Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengembangan Berkelanjutan di Perguruan Tinggi

Rosidin



IDENTITAS BUKU
Judul                        :     Higher Education and Sustainable Development: Paradox and Possibility
Penulis                     :     Stephen Gough and William Scott
Penerbit                    :     New York: Routledge
Tahun Terbit             :    2007
Tebal Halaman         :     xiv + 194 Halaman
            
HASIL KAJIAN
             
Program pengembangan berkelanjutan meniscayakan keterlibatan perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan dan penelitian yang melakukan reproduksi dan kaderisasi para ilmuwan dan fungsionaris berbagai lini kehidupan. Untuk itu, buku ini mendiskusikan topik perguruan tinggi dan pengembangan berkelanjutan.
             
Orientasi buku ini ditujukan pada diskusi tentang sifat-dasar dan tujuan perguruan tinggi. Perguruan tinggi dituntut menyiapkan generasi masa depan yang memiliki life skills yang dibutuhkan, terutama vokasional, intelektual dan moral. Oleh sebab itu, perguruan tinggi hendaknya menyelenggarakan pengembangan berkelanjutan melalui pendidikan, penelitian dan manajemen. Atas dasar itu, penulis mengeksplorasi hubungan perguruan tinggi dengan pengembangan berkelanjutan berdasarkan studi kasus internasional dan studi literatur tentang topik keberlanjutan, pembelajaran dan manajemen pendidikan.
             
Sistematika buku disusun dalam empat sesi. Sesi pertama (Bab 1-3) menyorot tujuan pendidikan tinggi yang bergerak antara dunia riil dan menara gading (Bab 1) yang diorientasikan pada terwujudnya “masyarakat merdeka” (free society), yaitu masyarakat yang memenuhi life skills individual maupun sosial (Bab 2), sebagai basis dalam merumuskan model pengembangan berkelanjutan di perguruan tinggi (Bab 3). Sesi kedua (Bab 4-10) memaparkan hasil studi kasus tentang praktik pengembangan berkelanjutan di perguruan tinggi yang terkait manajemen pendidikan (Bab 4 & 9), kerjasama dan jaringan (Bab 5), orientasi tenaga pendidik (Bab 6), kebijakan politik pendidikan (Bab 7 & 8) hingga implementasi praktis (Bab 10). Sesi ketiga menyajikan analisis penulis terhadap data studi kasus yang ditelaah dari berbagai perspektif sebagai pisau analisis (Bab 11). Hasil analisnya adalah pengembangan berkelanjutan di perguruan tinggi harus dikaitkan dengan konteks lingkungan (Bab 12), sosial dan ekonomi (Bab 13 & 14), pembelajaran individual dan kolektif (Bab 15 & 16), hubungan antara pendidikan dan riset (Bab 17), manajemen (Bab 18 & 19), serta universitas sebagai sistem yang terbuka terhadap berbagai jenis manajemen (Bab 20). Sesi keempat merupakan ringkasan argumentasi penulis terhadap keseluruhan isi buku yang intinya ditujukan untuk menjawab pertanyaan kunci: “Untuk apakah sebuah universitas (perguruan tinggi)?”. Penulis memahaminya dari sudut pandang yang paradoks, antara stabilitas dan perubahan serta antara kepastian dan spekulasi. Adapun kontribusi ilmiah penulis adalah menawarkan model pengembangan berkelanjutan di perguruan tinggi yang memadukan antara rasionalitas dan kemerdekaan yang sangat dibutuhkan bagi terwujudnya toleransi terhadap pluralitas nilai-nilai kehidupan (Bab 21).
             
Sistematika buku di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut (Gambar 1):

 
Kerangka Teoretis Pengembangan Berkelanjutan
             
Secara garis besar, tujuan perguruan tinggi ada dua, yaitu dunia riil (real world) dan menara gading (ivory tower). Tujuan dunia riil berhubungan dengan kompetensi intelektual, profesional dan praktis yang dibutuhkan individu maupun masyarakat untuk menyelesaikan problematika masa kini dan mempersiapkan generasi masa depan. Sedangkan tujuan menara gading berhubungan dengan kompetensi idealis-utopis dari segi moral maupun intelektual. Dengan kata lain, perguruan tinggi memiliki tujuan yang bersifat realistis-pragmatis terkait kepentingan masa kini dan tujuan idealis-utopis terkait kepentingan masa depan. Dua tujuan inilah yang menjadi sasaran pengembangan berkelanjutan.
             
