Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hijrah Jasmani dan Ruhani

Memaknai Hijrah

Sebuah pendahuluan klasik akan mengawali tulisan ini, yaitu firman Allah SWT dalam Q.S. al-Hasyr [59]: 18

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.
(Q.S. al-Hasyr [59]: 18)


Ayat di atas menunjukkan bahwa selalu saja ada hikmah yang dapat dipetik dari renungan terhadap peristiwa di masa lampau. Relevan dengan tahun baru Hijriyyah, maka peristiwa bersejarah yang cocok untuk diteladani adalah kisah awal mula hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Kilasan Sejarah Awal Mula Hijrah ke Madinah

Setelah perjanjian ‘Aqabah kedua, orang-orang Yatsrib (nama asal kota Madinah) meminta kepada Nabi SAW agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela beliau dari segala ancaman, Nabi SAW pun menyetujui permintaan itu. Selanjutnya Nabi SAW segera menyarankan kepada para shahabat untuk hijrah.

Secara diam-diam berangkatlah para shahabat, rombongan demi rombongan yang terdiri dari dua atau tiga orang ke Yatsrib. Dalam waktu 2 (dua) bulan, hampir semua kaum muslimin telah meninggalkan kota Mekkah. Kaum Quraisy pun berupaya keras untuk menghentikan gelombang hijrah itu dengan cara apapun yang bisa mereka lakukan. Namun, usaha mereka gagal karena demikian kuatnya tekad kaum yang beriman. Di antara sahabat besar, hanya Ali bin Abi Thalib RA dan Abu Bakar al-Shiddiq RA yang tetap tinggal di Mekkah bersama Nabi SAW. Inilah salah satu contoh sikap kepemimpinan yang diteladankan Nabi SAW, yaitu lebih memprioritaskan keselamatan umat beliau dengan meminta mereka berhijrah terlebih dahulu, sedangkan beliau menjadi orang yang terakhir kali hijrah.

Kematian Mut’im bin Adi –pelindung Nabi SAW– semakin membuat kaum Quraisy leluasa melakukan aksi teror lebih lanjut. Mereka mengadakan pertemuan yang tidak dihadiri oleh Abu Lahab. Setelah melalui serangkaian perdebatan panjang, akhirnya mereka pun menyetujui rencana yang diajukan oleh Abu Jahal yang dinilai sebagai satu-satunya solusi paling efektif bagi problem yang mereka hadapi. Rencananya adalah setiap klan harus memilih seorang pemuda yang kuat dan dapat diandalkan. Pada waktu yang ditentukan, seluruh pemuda pilihan itu harus secara bersama-sama menyerang Nabi SAW, melancarkan pukulan yang mematikan, sehingga ‘darah’ Nabi SAW bisa terbagi untuk seluruh klan yang ada. Menurut pendapat mereka, Bani Hasyim tentu tidak mampu menentang seluruh suku Quraisy.

Mengetahui rencana jahat itu, Nabi SAW kemudian pergi ke rumah Abu Bakar untuk merencanakan hijrah ke Yatsrib. Sebelum berangkat, Abu Bakar RA membeli 2 (dua) ekor unta; lalu dia menyerahkan kepada Rasulullah SAW agar berkenan memilih unta mana yang beliau sukai. Namun justru beliau bersabda: “Aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku”. Abu Bakar RA berkata: “Unta ini kuserahkan untuk Anda”. Nabi SAW menjawab: “Baiklah, tapi aku akan membayar harganya”. Abu Bakar RA bersikeras agar unta itu diterima sebagai hadiah, namun Nabi SAW tetap menolak; akhirnya Abu Bakar RA setuju untuk menjualnya.

Hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa ini adalah Rasulullah SAW ingin mengajarkan kepada kita bahwa untuk mencapai sesuatu yang besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang. Jadi, beliau bermaksud hijrah dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi, bahkan dengan jiwa-raga sekalipun. Dengan membayar unta itu, Nabi SAW mengajarkan kepada umat beliau, bahwa dalam mengabdi kepada Allah SWT, janganlah mengabaikan sedikit kemampuan pun, selama masih memiliki kemampuan itu.

Setelah itu, Nabi SAW meminta Ali bin Abi Thalib RA agar tetap tinggal di Mekkah untuk mengembalikan titipan orang yang selama ini disimpan di rumah beliau. Sebagai orang yang terpercaya, memang banyak kaum kafir Quraisy yang menitipkan harta mereka kepada Nabi SAW.

