Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Virus Penghapus Pahala Amal Shalih


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Penghapus Pahala
Mewaspadai Virus-Virus Penghapus Pahala Amal Shalih

Kita patut bersyukur atas perkembangan teknologi saat ini yang membuat kita semakin mengerti dan memahami ajaran Islam yang semula abstrak, sekarang menjadi lebih konkret.

Misalnya, bisa jadi generasi masa lampau hanya menerka-nerka maksud dari pernyataan “Allah SWT mengawasi setiap gerak-gerik manusia di dunia”. Bagi generasi masa kini, teknologi CCTV membuat kita memiliki gambaran lebih konkret tentang sifat Muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.

Contoh lain, generasi masa silam kerap mengibaratkan tugas Malaikat Izra’il dalam mencabut nyawa seolah-olah seperti orang yang mengambil butir-butir nasi di piring. Bagi generasi sekarang, teknologi Handphone berupa SMS massal membuat kita lebih memahami bagaimana Malaikat Izra’il mencabut nyawa manusia seantero dunia. Ibaratnya, setiap manusia memiliki nomor sendiri-sendiri. Jika tiba ajalnya, maka Malaikat Izra’il tinggal mengirim “SMS kematian” ke nomor kita masing-masing.

Contoh terakhir, ketika kita mengetik sebuah dokumen di komputer, maka ada kemungkinan dokumen tersebut terkena virus, sehingga kita tidak dapat lagi mengaksesnya di lain kesempatan. Contoh ini erat kaitannya dengan amal shalih yang dilakukan manusia di dunia. Artinya, setiap amal shalih yang dilakukan oleh manusia di dunia, belum tentu dapat diakses atau dinikmati hasilnya di akhirat kelak. Hal itu terjadi apabila ada virus-virus yang menyerang amal shalih tersebut, sehingga menjadi hangus atau tidak berpahala. Ini pula yang dirasakan oleh para penghuni neraka yang merasa sudah bersusah-payah beramal, namun tidak berpahala sama sekali, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 3

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ.

Bekerja keras lagi kepayahan (Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 3) 

Lalu bagaimana dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Zalzalah [99]: 7

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ.

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7)

Quraish Shihab menyatakan bahwa kalimat ‘melihat’ belum tentu memiliki. Ya benar, kita semua akan melihat amal kebaikan kita di akhirat kelak; namun hal itu tidak menjamin bahwa kita dapat menikmati pahala amal kebaikan tersebut. Mengapa demikian? Mari kita tengok sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW dalam Shahih Muslim:

اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ اِلاّ طَيِّبًا.

Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik; Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik saja.

Pada titik ini, kita perlu mengkaji lebih jauh apa karakteristik sebuah amalan itu dinilai baik, dan apa karakteristik sebuah amalan itu dinilai buruk. Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba untuk mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dengan kata kunci  “يَقْبَلُ” yang berarti “suatu amalan itu baik dan diterima oleh Allah SWT”; dan kata kunci “حَبِطَ” yang berarti “suatu amalan itu buruk, sehingga akan musnah dan berpahala di akhirat kelak”.

Pertama-tama, kita bahas virus-virus yang menyebabkan amal shalih tidak berpahala di akhirat kelak, karena dinilai hangus. Penulis mendapati sekitar 16 ayat yang membahas tentang hal-hal yang menyebabkan amal shalih menjadi hangus. Apabila dikaji lebih jauh, seluruh ayat tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga kategori, yaitu virus-virus yang menyerang amal shalih dari sisi Iman, Islam dan Ihsan.

Pertama, virus-virus yang menyerang dimensi Iman adalah kemusyrikan, kekafiran dan kemurtadan. Perhatikan ayat-ayat berikut:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا. الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا. أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا.

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka terhapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat (Q.S. al-Kahfi [18]: 103-105)

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (Q.S. al-Baqarah [2]: 217)

Pada intinya, virus berupa kemusyrikan, kekafiran dan kemurtadan bukan hanya sekedar menghapus amal-amal kebaikan kita, bahkan justru berdampak pada kekekalan di neraka. Na’uzu Billah min Dzalik.

Kedua, virus-virus yang menyerang dimensi Islam adalah kemunafikan dan kefasikan.

فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ. وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلَاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ.

Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana".  Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Oleh karena itu, mereka menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: “Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwa mereka benar-benar beserta kamu?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi (Q.S. al-Ma’idah [5]: 52-53).