Kendati semua pakar menyepakati program “pengembangan berkelanjutan”, namun mereka berbeda pandangan terkait definisi dan sasaran yang dituju. Inilah contoh paradoks dalam pengembangan berkelanjutan. Menurut penulis, ada enam perspektif pengembangan berkelanjutan. Pertama, perspektif teknokratis yang menilai perkembangan berkelanjutan ditujukan pada penyediaan solusi-solusi berbasis IPTEK terhadap berbagai problematika kehidupan yang sedang dihadapi. Kedua, perspektif “pergeseran paradigma” yang didasarkan pada teori Thomas Kuhn (1996). Menurut perspektif ini, perkembangan berkelanjutan senantiasa bergerak dinamis dari satu waktu ke waktu lain. Suatu perkembangan yang dinilai relevan pada saat ini, suatu saat akan dinilai tidak relevan, karena adanya anomali-anomali yang mengitarinya. Ketiga, perspektif “berbasis-tugas” yang menilai bahwa perkembangan berkelanjutan didasarkan pada konteks perubahan sosial, lingkungan dan pendidikan. Keempat, perspektif globalisasi yang memandang bahwa perkembangan berkelanjutan harus didasarkan pada konteks politik global. Kelima, perspektif metaforis yang menilai bahwa perkembangan berkelanjutan didasarkan pada dua sikap pokok manusia terhadap kehidupan, yaitu sikap berjuang dan sikap pasrah. Keenam, perspektif pragmatis yang menegaskan bahwa manusia harus memiliki latar belakang lintas-disipliner dan kualifikasi profesional agar dapat terlibat dalam program pengembangan berkelanjutan.

Studi Kasus Praktik Pengembangan Berkelanjutan
             
Studi Kasus Pertama: University Leaders for a Sustainable Future (ULSF) mengarahkan program pengembangan berkeberlanjutan pada empat fokus utama perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, operasional dan ketercapaian target. Untuk meraihnya, ULSF memberdayakan advokasi, edukasi, riset, pengembangan sumber daya manusia, penilaian, dukungan anggota dan kerjasama internasional. ULSF memberikan contoh suatu progres yang panjang, bahkan seringkali mengalami kondisi yang serba-sulit, yang telah berhasil dilaksanakan oleh sebuah organisasi nirlaba demi kepentingan perguruan tinggi.
             
Studi Kasus Kedua: Mainstreaming Environment and Sustainability in African Universities (MESA) mengarahkan pengembangan berkelanjutan pada empat sasaran pokok: Pertama, meningkatkan kualitas dan relevansi perguruan tinggi di Afrika dengan Millenium Development Goals (MDG). Kedua, meningkatkan pemahaman tentang pengembangan pendidikan berkelanjutan. Ketiga, memperluas kesadaran dan cara berpikir baru tentang pengembangan berkelanjutan yang menerobos keterbatasan universitas. Keempat, menawarkan berbagai peluang baru bagi proyek kolaborasi antara manajemen universitas, staf dosen dan mahasiswa dengan sektor swasta, masyarakat dan pemerintah.
             
Studi Kasus Ketiga, UNESCO menyelenggarakan program orientasi bagi para pendidik, agar setiap dosen dan mata kuliah dapat berkontribusi terhadap pengembangan berkelanjutan. Praktiknya adalah para dosen memahami konsep keberlanjutan terlebih dahulu, lalu mereka diminta untuk menelaah kurikulum dan aktivitas perkuliahan yang menunjang pengembangan berkelanjutan. Setelah itu, para dosen mampu mengidentifikasi area potensial dalam kurikulum yang dapat dimasuki oleh ide-ide terkait pengembangan berkelanjutan, baik pengetahuan, topik, perspektif, keterampilan maupun nilai. Selanjutnya para pimpinan lembaga (rektorat dan dekanat) dapat menciptakan kesadaran di antara komunitas civitas akademika dalam skala yang lebih luas. Jadi, para dosen memiliki dua peran utama: sebagai obyek sekaligus subyek (pelaksana) pengembangan berkelanjutan.
             