Pada malam harinya, sejumlah pemuda Quraisy yang telah dipilih bersiap-siap di luar pintu masuk rumah Nabi SAW untuk membunuh beliau. Nabi SAW dan Ali RA tentu dengan segera bersikap waspada terhadap kehadiran mereka. Lalu Nabi SAW menyuruh Ali RA tidur di tempat tidur beliau. Setelah Nabi SAW berhasil menyelinap tanpa diketahui oleh para pemuda Quraisy, dengan sembunyi-sembunyi Nabi SAW menemui Abu Bakar RA yang sudah siap menunggu.  Mereka berdua keluar dari kota Mekkah menuju sebuah gua di Gunung Tsur, yang terletak kira-kira 5 km di sebelah selatan kota Mekkah. Mereka bersembunyi di dalam gua itu selama 3 (tiga) hari, karena mengetahui bahwa orang-orang Quraisy masih terus berusaha mengejar mereka berdua.

Dalam keterangan lain, pada saat mau hijrah, Nabi SAW menyuruh Ali bin Abi Thalib RA agar tidur di ranjang beliau ketika para pemuda Quraisy mengepung rumah beliau. Nabi SAW menugaskan Abdullah bin Abu Bakar RA untuk mengawasi gerak-gerik lawan. Lalu Nabi SAW menjemput Abu Bakar RA dengan menembus kegelapan malam menuju gua di bukit Tsur.

Pemuda Amir bin Fahirah ditugaskan Nabi SAW untuk menggembalakan kambing di sekitar bukit, dengan maksud menghapus jejak sekaligus mengantarkan air susu kambing untuk beliau dan Abu Bakar RA. Pada pertengahan malam, ketika padang pasir Arabia hanya disinari temaram bintang gemintang, gadis bernama Asma binti Abu Bakar RA meninggalkan rumahnya untuk mengantarkan makanan bagi mereka berdua.

Pada hari keempat, setelah usaha kaum Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi SAW sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi SAW dan Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu, Abdullah bin Uraikat (dalam versi lain, namanya adalah Abdullah bin Arqats; dan dia adalah non-muslim) yang diperintahkan oleh Abu Bakar RA pun tiba dengan membawa dua ekor unta yang telah disiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi SAW dan Abu Bakar RA menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, yaitu melalui rute jalan yang tidak pernah ditempuh orang.

Hikmah Peristiwa Hijrah

Hikmah yang dapat dipetik dari hijrah antara lain:

Pertama, Hijrah merupakan titik balik pertama dalam sejarah Islam terjadi. Setelah mengalami cemoohan dan tantangan keras dari penduduk Mekkah, di sini Nabi SAW mendapatkan angin segar yang menjanjikan harapan bagi perkembangan Islam.

Kedua, Hijrah merupakan sunah Nabi yang harus diteladani setiap muslim. Hijrah sangat manusiawi; karena itu, hijrah menggunakan cara-cara yang manusiawi pula. Termasuk cara-cara itu adalah mempersiapkan rencana operasional dan strategis. Lihatlah bagaimana Nabi SAW melibatkan para pemuda untuk menopang gerakannya; menjadwal kegiatan dengan memperhitungkan resiko yang dihadapinya; menggunakan resource person (‘narasumber’) sebagai pemandu perjalanan. Dengan hijrah, Nabi SAW ingin mengajarkan kepada kita bahwa iman dan tawakkal saja tidak cukup untuk menegakkan Islam, kita memerlukan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi (IPTEK).

Ketiga, Hijrah adalah tonggak penting kedua dalam sejarah Islam setelah diturunkannya al-Qur'an. Hijrah membawa kemenangan Islam, tempat Islam tumbuh menjadi besar dan kuat serta dasar-dasar Islam yang utama dapat ditegakkan. Dengan hijrah, agama Islam bergerak dari fase teoritis menuju fase praktis, menciptakan masyarakat yang dapat mengimplementasikan spirit, sistem dan hukum Islam beserta praktik dan aturannya.

Keempat, Jika dilihat dari tokoh-tokoh penting yang terlibat dalam kisah hijrah di atas, terdapat isyarat bahwa tidak ada alasan bagi umat muslim untuk tidak memberi kontribusi terhadap Islam. Seolah-olah tokoh-tokoh tersebut 'didesain' mewakili berbagai elemen masyarakat, mulai dari anak-anak (Ali bin Abi Thalib RA), pemuda (Abdullah bin Abu Bakar), wanita (Asma' binti Abu Bakar RA), orang “biasa” (Amir bin Fahirah RA), orang “elit” (Abu Bakar RA) bahkan orang non-muslim (Abdullah bin Uraikat / Abdullah bin Arqast). Jadi, nilai seorang muslim bukan semata-mata dilihat dari status sosial-biologisnya, melainkan kontribusi yang dapat dia berikan bagi kepentingan Islam.
Jenis-Jenis Hijrah

