Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Laki-Laki versus Wanita

Dr. Rosidin, M.Pd.I


Pria versus Perempuan
Pasangan Laki-laki dan Wanita

Laki-laki dan wanita memang tidak sama (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 36), namun keduanya memiliki peluang yang sama untuk meraih kesuksesan hidup (Q.S. al-Nahl [16]: 97). Baik laki-laki maupun wanita sama-sama memiliki kelebihan satu sama lain. 

Misalnya laki-laki umumnya memiliki kelebihan kekuatan fisik, sedangkan wanita pada umumnya memiliki kelebihan kelembutan psikis. Oleh sebab itu, keduanya disarankan agar bekerjasama dan saling tolong-menolong dalam amar ma’ruf nahy munkar (Q.S. al-Taubah [9]: 71).
Ada lima hal yang patut dibahas terkait topik laki-laki dan perempuan. 

Pertama, identitas gender, yaitu pengetahuan, pemahaman dan penerimaan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan (John Santrock, 2011: 164). Kendati sudah jelas gender apa yang dimiliki, namun ada peserta didik yang mengalami problem identitas gender. 

Misalnya, siswa laki-laki yang merasa identitas gendernya adalah perempuan, sehingga dia berpenampilan dan berperilaku layaknya perempuan. Pada titik ekstrem, dia akan mengubah gendernya menjadi perempuan melalui operasi medis. Oleh sebab itu, orangtua dan guru bertugas untuk membimbing peserta didik agar memiliki identitas gender yang sesuai dengan gender yang dimiliki.
Kedua, peran gender, yaitu bagaimana peran yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dalam berpikir, bertindak dan merasa. Dalam hal ini perlu mempertimbangkan gender stereotypes, yaitu kategori luas yang mencerminkan kesan dan kepercayaan tentang apa perilaku yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan. 

Dari sini muncul istilah “maskulin” dan “feminim”. Menumbuhkan rambut wajah (kumis, jenggot) dinilai “maskulin”, sedangkan memakai lipstik dinilai “feminim”. Penyebutan stereotipe gender kepada peserta didik sebagai “maskulin” atau “feminim” bisa membawa konsekuensi yang signifikan. 

Misalnya, melabeli siswa laki-laki sebagai “feminim” atau siswi perempuan sebagai “maskulin” dapat mengurangi status sosial dan penerimaan siswa-siswi tersebut dalam kelompok mereka (John Santrock, 2011: 165).
Ketiga, perbedaan karakteristik. Antara lain: area otak yang terlibat dalam ekspresi emosi cenderung menunjukkan bahwa aktivitas metabolisme pada otak wanita lebih tinggi dibandingkan pada otak laki-laki. 

Terkait performa fisik, laki-laki pada umumnya lebih unggul dibandingkan wanita dalam hal keterampilan atletik, seperti lari, melempar dan melompat. 

Dari segi keterampilan menjalin hubungan, sosiolinguis Deborah Tannen menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tumbuh dalam lingkungan tutur kata yang berbeda. Tannen membaginya menjadi rapport talk (komunikasi hubungan) dan report talk (komunikasi laporan). Perempuan lebih menyukai rapport talk, yaitu komunikasi yang berorientasi pada terjalinnya suatu hubungan (relasi). Sedangkan laki-laki lebih menyukai report talk, yaitu komunikasi yang berorientasi pada penyampaian informasi, seperti bercerita, bercanda dan berceramah (John Santrock, 2011: 166-167).
Keempat, ruang kelas heterogen. Sudah jamak kiranya jika mayoritas sekolah di Indonesia menerapkan ruang kelas heterogen yang diisi oleh para siswa laki-laki dan siswi perempuan. Sebagaimana mayoritas pesantren di Indonesia masih menerapkan ruang kelas homogen yang hanya diisi oleh para siswa laki-laki atau siswi perempuan saja. 

Dalam dunia pendidikan, model pendidikan yang diisi para siswa laki-laki dan siswi perempuan disebut coeducation. Baik kelas heterogen (coeducation) maupun homogen sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. 