Studi Kasus Keempat, Higher Education Funding Council for England (HEFCE) memberikan contoh manajemen keuangan melalui beberapa peran berikut: Pertama, mendistribusikan dana kepada perguruan tinggi untuk kepentingan pendidikan, riset dan aktivitas lain yang relevan. Kedua, membiayai program-program yang mendukung pengembangan berkelanjutan di perguruan tinggi. Ketiga, memonitoring kesehatan finansial perguruan tinggi. Keempat, menjamin adanya penilaian kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Kelima, memberikan bimbingan agar program perguruan tinggi berjalan dengan baik.
             
Studi Kasus Kelima, Penulis menyajikan pengalaman Rusia dalam memberdayakan potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia melalui manajemen lingkungan rasional yang mengedepankan beberapa gagasan utama: Pertama, mengedepankan anthroposentrisme dalam memilih strategi interaksi masyarakat dengan lingkungan (alam). Kedua, mendistribusikan kekayaan alam secara adil di antara generasi masyarakat. Ketiga, memberikan akses yang sama terhadap sumber daya alam dan membagi hasil kekayaan alam secara adil bagi seluruh warga masyarakat. Keempat, menghemat konsumsi terhadap sumber daya alam yang dapat diperbarui demi mencegah kelangkaan. Kelima, membatasi secara ketat konsumsi terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, demi kepentingan generasi selanjutnya. Keenam, memanfaatkan sumber daya alam secara komprehensif dan efisien, serta meminimalisasi produksi yang sia-sia. Ketujuh, meminimalisasi risiko kerusakan alam akibat ulah manusia serta memperbaiki kerusakan lingkungan yang diakibatkan ulah manusia. Kedelapan, memelihara kekayaan alam yang dinilai paling berharga. Kesembilan, pemerintah dan masyarakat bekerjasama mendukung produksi yang berkelanjutan.
             
Studi Kasus Keenam, Usaha pengembangan berkelanjutan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pembelanjaan yang dilakukan organisasi atau lembaga. Misalnya UK National Health Service (NHS) yang memperkerjakan 1.3 juta orang dan menghabiskan dana sekitar £19 milyar per tahun. Jangkauan pembelanjaan yang dilakukan NHS sangat luas, mulai dari sarung tangan operasi hingga seluruh kebutuhan rumah sakit, termasuk kendaraan, obat-obatan, pakaian, makanan hingga perlengkapan teknis. Produk-produk ini diperoleh melalui perjanjian-perjanjian kontrak dengan berbagai organisasi, mulai dari perusahaan multi-nasional hingga Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
             
Studi Kasus Ketujuh, UK Royal Academy of Engineering memprakarsai program Kunjungan Guru Besar yang bertujuan mengembangkan kerjasama antara perguruan tinggi dengan para ahli di luar organisasi, sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi tantangan dan problem riil yang akan dihadapi oleh mahasiswa. Manfaatnya adalah mahasiswa dapat mempersiapkan diri lebih dini untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang relevan dengan tantangan dan problem riil yang akan dihadapi, berdasarkan hasil interaksi atau diskusi dengan para praktisi yang berpengalaman.
             
Tujuh studi kasus di atas memberikan contoh program kerja yang praktis dan efektif dalam mengoptimalkan pengembangan berkelanjutan di perguruan tinggi. Jika mengacu pada Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi, maka studi kasus tersebut relevan dengan Standar Isi; Standar Proses Pembelajaran; Standar Kompetensi Lulusan; Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; Standar Prasarana dan Sarana; Standar Pengelolaan; Standar Pembiayaan; Standar Penilaian Pendidikan; Standar Penelitian Ilmiah; Standar Pengabdian Kepada Masyarakat; Standar Kemahasiswaan; Standar Kesejahteraan; Standar Suasana Akademik; Standar Sistem Informasi dan Standar Kerjasama.

Konteks Lingkungan, Sosial dan Ekonomi Pengembangan Berkelanjutan
             
Pada umumnya, perkembangan berkelanjutan terbagi menjadi tigas konteks, yaitu lingkungan alam, ekonomi dan sosial. Bahkan pemerintah pun memiliki departemen atau kementerian khusus yang menangani urusan-urusan lingkungan alam, ekonomi dan sosial. Selanjutnya masing-masing konteks dapat dianalisis lebih jauh untuk mengidentifikasi empat kategori berikut: Pertama, hal-hal yang benar-benar kita ketahui. Kedua, hal-hal yang dirasa diketahui oleh sejumlah orang. Ketiga, hal-hal yang dapat kita pelajari. Keempat, hal-hal yang tidak dapat kita ketahui, setidaknya terkait dampaknya di masa depan. Di sinilah tugas perguruan tinggi untuk mengidentifikasi keempat kategori tersebut melalui riset.
             
