Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Tematik Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur'an

Dr. Rosidin, M.Pd.I


Identifikasi Term Ilmu dan Derivasinya

             
Hasil penelusuran penulis tentang “Ilmu” melalui software Zekr menemukan bahwa kata ilmu dan derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 854 kali dalam 728 ayat.
             
Sejak wahyu pertama (Surat al-‘Alaq [96]: 1-5) sudah menyinggung derivasi kata ilmu, yaitu ‘Allama yang bermakna mengajarkan ilmu. Bahkan disebutkan dua kali, tepatnya Surat al-‘Alaq ayat 4 dan ayat 5.  

Tiga Surat yang tergolong pertama kali turun [al-Qalam, al-Muzzammil, al-Muddatstsir] juga memuat derivasi kata ilmu. Uniknya, seluruhnya menunjukkan bahwa Allah SWT semata yang memiliki ilmu, sedangkan manusia tidak memiliki ilmu. Perhatikan ayat-ayat di bawah ini:

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 4-5)

Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Qalam [68]: 7)

Dan sesungguhnya azab akhirat itu lebih besar jika mereka mengetahui (Q.S. al-Qalam [68]: 33).

Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. (Q.S. al-Qalam [68]: 44)
             
Oleh sebab itu, argumentatif jika ditegaskan bahwa Allah SWT menyandang status Rabb, Tuhan Yang Maha Mendidik, yaitu mendidik seluruh alam semesta, terutama umat manusia.

Segala puji bagi Allah, TuhanYang Mendidik alam semesta (Q.S. al-Fatihah [1]: 2)
             
Term ilmu dalam bentuk aslinya baru muncul pada Surat al-Takatsur [102]: 5

Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. (Q.S. al-Takatsur [102]: 5
             
Sedangkan ayat terakhir yang memuat term ilmu dalam bentuk aslinya adalah Surat al-Ma’idah [5]: 109

(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para Rasul lalu Allah bertanya (kepada mereka): Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu?". Para Rasul menjawab: "Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya Engkau-lah yang mengetahui perkara yang ghaib". (Q.S. al-Ma’idah [5]: 109
             
Perpaduan antara ayat yang pertama kali dan yang terakhir kali turun mendatangkan pemahaman awal bahwa bobot ilmu pengetahuan tingkat dasar yang dapat diraih manusia disebut ‘Ilm al-Yaqin (pengetahuan rasional, teoretis). 

Bobot di atasnya disebut ‘Ain al-Yaqin (pengetahuan empiris, praktis) dan bobot yang tertinggi disebut Haq al-Yaqin (pengetahuan hakiki). 

Selain itu, manusia memiliki keterbatasan ilmu menyangkut hal-hal gaib (metafisika). Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui hakikat hal-hal gaib tersebut.
          
Ayat-ayat yang terakhir kali turun menyangkut derivasi kata ilmu, kembali menegaskan bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu lagi Maha Bijaksana. Hal paling esensial yang perlu diketahui oleh manusia pun berhubungan dengan Allah SWT, lebih tepatnya bahwa sesungguhnya Allah SWT “bersama” dengan orang-orang yang bertakwa. Simak ayat-ayat di bawah ini:

Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Taubah [9]: 110)
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Taubah [9]: 115)
Dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Taubah [9]: 123)

Materi Pokok Tafsir Tarbawi: Surat al-‘Alaq [96]: 1-5

             
Ayat utama yang diperbicangkan di sini adalah Surat al-‘Alaq [96] ayat 1-5, mengingat posisinya sebagai wahyu pertama yang sejak dini menekankan pentingnya ilmu dalam Islam dan umat muslim:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5)
             
Surat al-‘Alaq [96]: 1-5 menunjukkan bahwa ayat yang pertama kali turun menyangkut ilmu justru berbentuk kata kerja lampau (fi’il madhi), yaitu ‘allama yang berarti Allah SWT telah mengajarkan ilmu dan lam ya’lam yang berarti manusia belum mengetahui ilmu. Adapun media yang memungkinkan manusia untuk mengikis ketidak-tahuannya adalah keterampilan baca-tulis (literasi).
             