Walaupun sudah sering diceritakan, semoga kisah awal mula hijrah Nabi SAW di atas menginspirasi sekaligus menggugah semangat kita untuk “berhijrah”, baik Hijrah Makaniyah (hijrah dari segi tempat; hijrah secara fisik) maupun Hijrah Ma'nawiyah (hijrah non-fisik). Sebagaimana sudah diketahui, bahwa hijrah sendiri terbagi menjadi dua kategori:

Pertama, Hijrah Makaniyah, yaitu hijrah dari satu tempat ke tempat lainnya. Nabi SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah demi memperoleh kesuksesan dalam dakwah Islam. Hal seperti ini juga berlaku dalam kehidupan keseharian kita; apabila suatu saat kita mengalami suatu kondisi yang sulit atau tidak kondusif, maka disarankan untuk hijrah, karena besar kemungkinan hijrah tersebut akan mengantarkan pada kehidupan yang lebih baik dan memperoleh keluasan dalam hal rezeki, kehidupan dan maupun kehidupan spiritual, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah ketika menafsiri Q.S. al-Nisa' [4]: 100

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak.

Kedua, Hijrah Ma'nawiyah, yaitu hijrah dari satu kondisi yang negatif menuju kondisi yang positif. Dalam kesempatan ini, penulis cenderung memaknai “Hijrah dari Kondisi Jahil (bodoh) Menuju 'Aqil (pandai)”. Menurut Imam al-Ghazali, ada beberapa kekuatan yang mendorong seseorang untuk bertindak; kekuatan (quwwah) tersebut adalah: a) kekuatan akal (quwwatul 'aqli) yang berfungsi untuk membedakan yang baik dan buruk; b) kekuatan syahwat (quwwatusy syahwat); c) kekuatan emosi (quwwatul ghadhab), yang menggerakkan daya marah, benci, menyerang dan agresif; d) quwwatul wahm, yaitu kekuatan dan kemampuan manusia untuk mencari pembenaran dari kesalahannya.

Sedangkan yang dimaksud dengan 'aqil (orang berakal) di sini adalah orang yang semua kekuatannya tunduk kepada kekuatan akal (yang merupakan hujjah atau argumentasi Allah SWT yang dititipkan kepada manusia, sehingga disebut hujjah internal; di samping tunduk kepada hujjah eksternal, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah). Karena kalau semua kekuatan yang dimiliki manusia itu tunduk kepada akalnya, maka ia akan menghasilkan sesuatu yang baik. Misalnya, kalau kekuatan emosi tunduk pada akal, maka lahirlah sifat pemaaf; kalau kekuatan syahwat dikendalikan oleh akal, maka lahirlah sifat wara' (menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik) dan zuhud (tidak cinta dunia); jadi akallah yang seharusnya menguasai diri seseorang. Dengan demikian, orang yang dapat disebut 'aqil adalah orang yang mampu mempergunakan akal sebagai pengendali dirinya. Sedangkan orang jahil adalah orang yang akalnya tunduk kepada kekuatan-kekuatan lain pada dirinya.

Sebagai penutup, penulis kutipkan kisah ringan tentang seorang pemburu yang kesepian di hari tuanya, kemudian ia berjumpa dengan seekor beruang yang di masa tuanya juga kesepian. Dua makhluk yang kesepian itu berjumpa di hutan dan berjanji setiap untuk menjadi kawan sampai akhir hayatnya. Keduanya bersahabat dan mengembara sampai akhirnya keduanya tiba di suatu tempat yang membuat sang pemburu tertidur lelap kelelahan. Sahabatnya (si beruang) yang jahil itu menungguinya dengan setia. Selang beberapa saat, si beruang melihat seekor lalat hinggap di wajah sahabatnya. Beruang menganggap lalat itu berbuat kurang ajar karena dia bertengger di hidung sahabatnya. Dia juga menganggap lalat itu mengganggu sahabatnya. Maka dengan kesetiaannya, si beruang jahil itu pergi untuk mencari batu besar. Batu itu ia angkat, kemudian lalat itu ia timpa dengan batu besar tersebut. Dan ‘Inna Lillahi’, lalatnya lepas dan sahabatnya mati. Hikmahnya adalah itulah bahaya memiliki sahabat yang jahil. Dia merasa membantu Anda, padahal sebenarnya dia membunuh Anda. Kalau bisa, janganlah Anda dekat-dekat dengan orang jahil, kecuali untuk membimbingnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.