Terkait konteks lingkungan (alam), ada dua pandangan ekstrem tentang hubungan manusia dengan lingkungan alam. Pandangan pertama meyakini bahwa semua sumber daya alam dapat digantikan. Bagi penganut pandangan ini, tidak masalah apabila kondisi alam menjadi semakin berpolusi, karena manusia dapat menggantinya dengan membangun suatu ruangan yang bebas polusi. Pandangan kedua meyakini bahwa tidak ada yang dapat menggantikan sumber daya alam.
             
Terkait konteks sosial-ekonomi, sudah jamak dikatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan “investasi”. Bahkan pendidikan tinggi merupakan investasi berkelanjutan yang ditujukan untuk: Pertama, meningkatkan kapabilitas untuk mengakses aneka pilihan. Kedua, meningkatkan keterampilan (life skills) untuk memanfaatkan berbagai pilihan yang dapat diakses. Ketiga, meningkatkan keterampilan untuk memberi penilaian, penilaian kembali dan memberi peringkat (ranking) terhadap pilihan-pilihan yang diutamakan oleh perguruan tinggi.
             
Untuk merealisasikan perguruan tinggi sebagai investasi berkelanjutan, maka dibutuhkan tiga pilar utama (tri dharma perguruan tinggi), yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
             
Pertama, Pendidikan. Pendidikan di perguruan tinggi harus memadukan pembelajaran individual dan kolektif. Di sini penulis menempatkan teori experiential learning David Kolb (1984) sebagai kerangka teoretis untuk menciptakan proses pembelajaran yang efektif di perguruan tinggi. Ini adalah teori pembelajaran berbasis pengalaman yang digambarkan dalam bentuk siklus yang terdiri dari pengalaman, refleksi, konseptualisasi dan aksi. Adapun transisi dari satu fase ke fase lain melibatkan empat “gaya belajar (learning style)”, yaitu “diverging” (terpencar), “assimilating” (asimilasi), “converging” (terpusat) dan “accomodating” (akomodasi). Keempat gaya belajar ini merepresentasikan perbedaan individual dalam konteks pembelajaran. Ilustrasi experietial learning versi Kolb dapat dicermati pada grafik berikut (Gambar 2):

             
Selain belajar individual (“belajar mandiri”), dibutuhkan pula “belajar kolektif” yang merupakan belajar kelompok dalam bentuk organisasi belajar, masyarakat belajar dan jaringan belajar. Dalam hal ini, penulis menindak-lanjuti konsep experiential learning versi Kolb. Praktiknya adalah para mahasiswa bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan berbagai tugas yang menuntut mereka untuk bekerjasama. Melalui belajar kolektif, mahasiswa berkesempatan mengintegrasikan pengalamannya dengan informasi dan pengetahuan yang dimiliki mahasiswa lain, sehingga dapat meningkatkan kualitas pemahamannya, dibandingkan belajar secara mandiri.
             
Kedua, Penelitian. Perguruan tinggi harus mampu menghasilkan penelitian ilmiah yang bermutu, terutama dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Terkait hubungan riset dengan praktik pendidikan, Blenkin et al (1997) mengemukakan beberapa perspektif berikut: Secara teknologis, hasil pembelajaran yang diharapkan dapat diraih melalui aktivitas pembelajaran yang efektif dan efisien. Secara kultural, pembelajaran terbaik dapat diraih apabila para praktisi tunduk (taat) pada norma-norma budaya. Secara mikro-politik, pembelajaran tergantung pada perjuangan kekuatan mikro-politik dengan institusi-institusi pendidikan. Secara biografis, pandangan para praktisi terhadap pembelajaran tergantung pada tempat mereka berkarir dan pengalaman hidup yang sedang dialami. Secara struktural, pandangan para praktisi terhadap pembelajaran secara signifikan dipengaruhi trend sosial.
             