Dalam konteks pendidikan Islam, setidaknya ada lima redaksi yang perlu dicermati dari lima ayat di atas, dan seluruhnya berhubungan dengan topik ilmu

Pertama, perintah membaca (iqra’), disebutkan dua kali. 

Kedua, Allah SWT sebagai Rabb, Tuhan Yang Maha Mendidik, disebutkan dua kali. 

Ketiga, manusia sebagai al-Insan yaitu manusia yang dibekali potensi jasmani dan ruhani, sehingga memungkinkan untuk dididik (homo educandum), disebutkan dua kali. 

Keempat, Allah SWT yang mengajari ilmu (‘allama) –lagi-lagi disebutkan dua kali–  sedangkan manusia belum memiliki ilmu (lam ya’lam). 

Kelima, pena (al-qalam) sebagai salah satu media pendidikan dan pengajaran Allah SWT kepada manusia. 
             
Jika dipadukan, maka lima redaksi itu mengisyaratkan bahwa membaca secara kontinu merupakan proses belajar ilmu yang paling penting. Aktivitas membaca merupakan salah satu media bagi Allah SWT untuk mengajarkan ilmu kepada manusia. 

Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Mengetahui apa saja ilmu yang penting untuk diajarkan kepada manusia, karena Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan manusia sekaligus membekalinya dengan berbagai potensi jasmani dan ruhani semenjak manusia masih berada di dalam kandungan (pranatal). Apalagi Allah SWT bersifat Maha Dermawan, sehingga sangat besar peluangnya Allah SWT berkenan menganugerahkan ilmu kepada manusia. 

Sebagai al-Insan, manusia memiliki kapasitas jasmani dan ruhani untuk menerima pendidikan dan pengajaran ilmu dari Allah SWT secara langsung maupun melalui saluran-saluran ilmu yang dimilikinya, terutama panca indra, akal dan hati. Selain melalui aktivitas membaca, Allah SWT mengajari manusia melalui “al-Qalam”. 

Al-Qalam secara pasif bermakna objek-objek yang seharusnya dipelajari oleh manusia, yaitu ayat-ayat Qur’aniyyah, Kauniyyah (makrokosmos) dan Insaniyyah (mikrokosmos). Sedangkan al-Qalam secara aktif mengisyaratkan pengertian aktivitas tulis-menulis yang dapat menunjang perkembangan ilmu bagi kepentingan umat manusia. 

Berbekal pendidikan dan pengajaran dari Allah SWT serta proses belajar manusia –terutama melalui aktivitas baca dan tulis–, manusia dapat mengetahui ilmu-ilmu yang sebelumnya belum diketahui.
             
Versi Quraish Shihab, Surat al-‘Alaq [96]: 1-5 mengisyaratkan bahwa ilmu itu ada dua macam. 

Pertama, Ilmu Ladunni, yaitu ilmu yang diperoleh tanpa usaha manusia, sebagaimana Surat al-Kahfi [18]: 65. 

Kedua, Ilmu Kasbi, yaitu ilmu yang diperoleh melalui usaha manusia. Ayat-ayat yang memuat ilmu Kasbi jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang ilmu Ladunni. Secara garis besar, objek ilmu dibagi menjadi dua, yaitu alam materi dan alam non-materi. 

Setelah menelaah al-Qur’an, kaum sufi memperkenalkan ilmu yang disebut al-hadharat al-Ihaliyah al-khams (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud, yaitu: 1) alam nasut (alam materi), 2) alam malakut (alam kejiwaan), 3) alam jabarut (alam ruh), 4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), 5) alam hahut (wujud Zat Ilahi) (Shihab, 2014: 573-575).
             
