Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Tarbawi Basmalah (Q.S. al-Fatihah [1]: 1)


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Bismilah
Kaligrafi Basmalah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan nama Allah, yang Rahman lagi Rahim

Prolog

Tulisan ini menguraikan tafsir Surat al-Fatihah [1]: 1 dari perspektif para mufasir yang berpotensi untuk diperluas maknanya ke arah pendidikan. Kemudian penulis berikhtiar untuk menyibak nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam suatu penafsiran. Harapannya, diperoleh sejumlah nilai-nilai edukatif yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan praktis. Itulah mengapa tulisan ini berjudul “Tafsir Tarbawi”, yaitu tafsir al-Qur’an dari sudut pandang pendidikan (tarbiyyah; tarbawi). 

Status Basmalah

Surat al-Fatihah [1]: 1 populer dengan sebutan Basmalah. Yaitu sebuah kreasi kata baru (naht) yang berasal dari perpaduan kata Bismi dan Allah, lalu diikutkan dengan timbangan kata (wazanfa’lala, sehingga menjadi Basmala, namun yang digunakan adalah bentuk mashdar-nya, Basmalah. Tujuan kreasi kata baru ini untuk meringkas penyebutan suatu kalimat dengan sebuah kata yang ringkas, agar mudah diucapkan, karena sering dipergunakan. Model penamaan yang sama berlaku pada kalimat Subhanallah yang disebut Sabhalaal-Hamdulillah disebut HamdalaLa Haula wa La Quwwata illa Billahi disebut Hauqala; dan lain sebagainya.

Para ulama berbeda pendapat tentang status Basmalah dalam Surat al-Fatihah. Para pakar al-Qur’an (Qurra’) dan Fikih (Fuqaha’) dari Madinah, Basrah dan Suriah menilai bahwa Basmalah bukan termasuk ayat dari Surat al-Fatihah maupun surat-surat lainnya (kecuali Q.S. al-Naml [27]: 30). Basmalah ditulis sekedar sebagai pemisah dan memohon berkah (tabarruk), sebagaimana Basmalah dibaca sebelum melakukan setiap aktivitas yang berharga. Menurut sementara pakar, pemakaian Basmalah sebagai pemisah atau awal Surat, terinspirasi oleh kisah Nabi Sulaiman AS yang memulai suratnya dengan Basmalah. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Hanafi, Imam Maliki, al-Auza’i. Implikasinya, mereka tidak membaca Basmalah secara keras (jahr) dalam shalat.  

Sedangkan Qurra’ dan Fuqaha’ dari Makkah dan Kufah, menilai bahwa Basmalah termasuk ayat dari Surat al-Fatihah. Pendapat ini dipedomani oleh Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan Abu Tsaur. Pendapat lain dari Imam Syafi’i menjadikan Basmalah sebagai bagian dari surat-surat lainnya, selain Surat al-Taubah. Implikasinya, mereka membaca Basmalah secara keras (jahr) dalam shalat. Pendapat ini didukung riwayat Ibn ‘Abbas: “Barangsiapa meninggalkan Basmalah, berarti telah meninggalkan 114 ayat dari Kitabullah”.

Di sisi lain, para ulama sepakat bahwa Basmalah adalah bagian dari al-Qur’an dalam Surat al-Naml [27]: 30

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Mengingat Surat al-Naml [27]: 30 berkenaan dengan kisah Nabi Sulaiman AS, maka dapat dikatakan bahwa Basmalah adalah bacaan yang sudah lama dikenal.

Status Huruf Ba’

Para pakar kembali berbeda pandangan mengenai status huruf Ba’ dalam BasmalahPendapat Pertama, statusnya sebagai huruf tambahan (zaidah) yang berfungsi menunjukkan keagungan Allah SWT. Kedua, statusnya sebagai huruf asli yang mengandung dua makna: (a) perintah (amar), seolah-olah bermakna: “mulailah dengan Basmalah”; (b) informasi (khabar), seolah-olah bermakna, “Saya memulai dengan Basmalah”.

Ada juga mufasir yang memahami huruf Ba’ dalam konteks ilmu Ma’ani. Misalnya, Ibnu ‘Asyur menilai bahwa Ba’ dalam Basmalah bermakna “menemani” (mushahabah). Fungsi ini lebih bagus daripada sekedar memaknai Ba’ dalam pengertian sebagai “alat”. Dengan kata lain, penerjemahan Basmalah yang lebih bagus adalah “Bersama asma Allah”.