Wujud konkret dari kemunafikan dan kefasikan dijelaskan oleh dua ayat berikut:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا.

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (Q.S. al-Nisa’ [4]: 142)

قُلْ أَنْفِقُوا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا لَنْ يُتَقَبَّلَ مِنْكُمْ إِنَّكُمْ كُنْتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ. وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ.

Katakanlah: “Nafkahkanlah hartamu baik dengan sukarela atau pun dengan terpaksa, namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu.  Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik.” Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (Q.S. al-Taubah [9]: 53-54).

Dari dua ayat ini dapat dipahami bahwa kemunafikan lebih parah daripada kefasikan. Alasannya, kemunafikan berangkat dari hati yang sudah kotor; lalu berdampak pada sikap malas-malasan dalam beribadah; seandainya orang-orang munafik itu ‘kebetulan’ semangat beribadah, maka dapat dipastikan ada motif riya’ (pamer) dan ibadahnya hambar karena hampa dari mengingat Allah SWT. Sedangkan kefasikan lebih terkait dengan tampilan luar yang menampakkan kemalasan atau keengganan untuk melaksanakan ibadah.

Ketiga, virus-virus yang menyerang dimensi Ihsan adalah orientasi duniawi dan akhlak tercela.

Terkait amalan shalih yang terhapus karena bermotif orientasi duniawi, Allah SWT berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ . أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan? (Q.S. Hud [11]: 15-16).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ.

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, lalu batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (Q.S. al-Baqarah [2]: 264).

Keberadaan akhlak tercela pada diri manusia yang menyebabkan musnahnya amal shalih ditegaskan dalam Hadits riwayat Abu Hurairah RA:

أنَّ النَّبيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إيَّاكُمْ وَالحَسَدَ؛ فَإنَّ الحَسَدَ يَأكُلُ الحَسَنَاتِ كَمَا تَأكُلُ النَّارُ الحَطَبَ. رواه أَبُو داود.

Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Waspadalah terhadap sikap iri hati (hasud), karena iri hati itu memakan amal-amal kebaikan seperti halnya api yang menghanguskan kayu bakar” (H.R. Abu Dawud).

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin menyajikan sebuah Hadits yang walaupun dari segi sanad dinilai dha’if oleh al-Jawzi, namun dari segi matan dapat diterima, karena isinya tidak bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an maupun Hadits Shahih. Dalam Hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW bercerita kepada Mu’adz ibn Jabbal RA bahwa setiap pagi dan sore, Malaikat Hafazhah melaporkan amal perbuatan manusia kepada Allah SWT.

Ketika mau melaporkan catatan amal manusia, Malaikat Hafazhah harus melewati pemeriksaan tujuh malaikat penjaga pintu langit dari langit satu hingga ke langit tujuh. Secara berurutan, hal-hal yang menyebabkan amal kebaikan manusia tidak diterima oleh “Malaikat Pemeriksa” pada setiap pintu langit adalah: a) Ghibah (menggunjing); b) Tafakhkhur (angkuh); c) Takabbur (sombong); d) ‘Ujub (merasa dirinya paling baik); e) Hasud (iri hati); f) Tidak berbelas kasih kepada sesama; g) beramal karena ingin meraih popularitas (sum’ah) atau kedudukan tertentu.

Selanjutnya apabila amal kebaikan seseorang bersih dari tujuh hal tersebut, barulah sampai di hadapan Allah SWT. Kemudian Allah SWT memberikan satu pemeriksaan lagi, yaitu apakah amal kebaikan tersebut dilakukan semata-mata karena Allah SWT (Ikhlash) atau dilakukan karena selain Allah SWT (yaitu riya’). Dengan demikian, hanya amal kebaikan yang bersih dan lolos pemeriksaan dari 8 hal itulah yang tergolong amal shalih yang diterima oleh Allah SWT (‘amalan maqbulan). 

Jika melihat pada ketatnya pemeriksaan atas amal kebaikan manusia, maka bagaimana alternatif solusinya agar amal shalih kita berpotensi diterima oleh Allah SWT? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengkaji ayat-ayat yang menunjukkan jenis amal yang diterima oleh Allah SWT. Berikut ikhtisar hasil pemahaman penulis terhadap ayat-ayat tersebut:
Prasyarat pertama, agama formal kita harus Islam, yaitu menganut agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Prasyarat ini didasarkan pada pengertian tekstual dari Q.S. Ali ‘Imran [3]: 85

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ.

