Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ilmu Ukhrawi dan Duniawi

Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Ilustrasi Dunia dan Akhirat

             
Dunia dan akhirat kerap diposisikan secara antagonistik. Dunia diidentikkan dengan hal-hal yang hina, sedangkan akhirat diidentikkan dengan hal-hal yang mulia. Apalagi diperkokoh Hadis Shahih Muslim yang diriwayatkan Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: al-dunya sijnu al-mu’min wa jannah al-kafir (dunia adalah penjara orang mukmin dan surga orang kafir). 

Belum lagi Hadis-hadis lain yang memberikan stigma negatif pada dunia, semisal Hadis a-Tirmidzi: ala inna al-dunya mal’unah (ingatlah, sesungguhnya dunia itu terlaknat).
             
Stigma negatif ini merambah pula pada pendidikan Islam terkait ilmu pengetahuan yang diklasifikasikan menjadi dua kategori: ilmu ukhrawi (ilmu agama) dan ilmu duniawi (ilmu umum). Ilmu ukhrawi disematkan pada ilmu-ilmu yang berhubungan secara langsung dengan ajaran Islam, seperti studi al-Qur’an, Hadis, Akidah, Fikih, Ushul Fikih, Tasawuf (Akhlak), dan bidang studi lain yang termasuk rumpun ilmu PAI (Pendidikan Agama Islam). Sedangkan ilmu duniawi disematkan pada ilmu-ilmu yang berhubungan dengan studi alam (IPA), manusia (IPS) dan humaniora (Bahasa).
            
Implikasi klasifikasi ini adalah ilmu ukhrawi menjadi primadona mayoritas umat muslim, karena dinilai bagaikan “jalan tol” menuju surga. Orang yang ahli ilmu ukhrawi diberi gelar prestisius sebagai “ulama” yang merupakan “pewaris sah” Nabi SAW. Sedangkan orang yang ahli ilmu duniawi diberi gelar sebagai “cendekiawan” (ilmuwan).
            
Paradoks tampak jelas pada perbedaan perlakuan umat muslim kepada ulama dan cendekiawan. Ulama dihormati dan disanjung sedemikian rupa, melebihi penghormatan dan sanjungan yang diberikan kepada cendekiawan. 

Uniknya, pamor ulama merosot tajam di mata umat muslim, ketika mengikatkan dirinya pada hal-hal duniawi, semisal berkecimpung di dunia politik. Sebaliknya, pamor cendekiawan meningkat tajam ketika terlibat dalam gelanggang duniawi, semisal menjadi pengamat politik. Lebih dari itu, ulama yang terlihat kaya raya biasanya dipandang sinis oleh umat muslim, sedangkan cendekiawan yang kaya raya dipandang sudah sewajarnya. 

Dari sini dapat dimaklumi mengapa rumah ulama cenderung sederhana, sedangkan rumah cendekiawan cenderung megah. Umat muslim pun memandang tidak etis seorang ulama menetapkan tarif atas ceramahnya dalam pengajian umum, namun seorang cendekiawan dinilai wajar menetapkan tarif atas ceramahnya dalam seminar atau forum ilmiah. 

Ringkasnya, umat muslim menghormati ulama yang bersih dari “debu duniawi” dan cendekiawan yang pandai berenang di “samudra duniawi”. Penghormatan kepada ulama berupa ketaatan, sedangkan penghormatan kepada cendekiawan berupa kekayaan.
            
Demi melihat fenomena di atas, terjadi pergeseran minat umat muslim dalam memilih ilmu pengetahuan. Jika sebelumnya mereka memprioritaskan ilmu ukhrawi agar mendapatkan fasilitas “jalan tol menuju surga”, maka sekarang ini banyak umat muslim yang memprioritaskan ilmu duniawi agar mendapatkan fasilitas “jalan tol menjadi kaya”. Inilah yang diungkapkan secara sarkartis oleh Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa mahasiswa yang tertarik pada pendidikan Islam, hanya mereka yang tidak diterima pada bidang-bidang “basah” (Abuddin Nata, 2012: 322-325), seperti ekonomi dan akuntansi. 