Pada dasarnya, Surat al-‘Alaq [96]: 1-5 memang memotivasi umat Islam untuk mempelajari dua keterampilan dasar dalam pendidikan, yaitu membaca dan menulis. Yusuf Qardhawi menyebut bahwa melalui ayat ini, al-Qur’an telah memerintahkan umat Islam untuk belajar, terutama melalui membaca. Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan, baik secara etimologis berupa membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku, maupun secara terminologis, yaitu membaca dalam arti yang lebih luas. Maksudnya, membaca alam semesta. Sedangkan term al-Qalam pada ayat ini semakin memperjelas makna hakiki membaca sebagai alat belajar  (al-Qardhawi, 1998: 235-236).
             
Keterampilan membaca dan menulis bagaikan pintu gerbang ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Melalui Surat al-‘Alaq [96]: 1-5, al-Qur’an memberikan perhatian besar terhadap kedua aktivitas itu. Melalui media alat tulis, manusia memelihara dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Melalui keterampilan membaca dan menulis, agama menjadi tegak dan kehidupan manusia berjalan baik hingga terjadi transformasi dari kegelapan [kebodohan] menuju pencerahan [cahaya ilmu pengetahuan]. Bahkan berbagai aktivitas kependidikan dimulai dari aktivitas baca-tulis dan hampir semua ahli dalam semua bidang memulai aktivitasnya lewat baca tulis (Hanafi, 2010: 18-19).  
             
Signifikansi keterampilan membaca pada ayat di atas relevan dengan pandangan bahwa keterampilan yang paling penting dalam pembelajaran dan pendidikan adalah membaca. Kemampuan membaca (literacy: melek huruf) merupakan dasar bagi pembelajaran lainnya. Anak-anak maupun orang dewasa yang tidak dapat membaca dengan baik akan mengalami kesulitan yang signifikan dan akan sering gagal meraih potensinya di sekolah maupun kehidupan nyata (Muijs & Renolds, 2008: 315-316). 

Oleh karena itu, penulis sepakat dengan pendapat Moch. Roqib bahwa Surat al-‘Alaq [96]: 1-5 merupakan awal pembebasan buta huruf, peningkatan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan pengenalan tentang hakikat kebenaran dalam kehidupan manusia. Pemaknaan ini berarti secara historis setiap muslim telah dimotivasi untuk menjadi orang yang berilmu semenjak ayat pertama al-Qur’an diturunkan. Kemudian sendi-sendi kehidupan yang bercahayakan ilmu tersebut ditanam dan dikokohkan oleh Nabi Muhammad SAW (Roqib, 2009: 1-3).
             
Motivasi al-Qur’an kepada umat Islam agar membaca dan menulis juga mengisyaratkan keseimbangan dalam belajar. Membaca berdampak secara personal, sedangkan menulis berdampak secara komunal. Perpaduan antara membaca dan menulis akan membawa dampak personal dan komunal sekaligus. Hal ini selaras dengan natur manusia sebagai makhluk individual sekaligus makhluk sosial.          
             
Secara definitif, pengertian membaca Iqra’ (bacalah!) dalam Surat al-’Alaq [96]: 1-5 sangat luas. Hal ini tercermin dari penafsiran Quraish Shihab terhadap term Iqra’, yaitu bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Walhasil, objek perintah Iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya (Shihab, 2014: 245). Sedangkan dari sisi waktu, term Iqra’ bermakna perintah membaca di masa sekarang dan di masa yang akan datang (Ibn ‘Asyur, ttt.: 435).
             
Pendapat lain menyebutkan bahwa Iqra’ yang pertama berlaku khusus terhadap al-Qur’an sesuai dengan asbab al-nuzul ayat ini. Pandangan ini sama dengan yang disampaikan oleh al-Razi, yaitu kata Iqra’  hanya digunakan dalam konteks membaca al-Qur’an seperti yang tertera dalam al-Qiyamah [75]: 18 dan al-Isra’ [17]: 106. (al-Razy, 2000: 14). 

