Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengaruh Genetis (Nature) versus Lingkungan (Nurture)

Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Nature versus Nurture
Dialektika Faktor Genetis (Nurture) dan Lingkungan (Nature)

Fitrah merupakan terminologi khas pendidikan Islam. Fitrah adalah kesucian berdimensi Ilahi yang melekat pada setiap insan. Fitrah dapat diibaratkan seperti bibit yang pada dasarnya berpotensi tumbuh menjadi “pohon yang bagus” (syajarah thayyibah), namun faktanya ada yang tumbuh menjadi “pohon yang buruk” (syajarah khabitsah).

Dari sini muncul hierarki (tingkatan) kualitas manusia, mulai dari muhsin, mu’min, muslim, fasiq, munafiq, kafir hingga musyrik.  Mengapa demikian? Apakah disebabkan “bibitnya” atau “tanahnya”?

Secara teoretis, fitrah yang suci dapat tumbuh menjadi pribadi yang baik maupun pribadi yang buruk, disebabkan dua faktor pokok: pembawaan (genetis) dan lingkungan.

Bagi penganut aliran nativisme yang dipelopori Arthur Schopenhaur (1788-1860), faktor genetis (nature) yang mempengaruhi pertumbuhan manusia. Bagi penganut aliran empirisme yang dipelopori John Locke (1704-1932), faktor lingkungan (nurture) yang mempengaruhi pertumbuhan manusia. Sintesisnya adalah aliran konvergensi yang dipelopori William Stern (1871-1939) yang menilai faktor genetis dan lingkungan sama-sama mempengaruhi pertumbuhan manusia.

Jika mengacu pada tiga aliran di atas, tampaknya mayoritas pakar pendidikan Islam lebih cenderung menyetujui aliran konvergensi. Artinya, pertumbuhan fitrah manusia dipengaruhi oleh faktor genetis sekaligus lingkungan.

Signifikansi faktor genetis tampak jelas pada anjuran Rasulullah SAW agar umat muslim memilih istri yang shalihah (baik):


اخْتَارُوا لِنُطَفِكُمُ الْمَوَاضِعَ الصَّالِحَةَ

“Pilihlah untuk sperma kalian, tempat-tempat yang baik”.

Sedangkan signifikansi faktor lingkungan terlihat dalam Hadis Shahih Bukhari-Muslim tentang kisah seorang pembunuh 100 orang, yang ingin bertaubat, lalu dia diberi nasihat oleh seorang ulama sebagai berikut:

 ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ

Engkau jangan kembali ke daerahmu, karena sesungguhnya daerahmu itu daerah yang buruk.

Ibaratnya, padi berkualitas unggul berasal dari bibit padi yang berkualitas unggul pula. Namun, sebagus apapun kualitas bibit padi, tidak akan menghasilkan padi yang berkualitas jika tanahnya gersang, tidak pernah dipupuk atau tidak dirawat dengan baik.

Dalam pendidikan Islam, baik-buruknya kualitas genetis manusia dipengaruhi oleh pendidikan prenatal yang setidaknya meliputi tiga tahap.

Pertama, tahap pemilihan jodoh. Sebagaimana ulasan sebelumnya, pasangan suami-istri yang berkualitas unggul (shalih-shalihah), berpotensi besar melahirkan anak yang berkualitas unggul pula.

Kedua, tahap hubungan biologis. Kendati pasangan suami-istri sudah berkualitas unggul, jika hubungan biologis dilakukan pada kondisi yang tidak ideal –semisal ketika istri sedang haid–, maka berpotensi besar mengurangi kualitas anak yang dilahirkan.

Oleh sebab itu, sungguh bijaksana sabda Rasulullah SAW yang melarang hubungan biologis ketika istri sedang haid. Apalagi jika hubungan biologis dilakukan di luar ikatan pernikahan melalui seks bebas yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam.

Ketiga, tahap kehamilan. Seorang ibu yang mengandung janin dalam keadaan berbahagia secara psikologis dan beraktivitas positif selama masa kehamilan, berpotensi besar melahirkan anak-anak yang berkualitas.

Itulah kiranya mengapa keinginan ibu hamil (ngidam) harus dipenuhi agar hatinya bahagia, sebagaimana anjuran agar ibu hamil rajin membaca al-Qur’an, berdzikir, mengikuti majlis ta’lim, berolahraga ringan, mengonsumsi makanan dan minuman bergizi, serta menjalani aktivitas-aktivitas positif lainnya.

Adapun kualitas lingkungan dipengaruhi oleh tiga pusat pendidikan.

Pertama, keluarga. Keluarga yang mendidik secara otoritatif, lebih berpotensi menghasilkan anak yang berkualitas dibandingkan keluarga yang mendidik secara otoriter, permisif, apalagi acuh-tak-acuh.

Kedua, lembaga pendidikan. Anak berkualitas dapat dihasilkan melalui proses pendidikan di lembaga pendidikan formal (semisal sekolah), non-formal (semisal pesantren) ataupun informal (semisal majlis ta’lim).

Semakin luas dan berkualitas, lembaga pendidikan yang diakses seorang anak, semakin besar peluangnya untuk memiliki kualitas yang unggul.

Ketiga, masyarakat. Masyarakat yang berperadaban tinggi, berpotensi besar membentuk anak yang berkualitas, dibandingkan masyarakat yang berperadaban rendah.

Misalnya masyarakat yang memiliki budaya literasi (baca-tulis) tingkat tinggi, lebih berpotensi menghasilkan anak yang berkualitas unggul dibandingkan masyarakat yang memiliki budaya malas membaca dan menulis.
        Perpaduan antara faktor genetis dan lingkungan dalam menciptakan anak yang berkualitas unggul (dzurriyyah thayyibah), tercermin pada kisah Sayyidah Maryam yang dinarasikan secara indah dalam Surat Ali ‘Imran [2]: 36-38

Maka tatkala istri ‘Imran melahirkan anaknya, dia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki itu tidak seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamainya Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari setan yang terkutuk”. Lalu Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik; dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia mendapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?”. Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau, seorang anak yang baik (dzurriyyah thayyibah). Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. (Q.S. Ali ‘Imran [2]: 36-38).

Rangkaian ayat di atas mengisyaratkan bahwa Sayyidah Maryam adalah anak yang berkualitas unggul, sebagaimana disinyalir doa Nabi Zakariya AS dalam ayat 38.

Secara genetis, Sayyidah Maryam dilahirkan dari rahim ibu yang shalihah, sebagaimana tercermin dari aktivitas doa dalam ayat 36 yang mengindikasikan kedekatan sang ibu dengan Allah SWT.

Dari sisi lingkungan, Sayyidah Maryam mendapatkan pendidikan yang kondusif, baik dari segi pendidiknya –yaitu Nabi Zakariya AS– yang berstatus sebagai Rasul yang memiliki sifat shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah sebagai representasi kompetensi pendidik; maupun dari segi tempat pendidikannya –yaitu Mihrab– yang merupakan pusat ibadah, sebagaimana fungsi masjid dalam konteks kekinian.


Wallahu A’lam bi al-Shawab.