Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membangun Negeri, Berpondasi Spirit Santri


Beragam opini menyelimuti akar kata “santri”. Pertama, dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Kedua, dari bahasa India, shastri, yang berarti “ahli kitab suci agama”, karena shastri berasal dari akar kata shastra yang berarti “buku-buku suci agama”. Ketiga, dari bahasa Sansekerta yang berarti “ilmuwan yang pandai menulis”. Keempat, dari bahasa Jawa, cantrik yang berarti “orang yang selalu mengikuti guru”. Kelima, perpaduan dari kata saint yang berarti “manusia baik” dan tra yang berarti “suka menolong”.

Kelima opini tersebut tidak perlu dibenturkan, melainkan cukup dipadukan untuk merumuskan ciri khas santri berdasarkan telaah bahasa. Hemat penulis, santri adalah “orang muslim yang mempelajari kitab suci agama Islam (al-Qur’an beserta perluasannya dalam “kitab kuning”) kepada guru mengaji (kiai) melalui proses pembelajaran dan peneladanan (di masjid, madrasah diniyah maupun pesantren) agar menjadi manusia yang baik dan suka menolong”. Dalam bahasa al-Qur’an, tujuan utama menjadi santri adalah “tafaqquh fi al-din” atau memahami agama Islam secara mendalam (Q.S. al-Taubah [9]: 122). Santri diharapkan mampu menguasai empat sifat agama Islam menurut Sayyid Sabiq dalam Islamuna: (1) agama wahyu (al-din al-wahyi); (2) agama keilmuan (al-din al-ta’limi); (3) agama kemanusiaan (al-din al-insani); (4) agama kemajuan (al-din al-ishlahi). Santri juga diharapkan mampu mengejawantahkan tiga prinsip utama pesantren menurut KH. Tholhah Hasan: (1) etos religius. Tanpa etos religius, bukan disebut pesantren, melainkan asrama; (2) egaliter (demokratis); (3) etos populis (public service). Berbeda dengan alumni perguruan tinggi yang semakin tinggi gelar, semakin jauh dari rakyat. Semakin tinggi gelar alumni pesantren, justru semakin dekat dengan rakyat.

Paparan di atas menunjukkan bahwa spirit santri (secara otomatis mencakup ulama) dapat dijadikan sebagai pondasi membangun negeri. Agar sesuai dengan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), arah gerakan spirit santri perlu dibingkai dalam nilai-nilai Pancasila. Pertama, Sila Ketuhanan Yang Mahaesa. Sejarah mencatat bahwa santri selalu berjuang di garda depan untuk membebaskan NKRI dari segala bentuk penyimpangan agama, seperti komunisme yang mengusung atheisme (anti-Tuhan). Shalawat Badar gubahan KH. Ali Manshur Shiddiq adalah “saksi sejarah” yang masih lestari hingga kini, sebagai simbol perlawanan santri terhadap komunis. Shalawat Badar dipopulerkan ke berbagai wilayah demi membangkitkan semangat juang umat muslim untuk melawan Partai Komunis Indonesia (PKI), sekaligus sebagai tandingan bagi lagu himne PKI, “Genjer-Genjer”. Di sisi lain, santri menolak “pluralisme agama” yang disebut KH. Hasyim Muzadi sebagai “agama tahu campur”, karena mencampur-adukkan agama. Walhasil, santri secara tegas menolak segala bentuk paham ekstrem kiri (ateisme) maupun ekstrem kanan (pluralisme agama) yang menodai Sila Ketuhanan Yang Mahaesa.

Kedua, Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Santri merupakan generasi yang bertekad mengamalkan Hadis Rasulullah SAW, “Orang muslim adalah orang yang membuat umat muslim selamat (aman) dari perkataan dan perbuatannya” (H.R. al-Bukhari). Oleh sebab itu, santri jauh dari kesan “pembuat onar” (trouble maker); justru santri lebih lekat dengan kesan “penyelesai masalah” (trouble solver). Peran menciptakan warga negara Indonesia yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab ini, dilaksanakan oleh santri melalui penerapan nilai-nilai Surat al-Nahl [16]: 125 yang meliputi “keteladanan” (al-hikmah), “dakwah” (al-ma’izhah) dan “pendidikan atau pemikiran” (al-mujadalah). Sebagai contoh keteladanan, terkenang kepahlawanan KH. Zainal Mustofa, Pengasuh Pesantren Cimerah Sukamanah, yang melakukan gerakan protes sosial kepada Penjajah Jepang yang mewajibkan para petani untuk menyerahkan hasil pertanian mereka, tanpa diberi ganti sedikit pun. Pada gerakan protes sosial tanggal 18 Februari 1944 itu, KH. Zainal memang tidak menargetkan menang, karena para santrinya hanya dipersenjatai dengan pedang bambu atau tulang sapi. Tujuan utamanya, menyadarkan para santri dan petani secara khusus, serta bangsa Indonesia secara umum, agar menuntut kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh dakwah, maraknya majlis dzikir, shalawat dan ta’lim di berbagai daerah. Serta dakwah yang dilakukan secara reguler atau rutin –seperti acara siraman ruhani di sejumlah stasiun televisi, terutama saat bulan Ramadhan– maupun secara insidental atau sewaktu-waktu –seperti pengajian umum Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) di sejumlah masjid–. Sebagai contoh pendidikan, jumlah Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) saja mencapai 76.566 lembaga dan menampung 6.000.062 santri.