Selaras dengan itu, al-Biqa‘i berpandangan bahwa peniadaan objek (maf’ul) pada kata Iqra’ mengisyaratkan bahwa membaca harus ditujukan pada objek yang diperintahkan saja, sedangkan yang diperintahkan di sini adalah al-Qur’an (al-Biqa’i, 1995: 479). Sedangkan term Iqra’ yang kedua berlaku umum terhadap seluruh ilmu yang membantu menambah dan memperkuat keimanan. Selain itu, term Khalaqa yang pertama merupakan motivasi untuk menelaah makhluk, sedangkan Khalaqa yang kedua merupakan salah satu objek telaahnya, yaitu manusia sebagai objek telaah (al-Kirmany, ttt.: 252).
             
Penulis mengidentifikasi term Qara’a dan derivasinya sebanyak 88 kali dalam 79 ayat. 

Empat kali dalam bentuk fi’il madhi dan seluruhnya mengacu pada al-Qur’an sebagai objek yang dibaca (al-Nahl [16]: 98, al-Isra’ [17]: 45, al-Qiyamah [75]: 18, al-Syu’ara’ [26]: 199). 

Lima kali dalam bentuk fi’il mudhari’, tiga kali mengacu pada al-Qur’an sebagai objek yang dibaca (al-Isra’ [17]: 93, 106; al-A’la [87]: 6), kitab Taurat (Yunus [10]: 94) dan kitab catatan amal di akhirat kelak (Isra’ [17]: 71).  

Enam kali dalam bentuk fi’il amar, tiga kali dalam konteks tunggal (iqra’) dan tiga kali dalam konteks plural (iqra’u). Dalam redaksi perintah ini, dua kali mengacu pada al-Qur’an sebagai objek yang dibaca (dua kali disebutkan dalam al-Muzzammil [73]: 20), dua kali mengacu pada kitab catatan amal di akhirat sebagai objek yang dibaca (al-Isra’ [17]: 14, al-Haqqah [69]: 19), dan dua kali tanpa disertai keterangan objek yang dibaca (al-‘Alaq [96]: 1, 3), sehingga objeknya bermakna umum atau luas. 

Dua kali dalam bentuk fi’il madhi bentuk pasif dan keduanya mengacu pada al-Qur’an sebagai objek yang dibaca (al-A’raf [7]: 204, al-Insyiqaq [84]: 21).
             
Penjelasan di atas menegaskan bahwa membaca dalam konteks Qara’a dan derivasinya didominasi oleh al-Qur’an sebagai objek yang paling penting untuk dibaca manusia. Simpulan ini semakin kokoh jika mempertimbangkan kata al-Qur’an adalah derivasi dari kata Qara’a. Kata al-Qur’an disebutkan sebanyak 70 kali.
             
Konklusi yang penulis petik, ‘membaca’ dalam konteks al-Qur’an adalah upaya seseorang untuk menelaah al-Qur’an, makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) secara kontinu dengan tujuan meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah SWT. Berikut ini visualisasinya:


Konstruksi Makna Iqra' dalam al-Qur'an
             
Surat al-‘Alaq [96]: 1-5 juga memerintahkan menulis. Kesimpulan ini didasarkan pada term bi al-qalam yang berarti alat tulis (pena). Sedangkan pengertian bi al-qalam lainnya adalah hasil dari penggunaan alat tulis tersebut, yaitu tulisan. Makna ini diperkuat oleh Surat al-Qalam [68]: 1 (Shihab, 2011: 464).
             
Al-Qur’an menyebut kata al-Qalam dan derivasinya sebanyak empat kali. Dua kali dalam bentuk tunggal (al-Qalam [68]: 1, al-‘Alaq [96]: 4) dan dua kali dalam bentuk jamak (Ali ‘Imran [3]: 44, Luqman [31]: 27). 