Tugas para pimpinan adalah menentukan pilihan jenis kelas yang dinilai paling baik dan tepat bagi lembaga pendidikannya, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya.
Kelima, isu emansipasi. Seiring pertumbuhan tingkat literasi manusia, tumbuh pula kesadaran akan emansipasi wanita yang mengajukan tuntutan agar kaum wanita diberi hak-hak sebagaimana kaum laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, dengan tetap mempertimbangkan perbedaan kodrati antara keduanya. 

Misalnya, banyak lembaga pendidikan di Indonesia yang memiliki pimpinan dari golongan perempuan; bahkan banyak pula daerah yang memiliki camat, bupati, walikota hingga gubernur wanita.
Lima poin di atas dapat dijadikan sebagai input (masukan) untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam, dengan tetap memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam konteks ini, penulis mengajukan implementasi “rumus” K4P (Komunikasi, Kolaborasi, Kompetisi, Kontribusi, Prestasi).
Komunikasi dalam pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan karakteristik laki-laki dan perempuan. Misalnya berbicara tegas kepada siswa laki-laki dan berbicara lembut kepada siswi perempuan, tanpa melihat prestasi maupun fisik mereka. Artinya, baik pandai maupun bodoh; cantik atau tampan maupun jelek; diperlakukan sama. 

Jadi, guru tidak boleh berkomunikasi secara diskriminatif kepada para peserta didik yang bergender sama, hanya karena alasan perbedaan prestasi atau rupa fisik mereka. Semisal bertutur kata yang lembut kepada siswa yang pandai dan rajin, namun bertutur kata yang kasar kepada siswa yang bodoh dan malas. Perbedaan model komunikasi ini juga dapat diterapkan dalam kelas yang heterogen (coeducation) dan homogen.
Kolaborasi dalam pendidikan Islam mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan laki-laki maupun perempuan. Misalnya tugas-tugas yang menuntut kinerja fisik ekstra diberikan kepada orang laki-laki, seperti bagian sarana dan prasarana; sedangkan tugas-tugas yang menuntut komunikasi yang baik, diberikan kepada orang perempuan, seperti bagian hubungan masyarakat (humas).
Kompetisi dalam pendidikan Islam mempertimbangkan persamaan laki-laki dan perempuan. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berpeluang untuk memenangkan kompetisi. Misalnya kompetisi antar siswa-siswi untuk menyeleksi delegasi sekolah yang akan diikut-sertakan dalam lomba eksternal, seperti olimpiade sains.
Kontribusi dalam pendidikan Islam mempertimbangkan identitas dan peran gender laki-laki dan perempuan. Artinya, kontribusi yang diberikan seseorang sesuai dengan identitas dan peran gendernya. 

Misalnya, orang laki-laki dapat berkontribusi dengan menjadi imam shalat berjamaah di masjid atau mushalla, sedangkan orang perempuan dapat berkontribusi dengan berprofesi sebagai bidan. Demikian halnya, kontribusi yang secara umum masih dinilai kurang etis, kendati ada yang membenarkannya atas nama hak asasi manusia. Misalnya, perempuan berprofesi sebagai pesepakbola; dan laki-laki berprofesi sebagai babysitter (pengasuh bayi).
Prestasi dalam pendidikan Islam mempertimbangkan emansipasi wanita. Artinya, pendidikan Islam membuka lebar peluang bagi kaum wanita untuk bersaing memperoleh prestasi-prestasi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. 

Misalnya, pemilihan pimpinan lembaga pendidikan Islam boleh diikuti oleh laki-laki maupun perempuan, tanpa “digembosi” dengan slogan-slogan misogini, seperti wanita adalah konco wingking (teman di belakang) bagi laki-laki, sehingga wanita tidak patut menjadi pemimpin bagi laki-laki. Padahal menurut Yusuf al-Qardhawi, Islam menempatkan wanita setara dengan laki-laki dalam bidang kemanusiaan, sosial dan hukum. 

Wallahu A’lam bi al-Shawab.