Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akhlak Tercela Perspektif Al-Ghazali


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com 

Bad Attitude
Akhlak Tercela Ibarat Ban Bocor yang Harus Diganti

Menurut KH. Hasyim Asy'ari, secara garis besar, dasar-dasar yang dapat mengobati penyakit hati itu ada 5 (lima):

Pertama, Meringankan lambung dengan menyedikit-kan makan dan minum.

Kedua, Berlindung kepada Allah SWT dari sesuatu yang kehadirannya membuat seseorang berpaling atau menyimpang.

Ketiga, Menjauh dari tempat-tempat yang khawatir terjerumus di dalamnya.

Keempat, Melanggengkan istighfar serta shalawat kepada Nabi SAW di tengah siang maupun tengah malam dengan berkonsentrasi penuh.

Kelima, Bergaul dengan orang yang menunjukkanmu kepada Allah SWT. 1

Pertama, Nafsu Perut

Rasulullah SAW bersabda: “Berjihadlah pada dirimu dengan lapar dan dahaga, karena sesungguhnya pahalanya seperti pahala jihad di jalan Allah; sesungguhnya tiada amalan yang lebih dicintai oleh Allah SWT, dibandingkan lapar dan dahaga”.

Abu Sulaiman berkata: “Bagiku, meninggalkan satu suap makan malam, lebih aku sukai daripada shalat malam hingga Shubuh”.

Sebagian syekh berkata: “Wahai murid-muridku, janganlah kalian banyak makan, sehingga membuat kalian banyak minum; lalu berakibat kalian banyak tidur; akhirnya kalian banyak merugi”.
Di antara manfaat lapar dan dahaga adalah kesehatan jiwa dan ragam; barangsiapa sedikit makan, maka sedikit pula penyakitnya; dan dia memperoleh kemampuan untuk mendahulukan kepentingan orang lain (altruis) dan memperoleh berbagai kemuliaan.2

Kedua, Nafsu Kemaluan

Sesungguhnya manfaat hubungan badan  bagi manusia terbatas pada dua hal.

Pertama, orang yang pernah merasakan kenikmatan hubungan badan dapat menyamakan dengan kenikmatan akhirat [sehingga membuatnya lebih termotivasi untuk meraih kesuksesan di akhriat]; kendati kenikmatan ukhrawi jauh lebih unggul dibandingkan nikmat duniawi; dikarenakan hubungan badan adalah kenikmatan jasmani yang paling unggul.

Kedua, untuk kelangsungan hidup manusia. Di luar itu, hubungan badan sarat dengan keburukan yang dapat merusak agama dan dunia seseorang, jika dia tidak mampu untuk mengendalikannya pada batas wajar.

Dalam satu satu kisah Nabi Musa AS, setan berkata kepada beliau:  “Janganlah engkau menyendiri dengan wanita yang tidak halal bagimu; karena sesungguhnya ketika seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita, maka saya selalu menjadi temannya hingga saya mampu memfitnahnya melalui wanita tersebut”.

Ketika nafsu kemaluan sudah melampaui batas wajar, maka solusinya adalah lapar (berpuasa) atau menikah. Inilah yang disabdakan oleh Nabi SAW agar para pemuda-pemudi segera menikah ketika sudah mampu; dan apabila belum mampu, maka hendaknya berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai bagi nafsu kemaluan.3

Ketiga, Keburukan Lisan

Sesungguhnya bahaya lisan sangatlah dahsyat. Tidak ada yang dapat selamat dari bahaya lisan, kecuali dengan diam. Oleh sebab itu, Nabi SAW memuji sikap diam: “Barangsiapa diam, maka dia selamat”. “Diam adalah hikmah; namun sedikit yang melakukannya”.

Berikut ini daftar keburukan lisan.

Pertama, berbicara yang tidak berguna. Bicara seperti ini hanya buang-buang waktu saja. Nabi SAW bersabda: “Di antara bukti bagusnya orang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak berguna”. Contoh: bercerita tentang panorama yang dilihat ketika seseorang melakukan perjalanan atau berwisata, meskipun ceritanya tidak disisipi dusta.