Ketika menafsirkan Surat al-‘Alaq [96]: 4, Ibn ‘Asyur mengemukakan bahwa salah satu cara meraih ilmu adalah belajar kepada orang lain melalui muraja’ah (meninjau kembali) dan muthala’ah (menelaah); kedua-duanya membutuhkan tulisan dan membaca tulisan. Sesungguhnya melalui tulisan lah, umat manusia dapat mengkodifikasikan pemikiran-pemikiran para pakar, kemudian menyebarluaskan ke berbagai penjuru dan kepada generasi mendatang (Ibn ‘Asyur, ttt.: 441).
             
Keterampilan menulis semakin vital dalam pendidikan era informasi ini. Tugas menyusun makalah, jurnal ilmiah, laporan penelitian hingga tugas akhir studi merupakan bukti konkret signifikansi keterampilan menulis dalam pendidikan masa kini, terutama di tingkat perguruan tinggi. Signifikansi keterampilan menulis tersebut mendapat dukungan dari Peter Ducker berikut ini:

“Colleges teach the one thing that is perhaps most valuable for the future employee to know. But very few students bother to learn it. This one basic skill is the ability to organize and express ideas in writing and speaking” (Ferret, 2006: 8.10).
             
Peter Ducker di atas mengingatkan bahwa perguruan tinggi telah mengajarkan keterampilan dasar yang paling bernilai untuk diketahui oleh peserta didik di masa mendatang. Namun sedikit sekali peserta didik yang menghiraukan untuk mempelajarinya. Keterampilan dasar yang dimaksud adalah kemampuan mengorganisasikan dan mengeskpresikan ide-ide dalam bentuk tulisan dan lisan.
             
Selanjutnya keterampilan membaca dan menulis digunakan sebaik-baiknya untuk memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan. Pertanyaan filosofisnya adalah, Apakah hakikat ilmu pengetahuan (ontologi)? Bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan (epistemologi)? Untuk apa ilmu pengetahuan? (aksiologi).
             
Munzir Hitami menyatakan bahwa dari segi ontologi, ilmu adalah sekumpulan pengetahuan manusia yang berasal dari Allah SWT dan bersumber dari ayat-ayat-Nya, baik yang bersifat tanziliyyah (al-Qur’an) maupun kawniyyah (alam semesta). Sedangkan dari segi epistemologi, ilmu mengizinkan semua metode pencarian ilmu selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan, yaitu tauhid, khilafah dan ibadah. Dari segi aksiologinya, dikembangkan ilmu yang memperhatikan yang halal (diperbolehkan) dan dihindarkan dari hal-hal yang dilarang (haram) (Hitami, 2004: 23-24). 
             
Dari segi kebahasaan, al-Raghib al-Ashfahani mengajukan definisi ilmu sebagai berikut:

اَÙ„ْعِÙ„ْÙ…ُ: Ø¥ِدْرَاكُ الشّÙŠْئِ بِØ­َÙ‚ِÙŠْÙ‚َتِÙ‡ِ.
Ilmu adalah mengetahui hakikat sesuatu.

Al-Ashfahani membagi ilmu menjadi dua kategori: Ilmu teoretis (Nazhari) dan ilmu praktis (‘Amali). Ilmu teoretis berarti cukup diketahui saja, contoh: ilmu-ilmu alam. Ilmu praktis berarti harus diketahui sekaligus dipraktikkan, contoh: ilmu-ilmu ibadah (al-Ashfahani, 2003: 347-348).
          
Ibn Faris berkomentar: Pola ‘Ain-Lam-Mim menunjukkan tanda yang membedakan sesuatu dengan yang lain. Dari sini muncul redaksi “alamat” yang mengacu pada lokasi tertentu yang berbeda dengan lokasi lainnya (Ibn Faris, 2000). Definisi ini selaras dengan pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa dari segi bahasa, ilmu bermakna kejelasan. Demikian juga segala kata yang terbentuk dari akar kata ilmu mempunyai ciri kejelasan. Contoh: ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. Jadi, ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu (Shihab, 2014: 571).
             
