Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sadar Halal sebagai Gaya Hidup Kekinian

Dr. Rosidin, M.Pd.I


Halal MUI
Logo Resmi Halal dari MUI

Suatu ketika, Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang mukmin itu bagaikan seekor lebah, yang tidak mau makan, kecuali (makanan) yang bagus (thayyib)” (H.R. al-Nasa’i). Makanan lebah terdiri dari dua bahan pokok: nektar (air manis yang dihasilkan bunga) dan serbuk sari (bubuk kaya protein). Hebatnya, lebah lebih cepat menemukan bunga dibandingkan lalat. Hal ini dikarenakan insting lebah tertarik pada keharuman, sedangkan insting lalat tertarik pada kotoran. Oleh sebab itu, apa yang dikeluarkan oleh lebah mendatangkan manfaat bagi manusia, misalnya: madu, royal jelly, tepung sari (bee pollen) dan propolis. 

Lain halnya dengan lalat yang banyak mendatangkan penyakit bagi manusia, misalnya: diare, disentri, kolera, thyphus, gatal pada kulit, virus polio, hepatitis, sinus, keracunan hingga cacingan. Demikian perumpamaan orang yang mengonsumsi makanan halal, bagaikan lebah yang memberi banyak manfaat bagi orang lain. Sebaliknya, orang yang mengonsumsi makanan haram, bagaikan lalat yang menimbulkan banyak mafsadat bagi orang lain. Atas dasar itu, penting bagi setiap orang muslim untuk menjadikan “sadar halal” sebagai gaya hidup kekinian. Selanjutnya, gerakan “sadar halal” sebagai gaya hidup kekinian tersebut, dapat dipraktikkan melalui lima tahap.
Pertama, Tahap Keyakinan. Sesuai dengan makna halal yang secara bahasa berarti “lepas” dan “bebas”, orang muslim harus meyakini bahwa mengonsumsi makanan halal membuatnya “lepas” dan “bebas” dari dampak buruk di dunia dan akhirat. Sebaliknya, sesuai dengan makna haram yang secara bahasa berarti “terlarang” dan “mulia”, orang muslim harus meyakini bahwa larangan mengonsumsi makanan haram itu dimaksudkan untuk menjaga kemuliaan jiwa-raga manusia (Q.S. al-Isra’ [17]: 70), agar tidak dimasuki makanan yang dinilai buruk oleh syariat Islam. Misalnya, babi dilabeli sebagai kotoran atau rijsun (Q.S. al-An’am [6]: 145), sebagaimana khamr, makanan hasil judi dan makanan sesajen yang juga dinilai sebagai kotoran atau rijsun (Q.S. al-Ma’idah [5]: 90).
Kedua, Tahap Pengenalan. Umat muslim harus mengenali jenis makanan yang halal atau haram dikonsumsi. Menurut Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an, makanan yang diuraikan oleh al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga kategori pokok, yaitu: nabati, hewani dan olahan. 

(1) Tidak ditemukan satu ayat pun yang secara eksplisit (tersurat) melarang makanan nabati tertentu. Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu yang terlarang, maka termasuk larangan umum memakan sesuatu yang buruk atau merusak kesehatan. Misalnya: mengonsumsi daun ganja. 

(2) Terkait makanan hewani, al-Qur’an membagi menjadi dua kategori besar, yaitu binatang air dan darat. Binatang yang hidup di air laut maupun tawar, sama-sama dihalalkan. Sedangkan binatang yang hidup di darat, ada yang dihalalkan secara tegas, seperti unta, sapi dan kambing; ada pula yang diharamkan secara tegas, seperti bangkai, babi, (binatang) yang disembelih atas nama selain Allah, (binatang) yang tercekik, (binatang) yang terpukul, (binatang) yang jatuh, (binatang) yang ditanduk, dan (binatang) diterkam binatang buas, kecuali sempat disembelih sebelum mati (Q.S. al-Ma’idah [5]: 3). 

Lalu Rasulullah SAW memberikan penjelasan lebih detail tentang jenis-jenis binatang yang diharamkan, antara lain: binatang yang bertaring (seperti harimau); binatang yang memiliki cakar (burung elang); binatang yang hidup di darat dan di air (katak); binatang yang dilarang untuk dibunuh (semut); binatang yang diperintahkan agar dibunuh (ular); dan sebagainya. 