I’jaz al-Rasm al-‘Utsmani dalam lafal بِسْمِ

Seharusnya, ketika huruf Ba’ bertemu kata Ismun, maka cara penulisan yang benar dengan menggunakan huruf Alif (بِاسْمِ); namun al-Qur’an justru menulisnya tanpa memakai huruf Alif (بِسْمِ).

Dalam al-I’jaz al-Qur’ani fi al-Rasm al-‘Utsmani karya ‘Abd al-Mun’im Kamil Sya’ir disebutkan bahwa redaksi  اللهِ بِسْمِ (tanpa Alif) disebutkan tiga kali dalam al-Qur’an (Q.S. al-Fatihah [1]: 1; Hud [11]: 41; al-Naml [27]: 30). Sedangkan redaksi بِاسْمِ رَبِّكَ (dengan Alif) disebutkan empat kali dalam al-Qur’an (Q.S. al-Waqi’ah [56]: 24, 96; al-Haqqah [69]: 52; al-‘Alaq [96]: 1).

Hikmah pertama, penghapusan huruf Alif dalam redaksi  اللهِ بِسْمِ menunjukkan keagungan asma Allah SWT, sehingga nama “Allah” hanya layak disandang oleh Allah SWT semata.

Hikmah kedua, penghapusan huruf Alif dalam  اللهِ بِسْمِ mengisyaratkan agar umat muslim bergegas dalam konteks ibadah kepada Allah SWT; sedangkan penetapan huruf Alif dalam بِاسْمِ رَبِّكَ mengisyaratkan agar umat muslim bersabar dalam konteks pendidikan. Misalnya, jika terdengar adzan, seorang muslim bergegas menyambutnya; namun ketika belajar, seorang muslim perlu bersabar untuk menguasai suatu ilmu.

Hikmah ketiga, karena lafal  اللهِ بِسْمِ sering digunakan, maka ditulis tanpa huruf Alif; sedangkan lafal بِاسْمِ رَبِّكَ jarang digunakan, maka ditulis dengan menggunakan huruf Alif.

Makna Kata إِسْمٌ

Ismun (إِسْمٌ) berasal dari dua akar kata. Pertama, dari kata simah (سِمَةٌ) yang berarti “tanda”. Kedua, dari kata sumuw (سُمُوٌّ) yang berarti “luhur”. Ringkasnya, nama adalah tanda yang menjadi identitas sesuatu atau seseorang; dan biasanya nama adalah sesuatu yang dipandang tinggi atau luhur.      

Makna Kata الله

Banyak ulama berpendapat bahwa kata Allah tidak terambil dari akar kata apapun; namun banyak ulama lain berpendapat bahwa kata Allah berasal dari akar kata إله (god; tuhan; pakai “t” dan “g” kecil) yang dibubuhi alif dan lam (الthe; yang itu), sehingga Allah bermakna “Tuhan yang itu (God; Tuhan; pakai “G” dan “T” besar)”. Artinya, Allah menjadi nama yang bersifat khusus, sehingga tidak dikenal bentuk jamaknya.

Allah merupakan nama yang dipilih sendiri oleh Allah SWT sesuai ayat berikut:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Q.S. Thâhâ [20]: 14).

Sedangkan “Ilâh (إله)” bermakna “segala sesuatu yang disembah”. Artinya, Ilâh menjadi nama yang bersifat umum, sehingga memiliki bentuk jamak, yaitu Âlihah (ألِهَة). Dari segi lafalnya, kata Allah (الله) terlihat keistimewaannya ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah (الله) dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi Lillâhi (لله) yang berarti Milik/bagi Allah. Kemudian hapus awal kata Lillâhi itu, akan terbaca Lahu (لَهُ) yang berarti Bagi-Nya. Selanjutnya hapus lagi huruf awal dari Lahu, akan terdengar dalam ucapan Hu (ــهُ) yang berarti Dia (menunjuk Allah); dan bila ini pun dipersingkat, akan dapat terdengar suara Ah yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tetapi pada hakikatnya adalah seruan permohonan kepada Allah SWT. Karena itu, sementara ulama berkata bahwa kata Allah terucapkan oleh manusia, sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah satu bukti adanya Fitrah dalam diri manusia.

Di sisi lain, berdasarkan akar katanya, Ilah (Tuhan) bermakna “berlindung” dan “menyembah”. Dengan kata lain, Tuhan adalah Zat yang disembah oleh manusia, karena manusia membutuhkan perlindungan dan pertolongan-Nya.