Bahkan pada tahun 2016, Ketua Umum SPAN-UM PTKIN Abd A‘la menyatakan bahwa beberapa prodi keagamaan di PTKIN tidak punya banyak pendaftar. Misalnya prodi perbandingan mazhab, zakat dan wakaf, perbandingan agama, ushuludin, filsafat, tafsir, serta hadis menduduki posisi terendah dibandingkan dengan prodi umum yang tersedia di PTKIN. “Biasanya, prodi ini hanya dijadikan pilihan kedua atau cadangan dari prodi lain,” ungkap A’la (www.pressreader.com).
            
Paling tidak ada tiga dampak yang perlu dicermati dari pergeseran minat umat muslim tersebut. 

Pertama, minimnya kader ulama. Jika menengok pada porsi bidang studi PAI di tingkat pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi; maka kecil sekali peluang menghasilkan output yang benar-benar ahli di bidang ilmu agama Islam (tafaqquh fi al-din) sehingga layak menyandang gelar “ulama”. Praktis, hingga saat ini, satu-satunya lembaga yang menjadi ujung tombak keterjaminan kaderisasi ulama adalah pondok pesantren. Sedangkan lembaga di luar pondok pesantren, belum bisa diharapkan. 

Kedua, munculnya fenomena “mendadak ustadz”. Ketika seorang muslim mengkaji ilmu agama Islam, namun keahlian utamanya adalah ilmu umum, semisal dokter spesialis; maka hasilnya adalah “mendadak ustadz”, yaitu seseorang yang belum benar-benar ahli ilmu agama Islam (tafaqquh fi al-din), namun memposisikan diri sebagai da’i atau ulama. Sehingga kerap memicu kontroversi di tengah masyarakat terkait materi dakwah yang disampaikan. Semisal kasus da’i selebritis di salah satu stasiun TV nasional yang memberi “fatwa” bahwa shalat witir boleh dilakukan berapa rakaat pun, asalkan ganjil; padahal batas maksimal shalat witir adalah 11 rakat menurut kesepakatan para ulama (Ijma’). Hal ini dikarenakan ketiadaan totalitas dalam mempelajari ilmu agama Islam, sehingga hasilnya pun setengah-setengah. Oleh sebab itu, mereka ini belum layak menyandang status sebagai “ulama” yang fatwanya harus ditaati. 

Ketiga, membludaknya jumlah orang awam di bidang agama Islam. Fenomena ini dapat dibuktikan dari prosentase jumlah umat muslim yang mampu membaca al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu Tajwid. Apalagi mampu membaca kitab kuning berbahasa Arab yang umumnya ditulis tanpa tanda vokalisasi (syakl), padahal sumber-sumber primer ajaran Islam berasal dari kitab-kitab kuning tersebut. Akibatnya, banyak umat muslim yang potong kompas dengan mempelajari al-Qur’an melalui Mushhaf al-Qur’an yang menyediakan versi transliterasi dalam huruf latin; atau mempelajari terjemahan-terjemahan kitab kuning. Tentu saja yang demikian ini berdampak pada rendahnya kualitas bacaan al-Qur’an maupun pemahaman terhadap ilmu agama Islam yang diperoleh dari sumber sekunder.

Tulisan ini sekedar “alarm” atas pergeseran minat umat muslim dari ilmu ukhrawi menuju ke ilmu duniawi, namun tetap menginsafi “kemustahilan” seluruh umat muslim menekuni ilmu ukhrawi dan meninggalkan ilmu duniawi. Ada yang menekuni ilmu ukhrawi, ada pula yang menekuni ilmu duniawi, itulah harmoni. Yang terpenting adalah pra, proses dan pasca mempelajarinya, senantiasa dikaitkan dengan falsafah iqra’ bismi rabbika, mempelajari ilmu semata-mata karena Allah SWT. 

Wallahu A’lam bi al-Shawab.