Kedua, berbicara berlebihan. Yaitu berbicara melebihi kadar atau mengulang-ulang pembicaraan yang tidak perlu diulang.

Ketiga, membahas panjang lebar tentang kebatilan atau kemaksiatan. Contoh: mendiskusikan lawan jenis, tempat-tempat maksiat semisal diskotek, bar, dan sebagainya.

Keempat, berdebat.

Kelima, bersengketa agar memperoleh hak atau harta dari orang lain.

Keenam, membuat-buat ucapan.

Ketujuh, mencaci maki dan berkata kotor.

Kedelapan, melaknati binatang, benda maupun manusia.

Kesembilan, nyanyian dan syair.

Kesepuluh, bercanda-tawa, kecuali hanya sedikit. Sesungguhnya yang terlarang adalah berlebihan dalam canda-tawa, sehingga menimbulkan banyak tertawa, sedangkan banyak tertawa dapat mematikan hati.

Kesebelas, meremehkan dan menghina orang lain.

Keduabelas, menyebarkan rahasia orang lain.

Ketigabelas, janji palsu.

Keempatbelas, dusta dalam perkataan maupun sumpah. 4

Kelimabelas, menggunjing (ghibah). Definisi ghibah adalah menceritakan orang lain terkait hal-hal yang dibenci orang tersebut, seandainya dia dapat mendengarnya; baik menceritakan tentang kekurangan dari segi fisik, nasab, perbuatan, perkataan, agama maupun dunia; bahkan termasuk menceritakan pakaian, rumah dan kendaraan orang lain.

Ghibah diperkenankan dalam 6 (enam) kasus berikut:

(a) untuk menginformasikan kezhaliman, semisal orang yang menerima suap atau melakukan korupsi.

(b) untuk meminta pertolongan dalam rangka mengubah kemungkaran dan mengajak kebaikan, semisal melaporkan tempat kriminal kepada polisi.

(c) untuk meminta pendapat (fatwa), semisal: “saya telah dizhalimi oleh saudaraku seperti ini, bagaimana cara saya agar ikhlas?”

(d) memperingatkan umat muslim dari keburukan orang yang digunjing.

(e) sekedar untuk identitas seseorang agar lebih mudah dikenali, semisal: si pincang.

(f) ghibah terhadap orang yang bermaksiat secara terang-terangan, semisal orang yang mengonsumsi narkotika secara terang-terangan. 5

Keenambelas, adu domba (namimah). Definisi namimah adalah membuka suatu rahasia yang tidak boleh diungkap. Jadi, inti dari adu domba adalah menyebarluaskan rahasia dan menyingkap rahasia.

Ketujuhbelas, perkataan yang munafik (oportunis), yaitu berkata A kepada A, dan berkata B kepada B, demi kepentingannya sendiri.

Kedelapanbelas, memuji. Ada enam dampak buruk dari pujian, empat bagi orang yang memuji dan dua bagi orang yang dipuji.

Dampak buruk pujian bagi orang yang memuji adalah: (a) berlebihan dalam memuji hingga pada tingkat dusta; (b) memasukkan riya’ dalam pujian; (c) menyatakan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan atau tidak pernah dilihatnya sendiri; (d) membuat senang orang yang dipuji, sedangkan orang yang dipuji berstatus zhalim atau fasik.

Sedangkan dampak buruk bagi orang yang dipuji adalah: (a) menimbulkan perasaan sombong dan ‘ujub; (b) jika dipuji atas kebaikannya, maka membuatnya lupa akan kekurangan diri sendiri, sehingga mengurangi semangat untuk berbuat baik.

Kesembilanbelas, lalai dalam kesalahan ucapan yang bersifat sangat detail-mendalam, terutama terkait dengan Allah SWT atau agama. Contoh: “Saya lepas dari Islam”; menyebut orang munafik dengan sebutan “Tuanku”; dan lain-lain.

