Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keistimewaan Nabi Muhammad SAW dan Umat Muslim


 Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com

Akhlak Rasulullah SAW
Pujian Allah SWT terhadap Keluruhan Akhlak Nabi SAW

Nabi Muhammad SAW sebagai Uswatun Hasanah

Meskipun sudah berulang kali mengkaji sirah dan profil Nabi Muhammad SAW, selalu saja ada sisi-sisi yang menarik untuk dibahas lagi. Pada kesempatan ini, penulis bermaksud mengulas ayat yang menginformasikan peran atau fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik):

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. al-Ahzab [33] : 21)

Dalam ilmu Balaghah (sastra Arab), ayat tersebut menggunakan dua huruf taukid sekaligus, yaitu kata la dan qad yang sama-sama bermakna “sungguh-sunguh”, sehingga perpaduan keduanya mengarah pada makna ‘sudah pasti’. 

Redaksi “bagi kalian” (lakum) menunjukkan unsur manfaat yang dapat diperoleh, bukan hanya secara individu, melainkan juga secara kolektif (masyarakat). 

Kata “di dalam” (fi) merupakan pakem kata yang berfungsi sebagai mubalaghah (melebih-lebihkan; hiperbolik), yakni bahwa apapun yang ada pada diri Rasulullah SAW dapat dijadikan teladan. Oleh karena itu, ayat ini tidak menyebutkan sifat tertentu pada diri beliau. 

Bagaimana tidak, Allah SWT sendiri memuji beliau melalui firman-Nya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (al-Qalam [68]: 4); ketika Sa’ad ibn Hisyam ibn ‘Amr RA bertanya tentang akhlak Nabi Muhammad SAW, Sayyidah ‘Aisyah RA menjawab: “Akhlak beliau adalah al-Qur’an”

Kata uswatun hasanah ditafsiri Ibnu ‘Asyur, “diikuti dan ditiru amal perbuatannya”. Akan tetapi, fungsi sebagai uswatun hasanah pada diri Nabi SAW, hanya dapat ditangkap oleh orang-orang yang berorientasi pada upaya taqarrub kepada Allah SWT dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. 

Selain itu, orang yang menjadikan Nabi SAW sebagai uswatun hasanah, memiliki ciri-ciri “banyak berdzikir kepada Allah SWT”. Dalam Surat Ali Imran: 31 disebutkan:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 31).

Ayat itu menjelaskan, bahwa salah satu bukti kita mencintai Allah SWT adalah kepatuhan mengikuti (ajaran) Nabi Muhammad SAW. Lalu kepatuhan itu membawa manfaat lanjutan, yaitu Allah SWT akan mencintai kita dan mengampuni dosa-dosa kita.

Sikap terhadap Nabi SAW
Sikap Ideal Umat Muslim terhadap Nabi Muhammad SAW

Fungsi uswatun hasanah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Misalnya: jika menggunakan sudut pandang individual, maka masing-masing orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada orang yang ahli sabar, namun kikir; ada orang yang ahli syukur, namun sombong; dan sebagainya. Masing-masing dari kita hanya diberi beberapa sifat terpuji, disertai beberapa sifat tercela. 

Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah melihat pada diri kita masing-masing, apa saja sifat terpuji yang paling dominan pada diri kita; selanjutnya sifat terpuji tersebut kita perkuat lagi melalui peneladanan terhadap akhlak Rasulullah SAW yang sejenis (sinonim). 

Demikian halnya, apa saja sifat tercela yang paling dominan pada diri kita; selanjutnya sifat tercela tersebut kita pudarkan dengan peneladanan terhadap akhlak Rasulullah SAW yang berlawanan (antonim) bagi sifat tercela tersebut. 

Misalnya, kita memiliki sifat terpuji berupa dermawan, maka kita perlu meneladani bagaimana kedermawanan Rasulullah SAW. Sebaliknya, apabila kita memiliki sifat tercela berupa malas, maka kita perlu meneladani bagaimana rajin dan giatnya Rasulullah SAW.