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 85).

Sejalan dengan prasyarat ini, orang non-muslim yang beramal shalih, tidak wajar meminta balasan kepada Allah SWT di akhirat kelak, sebagaimana tidak wajar seorang pegawai Perusahaan A, meminta gaji kepada Bos Perusahaan B.

Prasyarat kedua, amal kebaikan kita diawali dengan taubat.

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ.

Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? (Q.S. al-Taubat [9]: 104).

Pada ayat di atas, sebelum Allah SWT menerima zakat seseorang, terlebih dahulu disebutkan bahwa Allah SWT menerima taubat para hamba-Nya. Redaksi ini dapat dipahami sebagai satu kesatuan, yaitu zakat seseorang akan diterima oleh Allah SWT apabila diawali oleh kebersihan jiwa melalui taubat. Jika diperluas maknanya, taubat difungsikan untuk menjamin kejernihan hati seseorang, sehingga setiap amal kebaikan dilakukan berdasarkan kondisi hati yang ikhlas semata-mata karena Allah SWT, bukan karena motif-motif kemakhlukan (riya’).

Prasyarat ketiga, mengingat manusia adalah makhluk sosial, maka perlu bersikap terpuji kepada sesama manusia, terutama kepada kedua orangtua.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَنْ سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ.

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada orangtuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka (Q.S. al-Ahqaf [46]: 15-16)

Ayat ini menggambarkan bahwa apabila seseorang bersyukur kepada Allah SWT sekaligus berterima kasih kepada kedua orangtuanya dengan cara berakhlak terpuji (ihsan) kepada mereka berdua, kemudian gemar beramal shalih yang diridhai oleh Allah SWT, disertai taubat dan keIslaman yang mantap, maka amal shalihnya kemungkinan besar diterima oleh Allah SWT, dosa-dosanya diampuni oleh-Nya dan kelak akan ditempatkan di surga.

Kombinasi dari Iman, Islam dan Ihsan itulah yang mengantarkan seseorang menjadi orang yang bertakwa. Selanjutnya, jika seseorang sudah termasuk orang-orang yang bertakwa, maka amal-amal kebaikannya akan diterima oleh Allah SWT, sebagaimana keterangan dalam Q.S. al-Ma’idah [5]: 27

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (27) المائدة

Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Kabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Kabil). Ia berkata (Kabil): “Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa” (Q.S. al-Ma’idah [5]: 27)

Adapun solusi yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Mu’adz ibn Jabbal RA dalam Hadits yang dikutip Imam al-Ghazali sebelumnya adalah: a) Menjaga lisan dari berkomentar buruk terhadap para ahli al-Qur’an; b) Menanggung sendiri dosanya, tanpa membawa-bawa orang lain; artinya tidak mengajak-ngajak orang lain untuk berbuat dosa; c) Tidak meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain; atau menilai buruk orang lain agar dirinya dinilai baik; d) Tidak melakukan amal-amal ukhrawi namun motifnya duniawi; e) Tidak boleh mengabaikan atau acuh tak acuh kepada orang lain; f) Tidak bersikap sombong dan angkuh yang menyebabkan orang lain enggan berbuat baik kepada kita; g) Tidak memecah belah persatuan dan kesatuan umat manusia.

Kesimpulan yang dapat diraih dari bahasan ini antara lain:

Pertama, Setiap amal shalih belum tentu diterima oleh Allah SWT. Oleh karena itu, kita perlu terus-menerus meningkatkan kualitas dan kuantitas amal shalih agar kelak berpeluang memanen pahalanya di akhirat.

Kedua, Ada virus-virus yang menyerang dimensi Iman, Islam dan Ihsan seseorang, sehingga berdampak pada terhapusnya catatan amal-amal shalih di dunia. Oleh karena itu, setiap muslim harus mewaspadai dan menjauhi virus-virus penghapus amal shalih tersebut.

Ketiga, Ada hal-hal yang berpotensi menjamin diterimanya amal shalih oleh Allah SWT. Antara lain: Beragama Islam; Menjernihkan hati melalui taubat; Berakhlak terpuji kepada sesama manusia, terutama kedua orangtua.

Pada akhirnya, semoga Allah SWT menganugerahkan Taufiq, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kita semua agar dapat menggapai itu semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Wallahu A'lam bi al-Shawab.


Posting Komentar untuk "Virus Penghapus Pahala Amal Shalih"