Keduapuluh, bertanya kepada orang awam terkait akidah yang mendalam. Hal ini dikarenakan fokus orang awam adalah beramal, bukan membahas akidah dari segi keilmuan. Apabila orang awam membahas akidah yang mendalam dari segi keilmuan, dikhawatirkan akan menimbulkan perkataan yang kafir tanpa mereka sadari. 6

Keempat, Marah dan Iri Hati

Marah (ghadhab) adalah terbakarnya emosi yang membuat seseorang ingin menyakiti. Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi tiga kategori.

Pertama, orang yang kemarahannya lembek. Yaitu orang yang tidak memiliki rasa marah; atau rasa marahnya sangat lemah. Imam al-Syafi’i berkata: “Barangsiapa dibuat marah, namun dia tidak marah, maka dia (bagaikan) keledai”.

Kedua, orang yang kemarahannya wajar. Inilah sifat yang disematkan oleh Allah SWT kepada para shahabat, “sangat tegas kepada kaum kafir, dan saling menyayangi di antara sesama mereka”.

Ketiga, orang yang kemarahannya berlebihan. Yaitu orang yang kemarahannya melampaui batas wajar, sehingga tidak terkendali oleh akal maupun syariat. Kategori pertama dan ketiga sama-sama tergolong akhlak tercela; sedangkan kategori kedua tergolong akhlak terpuji.

‘Ali RA menceritakan bahwa Nabi SAW tidak pernah marah dalam urusan dunia; namun beliau sangat marah terkait masalah kebenaran. Semisal kisah kemarahan Nabi SAW terhadap orang yang menilai beliau sebagai orang yang tidak adil ketika melakukan pembagian harta rampasan perang.

Antonim dari marah adalah al-hilm dan al-kazhm. Al-Hilm adalah kemampuan meredam amarah melalui kendali akal. Jadi, al-Hilm merepresentasikan kesempurnaan akal dan kemampuan meredam kemarahan di bawah kendali akal. Sedangkan al-Kazhm adalah meredam amarah dengan cara memaksakan diri untuk tidak melampiaskannya. Jadi, status al-Kazhm masih di bawah al-Hilm.

Iri hati (hasud) merupakan hasil dari perasaan dendam (hiqdun); sedangkan dendam merupakan hasil dari perasaan marah. Rasulullah SAW menegaskan bahwa hasud itu dapat membakar kebaikan sebagaimana api membakar kayu. Hakikat hasud adalah membenci kenikmatan Allah SWT yang diberikan kepada orang lain dan berharap agar kenikmatan itu lepas atau hilang dari orang tersebut. Jika seseorang tidak membencinya dan tidak pula menginginkan agar kenikmatan itu lepas atau hilang dari orang lain, melainkan berharap agar dirinya memperoleh kenikmatan yang serupa, maka bukan tergolong hasud (iri hati), melainkan ghibthah (harapan memiliki).

Ingatlah bahwa iri hati mendatangkan banyak dampak negatif, baik di dunia maupun di akhirat. Antara lain: orang yang iri hati akan merasa tersakiti siang dan malam. Di sisi lain, orang yang iri hati sama saja dengan memberikan pahala kepada orang lain yang dijadikan sasaran iri hati; dan dirinya sendiri mendapatkan dosa tambahan. 7

Kelima, Keburukan Dunia

Dunia dan akhirat merupakan istilah untuk menyebut dua jenis keadaan. Keadaan sebelum kematian disebut “dunia”, sedangkan keadaan setelah kematian disebut “akhirat”. Dalam konteks ini ada tiga bagian dunia.

Pertama, Ilmu dan amal yang akan menemani manusia setelah kematian, maka tergolong akhirat, meskipun dari tampilannya tergolong dunia. Misalnya Rasulullah SAW bersabda: “Dianugerahkan cinta kepadaku dari dunia kalian: wewangian, wanita dan dijadikan penenang jiwa kepadaku dalam shalat”. Dalam Hadis ini Nabi SAW menempatkan shalat termasuk bagian dari dunia.