Setelah mengkaji ilmu pengetahuan dalam perspektif al-Qur’an, secara tegas al-Kurdy membuat konklusi sebagai berikut:

Berdasarkan isyarat yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, dapat dipastikan bahwa sumber seluruh (ilmu) pengetahuan adalah Allah SWT; Dia adalah Dzat yang menciptakan dan mengajar (al-Kurdy, 1992: 520).
             
Namun agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teo-antroposentris (Abdullah, 2006: 102). Pendapat ini mengindikasikan adanya peran aktif manusia dalam upaya memperoleh ilmu pengetahuan.
             
Pada Konferensi Pendidikan Islam Pertama se-Dunia telah disepakati bahwa dasar pengetahuan Islam dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, “Pengetahuan abadi yang diberikan” berdasarkan wahyu Ilahi yang diturunkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, serta semua yang dapat ditarik dari keduanya. Kedua, “Pengetahuan yang diperoleh” termasuk ilmu-ilmu sosial, alam, dan terapan yang rentan terhadap pertumbuhan kuantitatif dan pelipat-gandaan (Priatna, 2004: 70-71).  
             
Lebih dari itu, ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam adalah ilmu yang komprehensif sebagaimana penjelasan Salah al-Din Ruslan (Ruslan, 1989: 15):

Ilmu yang diserukan oleh Islam adalah ilmu yang komprehensif. Ilmu dalam perspektif Islam adalah ilmu (pengetahuan) tentang makhluk hidup, fisika, kimia, flora dan fauna, kedokteran, keindustrian, kelautan, astronomi, dan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi manusia; sudah pasti termasuk ilmu agama, Akidah, Akhlak dan Syariat yang diserukan oleh Islam.
             
Sejalan dengan keterangan di atas, memang sudah tepat jika dikotomi ilmu pengetahuan –ilmu agama dan ilmu umum– harus segera diakhiri; karena dalam Islam, yang terpenting adalah ilmu tersebut dapat mengantarkan seseorang pada keimanan dan pembenaran terhadap agama (Islam). Berikut pernyataan lanjutan Salah al-Din Ruslan:

Islam berbeda dengan agama-agama lainnya, karena ilmu dalam Islam merupakan sebab keimanan dan jalan menuju pembenaran terhadap agama  (Ruslan, 1989: 5)
             
Dengan demikian, ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam berfungsi sebagai penguat keimanan, keIslaman dan keihsanan seseorang, bukan justru melemahkan apalagi sampai anti Tuhan dan agama, seperti yang dialami oleh sebagian ilmuwan Barat.
             
Secara spesifik, pandangan tentang ilmu pengetahuan dalam perspektif al-Qur’an dikemukakan oleh Imam Syafi’e:

“Hakikat ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah, baik melalui pengamatan, penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai alam seisinya, serta mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah dan petunjuk bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di kemudian hari” (Syafi’ie, 2000: 151).
             
Konklusi Imam Syafi’ie di atas berhubungan dengan dimensi epistemologi dan aksiologi ilmu pengetahuan menurut Islam. Catatan perlu diberikan pada kalimat terakhir yang mengindikasikan tujuan ilmu pengetahuan dalam Islam, yaitu sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Inilah salah satu segi yang paling membedakan antara ilmu pengetahuan perspektif Islam dengan ilmu pengetahuan dalam perspektif non-Islam, terutama perspektif Barat yang akhir-akhir ini mendominasi diskursus ilmu pengetahuan. Perbedaan lain antara ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam dengan ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Rosidin, 2013: 28-31): 



Perbandingan Ilmu dalam Perspektif Islam dengan Barat

Perbedaan signifikan lain antara ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam dengan ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat, terletak pada bobot kebenarannya. Menurut pola al-Qur’an, ilmu pengetahuan diperoleh melalui wahyu atau penobatan secara ketuhanan yang absolut (haqq al-yaqin), rasionalisme atau kesimpulan yang didasari pada keputusan dan penilaian atau pengharapan fakta-fakta (‘ilm al-yaqin), dan melalui empirisme dan persepsi, yaitu menggunakan observasi, eksperimen, laporan sejarah, deskripsi pengalaman kehidupan dan semacamnya (‘ayn al-yaqin) (Qomar, 2006: 110).
             