Makna Kata الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Sifat al-Rahman lebih unggul daripada al-Rahim, sebagaimana tersaji dalam tiga perbedaan al-Rahman dan al-Rahim berikut. Pertamaal-Rahman bermakna kasih sayang Allah SWT kepada seluruh makhluk, sedangkan al-Rahim berarti kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya yang taat. Keduaal-Rahman berlaku di dunia dan akhirat, sedangkan al-Rahim berlaku di akhirat saja. Ketigaal-Rahman hanya boleh disandang oleh Allah SWT semata, sedangkan al-Rahim dapat disandang oleh makhluk. Semisal Nabi Muhammad SAW yang dilabeli sebagai Rahim.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi penyayang (rahim) terhadap orang-orang mukmin (Q.S. al-Taubah [9]: 128).

Nilai-Nilai Tarbawi

Nilai tarbawi pertama adalah sikap mempermudah. Sejalan dengan istilah Basmalah yang digunakan untuk mempermudah penyebutan Bismillahi al-Rahman al-Rahim. Secara kontekstual, guru dapat mempraktikkan gaya pembelajaran yang mempermudah murid dalam memahami materi pelajaran. Misalnya, membuat akronim atau singkatan PBNU untuk mempermudah murid dalam mengingat empat pilar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Bentuk teraktual dari pembelajaran yang mempermudah murid adalah peta konsep (mind map), yaitu meringkas materi pelajaran yang panjang-lebar, ke dalam bentuk visualisasi grafis yang singkat-padat, sehingga lebih mudah dipelajari.     

Nilai tarbawi kedua adalah toleransi. Para ulama berbeda pendapat terkait status Basmalah. Apakah termasuk bagian Surat al-Fatihah atau tidak. Kendati para ulama berbeda pendapat, namun masing-masing pihak menghormati pihak lain yang memiliki pendapat berbeda. Oleh sebab itu, sudah bukan zamannya lagi mempertentangkan apakah seseorang itu shalat dengan membaca Basmalah secara keras (jahr), atau tidak. Karena keduanya sama-sama memiliki dalil yang kuat. Perlu juga meneladani watak toleran yang dimiliki oleh para ulama. Semisal semboyan Imam al-Syafi’i, “Pendapatku benar, namun berpeluang salah; sedangkan pendapat orang lain salah, namun berpeluang benar”.

Nilai tarbawi ketiga adalah menyertai setiap aktivitas dengan Basmalah. Sesuai dengan huruf Ba’ dalam Basmalah yang bermakna mushahabah atau menyertai. Oleh sebab itu, kita disunahkan untuk menyertai segala aktivitas yang positif dengan bacaan Basmalah. Terlebih ada sebuah Hadis Nabi SAW:

كُلُّ أَمْرٍ ذِىْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ أَقْطَعُ

Setiap perkata yang berguna, yang tidak diawali dengan (bacaan) Bismillahi al-Rahman al-Rahim, adalah terputus (minim berkah).

Aktivitas yang diawali Basmalah dapat mendatangkan pahala dan berbagai manfaat lain. Antara lain meredam keinginan berbuat maksiat dalam aktivitas yang akan dilakukan, karena Basmalah tidak boleh disandingkan dengan aktivitas yang tergolong maksiat, seperti mencuri, menyontek, dan sebagainya. Selain itu, jika seseorang membaca Basmalah sebelum memulai suatu aktivitas, secara otomatis akan mengangkat aktivitas yang dilakukan ke derajat yang sangat luhur. Ibaratnya, orang niat bekerja demi keluarga atau orangtua saja sudah dinilai luhur, apalagi jika dia niat bekerja demi Allah SWT.  

Nilai tarbawi keempat adalah menekankan “kecepatan” dalam urusan ibadah; dan “kesabaran” dalam urusan pendidikan.

Sikap responsif terhadap aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan ibadah, terutama ibadah mahdhah, sesuai isyarat penulisan redaksi  اللهِ بِسْمِ tanpa Alif. Apalagi ada ayat yang memerintahkan umat muslim agar bergegas menuju tempat shalat, ketika azan Jum’at berkumandang (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 9). Rasulullah SAW pernah ditanya, apakah amal yang paling afdhal (istimewa)? Beliau menjawab: “Shalat di awal waktu”.