Terkait binatang darat yang halal, masih harus memenuhi syarat-syarat penyembelihan yang meliputi: (a) penyembelih (berstatus muslim); (b) cara dan tujuan penyembelihan (atas nama Allah SWT, bukan atas nama selain-Nya, seperti untuk sesajen); (c) anggota tubuh yang harus disembelih (tenggorokan, kerongkongan dan dua urat darah di dua sisi leher); (d) alat penyembelihan (tajam, tidak tumpul). 

(3) Makanan olahan. Misalnya, arak (khamr) adalah contoh minuman olahan yang dibuat dari buah-buahan, namun hukumnya haram. Sebaliknya, jus yang juga diolah dari buah-buahan, hukumnya halal. 
Jika merujuk pada keterangan dalam al-Fiqh al-Islamy karya Wahbah al-Zuhaili, suatu makanan dan minuman dihukumi halal, selama tidak mengandung tiga hal: (a) Najis, seperti darah; atau terkena najis (mutanajis), seperti air susu yang bercampur bangkai; (b) Memabukkan, seperti arak dan narkotika; (c) Membahayakan, seperti racun, sperma, kaca, tanah hingga batu.
Ketiga, Tahap Kepedulian. Setiap muslim harus menaruh perhatian serius terhadap halal-haramnya makanan yang dikonsumsi. Apalagi Rasulullah SAW pernah bersabda: “Mencari (rezeki) halal adalah kewajiban bagi setiap muslim” (H.R. Ibn Majah). Pada kesempatan lain, beliau bersabda: “Setiap daging yang tumbuh dari (makanan) haram… maka neraka lebih tepat untuknya” (H.R. al-Tirmidzi). 

Bentuk nyata dari kepedulian orang muslim terhadap halal-haramnya makanan adalah senantiasa awas terhadap label halal. Misalnya, orang muslim di Indonesia selalu meneliti ada-tidaknya label atau sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada produk-produk yang akan dibeli atau dikonsumsi. Seandainya tidak ada label atau sertifikat halal dari MUI, orang muslim tersebut harus menanyakan kepada penjual, apakah produknya halal atau tidak, tanpa merasa malu; karena ciri khas umat muslim adalah rasa malu tidak menghalanginya untuk bertanya tentang ajaran agama, sebagaimana yang dipraktikkan oleh para shahabat. 
Keempat, Tahap Kehati-hatian. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin menyatakan bahwa ada beberapa tingkatan halal-haram. 

(1) Menjaga diri dari sesuatu yang dinilai haram menurut ahli Fikih. Ini adalah standar minimal. 

(2) Menjaga diri dari sesuatu yang berpotensi haram, meskipun menurut sebagian ulama diperbolehkan. Dengan kata lain, statusnya syubhat (abu-abu) antara halal dan haram.  

(3) Meninggalkan sesuatu yang tidak haram dan tidak pula syubhat, namun dikhawatirkan dapat mendatangkan pada hal-hal yang diharamkan. 

(4) Sesuatu yang tidak haram, tidak syubhat dan tidak berpotensi mendatangkan hal-hal yang haram, namun memperolehnya bukan karena Allah SWT atau bukan dengan niat sebagai bekal energi untuk beribadah kepada Allah SWT.
Kelima, Tahap Penyebar-luasan. Tanggungjawab setiap muslim apabila ingin menjadi umat yang terbaik adalah mempraktikkan amar ma’ruf nahy munkar (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 110). Dalam konteks ini, seorang muslim yang sudah menjadikan “sadar halal” sebagai gaya hidupnya, perlu menyebar-luaskan kepada sesama umat muslim. Bentuk konkretnya adalah berbagi informasi tentang produk-produk yang berstatus halal, syubhat dan haram. Lebih-lebih jika informasi tersebut didasarkan pada hasil riset ilmiah yang terpercaya. 

Bagi seorang muslim yang ahli, dapat pula menciptakan teknologi dalam bentuk aplikasi smartphone maupun pemindai (scanner) yang dapat digunakan untuk mendeteksi halal-haramnya suatu produk. Misalnya, HalalMinds yang diluncurkan sejak tahun 2014, untuk membantu masyarakat muslim di Jepang yang kesulitan menemukan makanan halal. Di Indonesia sendiri, Lembaga Pengkaian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sudah meluncurkan aplikasi bernama Pro Halal MUI. 

Wallahu A’lam bi al-Shawab.