Lebih dari pada itu, ketiga sumber di atas memiliki bobot kebenaran yang berbeda secara bertingkat. Pengetahuan yang diperoleh indra yang disebut dengan ‘ayn al-yaqin itu dalam batas-batas pengamatan indra bisa dibenarkan. Namun, ternyata apa yang dinyatakan oleh indra secara kolektif tidak selalu benar, jika dilihat realitasnya secara ilmiah. Maka rasio tidak puas dengan kebenaran yang dicapai oleh indra tersebut dan sebagai konsekuensinya, rasio melakukan perenungan-perenungan untuk mendapatkan pengetahuan yang kebenarannya bisa dipercaya (‘ilm al-yaqin). 

Betapa pun rasio berusaha keras mencapai pengetahuan yang bisa dipercaya kebenarannya, tetapi kemampuan rasio manusia sangat terbatas, sehingga tidak jarang rasio kesulitan bahkan tidak mampu menembus “wilayah gelap (misteri)”. Dalam kondisi ini, rasio memerlukan bantuan spiritual dengan mengikuti wahyu untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan haqq al-yaqin. Jadi, haqq al-yaqin lebih tinggi daripada ‘ilm al-yaqin; sedangkan ‘ilm al-yaqin lebih tinggi daripada ‘ayn al-yaqin (Qomar, 2006: 110-111). Intinya, penafian ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat terhadap otoritas wahyu berimplikasi pada bobot kebenarannya yang berada di bawah ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam yang sampai pada bobot haqq al-yaqin.

Daftar Pustaka


Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif: Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.

al-Ashfahani, Al-Raghib. al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Kairo: al-Maktabah al-Tawfiqiyyah. 2003.

‘Asyur, Muhammad al-Thahir ibn. al-Tahrir wa al-Tanwir. Juz 30. Tunis: Dar Syuhun li al-Nasyr wa al-Tawzi‘. ttt.

al-Biqa‘i, Burhan al-Din. Nazhm al-Durar fi Tanasubi al-Ayat wa al-Suwar. Juz 8. Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyyah. 1995.      

Faris, Abi al-Husayn Ahmad Ibn. Maqayis al-Lughah. ttp.: Ittihad al-Kitab al-‘Arab, 2002.

Ferrett, Sharon K.. Peak Performance: Success in College and Beyond. New York: McGraw-Hill. 2006.

Hanafi, Muchlis M. [et al]. Tafsir Al-Qur’an Tematik: Pendidikan, Pembangunan Karakter dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. 2010.

Hitami, Munzir. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. Riau: Infnite Press. 2004.

al-Kirmany, Mahmud bin Hamzah. Asrar al-Tikrar fi al-Qur’an. ttp.: Dar al-Fadilah. ttt.

al-Kurdy, Rajih ‘Abd al-Hamid. Nazhariyyah al-Ma‘rifah bayn al-Qur’an wa al-Falsafah. Riyadh: Maktabah al-Muayyad. 1992.

Muijs, Danial & David Reynolds. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi. Terj. Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.

Priatna, Tedi. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Qardhawi, Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.. Jakarta: Gema Insani Press. 1998.

Roqib, Moch.. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. 2009.

Rosidin. Epistemologi Pendidikan Islam: Integrasi al-Tarbiyyah dan al-Ta’lim dalam al-Qur’an. Yogyakarta: Diandra. 2013.

Ruslan, Salah al-Din Biyuny. Al-‘Ilm fi Manzhurihi al-Islamy. Kairo: Dar al-Tsaqafah. 1989.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 15. Jakarta: Lentera Hati. 2011.

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. 2014.

Syafi’ie, Imam. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur’an. Yogyakarta: UII Press. 2000.