Sebaliknya, sikap sabar perlu ditekankan dalam aktivitas pendidikan, sesuai isyarat penulisan redaksi بِاسْمِ رَبِّكَ dengan memakai Alif. Pentingnya sikap sabar dalam konteks pendidikan diisyaratkan dalam kisah rihlah ilmiah Nabi Khidhir AS bersama Nabi Musa AS. Kata sabar diulang sebanyak tujuh kali dalam Surat al-Kahfi [18]: 65-82. Misalnya, Apabila kita tidak mampu memahami suatu materi pelajaran dalam satu kali baca, maka kita bisa mengulangnya dua, tiga hingga sebanyak mungkin, sesuai kemampuan. Insya Allah, suatu saat kita akan memahami materi tersebut.

Nilai tarbawi kelima adalah nama seharusnya mencerminkan identitas sekaligus keluhuran. Jika dikontekstualisasikan dengan pendidikan, akreditasi merupakan cermin dari identitas dan keluhuran suatu lembaga pendidikan. Semakin tinggi nilai akreditasi yang disandang, semakin tinggi pula reputasi lembaga pendidikan di mata masyarakat. Dalam konteks subyek pendidikan, baik peserta didik, tenaga kependidikan, apalagi pendidik, sama-sama diwajibkan menjaga nama baik pribadi maupun institusi. 

Nilai tarbawi keenam adalah menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tempat berlindung, dengan cara aktif beribadah kepada-Nya. Secara ideal dapat dikatakan bahwa tujuan hakiki dari pendidikan Islam adalah membina peserta didik agar menjadi hamba Allah yang aktif beribadah kepada Allah SWT, sesuai dengan tujuan asasi penciptaan manusia yang termaktub dalam Surat al-Dzariyat [51]: 56. Oleh sebab itu, baik-buruknya kualitas lulusan pendidikan Islam ditentukan oleh baik-buruknya kualitas ibadah para lulusan tersebut. Itulah mengapa, setiap lembaga pendidikan Islam pasti menekankan nilai-nilai spiritual yang umumnya disingkat dengan IMTAQ (Iman dan Taqwa).

Nilai tarbawi ketujuh adalah pendidikan yang mempromosikan kasih-sayang. Sesuai dengan misi agung Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Ada dua jenis kasih sayang yang dapat diimplementasikan dalam lembaga pendidikan Islam. Pertama, kasih sayang dalam konteks al-Rahman yang bersifat universal dan objektif. Misalnya, mendidikkkan toleransi dalam bentuk persaudaraan antar sesama umat muslim (ukhuwwah Islamiyyah), antar warga negara (ukhuwwah wathaniyyah), antar umat manusia (ukhuwwah basyariyyah), bahkan antar makhluk (ukhuwwah ‘alamiyyah).  Kedua, kasih sayang dalam konteks al-Rahim yang bersifat partikular dan subyektif. Misalnya, menerapkan metode pendidikan al-targhib wa al-tarhib yang identik dengan reward and punishment. Artinya, peserta didik, tenaga kependidikan maupun pendidik yang dinilai berprestasi, dapat dianugerahi penghargaan yang relevan. Sebaliknya, peserta didik, tenaga kependidikan maupun pendidik yang dinilai melalaikan kewajiban-kewajibannya, dapat ditegus, diperingatkan, dihukum bahkan dikeluarkan. Sejalan dengan prinsip kasih-sayang ini, maka segala bentuk perkataan dan perbuatan yang mengarah pada kekerasan, seperti bully hingga doktrin terorisme harus dibuang jauh-jauh dari lingkaran pendidikan.      
Epilog

Tulisan ini mengetengahkan dua model pemaknaan al-Qur’an. Pertama, penafsiran Surat al-Fatihah [1]: 1 yang didasarkan pada literatur tafsir yang menjadi referensi tulisan ini, sehingga sifatnya cenderung objektif. Kedua, perluasan makna terhadap penafsiran Surat al-Fatihah [1]: 1 sebagaimana poin pertama, ke dalam konteks pendidikan (tarbawi), sesuai dengan kecenderungan tafsir (naz’ahittijah) yang penulis terapkan. 

Daftar Bacaan

Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn ‘Asyur
Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab
Tafsir al-Nukat wa al-‘Uyun karya al-Mawardi
Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsari
Al-I’jaz al-Qur’ani fi Rasm al-‘Utsmani karya ‘Abd al-Mun’im Kamil Sya’ir


Singosari, 30 Desember 2017

Posting Komentar untuk "Tafsir Tarbawi Basmalah (Q.S. al-Fatihah [1]: 1)"