: 13-14).
             
Selain itu, orang-orang yang ikhlas memiliki kesadaran penuh atas segala anugerah Allah SWT, misalnya: segala manfaat yang mereka merasakan dari keberadaan bumi dan langit; memiliki bentuk fisik dan psikis yang paling bagus dibandingkan makhluk lainnya; hingga mendapatkan rezeki yang halal lagi baik. Semua anugerah itu mendorong mereka secara sadar untuk beribadah kepada Allah SWT dengan ikhlas (Ghafir: 65).




Gambar 2

Ilustrasi Ikhlas yang Sejati: “Kondisi Genting di Tengah Samudera”
             
Contoh kasus sifat ikhlas dapat ditemui dalam tiga ayat (Surat Yunus: 22, Luqman: 32 dan al-‘Ankabut: 65) yang mengindikasikan bahwa sifat ikhlas keluar ketika seseorang dalam situasi sangat genting, misalnya ketika berada di tengah-tengah laut naik bahtera, kemudian angina topan dan gelombang yang sangat besar layaknya gunung, hendak menerjang bahtera tersebut; maka pada saat itulah, para penumbang bahtera itu akan berdo’a kepada Allah SWT dengan benar-benar ikhlas, memohon agar diselamatkan; sehingga do’a mereka benar-benar dikabulkan oleh Allah SWT; meskipun setelah selamat, mareka jarang yang bersyukur maupun mengakui keesaan Allah SWT, justru lebih banyak yang kafir nikmat, bahkan menyekutukan Allah SWT (Yunus: 22, Luqman: 32 dan al-‘Ankabut: 65).

Manifestasi Ikhlas
             
Sedangkan dua ayat Madaniyyah yang membahas tentang keikhlasan menyangkut wujud kongkret amal ibadah yang dilaksanakan oleh orang-orang yang ikhlas, antara lain ketika melaksanakan shalat dan zakat (al-Bayyinah: 5). Dalam hal ini, mereka memperdulikan amalan-amalan yang didasari oleh ajaran Islam yang murni, tanpa terkontaminasi oleh ajaran-ajaran atau keyakinan-keyakinan lain yang tidak selaras dengan ketauhidan (al-Baqarah: 139). Oleh sebab itu, perilaku kaum kafir Jahiliyyah dikecam dalam al-Qur’an, karena ibadah mereka telah terkontaminasi oleh keyakinan-keyakinan yang tidak selaras dengan ketauhidan, misalnya menjadikan berhala-berhala sebagai media untuk beribadah agar lebih mendekatkan kepada Allah SWT dengan sedekat-dekatnya (al-Zumar: 3). 

Selain terhindar dari kekafiran dan kemusyrikan, orang-orang yang ikhlas juga memurnikan amal ibadahnya dari kemunafikan yang ditandai dengan tindakan-tindakan yang “menipu” Allah SWT, misalnya: mengerjakan shalat, namun dihinggapi rasa malas dan riya’ kepada manusia; serta minim berdzikir kepada Allah SWT (al-Nisa’: 142-145). Sebelum memurnikan ibadahnya semata-mata kepada Allah SWT, orang-orang yang ikhlas itu senantiasa bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang teguh kepada ajaran Allah SWT (al-Nisa’: 146).

Gambar 3

Tokoh Teladan
             
Tokoh yang dapat dijadikan teladan sifat ikhlas –di samping Rasulullah SAW– adalah Nabi Ibrahim AS, Nabi Ishaq AS dan Nabi Ya’qub AS yang dinilai sangat kuat dalam beribadah dan sangat memahami ajaran agamanya (Shad: 46). Pada ayat ini terdapat redaksi “KAMI telah menyucikan mereka”, sedangkan kata “kami” dalam al-Qur’an pada umumnya menunjukkan bahwa pelakunya lebih dari satu. Dalam hal ini, pelakunya adalah Allah SWT yang telah menganugerahkan keikhlasan ke dalam hati para hamba-Nya, serta usaha para hamba-Nya tersebut untuk membina hati mereka agar menjadi ikhlas. Jadi,  ayat ini mengindikasikan bahwa keikhlasan dapat diraih melalui karunia dari Allah SWT sekaligus usaha proaktif dari manusianya sendiri.