Ketiga, Sila Persatuan Indonesia. Jauh sebelum berdirinya NKRI, kaum santri sudah menunjukkan sinyal positif terkait persatuan dan kesatuan. Walisongo berdakwah secara santun, sehingga Islamisasi di Nusantara berjalan dengan damai, tanpa “dinodai” oleh pertumpahan darah. Pada masa penjajahan Belanda hingga Jepang, kaum santri tidak pernah absen membela negara untuk meraih kemerdekaan. Pasca kemerdekaan, ketika Tentara Sekutu dan NICA (Netherlands-Indies Civil Administrative) mendarat di Jakarta, Semarang, Surabaya dan Sumatra, 29 September 1945; sedangkan pemerintah Indonesia tidak melakukan perlawanan yang nyata terhadap aksi tersebut, maka diadakanlah Rapat Besar Wakil-Wakil Daerah Nahdlatul Ulama seluruh Jawa dan Madura, 21-22 Oktober 1945, yang mengajukan Resolusi Jihad yang intinya mewajibkan setiap umat muslim untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satu dampak nyata dari Resolusi Jihad adalah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya yang dikomando oleh Bung Tomo. Oleh sebab itu, tidak heran jika tanggal 22 Oktober 1945 dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan Hari Santri Nasional melalui KEPPRES Nomor 22 Tahun 2015.

Keempat, Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Kaum santri tidak segan maupun gamang untuk berkiprah di arena birokrasi, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Misalnya, KH. Abdurrahman Wahid menjabat Presiden Indonesia; KH. Wahid Hasyim menjabat Menteri Negara Urusan Agama Islam atau Menteri Agama Pertama; KH. Idham Chalid menjabat Ketua DPR/MPR dan KH. Hasyim Muzadi menjabat Dewan Pertimbangan Presiden. Prinsip utama santri ketika menjabat di pemerintahan adalah Kaidah Fikih: Tasharruf al-Imam manuth bi al-Mashlahah (Kebijakan Pemerintah Didasarkan pada Kemaslahatan Publik).

Kelima, Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Setiap santri dididik memiliki jiwa-jiwa yang mendukung terwujudnya keadilan sosial: (1) Jiwa sederhana, qana’ah dan mandiri yang membuat santri siap bekerja apapun asalkan halal, agar tidak menjadi pengangguran yang menambah beban masyarakat; (2) Jiwa kewiraswastaan dan solidaritas sosial yang membuat santri senantiasa bertekad menyejahterahkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya, seperti Koperasi Simpan Pinjam Syariah Baitul Maal wa Tamwil Usaha Gabungan Terpadu (KSPS BMT UGT) Sidogiri yang diketuai oleh KH. Mahmud Ali Zain dengan omset mencapai Rp. 1.8 Triliun pada tahun 2015.

Akhirul Kalam, membangun negeri berpondasi spirit santri adalah memelihara nilai-nilai religius sembari mencegah “virus-virus” agama, seperti komunisme dan pluralisme agama; menciptakan peradaban Indonesia yang unggul melalui keteladanan, dakwah dan pendidikan; menjaga persatuan dan kesatuan NKRI dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika; mewujudkan pemerintahan yang amanah dan bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan rakyat; serta menumbuhkan pribadi-pribadi yang mandiri sekaligus peduli terhadap kesejahteraan sosial-ekonomi seluruh rakyat Indonesia. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Singosari, 9 Oktober 2017
MEMBANGUN NEGERI, BERPONDASI SPIRIT SANTRI
Rosidin
http://www.dialogilmu.com