Umat Nabi SAW sebagai Umat Pilihan

Adapun dalam posisi kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita memperoleh berbagai keistimewaan yang belum pernah diberikan oleh Allah SWT kepada umat rasul-rasul sebelum beliau. Apa saja keistimewaan yang hanya khusus diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW?

Pertama, Kualitas keimanan umat Nabi SAW melebihi umat-umat sebelumnya. Mengapa demikian? Karena umat Nabi SAW percaya kepada seluruh malaikat, rasul dan kitab suci samawi tanpa membeda-bedakannya.

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali" (Q.S. al-Baqarah [2]: 285).

Kedua, Memiliki keyakinan yang sempurna berdasarkan persaksian Nabi Muhammad SAW:

Tiada satu umat pun yang diberi keyakinan lebih utama dibandingkan keyakinan yang telah diberikan kepada umatku.

Keyakinan itu memiliki tiga tingkatan, yaitu: ‘Ilmu Yaqin; ‘Ainul Yaqin; dan Haqqul Yaqin. ‘Ilmu Yaqin berarti keyakinan berdasarkan ilmu pengetahuan; ‘Ainul Yaqin berarti keyakinan berdasarkan panca indera (pengalaman empiris); sedangkan Haqqul Yaqin berarti keyakinan berdasarkan sumber wahyu Ilahi seperti al-Qur’an dan Hadis. 

Ketiga, Keringanan syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Misalnya, dalam masalah sesuci. Bagi umat Yahudi dulu, jika baju terkena najis, maka baju itu harus dipotong; sedangkan bagi umat muslim, cukup dibasuh. 

Zaman dulu, wanita yang haid tidak boleh diajak makan bersama dan tidak boleh berbaur dengan orang lain, bahkan tidak boleh berada di satu ruangan bersama dengan wanita haid. Bagi wanita muslim yang haid, mereka boleh diajak makan bersama, tinggal bersama; yang tidak diperbolehkan hanyalah berhubungan intim. 

Orang yang melakukan dosa akan memperoleh balasan yang berat. Misalnya, jika umat terdahulu berbuat dusta, maka lidahnya boleh dipotong; jika berzina, alat kelaminnya yang dipotong; jika dia melihat wanita lain, maka matanya boleh dibutakan. Bahkan jika melakukan dosa besar, seperti ketika kaum Yahudi menyembah anak sapi, maka satu-satunya jalan bertaubat adalah membunuh diri mereka sendiri, seperti pada Surat al-Baqarah [2]: 54. 

Adapun bagi kita sebagai umat Nabi SAW, memperoleh keistimewaan berupa kesempatan untuk bertaubat terlebih dahulu:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا (110)

Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Nisa’ [4]: 110).

Selain itu, umat terdahulu jika melakukan suatu kemaksiatan, maka pada pagi harinya akan ada tulisan di pintu rumah mereka: “Si Fulan melakukan maksiat begini”. Sedangkan bagi umat muslim, jika melakukan suatu kemaksiatan, tidak sampai memperoleh perlakukan yang mencoreng nama baik seperti itu. Hanya saja, ada saja di antara kita yang justru bangga menceritakan kemaksiatan yang dilakukan, padahal Allah SWT telah menutupinya.

Selain itu, umat terdahulu hanya boleh bersuci dengan menggunakan air; jika tidak ada air, maka tidak boleh shalat. Sedangkan umat muslim diberi keistimewaan boleh bersuci dengan debu, yaitu bertayammum. 

Umat terdahulu tidak boleh mendirikan shalat, kecuali di tempat khusus ibadah (mihrab). Sehingga jika seseorang bepergian, dia tidak boleh shalat di sembarang tempat, sampai dia menemukan tempat ibadah. Namun sebagai umat muslim, dapat shalat di manapun, asalkan memenuhi syarat sah, seperti suci dari najis.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.