Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lima Penuntun Umat Muslim



 
Umat
Aneka Akhlak Penuntun Umat

LIMA PENUNTUN UMAT MUSLIM
Almaghfurlah KH. Ahmad Hasyim Muzadi

Allah SWT mengirimkan lima utusan sebagai penuntun umat. Pertama, rasul. Kedua, nabi. Ketiga, waliyullah. Keempat, ulama. Kelima, mujahid. Lima utusan inilah yang menjembatani antara ilmu Allah SWT dengan kita semua.


Rasul dan Nabi

Jumlah rasul hanya 313, namun yang wajib kita ketahui cukup 25 rasul, mulai Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammmad SAW. Jumlah nabi mencapai 125.000 yang tersebar di seluruh dunia. Perbedaan keduanya, rasul itu mendapat wahyu dari Allah SWT dan langsung berkewajiban memimpin dakwah seluruh umat pada zamannya. Rasul harus mendeklarasikan dirinya sebagai rasul. Sedangkan nabi itu mendapat wahyu dari Allah SWT, namun tidak berkewajiban memimpin dakwah umatnya. Nabi itu ada yang dideklarasikan (seperti Nabi Khidhr AS) dan ada yang tidak.

Rasul dan nabi sama-sama diberi mukjizat oleh Allah SWT. Mukjizat mengandung dua makna. Pertama, berjalan tidak biasanya. Kedua, tidak bisa ditiru oleh siapapun, baik manusia, jin maupun setan. Mukjizat ini diperlukan pada zaman jahiliyah, karena mereka belum cerdas, sehingga baru tergerak hatinya kalau ada yang aneh atau di luar kebiasaan.

Mukjizat dan Kemukjizatan al-Qur’an

Mukjizat menjadi luar biasa karena dibandingkan dengan sesuatu yang biasa dilihat, didengar atau dilakukan. Misalnya, makanan yang biasanya hanya cukup untuk beberapa orang saja, ternyata dengan mukjizat Rasulullah SAW, makanan tersebut cukup untuk beratus-ratus orang.

Berhentinya mukjizat berbarengan dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Mengapa demikian? Menurut saya, karena umat sepeninggal Rasulullah SAW adalah umat pemikir, sehingga tidak mudah takjub (gawok) terhadap sesuatu di luar kebiasaan. Oleh sebab itu, saat ini hanya ada satu mukjizat, yaitu al-Qur’an.

Kemukjizatan al-Qur’an antara lain dikarenakan kandungannya dapat dibandingkan dengan ilmu pengetahuan. Namun yang disebutkan al-Qur’an hanya pokok-pokoknya saja, selanjutnya umat harus berpikir dan meneliti keselarasan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, sehingga melahirkan keimanan yang kuat atas kekuasaan Allah SWT. Dari keimanan tersebut, lahir berbagai akhlak terpuji, baik kepada Allah SWT, sesama manusia maupun alam semesta.

Al-Qur’an seringkali memerintahkan umat manusia agar memperhatikan alam semesta dalam rangka menemukan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Misalnya, unta, langit, gunung dan bumi (Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 17-20). Sesungguhnya alam semesta itu sangat mengagumkan. Namun, karena kita melihatnya setiap hari, sehingga tidak terasa mengagumkan. Padahal, jika dipikir secara mendalam, semua makhluk Allah SWT itu mengagumkan. Oleh karena itu, salah satu dzikir kita adalah Subhanallah, Maha Suci Allah, yang merupakan salah satu ungkapan kekaguman kepada Allah SWT atas semua ciptaan-Nya. Misalnya, pohon pisang itu tidak bisa mati sebelum berbuah. Meski kita potong, pohon pisang akan terus hidup. Namun setelah berbuah, pohon pisang akan mati. Contoh lain, tanah itu tidak memiliki rasa, namun dapat mengeluarkan buah-buahan yang beraneka-ragam rasanya, seperti manis, masam dan pahit.

Cobalah teliti alam semesta, niscaya kita akan mendapati keserasian yang begitu mengagumkan. Antara manusia dengan flora-fauna; gunung dengan laut; gurun pasir dengan tanah; angin dengan panas. Semua itu ditata sedemikian rupa, sehingga tidak terdapat cacat sama sekali (Q.S. al-Mulk [67]: 3).

مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ

Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih, sesuatu yang tidak seimbang (Q.S. al-Mulk [67]: 3).

Satu saja macet, semuanya akan kacau balau. Misalnya, seandainya angin tidak bertiup, maka bunga dan tumbuhan akan mati. Sebagaimana tubuh kita, bila ada yang sakit satu bagian, maka akan berimbas pada seluruh anggota tubuh. Oleh karena itu, jika kita mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah) dan mengerti maknanya yang seperti itu, maka hati kita akan tersentuh.

Waliyullah

Utusan ketiga adalah waliyullah atau kekasih Allah SWT. Karena disebutkan dalam al-Quran, maka waliyullah itu pasti ada. Sekalipun kita meyakini adanya waliyullah, tetapi kita tidak boleh mengatakan atau mendeklarasikan seseorang sebagai waliyullah; apalagi mendeklarasikan diri sendiri sebagai waliyullah. Karena yang berhak mendeklarasikannya, hanyalah Allah SWT.