Kedua, Segala sesuatu yang memuat kelezatan temporer dan tidak berbuah setelah kematian kelak, seperti maksiat dan perkara-perkara mubah yang melebihi kebutuhan manusia.

Ketiga, Segala bagian yang kelak dapat membantu amal akhirat, misalnya makanan, minuman, pakaian dan pasangan hidup yang sesuai kadar kebutuhan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia terbagi menjadi tiga golongan.

Pertama, manusia yang hanya peduli pada dunia sebatas apa yang dapat berguna untuk memberi energi dalam perjalanan ke akhirat.

Kedua, manusia yang diliputi oleh syahwat dan kelalaian, sehingga dia bekerja demi makan dan berpakaian; serta makan dan berpakaian demi bekerja.

Ketiga, manusia yang peduli pada dunia sebatas untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. 8  

Keenam, Keburukan Harta dan Bakhil

Harta itu dari satu sisi terpuji, namun di sisi lain tercela. Apabila harta dijadikan sebagai sarana untuk ibadah, maka statusnya adalah terpuji; sedangkan jika harta dijadikan sarana untuk maksiat dan menuruti syahwat, maka statusnya adalah tercela. Harta itu ibarat bisa ular. Bagi sebagian orang, bisa ular itu membahayakan karena mengandung racun. Namun bagi sebagian yang lain, bisa ular dapat dimanfaatkan sebagai obat.

Sikap tercela terkait harta adalah tamak dan berusaha mencari harta dengan merendahkan diri di hadapan orang-orang kaya. Sikap tercela lainnya adalah bakhil. Biasanya sifat bakhil disebabkan oleh rasa cinta terhadap syahwat dan fantasi, sedangkan harta merupakan media untuk memenuhi keinginan syahwat dan fantasi tersebut. 9

Ketujuh, Keburukan Pangkat dan Riya’

Sesungguhnya asal-muasal pangkat (jabatan) adalah ingin meraih popularitas. Keinginan tersebut merupakan akhlak tercela. Hakikat pangkat adalah keinginan menguasai hati orang lain. Berbekal pangkat, dia ingin meraih keluhuran dan “memperbudak” manusia. Orang yang memiliki pangkat itu mencintai kesempurnaan dan mencari kesempurnaan. Lalu dia mengharapkan pujian atas kesempurnaan yang dimiliki. Oleh sebab itu, orang yang memiliki pangkat sangat membenci celaan, karena celaan menunjukkan adanya kekurangan.

Riya’ adalah keinginan agar dilihat oleh masyarakat. Orang yang riya’ dapat menggunakan jalur non ibadah dan jalur ibadah. Contoh perbuatan riya’ melalui jalur non ibadah adalah berpakaian kasar (lusuh), bertutur kata pelan, berjalan dengan penuh ketenangan dan menunduk, bersikap bagaikan seorang ahli ilmu, dan sebagainya. Contoh perbuatan riya’ melalui jalur ibadah adalah memperpanjang rukuk dan sujud ketika shalat bersama orang lain, agar dinilai zuhud.

Catatan pentingnya adalah apabila seseorang ingin beribadah, lalu dia khawatir timbul riya’, maka sebaiknya dia tidak meninggalkan ibadah dengan alasan takut riya’, karena memang yang demikian itulah yang diharapkan oleh setan, yaitu agar seseorang meninggalkan ibadah. Sikap yang terbaik adalah tetap beribadah, sembari berusaha menghilangkan sikap riya’ secara terus-menerus. Oleh sebab itu, ada sebagian ulama yang berkomentar: “Riya’ adalah meninggalkan ibadah disebabkan takut dilihat makhluk; sedangkan melakukan ibadah dikarenakan makhluk adalah sikap munafik murni”. 10

Kedelapan, Sombong dan ‘Ujub

Dalam Hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah SWT berfirman:

اَلْكِبْرِيَاءُ رِدَائِيْ وَالْعَظَمَةُ إِزَارِيْ، فَمَنْ نَازَعَنِيْ وَاحِداً مِنْهُمَا أَلْقَيْتُهُ فِي جَهَنَّمَ وَلاَ أُبَالِيْ

Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa menentang-Ku dalam salah satu dari keduanya, niscaya akan Aku jerumuskan dia ke dalam neraka Jahannam dan Aku tidak peduli.