Ketiga, Pengabdian Masyarakat. Perguruan tinggi itu adakalanya sebagai agen atau justru sebagai objek perubahan menuju pengembangan berkelanjutan. Di sini terjadi tarik-menarik antara pendidikan tinggi dengan perubahan sosial secara umum. Salah satu trend global dalam pendidikan tinggi adalah fokus-pasar global. Artinya, universitas-universitas di berbagai belahan dunia telah tumbuh menjadi ‘manajemen publik baru’ yang mengharuskan mereka untuk berkompetisi demi mahasiswa, bantuan riset dan berbagai sumber lain dengan cara menawarkan produk-produk akademik yang terbaik sekaligus paling efisien. Dalam hal ini, University Leaders for a Sustaible Future (ULSF) berhasil menawarkan Deklarasi Talloires untuk ditanda-tangani oleh berbagai institusi di lebih dari empat puluh negara. Deklarasi Tallories mengamanatkan 10 (sepuluh) aksi perguruan tinggi: 1) Meningkatkan kesadaran pengembangan berkelanjutan terhadap lingkungan; 2) Menciptakan keberlanjutan institusi kebudayaan; 3) Mendidikkan tanggung-jawab warga masyarakat terhadap lingkungan; 4) Mengembangkan literasi tentang lingkungan untuk semua pihak; 5) Menerapkan institusi yang ramah lingkungan (ekologis); 6) Melibatkan seluruh stakeholder; 7) Kolaborasi pendekatan inter-disipliner; 8) Meningkatkan kapasitas sekolah dasar dan menengah; 9) Memperluas pelayanan dan pencapaian target secara nasional dan internasional; 10) Memelihara gerakan (pengembangan berkelanjutan). Seluruh isi deklarasi ini mencerminkan model pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi dengan menerobos batasan-batasan institusional. 

Model Pengembangan Berkelanjutan di Perguruan Tinggi
             
Universitas merupakan sistem yang terbuka. Universitas adalah entitas yang memiliki ciri khas, mampu merencanakan program kerja dan mengkoordinasikan dengan berbagai komponen internal universitas. Pada saat yang sama, universitas memiliki batasan-batasan yang cair dan luwes ketika berinteraksi dengan agen-agen maupun kelompok-kelompok eksternal. Mayoritas interaksinya dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu pendidikan, penelitian dan administrasi. Muncul ketegangan di antara ketiga domain ini, yaitu ketegangan antara stabilitas dan perubahan; serta antara kepastian dan spekulasi. Dengan kata lain, terjadi ketegangan antara tujuan “dunia riil” yang realistis dengan “menara gading” yang idealis. Oleh sebab itu, “terobosan” (breakthrough) selalu dijadikan sebagai parameter standar tertinggi dalam konteks pengembangan berkelanjutan. Untuk itu, penulis menawarkan model pengembangan berkelanjutan di perguruan tinggi yang melibatkan tiga sumber daya pokok, yaitu lingkungan (alam), sosial (masyarakat) dan ekonomi, sebagaimana ilustrasi grafis berikut (Gambar 3):
PENUTUP

             
Model pengembangan berkelanjutan di perguruan tinggi yang digagas oleh penulis buku ini, dapat diimplementasikan di berbagai perguruan tinggi Indonesia, dengan tetap mempertimbangkan konteks lingkungan (alam), sosial dan ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah mengadopsi gagasan Muhammad Tholhah Hasan yang menegaskan bahwa model pengembangan berkelanjutan di perguruan tinggi Indonesia, hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ke-Islam-an, kecendekiaan dan ke-Indonesia-an. Ke-Islam-an berarti setiap civitas akademika harus berkeyakinan bahwa dengan memegang teguh ke-Islam-an, maka perguruan tinggi dapat terus berkembang; tidak boleh berkeyakinan bahwa perkembangan dapat diperoleh dengan meninggalkan ke-Islam-an. Kecendekiaan berarti perguruan tinggi harus menyelenggarakan pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas kecerdasan, kreativitas, keterampilan dan karakter kepada para peserta didik dan masyarakat lingkungannya. Ke-Indonesia-an berarti setiap civitas akademika perguruan tinggi harus menyadari dan merasa terikat dengan ikatan-ikatan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, termasuk tradisi dan kebudayaannya, juga memahami dan mempunyai kesetiaan kepada komitmen-komitmen nasional seperi Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Eka, Negara Kesatuan RI. Jangan sampai pendidikan membuat civitas akademika mencintai agama, namun tidak cinta negara. Akibatnya, negara menjadi korban cinta agama. Wallahu A’lam.