Waliyullah paling tidak dianugerahi tiga keutamaan. Pertama, tidak memiliki rasa takut dan khawatir, karena sudah menyerahkan segalanya kepada Allah SWT, atas dasar iman dan takwa, sehingga mereka berada pada titik nol. Keutamaan ini selaras dengan kandungan ayat berikut:
 
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62)

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Q.S. al-Yunus [10]: 62).

Kedua, dianugerahi karamah. Bedanya dengan mukjizat adalah karamah suatu ketika dapat ditiru orang lain. Misalnya, dulu waliyullah diidentikkan dapat melihat suatu peristiwa dari tempat lain, sekarang sudah ada televisi. Waliyullah shalat Jumat di Mekkah, jamaah haji juga shalat Jum’at di Mekkah. Jadi, dalam prosesnya, karamah ditiru orang lain.

Ketiga, diberi pengetahuan tentang masa lalu, masa kini dan masa depan. Namun, pengetahuan tersebut tidak dapat seenaknya diberitahukan kepada orang lain. Hal ini sekaligus membuktikan kekuasaan Allah SWT bahwa takdir itu ada, karena waliyullah bisa mengetahuinya. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui dimensi hati yang jauh lebih luas daripada akal pikiran. Oleh sebab itu, waliyullah senantiasa menjaga kesucian hati dengan istiqamah.

Ulama

Modal seorang ulama adalah takut kepada Allah SWT (Q.S. Fathir [35]: 28).

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (Q.S. Fathir [35]: 28).

Diawali rasa takut kepada Allah SWT, timbul kewajiban kepada agama; dari kewajiban, timbul kenikmatan; lalu berubah menjadi kecintaan; dan akhirnya berujung pada mencintai Allah SWT.

Tanda seorang ulama adalah berilmu. Ilmu dapat diperoleh melalui akal pikiran maupun hati. Ilmu yang diperoleh melalui hati inilah yang melahirkan istiqamah, mujahadah dan siap berkorban untuk Allah SWT. Oleh sebab itu, ulama itu ilmunya diamalkan (ilmiah amaliah) dan amalnya didasarkan ilmu (amaliah ilmiah). Dari sini, Allah SWT memberi ilmu hikmah kepada ulama, yaitu mengerti makna di balik kejadian-kejadian yang ada, seperti gunung meletus, halilintar, bencana alam, dan sebagainya.

Para ulama juga memiliki ketetapan hati berupa sikap istiqamah. Terkait dunia, mereka meletakkannya dunia di tangan, bukan di hati. Perbedaannya, jika dunia diletakkan di tangan, maka dunia dipakai untuk berjuang di jalan Allah SWT (jihad fi sabilillah). Sebaliknya, jika dunia diletakkan di hati, maka semua hal akan dijual untuk dunia. Hal ini sulit dilihat secara langsung karena menyangkut masalah hati; namun dapat diprediksi dengan melihat akhlak seseorang, karena akhlak adalah cermin dari kualitas hati manusia.

Saya punya guru yang menjadi contoh ulama yang seperti itu. Hartanya, anaknya, kalau perlu nyawanya, akan diwakafkan untuk umat. Bukan karena ilmu beliau yang bertumpuk, namun karena kesiapannya untuk jihad fi sabilillah.

Mujahid

Mujahid adalah para pejuang dalam masyarakat. Misalnya, pejuang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Musuh Para Utusan

Kelima utusan tersebut akan selalu memiliki musuh (Q.S. al-An’am [6]: 112).

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin (Q.S. al-An’am [6]: 112).

Hal ini sudah menjadi tatanan Allah SWT (sunnatullah). Perjuangan akan terlahir dari adanya tantangan dan semuanya akan selalu diiringi jalan keluar. Misalnya, saat ini umat muslim berseteru di mana-mana. Bukan Islam yang menjadi permasalahan, tetapi umat muslim yang bermasalah. Hal ini dikarenakan umat muslim tidak berkaca pada Nabi Muhammad SAW dan para shahabat yang seharusnya diteladani. Di antaranya, jiwa membela kepentingan agama dan umat, lebih tinggi daripada membela kepentingan diri sendiri.  

Alkisah, ketika perang, seorang shahabat yang sedang sekarat, meminta air karena kehausan. Sebelum sempat meminumnya, dia melihat ada shahabat lain yang juga sedang sekarat dan kehausan. Lalu dia meminta agar air itu terlebih dulu diberikan kepada shahabat tersebut. Hal seperti ini terjadi pada beberapa shahabat yang akhirnya sama-sama gugur di medan perang, semata-mata karena mendahulukan kepentingan shahabat yang lain, bukan mendahulukan kepentingan diri sendiri. Rasulullah SAW pun bersabda bahwa para sahabat tersebut telah dijanjikan surga.

Jika umat muslim terus menerus berselisih seperti sekarang, kemungkinan akan ditimpa salah satu dari tiga jenis bencana. Pertama, ujian (imtihan). Jika umat muslim dinilai baik dan benar, maka bencana yang dialami adalah ujian Allah SWT. Kedua, peringatan (tadzkirah). Jika umat muslim semula baik, lalu ingin berbelok menjadi rusak, maka akan diperingatkan Allah SWT dengan bencana agar tidak meneruskan keinginan tersebut. Ketiga, siksa (adzab).

Editor Transkrip:
Dr. Rosidin, M.Pd.I


Posting Komentar untuk "Lima Penuntun Umat Muslim"