Sombong merupakan sifat buruk yang muncul dari melihat [kelebihan atau kehebatan] diri sendiri. Sehingga muncul perasaan superior terhadap orang lain dan meminta mereka untuk melayani dan rendah diri kepadanya.

Terkait ‘Ujub, Rasulullah SAW bersabda:

ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Tiga hal yang membinasakan: Kikir yang ditaati; hawa nafsu yang diikuti; dan ‘ujub (kagum) pada diri sendiri.

‘Ujub adalah sikap sombong yang muncul dalam diri seseorang dengan mengandaikan kesempurnaan ilmu atau amalnya. Jika dia merasa bahwa ilmu dan amalnya dapat lenyap, maka tidak terkategorikan ‘Ujub; demikian halnya jika dia merasa bahwa ilmu dan amal tersebut merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Disebut ‘Ujub jika dia menyematkan ilmu dan amal yang dimiliki kepada dirinya sendiri. 11  

Kesembilan, Golongan yang Tertipu

Tertipu adalah meyakini sesuatu yang bertolak-belakang dengan kenyataan.

Contoh pertama golongan yang tertipu adalah orang-orang yang menduga bahwa dunia adalah realitas, sedangkan akhirat adalah fantasi, sehingga mereka hanya mengejar dunia dan melupakan akhirat. Mereka ini adalah orang-orang kafir.

Contoh kedua adalah orang-orang yang mengandalkan ketakwaan atau ibadah orangtua dan nenek-moyangnya, namun mereka sendiri tidak mau bertakwa atau beribadah.

Dalam konteks ini, patut mengingat firman Allah SWT terhadap Nabi Nuh AS terkait putranya yang kafir:

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (46) قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ (47)

Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia (Kan’an) bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.". (Q.S. Hud [11]: 46-47)

Contoh ketiga adalah orang-orang berilmu (ulama) yang ilmunya tidak menambah ketakutannya kepada Allah SWT. Barangsiapa tidak mengetahui aib diri sendiri; atau mengetahui aib diri sendiri, namun tidak berusaha untuk menghilangkan air tersebut, berarti dia tertipu; ilmunya tidak bermanfaat sama sekali baginya.

Contoh keempat adalah orang-orang yang ahli ibadah. Yaitu orang-orang yang melalaikan ibadah-ibadah fardhu, disebabkan terlalu fokus pada hal-hal sunah. Demikian juga dengan orang-orang yang menunaikan puasa dan haji, namun tidak memenuhi syarat-syaratnya, seperti taubat dan tidak menolak kezhaliman.

Contoh kelima adalah orang-orang yang menampakkan diri sebagai kaum sufi dengan berpakaian ala sufi. Mereka sudah puas dengan pakaian dan tampilan-tampilan fisik ala sufi; padahal hati mereka sama sekali tidak demikian.

Contoh keenam adalah orang-orang yang memiliki harta benda. Mereka bersedekah untuk membagun masjid, lembaga pendidikan dan fasilitas umum lain, kemudian nama mereka ingin dicatat dan populer di kalangan umat manusia. Demikian halnya mereka yang mencari harta benda dengan berbagai cara, termasuk melalui jalur kezhaliman dan korupsi. 12

Catatan Kaki

1] Muhammad Hasyim Asy’ari, al-Risalah Jami’ah al-Maqashid (Tebuireng: Pustaka Warisan Islam, tt.), h. 35.

2] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2004), h. 131-132.

3] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 135-136.

4] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 138-142.

5] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 142-143.

6] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 144-145.

7] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 146-149.

8] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 152-153.

9] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 155-158.

10] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 161-169.

11] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 170-171.

12] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din, h. 172-177.


Posting Komentar untuk "Akhlak Tercela Perspektif Al-Ghazali"